- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[berita pengamat] Andai saja mereka jadi Gubernur DKI
TS
dwiasesoris
[berita pengamat] Andai saja mereka jadi Gubernur DKI
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memasuki 100 hari kepemimpinannya dalam mengelola Ibu Kota pada Kamis (26/2/2015). Dalam 100 hari ini, Basuki dinilai kerap melontarkan gagasan-gagasan spontan yang membuat “pusing” bawahannya.
Pengamat Kebijakan Publik, Yayat Supriatna, mengatakan, banyak gagasan baru dari Basuki yang disampaikan secara luas, tetapi belum memiliki konsep yang jelas. Hal ini, menurut dia, akan membingungkan pejabat eselon yang ada di bawahnya untuk mewujudkan gagasan tersebut.
“Ini agak berat karena bawahannya harus tahu maunya gubernur ke mana. Beliau itu banyak mengeluarkan wacana yang spontan, ide-ide yang katakanlah impulsif,” ujar Yayat saat dihubungi, Kamis pagi.
Ia mencontohkan, Basuki pernah melontarkan wacana kendaraan pribadi boleh masuk jalur transjakarta asalkan membayarkan retribusi tertentu. Padahal, konsep tersebut masih mentah dengan konsep implementasi yang masih belum jelas.
“Spontanitas-spontanitas itulah yang membuat yang di bawah itu sulit mengikuti karena banyak hal-hal baru dengan dinamika yang tinggi,” kata dia.
Menurut Yayat, Basuki juga sangat mendominasi kebijakan-kebijakan yang ada di Ibu Kota. Sehingga, kemungkinan gagasan atau kreativitas dari bawahannya belum terlalu tampak. Apalagi dengan gaya kepemimpinan Basuki yang terkesan galak dengan langsung menstafkan pejabat-pejabatan eselon yang melakukan kesalahan. Padahal, bisa jadi itu karena bawahannya akan melakukan sebuah inovasi, namun gagal.
“Jadi ada kemungkinan, bawahan-bawahannya seperti Kepala Dinas, Camat, dan Lurah menjadi takut salah, tidak berani mengambil inisiatif besar jika belum ada arahan gubernur,” kata Yayat.
Yayat juga menilai, ide-ide Basuki seringkali terbentur dengan peraturan-peraturan yang kewenangannya ada di Pemerintah Pusat. Misalnya, soal bantuan bus dari Tahir Foundation untuk mendukung kebijakan pelarangan sepeda motor di ruas jalan tertentu terbentur dengan berat bus yang tidak mencukupi aturan untuk bus tingkat.
“Pak gubernur marah, kenapa yang lain boleh, ini tidak boleh? Jadi ada kemungkinan informasi-informasi terkait aturan ini tidak disampaikan dengan baik ke gubenur karena bawahan-bawahannya takut,” kata Yayat.
Menurut Yayat, dibutuhkan kesabaran dan pemikiran konsep yang matang dari bawahan-bawahan untuk bisa mengimbangi Basuki.
Indikator jelas
Yayat mengatakan, untuk menghindari ketakutan bawahan-bawahannya dalam membuat inovasi, Basuki perlu membuat indikator-indikator yang jelas terkait kinerja. Indikator ini akan membuat penilaian terhadap bawahan menjadi objektif.
“Dengan ada indikator yang jelas, bawahan-bawahan gubernur seharusnya bisa bekerja dengan lebih tenang dan berani membuat gagasan,” ucap Yayat.
Menurut dia, penilaian terhadap kinerja bawahan juga perlu dibuat terbuka dan transparan. Supaya tidak ada asumsi penilaian berdasarkan subjektifitas.
Penghargaan
Selain bersikap tegas, di sisi lain Basuki juga perlu memberikan penghargaan bila kinerja bawahannya memang baik. “Kalau memang ada yang berpretasi seharusnya bisa diangkat dan dijadikan contoh,” kata Yayat.
Peningkatan gaji dinilai Yayat sebagai hal yang baik untuk membuat bawahan-bawahannya semakin termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang baik. Apalagi dengan adanya tunjangan kinerja daerah (TKD) dinamis yang penilaiannya berdasarkan kualitas kinerja pegawai.
“Dengan begitu, bawahan-bawahannya termotivasi untuk terus berinovasi supaya kinerjanya baik,” kata Yayat.
Pengamat Kebijakan Publik, Yayat Supriatna, mengatakan, banyak gagasan baru dari Basuki yang disampaikan secara luas, tetapi belum memiliki konsep yang jelas. Hal ini, menurut dia, akan membingungkan pejabat eselon yang ada di bawahnya untuk mewujudkan gagasan tersebut.
“Ini agak berat karena bawahannya harus tahu maunya gubernur ke mana. Beliau itu banyak mengeluarkan wacana yang spontan, ide-ide yang katakanlah impulsif,” ujar Yayat saat dihubungi, Kamis pagi.
Ia mencontohkan, Basuki pernah melontarkan wacana kendaraan pribadi boleh masuk jalur transjakarta asalkan membayarkan retribusi tertentu. Padahal, konsep tersebut masih mentah dengan konsep implementasi yang masih belum jelas.
“Spontanitas-spontanitas itulah yang membuat yang di bawah itu sulit mengikuti karena banyak hal-hal baru dengan dinamika yang tinggi,” kata dia.
Menurut Yayat, Basuki juga sangat mendominasi kebijakan-kebijakan yang ada di Ibu Kota. Sehingga, kemungkinan gagasan atau kreativitas dari bawahannya belum terlalu tampak. Apalagi dengan gaya kepemimpinan Basuki yang terkesan galak dengan langsung menstafkan pejabat-pejabatan eselon yang melakukan kesalahan. Padahal, bisa jadi itu karena bawahannya akan melakukan sebuah inovasi, namun gagal.
“Jadi ada kemungkinan, bawahan-bawahannya seperti Kepala Dinas, Camat, dan Lurah menjadi takut salah, tidak berani mengambil inisiatif besar jika belum ada arahan gubernur,” kata Yayat.
Yayat juga menilai, ide-ide Basuki seringkali terbentur dengan peraturan-peraturan yang kewenangannya ada di Pemerintah Pusat. Misalnya, soal bantuan bus dari Tahir Foundation untuk mendukung kebijakan pelarangan sepeda motor di ruas jalan tertentu terbentur dengan berat bus yang tidak mencukupi aturan untuk bus tingkat.
“Pak gubernur marah, kenapa yang lain boleh, ini tidak boleh? Jadi ada kemungkinan informasi-informasi terkait aturan ini tidak disampaikan dengan baik ke gubenur karena bawahan-bawahannya takut,” kata Yayat.
Menurut Yayat, dibutuhkan kesabaran dan pemikiran konsep yang matang dari bawahan-bawahan untuk bisa mengimbangi Basuki.
Indikator jelas
Yayat mengatakan, untuk menghindari ketakutan bawahan-bawahannya dalam membuat inovasi, Basuki perlu membuat indikator-indikator yang jelas terkait kinerja. Indikator ini akan membuat penilaian terhadap bawahan menjadi objektif.
“Dengan ada indikator yang jelas, bawahan-bawahan gubernur seharusnya bisa bekerja dengan lebih tenang dan berani membuat gagasan,” ucap Yayat.
Menurut dia, penilaian terhadap kinerja bawahan juga perlu dibuat terbuka dan transparan. Supaya tidak ada asumsi penilaian berdasarkan subjektifitas.
Penghargaan
Selain bersikap tegas, di sisi lain Basuki juga perlu memberikan penghargaan bila kinerja bawahannya memang baik. “Kalau memang ada yang berpretasi seharusnya bisa diangkat dan dijadikan contoh,” kata Yayat.
Peningkatan gaji dinilai Yayat sebagai hal yang baik untuk membuat bawahan-bawahannya semakin termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang baik. Apalagi dengan adanya tunjangan kinerja daerah (TKD) dinamis yang penilaiannya berdasarkan kualitas kinerja pegawai.
“Dengan begitu, bawahan-bawahannya termotivasi untuk terus berinovasi supaya kinerjanya baik,” kata Yayat.
Punya Atasan seperti Ahok Bikin Pusing Bawahan
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dianggap tidak mengerti akar masalah banjir yang melanda Jakarta setiap tahunnya. Pria yang kerap disapa Ahok itu pun mengingkari janji bahwa banjir di Jakarta akan surut hanya dalam waktu satu hari.
"Yang dijanjikan dalam waktu satu hari genangan air akan hilang, bahkan kenyataannya lebih dari empat hingga lima hari air tidak hilang. Berarti kan di sini ada sistem yang tidak bekerja," ujar pengamat perkotaan, Nirwono Joga, Rabu (25/2/2015).
Joga menilai, Basuki menganggap banjir di Jakarta sama dengan banjir tahun kemarin. Namun, kondisinya berbeda. Banjir tahun 2014 disebabkan oleh hal eksternal, seperti curah hujan yang tinggi di daerah hulu, seperti Bogor dan sekitarnya, sehingga ada banjir kiriman dan efek bulan purnama mengakibatkan rob yang cukup tinggi.
Bahkan, Basuki menyamakan banjir di Jakarta dalam keadaan darurat apabila banjir di Kampung Pulo sudah parah. Padahal, sebut Joga, banjir beberapa waktu kemarin tidak merendam Kampung Pulo, malahan tempat lain seperti perumahan-perumahan mewah yang seharusnya jadi tempat peresapan air. (Baca: "Hadiah" 100 Hari Gubernur Ahok)
"Kampung Pulo yang biasa banjir justru aman kan. Statement Pak Ahok soal Kampung Pulo itu menunjukkan tidak bisa membedakan banjir 2014 dengan 2015," tambah dia.
Joga menyayangkan bahwa selama 100 hari pemerintahannya, Basuki terkesan tidak berdaya menghadapi pihak developer dan perusahaan properti besar di Jakarta. Padahal, dengan maraknya pembangunan yang dilakukan terus-menerus, Jakarta semakin kehilangan daerah peresapan air. Maka, banjir Jakarta kemarin disebut Joga sebagai konsekuensi logis dari perubahan tata ruang.
Ketegasan Basuki mengontrol pembangunan di Jakarta juga ikut dipertanyakan. Sampai kapan pembangunan akan menyasar daerah-daerah peresapan air dan sampai kapan ruang terbuka hijau (RTH) dipangkas terus-menerus? "Itu menunjukkan Pemprov DKI belum siap untuk mengatasi banjir. Kalau saya kasih nilai, cuma 6," kata Joga.
"Yang dijanjikan dalam waktu satu hari genangan air akan hilang, bahkan kenyataannya lebih dari empat hingga lima hari air tidak hilang. Berarti kan di sini ada sistem yang tidak bekerja," ujar pengamat perkotaan, Nirwono Joga, Rabu (25/2/2015).
Joga menilai, Basuki menganggap banjir di Jakarta sama dengan banjir tahun kemarin. Namun, kondisinya berbeda. Banjir tahun 2014 disebabkan oleh hal eksternal, seperti curah hujan yang tinggi di daerah hulu, seperti Bogor dan sekitarnya, sehingga ada banjir kiriman dan efek bulan purnama mengakibatkan rob yang cukup tinggi.
Bahkan, Basuki menyamakan banjir di Jakarta dalam keadaan darurat apabila banjir di Kampung Pulo sudah parah. Padahal, sebut Joga, banjir beberapa waktu kemarin tidak merendam Kampung Pulo, malahan tempat lain seperti perumahan-perumahan mewah yang seharusnya jadi tempat peresapan air. (Baca: "Hadiah" 100 Hari Gubernur Ahok)
"Kampung Pulo yang biasa banjir justru aman kan. Statement Pak Ahok soal Kampung Pulo itu menunjukkan tidak bisa membedakan banjir 2014 dengan 2015," tambah dia.
Joga menyayangkan bahwa selama 100 hari pemerintahannya, Basuki terkesan tidak berdaya menghadapi pihak developer dan perusahaan properti besar di Jakarta. Padahal, dengan maraknya pembangunan yang dilakukan terus-menerus, Jakarta semakin kehilangan daerah peresapan air. Maka, banjir Jakarta kemarin disebut Joga sebagai konsekuensi logis dari perubahan tata ruang.
Ketegasan Basuki mengontrol pembangunan di Jakarta juga ikut dipertanyakan. Sampai kapan pembangunan akan menyasar daerah-daerah peresapan air dan sampai kapan ruang terbuka hijau (RTH) dipangkas terus-menerus? "Itu menunjukkan Pemprov DKI belum siap untuk mengatasi banjir. Kalau saya kasih nilai, cuma 6," kata Joga.
Ahok Dianggap Tidak Mengerti Penanganan Banjir Jakarta
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Pertengkaran yang terjadi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan DPRD DKI terus berlanjut. Puncaknya saat ini, ketika DPRD DKI mengajukan hak angket untuk menyelidiki kebijakan Basuki yang menyerahkan draf APBD bukan hasil pembahasan dengan DPRD DKI kepada Kemendagri.
Ketidakharmonisan DPRD DKI dengan Gubernur DKI ini memunculkan pertanyaan, sampai kapan legislatif dengan eksekutif ini bertengkar? Apakah akan terus seperti ini sampai ujung masa pemerintahan Basuki sebagai gubernur pada 2017 nanti?
"Menurut saya, dengan keadaan yang sekarang, akan terus seperti ini. Ahok akan terus menghadapi kepentingan politik yang beragam dari DPRD. Ditambah gaya komunikasi politik Ahok. Saya prediksi sampai tahun 2017 akan terus seperti ini," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, kepada Kompas.com, Kamis (26/2/2015).
Emrus menilai, Basuki adalah sosok yang terbuka dan berani. Kata Emrus, Basuki itu berani karena dia jujur. Basuki atau Ahok tidak mau kompromi sama sekali dengan apa yang dia anggap benar atau salah.
Sikap Basuki ini bagus, namun membuat banyak tokoh politik tidak menyukainya. Emrus mengatakan, Ahok sadar harus mempertahankan integritasnya. Jika tidak, lawan politik akan langsung menggunakan kesalahan Ahok untuk menyerang.
Emrus memuji semua sikap itu. Akan tetapi, Emrus mencatat ada satu hal yang menjadi kelemahan Ahok, yaitu mengenai cara Ahok bertutur kata. "Misalnya kata 'bajingan'. Seorang pemimpin tidak hanya sekedar kejujuran saja tapi juga pilihan katanya. Karena dia seorang leader. Di situlah saya pikir kelemahan Ahok yang luar biasa," ujar Emrus.
Emrus mengatakan, satu-satunya solusi agar hubungan Ahok dengan DPRD DKI membaik adalah dengan mempelajari etika berkomunikasi yang baik. Emrus yakin, segala persoalan dengan DPRD DKI, termasuk soal anggaran, tidak akan menjadi seperti ini jika Ahok menjaga ucapannya.
Gejolak antara Ahok dan DPRD DKI akan mereda, meski banyak perbedaan pendapat. Jika Ahok lebih menjaga dalam berkata, menurut Emrus, dukungan para tokoh politik pun semakin meningkat. "Satu-satunya jalan adalah Ahok belajar etika komunikasi. Agar gejolak ini berkurang. Karena programnya dia itu bagus," ujar Emrus.
Ketidakharmonisan DPRD DKI dengan Gubernur DKI ini memunculkan pertanyaan, sampai kapan legislatif dengan eksekutif ini bertengkar? Apakah akan terus seperti ini sampai ujung masa pemerintahan Basuki sebagai gubernur pada 2017 nanti?
"Menurut saya, dengan keadaan yang sekarang, akan terus seperti ini. Ahok akan terus menghadapi kepentingan politik yang beragam dari DPRD. Ditambah gaya komunikasi politik Ahok. Saya prediksi sampai tahun 2017 akan terus seperti ini," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, kepada Kompas.com, Kamis (26/2/2015).
Emrus menilai, Basuki adalah sosok yang terbuka dan berani. Kata Emrus, Basuki itu berani karena dia jujur. Basuki atau Ahok tidak mau kompromi sama sekali dengan apa yang dia anggap benar atau salah.
Sikap Basuki ini bagus, namun membuat banyak tokoh politik tidak menyukainya. Emrus mengatakan, Ahok sadar harus mempertahankan integritasnya. Jika tidak, lawan politik akan langsung menggunakan kesalahan Ahok untuk menyerang.
Emrus memuji semua sikap itu. Akan tetapi, Emrus mencatat ada satu hal yang menjadi kelemahan Ahok, yaitu mengenai cara Ahok bertutur kata. "Misalnya kata 'bajingan'. Seorang pemimpin tidak hanya sekedar kejujuran saja tapi juga pilihan katanya. Karena dia seorang leader. Di situlah saya pikir kelemahan Ahok yang luar biasa," ujar Emrus.
Emrus mengatakan, satu-satunya solusi agar hubungan Ahok dengan DPRD DKI membaik adalah dengan mempelajari etika berkomunikasi yang baik. Emrus yakin, segala persoalan dengan DPRD DKI, termasuk soal anggaran, tidak akan menjadi seperti ini jika Ahok menjaga ucapannya.
Gejolak antara Ahok dan DPRD DKI akan mereda, meski banyak perbedaan pendapat. Jika Ahok lebih menjaga dalam berkata, menurut Emrus, dukungan para tokoh politik pun semakin meningkat. "Satu-satunya jalan adalah Ahok belajar etika komunikasi. Agar gejolak ini berkurang. Karena programnya dia itu bagus," ujar Emrus.
Mau Sampai Kapan Ahok dan DPRD DKI Bertengkar?
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebut banjir di tahun 2015 ini bergantung pada peran pompa air. Namun pengamat perkotaan Nirwono Joga berpandangan berbeda.
Menurut dia, yang sebenarnya terjadi adalah genangan-genangan lokal akibat drainase yang buruk. "Saya garis bawahi, banjir kemarin tidak banyak sangkut pautnya dengan pompa. Ini terkait dengan genangan lokal sebenarnya. Tidak ada sungai dan waduk yang meluap," kata Nirwono Joga, Rabu (25/2/2015).
Hal-hal yang membuktikan bahwa pompa tidak berperan banyak adalah tidak banyak air mengalir ke pantai utara Jakarta. Peristiwa yang terjadi adalah air tergenang di kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air, namun berubah fungsi menjadi tempat lain, seperti permukiman.
Joga menilai, beberapa daerah yang terkena banjir cukup parah adalah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Ketiga wilayah itu dianggap memiliki drainase yang sangat buruk. Tidak mengherankan, bila banjir di ketiga wilayah tersebut lebih lama surut dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Joga juga tidak sepandangan dengan Ahok yang mengatakan ukuran darurat banjir di Jakarta adalah kawasan Kampung Pulo. Menurut Joga, Ahok tidak mengerti dan tidak bisa membedakan karakteristik banjir tahun ini dengan tahun sebelumnya.
Tahun 2014, banjir disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor banjir kiriman dari Bogor dan sekitarnya, hujan lebat di daerah Kampung Pulo dan Bidara Cina, serta ditambah dengan terjadinya bulan purnama yang mengakibatkan rob tinggi di pantai utara Jakarta. Jika mendapat banjir kiriman, kemungkinan besar air di sungai akan meluap.
"Makanya enggak bisa bilang Kampung Pulo belum banjir. Orang-orang di sana marah kan waktu dengar Pak Gubernur bilang begitu. Tapi dari sini jelas terlihat kalau banjir tahun ini terjadi di tempat-tempat yang drainasenya buruk," tambah Joga.
Menurut Joga, jika indikator banjir Jakarta dari banjir di Kampung Pulo yang meluap, maka pemerintah provinsi (Pemprov) DKI akan menggunakan alasan banjir kiriman. Namun banjir 2015 ini tidak ada banjir kiriman sehingga semua banjir yang terjadi menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pemprov DKI.
Menurut dia, yang sebenarnya terjadi adalah genangan-genangan lokal akibat drainase yang buruk. "Saya garis bawahi, banjir kemarin tidak banyak sangkut pautnya dengan pompa. Ini terkait dengan genangan lokal sebenarnya. Tidak ada sungai dan waduk yang meluap," kata Nirwono Joga, Rabu (25/2/2015).
Hal-hal yang membuktikan bahwa pompa tidak berperan banyak adalah tidak banyak air mengalir ke pantai utara Jakarta. Peristiwa yang terjadi adalah air tergenang di kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air, namun berubah fungsi menjadi tempat lain, seperti permukiman.
Joga menilai, beberapa daerah yang terkena banjir cukup parah adalah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Ketiga wilayah itu dianggap memiliki drainase yang sangat buruk. Tidak mengherankan, bila banjir di ketiga wilayah tersebut lebih lama surut dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Joga juga tidak sepandangan dengan Ahok yang mengatakan ukuran darurat banjir di Jakarta adalah kawasan Kampung Pulo. Menurut Joga, Ahok tidak mengerti dan tidak bisa membedakan karakteristik banjir tahun ini dengan tahun sebelumnya.
Tahun 2014, banjir disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor banjir kiriman dari Bogor dan sekitarnya, hujan lebat di daerah Kampung Pulo dan Bidara Cina, serta ditambah dengan terjadinya bulan purnama yang mengakibatkan rob tinggi di pantai utara Jakarta. Jika mendapat banjir kiriman, kemungkinan besar air di sungai akan meluap.
"Makanya enggak bisa bilang Kampung Pulo belum banjir. Orang-orang di sana marah kan waktu dengar Pak Gubernur bilang begitu. Tapi dari sini jelas terlihat kalau banjir tahun ini terjadi di tempat-tempat yang drainasenya buruk," tambah Joga.
Menurut Joga, jika indikator banjir Jakarta dari banjir di Kampung Pulo yang meluap, maka pemerintah provinsi (Pemprov) DKI akan menggunakan alasan banjir kiriman. Namun banjir 2015 ini tidak ada banjir kiriman sehingga semua banjir yang terjadi menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pemprov DKI.
Pengamat: Banjir 2015 Tak Banyak Berurusan dengan Pompa
daripada bapak-bapak PENGAMAT TERHORMAT ini hanya bisa berceloteh di media tanpa bisa mewujudkan celotehannya.
Bagaimana kalau kita usulkan mereka jadi CAGUB DAN CAWAGUB DKI mendatang?
Diubah oleh dwiasesoris 26-02-2015 07:13
0
1.7K
Kutip
2
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan