PRIBUMINEWS – Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945 tidaklah berarti konflik di dunia telah selesai dan reda. Tercapai kedamaian dan keadilan secara nyata. Ternyata muncul konflik baru, konflik ideologi antara dua kekuatan raksasa. Blok Timur dipimpin Uni Soviet dan Blok Barat dipimpin Amerika Serikat.

Pertarungan ideologi ini mengakibatkan benturan-benturan politik di berbagai negara. Bahkan dalam bentuknya yang paling ekstrim, terdapat perang saudara terbuka di Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.

Benturan dua kekuatan ideologi dimana setiap negara seakan diharuskan memilih antara ideologi kapitalis atau komunis. Perebutan pengaruh yang sering disebut sebagai ‘perang dingin’. Negara-negara yang belum dewasa kultur dan pengalaman politik modernnya cenderung mengalami ‘kekanak-kanakan ideologi’. Ikut grubyuk dalam pilihan-pilihan absurd tersebut. Seakan memilih diantara dua pilihan tersebut adalah suatu kewajaran dan keharusan.

Kekacauan dunia seiring ‘perang dingin’ ditambah masih terdapatnya penjajahan- penjahan di beberapa belahan dunia lain, menambah kegelisahan para pemimpin dunia yang anti penjajahan. Karena penjajahan adalah Iblis, disaat kita mentoleransi perbuatan Iblis terjadi di ujung dunia lain, maka kita juga harus siap jika suatu saat kejahatan tersebut menimpa kita. Saat kita mentoleransi kejahatan, kitalah yang akan jadi korban selanjutnya.

Sejak tahun 1945 banyak negara-negara di benua Asia dan Afrika telah merdeka. Tapi banyak pula yang masih berusaha, berjuang untuk meraih kemerdekaannya. Seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Vietnam, dan Afrika Selatan. Banyak negara di Asia dan Afrika yang sudah merdeka pun masih menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan, seperti Indonesia tentang Irian Barat. Bangsa India dan Pakistan yang terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka secara paksa diduduki oleh pasukan Israel dengan bantuan Amerika Serikat.

Walaupun ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas menangani permasalahan-permasalahan dunia, tapi tidak begitu ada manfaatnya. Karena organisasi tersebut pun telah terkooptasi oleh kepentingan negara-negara adidaya.

Dan satu hal yang pasti, bahwa masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ‘perang dingin’ dan sisa-sisa penjajahan, paling banyak diderita bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Dari situlah muncul gagasan untuk menyatukan bangsa-bangsa tertindas. Untuk bersatu-padu dalam suatu organisasi, yang gagasan tersebut diawali dengan mengadakan suatu konferensi yang disebut Konferensi Asia-Afrika.

Konferensi penting itu akhirnya berhasil diwujudkan di Bandung. Dihadiri perwakilan dari 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia. Diantaranya adalah PM Jawaharlal Nehru (India) PM U Nu (Myanmar), PM Sir John Kotelawala (Sri Lanka), dan PM Muhammad Ali Bogra (Pakistan).

Presiden Soekarno membuka acara konferensi dengan pidato berbahasa inggris berjudul Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru (Let a New Asia and New Africa Be Born). Membangunkan kesadaran para pemimpin dunia. Mengingatkan bahwa bangsa-bangsa Asia-Afrika belumlah aman. Masih dalam incaran kolonialisme dan imperialisme.

“Tuan-tuan tidak berkumpul di dunia yang damai, yang bersatu, dan yang bekerja bersama. Jurang-jurang besar dan curam mengganggu antara bangsa-bangsa dan golongan bangsa. Dunia kita yang malang ini terpecah belah, dan ternyata rakyat dari semua negeri berada dalam ketakutan, kalau-kalau di luar kesalahan mereka, serigala-serigala peperangan akan lepas lagi dari rantainya.”

“Dan pada hari ini, di dalam gedung ini, berkumpul pemimpin-pemimpin bangsa yang tadi itu. Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat perkakas orang lain, dan bukan lagi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhi. Hari ini, anda datang kesini, sebagai representatif dari bangsa-bangsa yang merdeka. Bangsa yang mampu tegak berdiri menghadapi dunia.”

“Saya katakan kepada anda, kolonialisme belumlah mati. Bagaimana bisa dibilang mati, apabila sebagian daerah di Asia dan Afrika belumlah merdeka,”

“Dan saya minta kepada anda, janganlah berpikir bahwa kolonialisme hanyalah sebentuk penjajajahan seperti yang terjadi pada kami bangsa Indonesia, juga terjadi pada saudara-saudara kita di Asia dan Afrika saat ini. Kolonialisme juga punya bentuknya yang lain, yang lebih modern. Bisa dalam bentuk kontrol akan ekonomi, kontrol intelektualitas, kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk,” terang Soekarno dalam pidatonya.

Konferensi ini menghasilkan sepuluh poin ‘Dasasila Bandung’ yang berisi pernyataan tentang dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia.

Dan akhirnya, konferensi ini juga membawa kepada terbentuknya organisasi Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1961, beranggotakan lebih dari 100 negara yang menganggap dirinya tidak beraliansi dengan blok kekuatan besar manapun. Bertujuan untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok, dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apharteid, zionisme, rasisme, dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik.

Konferensi Asia-Afrika di jaman Soekarno telah menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia pada umumnya. Diharapkan Konferensi Asia-Afrika yang akan datang, pada 18 April nanti, juga memberikan sesuatu hal yang berarti. Bukan sekedar seremonial penghamburan uang negara. Semoga.(Aryo)