dyanostrobos
TS
dyanostrobos
"Aditya dan Rachel"
Quote:




Aditya

Kepulan asap hitam menari di udara. Tertangkap oleh sudut penglihatan. Di sudut yang lain, sosok Rachelterbaring kaku. Sama sepertiku. Kini, aku tidak lagi merasakan sakit yang begitu hebat di kedua kaki maupun tulang rusukku. Seketika semuanya menghilang dan menjadi gelap.


Jakarta, 12 September 2011

Aku terbangun di suatu ruangan. Yang pertama aku lihat saat membuka mata adalah langit – langit ruangan tersebut, berhiaskan gambar pemandangan langit di siang hari. Cerah. Ruangan ini bukan kamarku, juga bukan salah satu kamar yang ada di Rumah Sakit pada umumnya. Lebih tepatnya ini kamar seorang…..perempuan!

Kepalaku tidak lagi pening. Aku menatap sekeliling ruangan, sambil berusaha mengingat pemilik kamar tempatku berada saat ini. Beruntung. Terdapat beberapa frame foto yang tertata rapi di meja kerja yang berada di sudut ruangan. Aku pun menghampiri. Sekian detik aku tercengang. Ada sosok yang sangat ku kenali, tersenyum manis di dalam potret foto di dalamnya. Senyum yang hanya dimiliki oleh Rachel, tunanganku.

Bila ini kamar Rachel, lalu mengapa aku berada disini?

emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


“Ayah sudah berkali – kali menasehati ibu untuk menghentikan semua ini. Tapi, sedikit pun ibu tidak mau mendengarkan. Seperti ini kan akibatnya.” Suara berat seorang laki – laki terdengar jelas. Aku terdiam mendengarkan percakapan tersebut di balik dinding kaca yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Tak ingin menyela maupun membela salah satu diantaranya. Hanya ingin mendengar dengan seksama.

“Ibu tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Ibu juga tidak mengharapkannya.” Wanita itu terisak. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Ibu hanya ingin yang terbaik untuk Rachel.” ucapnya lirih.

Laki – laki itu menghampiri dan mengusap lembut punggung istrinya. “Sekarang, anak kita satu – satunya tidak sadarkan diri. Ayah tidak rela bila harus kehilangan Rachel.”

Di kesunyian mereka saling merapatkan diri dalam pelukan. Air mata belum juga berhenti mengalir dari wajah ibu Rachel. Sama halnya dengan ayah Rachel. Kegelisahan dan kekhawatiran terlihat jelas dari raut wajahnya.

Perkataan dari ayah Rachel bagaikan tamparan keras untukku. Aku mendapatkan fakta baru bahwa Rachel tidak sadarkan diri. Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Sungguh, aku tidak mengerti dengan rencana – Mu.

emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


Rachel

Tiba – tiba, suara dentuman keras dari arah belakang mobil yang dikendarai oleh Adityamemenuhi seluruh isi kepalaku. Membuat telingaku hampir tuli. Benar saja, suara itu adalah suara terakhir yang aku dengar sebelum akhirnya kami berdua terombang – ambing di dalam mobil dan terhempas keras dari udara. Kepalaku berat. Sekujur tubuhku pun sama. Aku tak kuasa untuk sekedar membuka mata. Kini, semuanya menjadi gelap dan sunyi.


Jakarta, 12 September 2011

Untuk pertama kalinya setelah tertidur cukup lama, aku membuka mata. Hanya warna putih yang terlihat. Tidak ada warna lain. Awalnya, aku kira hal itu hanyalah efek dari kecelakaan yang terjadi kemarin. Namun, aku telah salah. Aku berada di dimensi yang berbeda dengan kehidupanku di dunia nyata. Tempat ini sangat asing. Aku ingin kembali bersama orang tuaku dan juga Aditya.

Di kejauhan aku melihat sebuah celah yang bersinar. Perlahan, aku berjalan mendekatinya. Ajaib. Tubuhku tidak lagi terasa berat. Namun, semakin aku dekati, sinar itu semakin lama menghilang.

emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


Aditya

Jakarta, 13 September 2011

Aku pergi menuju Rumah Sakit dengan menumpang naik mobil keluarga Rachel. Anehnya, mereka tidak menyadari keberadaanku. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada percakapan hangat seperti yang biasa mereka lakukan saat Rachel masih baik – baik saja.

Ruang ICU. Seorang yang sangat aku sayangi terbaring disana. Irama detak jantungnya yang lemah menggema memenuhi ruangan. Jarum infus melilit di kedua tangannya. Serta masker pemberi oksigen, menutupi setengah wajahnya. Namun, Rachel masih saja terlihat cantik. Tidak ada yang berubah seperti saat kami pertama kali bertemu di sebuah café di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

Miris melihat keadaan Rachel seperti ini. Lemah tidak berdaya. Berbeda 180° dengan kesehariannya yang ceria dan selalu bersemangat. Tidak henti – hentinya aku menghakimi diri sendiri. Aku lah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa kami berdua. Ah, seandainya saja malam itu kami tidak jadi pergi menemui Richard. Seandainya saja kontainer besar itu tidak menabrak mobil yang aku kendarai.

Seandainya saja…..

emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


Rachel

Jakarta, 13 September 2011

Aku telah sampai pada titik akhir. Aku berhasil menjangkaunya sebelum akhirnya sinar itu menghilang. Sejujurnya, aku cukup senang karena tidak lagi berada disana. Namun, aku terlambat menyadari bahwa sesungguhnya tempatku berada saat ini semakin menjauhiku dari semua kehidupan di dunia nyata.


emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


Aditya

Jakarta, 13 September 2011

Terdengar suara bising diikuti dengan suara langkah kaki beberapa orang yang lalu – lalang.

“Dokter, kondisi pasien semakin lama melemah…” Samar – samar, kalimat itulah yang aku dengar.

Ayah Rachel bangkit dari tempat duduknya dan membuka sedikit tirai yang membatasi kamar Rachel dengan ruangan di sebelahnya. Penasaran, aku ikut memperhatikan. Dokter maupun suster menutupi penglihatanku untuk melihat wajah pasien itu. Aku sangat terkejut saat mendapati sosok laki – laki yang terbaring di ranjang. Wajahnya, tubuhnya, seluruhnya adalah…..diriku.

emoticon-roseemoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose emoticon-rose


Rachel

Kini, aku telah berada di suatu tempat yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak lagi sendiri. Ada Adityadisebelahku, menggenggam erat jemari tanganku. Seakan tidak ingin berpisah untuk kesekian kalinya. Aditya menatapku. Dari sorot matanya menyiratkan agar aku tidak usah mengkhawatirkan apa yang sebentar lagi akan kami hadapi. Aditya berbisik di telingaku. “Selamanya kita akan tetap bersama..”





Spoiler for Click!:


Quote:
Diubah oleh dyanostrobos 14-02-2016 16:05
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.8K
26
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan