zitizen4rAvatar border
TS
zitizen4r
Dasar Hukum 6 Agama Resmi 'Digugat' ? Menag: Negara 'tak pernah' Resmikan

source: http://www.kemenag.go.id/file/dokume.../UU1PNPS65.pdf


Agama Resmi dalam RUU PUB: Solusi “Konflik Agama”?
28 Apr 2015

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) di awal masa konsepsinya digadang sebagai peraturan payung akan mengakomodasi berbagai peraturan yang menyangkut agama. RUU ini sebelumnya diawali dengan nama yang berbeda-beda, misalnya Rancangan Undang-Undang Kerukunan Beragama, yang mengatakan bahwa RUU ini akan mencakup dan menggantikan peraturan seperti PNPS 1965 (Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), PBM 2006 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri), dan SKB Ahmadiyah (Surat Keputusan Bersama).

Di luar dari intensi normatif untuk membuat peraturan yang lebih komprehensif masalah keagamaan, pemerintah belum kelihatan mendalami perdebatan filosofis politik mengenai peran negara dalam masalah keagamaan. Walaupun konsep pembedaan ranah negara dan agama umumnya dianggap sebagai konsep sekuler dari dunia Barat, namun perdebatan seharusnya bukan darimana asal konsep tersebut, tetapi apakah pemikiran tersebut efektif ketika dijadikan kebijakan dalam menjaga stabilitas sosial politik.

Seperti disebutkan di atas, ketiga peraturan mengenai hubungan keagamaan tidak cukup efektif dalam mengatasi friksi dan konflik, bahkan dalam kasus-kasus tertentu justru menjadi kerangka pemicu konflik.i Sebagai contoh konkrit, isu yang perlu dipikirkan mendalam mengenai seberapa jauh peran ideal negara (state) dalam masalah keagamaan adalah soal penentuan agama resmi.

Di Indonesia telah terbentuk mitos bersama tentang lima agama resmi di Indonesia. Pada tahun 2001, agama resmi bertambah dengan diakuinya Kong Hu Cu. Namun, hal ini merupakan mitos karena sebenarnya tidak ada landasan hukum yang mendasari konsep agama resmi tersebut. Satu-satunya referensi yang peraturan yang ada sebagai landasan hukum hanyalah penjelasan dari ayat 1 UU PNPS 1965. Selain penjelasan tersebut, tidak ada ayat maupun pasal dalam Undang-Undang maupun pasal dalam Konstitusi yang mencanangkan hal tersebut.

Di luar dari fakta bahwa agama resmi sebenarnya tidak mempunyai landasan hukum dan tidak menggambarkan realita sosiologis masyarakat Indonesia, pertanyaan terpenting adalah apakah agama resmi perlu dicanangkan oleh negara atau tidak? Khususnya untuk negara majemuk dan heterogen seperti Indonesia?

Contoh kasus konkrit yang dapat diambil misalnya kelompok Ahmadiyah. Keberadaan kelompok Ahmadiyah baru menjadi isu konflik kritis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Secara historis, kelompok Ahmadiyah sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1920-an. Menariknya, Muhammadiyah dan NU dalam kongresnya tahun 1929 dan 1930 dari sisi internal umat Islam sudah menyatakan dari pandangan Islam bahwa ajaran Ahmadiyah sesat/tidak sesuai dengan Islam, namun tidak mengusahakan upaya legal/hukum melarang Ahmadiyah. Poin penting disini adalah dari sisi ranah agama walaupun dinyatakan “sesat”, keberadaan kelompok Ahmadiyah tidak menjadi persoalan konflik sosial politik yang lebih luas, sebelum permasalahan teologis tersebut dibawa ke ranah Negara.

Dalam kasus Ahmadiyah, konsep agama resmi tersebutlah yang menjadi problematika utama dari kasus ini. Semenjak mencuatnya konflik dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah dari Lombok, Jawa Barat, sampai daerah lain, pemerintah terkesan gamang dalam mencari solusinya. Di satu sisi, pemerintah seperti terjepit bahwa terdapat hak konstitusional bagi penganut Ahmadiyah untuk hidup serta beribadah. Di sisi lain, “perasaan” dan pandangan Teologis umat Islam utamanya yang terganggu dengan keberadaan kelompok Ahmadiyah.

Banyak pemuka agama mengatakan solusinya adalah kelompok Ahmadiyah tidak menyebut dirinya sebagai agama Islam-Ahmadiyah, tetapi membentuk agama sendiri. Kompleksnya karena konsep agama resmi tersebut, kelompok Ahmadiyah tidak dapat secara realistik menjadi kelompok agama sendiri. Pertama, karena adanya mitos agama resmi, sistem kependudukan saat ini mengharuskan kolom agama dimana warga harus memilih satu dari 6 agama resmi yang ada. Seorang pemeluk Ahmadiyah karena ketiadaan pilihan akan harus memilih jika tidak akan kehilangan hak dasar warga negara menyangkut menikah, catatan sipil, fasilitas umum lainnya.

Kedua, akses kelompok dalam fasilitas dari negara secara khusus dari Kementerian Agama berupa berbagai fasilitas dan fasilitasi pemerintah bagi kelompok beragama didasarkan kepada konsep agama resmi. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) bagi masing-masing agama resmi, termasuk berbagai undang-undang bagi fasilitasi agama seperti zakat, halal, dan berbagai fasilitasi pemerintah dalam bentuk pendanaan bagi kegiatan beragama di dasari konsep agama resmi tersebut.

Melihat komplikasi yang terjadi karena konsep agama resmi tersebut dan keberadaan kelompok Ahmadiyah bisa terlihat jelas mengapa umat Ahmadiyah secara langsung maupun tidak langsung "terpaksa" menentukan label dirinya sebagai penganut Islam, karena beberapa kedekatan dasar ajaran dan juga secara praktis memerlukan payung hukum keberadaannya.

Diduga dalam RUU PUB pemerintah mencoba mengakomodir hal tersebut dengan mencanangkan agama resmi dan juga memberi kesempatan untuk agama baru melakukan semacam "registrasi". Dalam jangka pendek mungkin hal tersebut kelihatan menjadi solusi "teknis". Namun, dalam realita sosial politik dan dalam jangka panjang hal ini justru tidak menjadi solusi dan berpotensi membawa permasalahan yang lebih pelik.

Pertama, dalam realita sosial-politik akan menjadi isu sangat kompleks bila kelompok Ahmadiyah maupun Syiah sebagai contoh, diregistrasikan sebagai agama resmi. Seperti halnya dalam kelompok agama Kristen, kelompok sempalan seperti Saksi Yehovah, Mormon, dan sebagainya juga berpotensi akan menjadi beberapa kelompok yang ikut dalam registrasi. Hal ini akan membawa kompleksitas dan muatan sejarah maupun perdebatan filosofis agama yang pelik. Bagi umat agama umumnya (mainstream), seperti umat Islam Sunni, maupun Kristen umumnya gamang dari sisi agama melihat agama yang "mirip" dengannya menjadi agama resmi juga.

Di sisi lain, bagi kelompok agama "minoritas" juga akan ada keberatan disebut sebagai agama yang terpisah dan berbeda total dari agama "utamanya". Misalnya, kelompok Syiah akan keberatan registrasi terpisah semata-mata karena umatnya dalam proporsi kecil di Indonesia. Lebih jauh, permasalahan tersebut tidak terbatas pada agama-agama besar. Agama "minoritas" lain, seperti kepercayaan tradisional seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan lain-lain akan mengalami kesulitan lebih besar. Umat kelompok kepercayaan tradisional nusantara mempunyai natur yang tidak formal, akan sangat sulit bagi kelompok-kelompok tersebut untuk melalui proses registrasi formal dengan segala dokumen dan institusi resmi. Kelompok ini tetap akan kehilangan akses dari fasilitas pemerintah.

Kembali mengenai kasus konflik Ahmadiyah. Menjadi pertanyaan apakah dengan adanya agama resmi dan registrasi agama "minoritas" lantas konflik berkurang dan negara dapat memfasilitasi kelompok agama secara adil?

Pertama, mengenai keadilan atau kesetaraan negara bagi kelompok beragama. Dengan memfasilitasi sesuai proporsi jumlah kelompok beragama saja sudah memasuki konsep mayoritas versus minoritas. Hal ini sendiri sudah bertentangan dengan kesetaraan tiap individu warga negara dalam konsitutsi kita UUD 1945.

Kedua, terlalu simplistik anggapan bahwa Ahmadiyah sebagai agama resmi baru akan menghilangkan konflik. Para ahli politik ekonomi sudah banyak melakukan penelitian yang menemukan alasan politik dan ekonomi yang menjadi sumber dari banyak konflik agama. Secara spesifik dalam hal kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik dan Lombok ditemukan bahwa banyak sumber konflik bermuara dari kepentingan ekonomi maupun politik aktor di daerah tersebut. Melihat kasus ini saja, bisa dikatakan solusinya bukan dalam pencanangan agama resmi dan registrasi. Justru seharusnya hak warga negara dilindungi dalam konstitusi tanpa batas-batas agama resmi yang ditentukan pemerintah. Negara seharusnya “butawarna” dalam memandang agama, bahkan dalam hal teknis sekalipun.
http://suarakebebasan.org/id/kolom-p...-konflik-agama


Menag: negara tak pernah 'resmikan' enam agama
18 September 2014

Sri Lestari, Producer BBC Indonesia

Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin dalam wawancara dengan BBC Indonesia menyebutkan negara tak pernah menyebutkan secara resmi bahwa ada enam agama di Indonesia.

Menteri Agama mengatakan semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dilindungi oleh konstitusi dan dijamin kebebasan dan kemerdekaannya, termasuk agama dan kepercayaan di luar enam agama yang dipeluk mayoritas penduduk.

“Negara sebenarnya tak pernah meresmikan, yang resmi ada enam agama itu tidak ada, dalam UU 1 PNPS 1965 itu disebutkan agama yang secara mayoritas dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, " jelas Lukman dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Selasa (16/09)


Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

Lukman mengatakan dalam konstitusi disebutkan selain enam agama yang secara mayoritas dipeluk oleh masyarakat Indonesia tetap dibiarkan keberadaannya sepanjang mereka tidak melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan.

Dia menegaskan semua pemeluk agama di Indonesia dijamin oleh konstitusi, dan tak boleh ada pemaksaan.

“Itu kan kebebasan setiap orang biarkan itu menjadi hak warga negara agama apa yang dia anut, tak harus dipaksa memeluk ini dan itu,” jelas Lukman.

Dia menjelaskan negara juga harus memberikan pelayanan kepada mereka.

“Konstitusi tegas mengatakan setiap warga negara dijamin, dua hal yang dijamin oleh WN yang dijamin oleh konstitusi pertama: kebebasan kemerdekaan dalam memeluk agama, yang kedua adalah kebebasan kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya,” tambah menteri agama.

Kementerian Agama tengah menyusun rekomendasi kepada pemerintah baru dalam melindungi umat beragama di Indonesia, yaitu masalah pendirian rumah ibadah, dan juga hak-hak agama minoritas di Indonesia termasuk agama –agama di luar enam agama.

Rekomendasi disusun berdasarkan masukan dalam forum diskusi yang digelar kementerian agama mulai Kamis (18/09) ini.
Diskriminasi

Tetapi selama ini diskriminasi seringkali dialami oleh penganut agama diluar agama mayoritas di Indonesia, terutama dalam pengakuan dan pemenuhan hak-hak sipil mereka.

Seperti yang dialami oleh Dewi Kanti yang merupakan penghayat Sunda Wiwitan, agama asli penduduk Cigugur Kuningan Jawa Barat, yang pernah dipaksa mencantumkan agama Islam dalam kolom di KTP.

"Alasannya karena di (sistem) komputer tidak ada pilihan karena hanya ada lima agama dulu belum ada Konghucu, jadi saya seolah berbohong di KTP dicantumkan Islam tapi saya tidak menjalankannya, disebut Islam KTP, ini bukan kemauan saya, dan negara yang mengkondisikan ini,” kata dia.

Cetakan kedua KTP Dewi ditulis aliran dalam kolom agama, dan sekarang dikosongkan setelah setelah mengirim surat kepada lurah dengan tembusan kepada Dirjen Administrasi Kependudukan dan juga DPR.

Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan setiap warga Indonesia harus mencantumkan agama mereka dalam kolom agama di KTP, dan selain penganut salah satu dari enam agama, maka berhak mengosongkan kolom agama di KTP.

Ketika menikahpun, Dewi tak mendapatkan legalitas dari pemerintah meski sudah melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan ajaran Sunda Wiwitan.

Diskriminasi lain yang dialami anak-anak penganut agama Sunda Wiwitan adalah mereka harus mengikuti salah satu pelajaran agama mayoritas.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...gama_minoritas


Menag Minta Saran MUI Soal Penambahan Agama Resmi Indonesia
Saat ini banyak pemeluk agama-agama lokal yang meminta keadilan agar agama mereka diakui sebagai agama resmi di Indonesia
Rabu, 13 Agustus 2014 - 20:48 WIB

Hidayatullah.com–Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa di Indonesia banyak terdapat agama-agama lokal, seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan lain-lain.

“Banyak agama lokal yang hanya dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia saja, bukan agama internasional,” kata Lukman saat memberi sambutan dalam Halal bi Halal Idul Fitri 1435 H yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Ballroom Hotel Sultan Jakarta, Selasa (12/8/2014) malam.

Menurut Lukman, Negara perlu berlaku adil terhadap keberadaan agama lokal. Menag mengajak pengurus MUI untuk berdiskusi dan menyepakati apakah untuk berlaku adil Pemerintah perlu mengeluarkan keputusan agama-agama lokal itu menjadi agama resmi Indonesia.

“Apakah agama-agama lokal itu perlu diresmikan oleh pemerintah? Nah ini yang perlu disepakati,” jelas Menag.

Lebih lanjut Menag mengatakan bahwa saat ini banyak pemeluk agama-agama lokal yang meminta keadilan agar agama mereka diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
http://www.hidayatullah.com/berita/n...indonesia.html


Menag: Resmi atau Tidak Agama Bukan Otoritas Saya
MINGGU, 27 JULI 2014 | 05:39 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyesali kekeliruan media online dalam memahami pernyataannya di Twitter tentang agama Baha'i di Indonesia. "Distorsinya jauh sekali," kata Lukman kepada Tempo, Sabtu, 26 Juli 2014.

Menurut Lukman, dia tidak memiliki otoritas untuk menyatakan resmi atau tidaknya suatu agama. Ia mencuit di Twitter untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang tanggapannya terhadap pertanyaan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai umat Baha'i.

Beberapa waktu lalu, Lukman menjelaskan, Menteri Gamawan berkirim surat kepadanya sebagai Menteri Agama. Gamawan bertanya, apakah Baha'i benar-benar agama? Gamawan membutuhkan jawaban dari Menteri Agama karena akan memberikan pelayanan administrasi kependudukan.

"Lalu saya katakan, Baha'i benar dari satu agama. Baha'i bukan sekte. Ia agama yang berdiri sendiri," ujar Lukman, menjelaskan jawabannya kepada Gamawan.

Untuk melengkapi jawabannya itu, Lukman memberikan tambahan keterangan, yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Dalam penjelasan UU PNPS itu, dia melanjutkan, mayoritas warga negara Indonesia dinyatakan menganut enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu). Namun, di luar enam agama itu, ada agama dan kepercayaan lain yang dianut warga Indonesia. Dan keberadaan agama ataupun kepercayaan itu tetap dibiarkan hidup selama tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

"Sejumlah media online misleading menanggapi Twitter saya dengan mengatakan saya meresmikan agama baru," ujarnya.

Jawaban itu kemudian disampaikan kepada Menteri Gamawan meski belum ada respons balik. "Mudah-mudahan sejalan dengan saya. Baha'i oleh konstitusi harus dijamin keberadaannya dan dilindungi oleh negara dan pemerintah," ujar Lukman.

Lewat pernyataan di Twitter, Lukman mengaku ingin agahun baru serta hari Raya Galungan atau pun Waisak. ar masyarakat secara bertahap memahami adanya agama Baha'i yang hidup di masyarakat. Umat Baha'i pun berhak hidup setara dengan umat agama lain.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...-Otoritas-Saya




source pic: https://www.cia.gov/library/publicat...k/geos/id.html

----------------------

Kalau seperti kata Menteri Agama (yang menurut penafsirannya) bahwa Negara tidak pernah menyatakan 6 agama itu resmi di NKRI, maka berarti mulai saat ini kita hapuskan saja semua libur hari keagamaan dari agenda kalender Nasional. tak perlu libur selama hari raya Iedul Fithri, Iedul Adha, hari Natal dan tahun Baru, hari raya Nyepi dan Waisak. Setuju?

emoticon-Turut Berduka
Diubah oleh zitizen4r 22-06-2015 15:41
0
13.2K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan