sabna.tamara
TS
OWNER
sabna.tamara
Angga
Part 1

"Hah! Dipecat lagi! Sial!" ucap Angga seraya menyeruput secangkir kopi yang baru saja ia pesan di sebuah warung kopi pinggir jalan. Untuk kesekian kalinya, Angga harus menerima pil pahit ini lagi—pemecatan yang entah sudah berapa kali—dan harus memulai semua lagi dari awal.

Alasan Angga dipecat selalu sama, terlalu idealis. Membuatnya sering bertengkar dengan atasannya yang selalu berbeda pemikiran dengannya. Awalnya mereka semua menerima setiap saran dan masukan dari Angga, melihat Angga yang selalu percaya diri dan yakin akan setiap gagasannya. Dan mereka pun tak ragu untuk mengaplikasikan setiap gagasan Angga dalam rancangan mereka. Namun, sayang semua gagasannya tak memberikan efek apapun. Dan ketika mereka menyampaikan hal itu kepada Angga, ia tidak percaya. Selalu meyakinkan atasannya agar lebih sabar—yang nyatanya sulit dilakukan.

Ketika diminta untuk gagasan baru pun sama saja. Angga selalu keukeuh dengan gagasan pertamanya, terlalu yakin bahwa gagasannya pasti akan berhasil dan entah kapan, Angga sendiri pun tidak tahu. Akibatnya, ia harus menerima kenyataan, di kemudian hari ia dipecat.

Sayangnya, Angga tak pernah mau berubah--terlalu keras kepala. Sehingga setiap ia mendapatkan pekerjaan yang baru, hanya dalam waktu kurang dari 5 bulan saja ia langsung dipecat. Dan bukannya mencoba mengintropeksi dirinya sendiri, ia lebih memilih menyalahkan atasannya yang tak mau sabar menunggu gagasannya berhasil.

"Apa lu liat-liat?" hardik Angga kepada seekor anjing yang menatapnya dengan manja. Sambil menjulurkan lidah, terlihat air liurnya yang menetes. Tentu, anjing itu tak bergeming dan tetap memandang Angga seperti itu—ia tak tahu apa yang dikatakan Angga dan tak tahu bagaimana kondisi Angga saat itu.

Angga tidak terima dengan perlakuan anjing itu. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Di lihatnya sebuah tong sampah di samping tiang jalan yang tak jauh dari tempatnya sekarang. Segera ia melangkah ke sana. Mencari sesuatu yang entah apa itu. "Aha!" seru Angga kegirangan. Ternyata sebuah botol plastik yang ia cari. Kemudian ia kembali ke tempatnya semula dan masih mendapati anjing itu dalam kondisi yang sama seperti sebelumnya. Angga sedikit keheranan melihatnya. Dan berpikir sejenak, sebenarnya apa yang diperhatikan anjing itu? Dia masih saja seperti itu dari tadi—menatap manja sambil menjulurkan lidahnya dan membiarkan air liurnya menetes--apakah anjing ini benar-benar anjing? Atau bukan?

"Argh! Bodo amat lah!" Angga segera menepis pikirannya. Kemudian segera melemparkan botol plastik itu tepat ke arah si anjing. Anjing itu kini tak lagi menggemaskan untuk dilihat--meski dari awal bagi Angga tak menggemaskan sama sekali—anjing itu mulai menggeram, lalu menggonggong dengan kencangnya dan kemudian berlari mengejar Angga.

Angga tentu tak diam saja. Ia kemudian berlari sekencang-kencangnya agar terhindar dari amukan si anjing. Terus maju kedepan, tak peduli kemana, yang terpenting ia selamat. Sampai kemudian ia teringat, barang-barangnya masih tertinggal di warung kopi tersebut. Mau tak mau ia harus berbalik dan mendapati anjing tersebut semakin dekat dengannya, bersiap menggigitnya. Angga yang tak mau menjadi mainan bagi si anjing, mulai mengumpulkan keberaniannya, mengambil ancang-ancang untuk menyerang anjing tersebut. Semakin dekat anjing itu, semakin banyak juga keringat yang bercucuran dari tubuh Angga. Sebenarnya Angga sangat takut dengan anjing, namun entah kenapa dia bertingkah konyol seperti itu—mungkin lebih tepatnya bodoh.

Angga kemudian berlari ke arah si anjing. Semakin dekat, semakin adrenalinnya terpacu. Dan tepat saat anjing sudah berada didepannya, Angga berteriak dengan kencangnya "Demi Sparta! Hiyaaaaaaa!" ditendanggnya kepala anjing itu yang langsung membuat anjing itu terjungkal. Angga tak peduli dengan hal itu. Ia terus berlari kedepan, berusa menghindar sejauh mungkin dari anjing itu dan mengambil kembali barangnya yang tertinggal.

Sesampainya di warung kopi tersebut, ia begitu bersyukur karena barang-barangnya masih ada dan masih dalam keadaan seperti sebelumnya. Tak lupa ia berterima kasih kepada pemilik warung atas secangkir kopinya, lalu segera menuju ke rumah sewaannya. Angga tidak melewati jalan yang biasanya, karena ia takut bertemu dengan anjing itu lagi. Sehingga ia lebih memilih jalan memutar, lagipula ia juga sudah kehabisan tenaga akibat berlari terus tanpa henti.

Dalam perjalanan pulang, Angga tak bisa tenang sama sekali. Ia begitu gelisah, sambil sesekali memperhatikan sekililingnya, barangkali ada yang mengikutinya selama perjalanan pulang ini. "Cuman perasaan aja kali ya..." gumam Angga. Karena ia tak menemukan apapun. Hanya ada dirinya di jalan ini.

Sesampainya di depan pagar rumahnya, ia langsung mengambil kunci di sakunya--memasukkan kunci tersebut, memutarnya hingga pagar itu dapat dibuka olehnya. Kemudian ia masuk ke dalam tanpa lupa mengunci pagarnya lagi. Di depan pintu rumahnya, ia melakukan hal yang sama dengan pagar rumahnya. Setelahnya, ia menekan tombol lampu yang ada di tembok samping dimana ada engsel-engsel pintu yang terpasang rapi. Lampu pun menyala dan kini ia dapat menyaksikan rumahnya begitu berantakan. "Dih... Suram amat..." Angga mengeluh. Tentu saja ia mengeluh, siapa yang tahan melihat rumah yang begitu berantakan seperti ini. Orang-orang akan kesulitan untuk tidur nyenyak dalam keadaan rumah seperti ini.

Tapi, Angga tetaplah Angga, bukannya merapikan rumahnya, ia langsung menuju kamarnya. Segera ia merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Ia terlalu malas untuk merapikan rumahnya. Dan memang seperti itulah dia. Setiap ditanya oleh teman-temannya yang berkunjung, kenapa dia begitu malas merapikan rumahnya? Dia akan menjawab "Nanti susah nyari barang-barang yang gua butuhin. Pasti lupa, trus berantakan lagi dah. Buang-buang tenaga doang..." alasan yang aneh. Tanpa perlu waktu yang lama, Angga sudah terlelap dalam tidurnya.

Angga bermimpi dalam tidurnya. Di mimpinya, Angga berlari-lari menghindari sesuatu, kali ini bukan seekor anjing lagi—melainkan dua orang berseragam hitam dan berbadan tegap. Satu dari mereka memegang sebuah senjata api, dan yang lainnya memegang sebuah tongkat pemukul yang bentuknya seperti tongkat baseball, yang berwarna hitam sepenuhnya dan terdapat duri-duri diujungnya. Mereka terus mengejar Angga yang terus berlari tanpa henti. Sedangkan Angga terus berlari menghindari mereka, mencari jalan keluar dari sebuah tempat yang ia tak ketahui sama sekali. Angga terus berlari, sambil mengingat-ingat rute yang telah ia dapatkan. Entah bagaimana caranya ia mendapatkannya, rute itu sudah ada dalam pikirannya di dalam mimpi ini.

Sampai disebuah pertigaan lorong, dimana masing-masing lorong memiliki sketsa yang berbeda pada dinding-dindingnya. Lorong yang ada di kanan, penuh sketsa tumbuhan yang didominasi warna hijau, dan tentu saja sangat menyejukkan sekali. Sedangkan lorong yang ada di kiri, dipenuhi sketsa hewan-hewan yang didominasi warna merah, dan entah mengapa lorong itu begitu mencekam, jangankan untuk masuk, menatap lorong itu untuk sejenak saja enggan.

Angga langsung memasuki lorong bagian kiri, meskipun begitu mencekam ia tetap terus melaju menelusuri lorong itu tanpa henti. Baginya, kedua orang itu lebih mengerikan dibandingkan dengan lorong ini. Tiba di penghujung lorong, ia bertemu seorang anak laki-laki berjaket hitam. Anak itu melambaikan tangannya, mengajak Angga untuk mengikutinya. Angga yang melihat isyarat itu, langsung menarik anak itu, menyeretnya agar segera berlari bersamanya. "Ada apaan?" tanya anak itu. Angga tidak menjawab, ia terus berlari tanpa henti. Anak itu pun mau tak mau harus menahan rasa penasarannya dan ikut berlari bersama Angga.

"Kanan!" anak itu memberitahu. Angga yang mendengarnya langsung menuju ke kanan "Terus lurus, enggak lama lagi kok..." Angga tidak melawan, bertanya, ataupun mengajak anak itu berdebat apakah yang dikatakannya itu benar. Ia terus mengikuti apa yang disarankan anak itu. Sampai pada akhirnya, tibalah di penghujung lorong.

"Kuncinya ada?" Angga yang mendapat pertanyaan itu langsung merogoh sakunya, diperlihatkan kuncinya kepada anak itu. Anak itu pun mengangguk, Angga langsung memasukkan kunci itu ke lubang pintu, memutarnya, dan membuka pintunya. Begitu terang, cahaya itu begitu menyilaukannya, dan saat itu pula mimpi Angga berakhir. Ia pun terbangun dari tidurnya.
Diubah oleh sabna.tamara 06-01-2016 04:47
anasabilaterbitcomyt
terbitcomyt dan anasabila memberi reputasi
2
8.3K
48
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan