sazabi75Avatar border
TS
sazabi75
Laks ‘Cokot’ Megawati
JAKARTA (Surabaya Pagi) – Setelah mantan Wapres Boediono disebut-sebut sebagai tersangka skandal Bank Century, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengincar tersangka pembobol dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 147,7 triliun. Pengakuan mengejutkan datang dari mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi yang diperiksa KPK selama 8 jam, Rabu (10/12) kemarin. Ini terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI, yang berujung pada penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sejumlah obligor oleh Kejaksaan Agung. Laksamana yang merupakan mantan politisi PDIP ini menyebut bahwa penerbitan SKL itu atas perintah Megawati, presiden kala itu. Akankah Ketua Umum PDIP ini akan diperiksa KPK?

Kata Laks—panggilan Laksamana Sukardi--, penerbitan SKL BLBI hanya untuk para obligor yang koperatif dan sepakat melunasi utang kewajiban pemegang saham. Menurutnya, penerbitan SKL juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 mengenai Program Pembangunan Nasional (Propenas). "Dalam UU Propenas dijelaskan harus diberikan insentif agar mereka bagi yang kooperatif. Bagi yang tidak kooperatif ya harus diserahkan pada proses hukum," ujar Sukardi usai diperiksa di KPK, semalam.

Selain itu, lanjut dia, penerbitan SKL tersebut sesuai dengan instruksi presiden saat itu Megawati Soekarnoputri, yakni Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang bersumber dari ketatapan MPR Nomor 10 tahun 2001. "Semuanya adalah out of core statement pemberian kepastian hukum kepada obligor. Memang obligor yang telah memenuhi kewajiban pemegang saham yang membayar itu harus diberikan kepastian hukum karena dia mau menandatangani perjanjian," lanjut dia.

Namun, kata dia, ada sekitar delapan atau sembilan obligor yang ternyata melarikan ke luar negeri dan tidak membayar utang mereka. "Ada juga obligor yang lari yang tidak mau menandatangani apa-apa. Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas," tukas Laks yang keluar dari PDIP lantas mendirikan partai baru bernama Partai Demokrasi Pembaruan bersama-sama pengusaha Arifin Panigoro.

Untuk diketahui, SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3. Belakangan diketahui bahwa perilaku debitur BLBI diduga penuh tipu muslihat. Debitur BLBI mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN.

Namun saat aset-aset itu dilelang BPPN dengan harga sangat murah, para obligor membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan miliknya di luar negeri. Aset tetap dikuasai debitur, sementara debitur bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI. Sementara berdasarkan audit BPK, akibat penerbitan SKL kepada para obligor BLBI itu, negara rugi mencapai Rp 138 triliun. Kerugian itu berasal dari para obligor yang belum memenuhi kewajiban utangnya tapi sudah diberikan SKL.

Selain itu, Laks juga mengaku dicecar soal penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim yang saat itu sebagai pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Bank ini merupakan salah satu bank penerima kucuran dana BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Dalam perkembangannya, BDNI ternyata masih masih memiliki tunggakan Rp 4,758 triliun. Sjamjul bersama debitur BLBI lainnya mengaku tak mampu lagi mengembalikan dana BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN. Selain itu, Sjamsul Nursalim juga terkenal dengan perusahaannya, PT Gajah Tunggal yang bergerak pada bisnis ban. "Saya juga diminta melengkapi informasi-informasi masih dalam pendalaman, jadi masalah SKLnya obligor Sjamsul Nursalim," ujar Laks.

Mengenai kerugian Rp 138 triliun, mantan Menteri BUMN era Presiden Megawati ini menolak berkomentar. "Sudahlah, itu sudah lagu lama‎. Nantilah itu," kelit Laksamana.

Terkait sembilan obligor BLBI yang kabur ke luar negeri, Laks mengatakan KPK akan menyelidiki sembilan obligor dana BLBI yang menerima SKL tapi melarikan diri ke luar negeri. Mereka ini sangat penting diperiksa KPK terkait penerbitan SKL tersebut. "Ada beberapa yang mungkin, ada delapan sampai sembilan orang ternyata lari. Tapi sekarang sudah kembali semua. Kita mendalami banyak hal, terutama proses pemberian SKL tersebut," ungkapnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan pihaknya terus melengkapi bukti terkait penerbitan SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kasus tersebut hingga kini masih dalam penyelidikan. "Kalau ada informasi, kita masukkan saja. Barangkali bisa memperkuat buktinya," ujarnya.

Menurutnya, KPK telah melayangkan surat pencegahan bepergian ke luar negeri atas nama Lusiana Yanti Hanafiah ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Yanti adalah seorang swasta dicegah selama enam bulan. Ketika ditanya apakah itu tanda bahwa KPK akan menaikkan kasus tersebut ke penyidikan, Zulkarnain mengatakan belum. "Itu di penyelidikan. Itu kita dalami dulu," tukas dia.

Obligor Buron

Setelah buron 11 tahun, Adrian Kiki, terpidana seumur hidup kasus BLBI, berhasil ditangkap di Australia, masih ada 21 buronan BLBI lainnya. Berdasarkan situs resmi Kejaksaan Agung, menurut hasil audit BPK, potensi kerugian negara dari BLBI mencapai Rp 138,4 triliun atau 95,7% dari total dana BLBI yang dikucurkan BI sebesar Rp 147,7 triliun ke 48 bank, pada 29 Januari 1999. Di antara 21 nama buronan tersebut, tercatat nama Samadikun Hartono, tersangka kasus BLBI di Bank Modern yang merugikan negara Rp 80 miliar. Dia melarikan diri ke Singapura.

Terpidana yang lain Bambang Sutrisno, terkait kasus BLBI Bank Surya, merugikan negara sekitar Rp 1,5 triliun. Oleh pengadilan, Bambang divonis penjara seumur hidup. Bambang diduga melarikan diri ke Singapura dan Hong Kong.

Daftar terpidana lain adalah Eko Adi Putranto, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.

Agus Anwar, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Pelita. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp. 1,9 triliun. Saat melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. n jk/rm

http://www.surabayapagi.com/index.php?6b8322598084e8feedafac732577f01702fe5daeb257964154430c1aa7903e95

Wartawan gimana sih masak banteng nyokot yang benar sruduk. Lagian apa bisa kasus ini jalan kan banteng lsekarang berkuasa
0
1.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan