ravhadaAvatar border
TS
ravhada
Real Story : I Missing Piece


[URL="https://S E N S O Rmargaretswan/a-thousand-year"]Thousand Year-Christina Perri[/URL]

note : *dengarkan dan di ulang sampai tulisan ini selesai pada setiap kata yang di baca*

PART 1- START

“Va, gue cabut duluan ya. Jangan sampai lupa lo jadi manusia,” ujar Edrick, teman hang out-ku, dengan nada meledek sambil terkekeh.

“Oke deh, take care, bro, i’ll do,” balasku singkat, tidak menanggapi gurauannya. Aku tetap fokus di depan layar Laptop-ku untuk mengerjakan beberapa bit saham yang harus ku pantau. Kemudian terdengar langkah kaki yang melangkah bergantian, disusul suara pintu terbuka, tertutup, lalu hening.

Aku melirik ke layar pojok bawah kanan laptop untuk melihat waktu. Pukul enam. Masih sore, pikirku. Suasana sangat hening, aku jadi merasa iseng dan tergerak untuk mendengarkan lagu. Aku memasang earphone, lalu mendengarkan lagu dari playlist winamp dan memutarnya secara acak.

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid, I have loved you
For a thousand year
I’ll love you for a thousand more.

Kedua mataku yang sedang bahu membahu memantau laporan saham seketika terhenti. Oh, otakku baru benar-benar mencerna lagu yang kudengarkan. Keningku mengernyit. Aku ragu, antara melepas earphone atau menekan tombol next untuk mengganti lagu. Kedua pilihan yang menyelamatkanku dari lagu Thousand year milik Christina Perri.

Entah itu hanya sekedar hipotesis penelitian atau memang fakta, bahwa sebuah lagu dapat mengantarkan alam bawah sadar kita menjelajahi kenangan yang sudah lama dilupakan. Dan aku awalnya memilih untuk tidak mempercayainya, tetapi…, ya, mau bagaimana lagi, itu memang benar adanya.

Dear memories, go fuck yourself.

Aku berdiri dan memandang ke seluruh sisi kamar ku. Sudah sepi, tidak ada seorang lain lagi di ruangan ini selain aku dan kenangan ini. Baiklah. Aku duduk kembali di kursi dengan posisi kepala menengadah. Aku tidak melepas earphone dari telinga atau mendengarkan lagu lain. Aku memilih mendengarkan lagu itu hingga detik terakhir sambil memejamkan mata. Kebetulan aku sedang merindukan bagian melodi pada lagu itu. Ya, bisa dibilang lagu itu berjasa menemaniku pulang dari sebuah perjalanan panjang. Berkat lagu itu pula aku jadi mengetahui sebuah hal yang mungkin tidak atau belum dirasakan orang-orang yang sedang berjuang mendapatkan dan mempertahankan cintanya.

Mengenang itu tidak ada salahnya, kan? Sekadar mengingatkan bahwa ternyata sehancur apa pun kita di masa lalu, toh, kita akhirnya mampu bangkit lagi dengan cerita baru yang lebih penuh warna.

Dan ada kalanya masa lalu diingat untuk ditertawakan.

If you love me, why’d you leave me?

“Tulus dan tolol itu memiliki perbedaan tipis, atau mungkin tercipta sebagai saudara. Kau percaya?”

***

Lampu merah dan sinar lampu mobil pukul delapan malam bersinar termaram kala itu. Menembus kaca pandang mobil Toyota Yaris keluaran lama yang kukendarai. Hujan turun deras. Bulir-bulirnya menempel di kaca pandang dan menjadi embun, sedikit menghalangi pandanganku. Debam suara petir memantak di langit, diperantarai udara hingga bunyinya sampai ke telingaku. Aku mengemudikan dengan kecepatan sedang, 40 kilometer per jam. Dahiku berkeringat, padahal dingin udara AC yang menguar dari dashboard mobil mampu menusuk ketebalan semi jas yang ku gunakan.

Lagu Christina Perri – Thousand year terputar otomatis ketika aku menyalakan mp3 mobil dengan mode shuffle. Aku menggebrak pelan stir mobil dengan tangan kanan. Tidak, aku tidak sedang kesal karena terjebak di tengah kemacetan. Tetapi karena isi kepalaku sangat riuh dengan sebuah nama yang harus segera kuusir paksa dari pikiran, dan tentunya, hati. Ditambah dengan makna lirik lagu ini yang membuatku merutuki diri dan bersumpah tidak akan mengenang lagi.

Satu per satu momen-momen di ingatanku berkelebatan, beriringan dengan musik lagu itu. Seperti jutaan film hitam-putih yang berputar di dalam waktu yang bersamaan, merudapaksa kesadaranku. Musik pada lagu itu mengajakku berdansa bersama kenangan yang hadir. Menindih dadaku hingga aku hampir lupa caranya bernapas. Aku harus tetap menjaga kesadaran demi perjalanan pulang hingga sampai di rumah. Aku tidak dapat berbohong bahwa sekarang aku sedang sekarat menghadapi kenyataan yang begitu perih.

Via, seandainya saja kamu…

Sungguh, aku tidak ingin hidupku berakhir tragis di jalanan hanya karena patah hati dengan menabrak bahu jalan atau mobil lain yang tidak berdosa. Tetapi apa daya, pengelihatanku mulai memburam oleh air mata. Aku pasrah. Semoga saja Tuhan masih menyayangi diriku dan malaikat berbelas kasih untuk mengundur waktu jadwal pencabutan nyawaku. Aku tidak ingin mati konyol. Patah hati bukanlah akhir dari segalanya.

Tiiiiiiiiinnnn… Klakson mobil di belakangku terdengar nyaring memaki.

“WOI bodoh! LO CARI MATI YA BAWA MOBIL SAMBIL MABOK!” teriak seorang pria dengan kasar dari samping kananku sambil membuka setengah jendela mobilnya. Aku tidak menjawab, hanya membuka jendela sesaat dan mengangkat telapak tangan. Memberikan isyarat permintaan maaf.

Akhirnya kuputuskan untuk menepikan mobil ke pinggir jalan hingga hujan reda. Terlalu berbahaya jika aku melanjutkan perjalanan dengan keadaan kacau. Setelah mobil menepi, aku memundurkan posisi jok kemudi, lalu merebahkan diri. Aku mengusap wajah, kemudian melihat ke jok sebelahku. Membayangkan kehadiran sosok seseorang. Seseorang yang selama ini kukejar, kuperjuangkan dan kuharapkan menemaniku sampai renta.

When you said your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone without you by my side

Gigiku bergemertak menahan tubuh yang menggigil layaknya orang sakau. Aku mulai meracau, berteriak di tengah suara deras hujan dan petir yang meledak bersahut-sahutan.

Aku harus melupakanmu.

***

“Via, aku sudah di jalan, kamu siap-siap aku akan mengajakmu kencan malam ini” jelasku lewat telepon sambil bersiap siap.

“Oke, kamu nanti langsung masuk aja kerumah, aku mandi dulu” ucap Via dari sebrang sana.

“Siap, non. Love you.”

“Love you too.”

Tut. Sambungan terputus.

Via, salah satu gadis cantik yang pernah kutemui. Mustahil bila laki-laki normal tidak jatuh cinta padanya jika sudah mengenal dekat. Aku mengenalnya pertama kali berkat Putra, sahabatku. Tadinya hanya sekedar berkenalan, tidak pernah terpikir untuk mendekati gadis itu, apalagi jatuh cinta padanya. Semua terjadi begitu saja. Seperti yang sudah diatur oleh Tuhan.

Kala itu Via menjadi teman di dalam acara ospek sekolah. Aku datang ke kelas yang salah, yang ternyata di kelas ini lah Via berada. Beberapa hari ospek ini, ia sangat sibuk mengurusi ini-itu. Aku menawarkan diri untuk membantunya dan menawarkan tumpangan untuk mengantarkan pulang. Tadinya Via sempat enggan karena tak ingin merepotkan, tetapi melihatnya yang sepertinya sangat kualahan, aku justru memaksanya hingga ia menyetujui. Dan rencana pun berubah semula hanya mengantarkan pulang, akhirnya aku dan Via makan siang dan menonton salah satu film di Bioskop Serpong. Aku dan Via banyak berbincang dan sampai pada topik yang menarik, yang baru ku tahu ternyata ia mempunyai cita-cita sebagai seorang Entertainment.

Tak terasa aku dan Via sudah jalan hampir 30bulan. Dan cita-citanya hampir di katakan tercapai. Aku menemani Via di setiap acara kegiatan nya. Mengecek perlengkapan make up-nya. Menemaninya make up, seperti asisten pribadinya. Dan sampai acara berlangsung, aku malah merasa inilah liburan yang kubutuhkan, Menikmati waktu bersama Via, memperhatikan tiap detil gadis itu dan mengenalnya lebih jauh. Tidak lagi peduli dengan tujuanku. Via adalah gadis yang sangat sempurna, terserah bila orang lain menganggapku hiperbola. Wajahnya cantik, Chelsea Islan versi ku –Via selalu cemberut bila aku meledeknya dengan mengatakan ‘Kok, Makin pendek?’. Kulitnya putih susu. Rambut panjang agak curly hitam kecoklatannya. Suaranya lembut, memanjakan setiap telinga yang mendengar. Bibirnya yang tipis dan selalu terlihat merona merah basah, menawan setiap mata dengan cara bicaranya yang anggun. Senyumnya, oh astaga, kurasa malaikat pun gugup bila melihatnya.

Sikap Via yang tidak manja, ramah, dan rendah hati itu yang menambah kesempurnaannya. Tidak membuat lawan bicara merasa terintimidasi secara fisik, terlebih bila sesama perempuan. Ia baik terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Beda seperti gadis cantik kebanyakan yang terkadang suka melirik dari atas ke bawah lawan bicaranya terlebih dahulu.

Bila disandingkan denganku? Ah, aku hanya seorang pria biasa. Tidak tampan dan juga kaya raya. Jika aku berjalan dengan Via, kurasa orang memandang sebelah mata. ‘Ceweknya cakep, tapi cowoknya kayak spanduk pecel gitu. Buluk.’

Tetapi aku percaya cinta terlahir ketika harapan perjuangkan, saat harapan itu diberi kesempatan untuk membuka pintu hati seseorang. Itulah yang kulakukan.

Setelah acara selesai, aku baru benar-benar mengetahui kesibukan Via yang pergi dari satu studio ke studio lainnya sebagai model dalam produk maupun portofolio atau pun bertemu dengan produser hanya untuk membicarakan film yang akan segera rilis. Dan untungnya kantorku fleksibel, aku bisa merapel deadline untuk mendapatkan izin libur sehingga bisa menemani Via bekerja. Ia pun tidak menolak ditemani olehku bahkan terlihat bersemangat. Dari setiap studio, taman, bahkan sudah berapa gedung yang ku datangi dan kota lainnya telah kulalui. Berangkat mobil dengan kemacetan, sungguh, aku selalu senang dengan perjalanan itu demi menemani Via. Menikmati waktu bersamanya di sela-sela pekerjaannya yang sibuk. Entah, aku lupa berapa event yang sudah ku jumpai untuk menemaninya.

Namun, aku masih ingat betul beberapa detil kebersamaan bersama Via yang hingga detik ini belum bisa terlupa. Menyusul nya ke Yogyakarta demi sebuah rindu, Keliling Yogyakarta dengan menggunakan Becak maupun Andong. Makan malam bersama di sebuah angkringan di Alun-alun selatan kota Yogyakarta. Saat itu Via bilang sedang diet, tapi aku membujuknya untuk tetap makan. Awalnya ia menolak, tetapi ujung-ujungnya ia kalap menyambar sate telur, sosis, ati ayam, dan nasi kucing tanpa memedulikan jumlahnya sampai ia kekenyangan dan tidak bisa berdiri. Kami makan sambil tertawa, melepas penat seharian dan membicarakan banyak hal. Hingga tanpa terasa waktu menuju pagi. Aku berjalan menyusuri malam nya kota Yogya bersama Via.

Satu lagi, ketika pulang dari Yogyakarta, di dalam kereta menuju arah Jakarta, kami duduk bersebelahan. Via tampak lelah sekali saat itu. Ia bersandar di bahu dan menggenggam tanganku.

“Kamu tidur aja, Via.”

“Ah nggak mau, nanti pas aku pules, kamu ninggalin aku.”

“Enggaklah, masa sih aku sejahat itu.”

“Ya siapa tau –” Via tidak meneruskan kalimatnya, ia terlelap. Aku tersenyum dan menatap ke arah jendela, melihat langit biru yang luas hingga bosan, lalu diam-diam mengecup kening gadis itu dan menyusulnya terlelap.

Sesampainya di Jakarta, seperti biasa aku menjalani aktivitas. Namun hidupku tidak statis lagi. Aku tidak duduk diam di hadapan layar laptop seperti robot dari pagi hingga malam. Sesekali aku terhenti untuk berbalas pesan dengan Via, atau menelponnya dan tak lupa menemaninya setiap ada event. Temanku yang melihat perubahan ku begitu statis hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Duh ileh yang serius banget sama cewek sampe lupa waktu. Semangat banget, bor,” ledeknya seraya menyeruput kopi dan menikmati sebatang rokok yang baru saja ia bakar.

“Kalau gak semangat ya, bukan berjuang namanya.”

“Iya sih, gue liat lo kayaknya abis-abisan banget buat tuh cewek. Segala tiap hampir tiap hari nemenin dia, duit gajian diabisin buat pacaran mulu. Geblek.”

“Ya inilah usaha, namanya berjuang mah nggak usah ngitung udah berapa banyak yang dikeluarin.”

Putra terkekeh, lalu mengembuskan asap rokok ke udara sambil menyeringai. “Kalau usaha lo gagal, gimana?”

Aku yang sedang mengaduk kopi terhenti dengan pertanyaan itu. Aku memandangi permukaan kopi yang hitam pekat.

“Seenggaknya gue udah nyoba semaksimal mungkin, selebihnya biar Tuhan yang menentukan,” jawabku sambil meletakkan sendok ke cawan, lalu meminum kopi perlahan.

“Ya, maaf-maaf nih kalau perkataan gue nyinggung. Gue sekadar mengingatkan lo aja, Rav.” Putra menatapku dengan ekspresi serius sambil menyentil ujung bara rokoknya dengan jari telunjuk. “Lo harus tau batas juga, jangan terlalu over . Boleh aja lo tulus. Fine-fine aja kok lo mempertahankan tuh cewek sampai lo nganter jemput dan nemenin dia kerja lupa waktu dan teman, tapi jangan sampai rotasi hidup lo cuma berfokus ke dia. Jangan sampai lo ketergantungan sama dia dan nggak bisa lepas. Lo emang mau suatu hari lo kehilangan diri lo sendiri? Tulus dan tolol itu beda tipis, Rav.”

Aku terdiam, merenungi nasihat Putra. Tulus dan tolol itu beda tipis. Harus kuakui yang dikatannya itu benar. Demi orang yang kita cintai, kadang kita melakukan segalanya dan memberikan semua yang kita punya demi mendapatkan hatinya. Dan bila semua yang sudah kita lakukan gagal, tak ayal kita sangat kecewa hingga kehilangan diri sendiri saat menghadapi kenyataan. Upaya kita yang semaksimal mungkin disandingkan dengan ekspetasi yang tinggi. Berharap hasil akhir yang sebanding dengan apa yang sudah kita keluarkan. Tetapi sayangnya tidak semua usaha berbuah manis. Sama seperti berbisnis dan berjudi. Apa yang kita pertaruhkan belum tentu sebanding dengan yang didapatkan, bahkan bisa saja nihil. Apalagi ini urusan hati.

Sejujurnya, itulah yang kutakutkan terjadi. Selama ini yang kuperhatikan dari Via kebanyakan baik dan positif. Gadis itu tidak pernah sekali pun memberi penolakan bila aku ingin menemui, menemaninya kerja, bahkan berbicara masa depan dengan nya. Dan aku takut itu menjebak harapan. Semua yang terlihat selalu baik dalam proses membuat kita merasa percaya diri dengan hasil yang baik juga di akhir. Padahal belum tentu. Baik adalah relatif, sedangkan isi hati seseorang tentatif. Kita tidak bisa kita menebak seperti apa isinya karena kasat mata. Kita hanya bisa melihatnya lewat perilaku yang ditunjukkan, itulah yang membahayakan.

Kepalaku mendadak pening, tidak berminat lagi meminum kopi. Nasihat Putra benar. Namun aku tidak menganggap semua yang kulakukan kepada Via adalah kesalahan. Aku pun tidak munafik bahwa aku menginginkan hasil akhir yang baik. Memiliki Via selamanya.

Apakah semuanya akan berakhir indah atau…, entahlah. Aku tidak berani membayangkan sebaliknya. Yang hanya bisa kulakukan sekarang adalah melakukan apa yang memang seharusnya kulakukan, mengikuti arah hatiku berkata. Karena itulah satu-satunya petunjuk yang kupercaya. Sisanya? Aku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Pada waktunya semua proses memiliki ujung, hasil akhir. Dan hasil akhir itu tak pernah kubayangkan.

Aku berusaha membuang jauh-jauh ingatan pada malam itu hingga detik ini, hari di mana kenyataan menghempaskanku dari ketinggian yang terlalu tinggi. Membuatku tidak sempat menyiapkan persiapan yang setidaknya menolongku ketika mendarat. Membuat aku hampir kehilangan diriku sendiri.

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3K
13
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan