Kasus kriminalisasi udah sangat mengerikan gan. Belum lama ini kita dengar para ISP bakal mengancam mematikan semua jaringan internet di Indonesia karena bentuk protes terhadap divonisnya mantan Dirut IM2, Indar Atmanto, karena melakukan tindakan yang sebenarnya tidak melanggar hukum. Baru-baru ini juga tenaga ahli PLN divonis hukuman penjara atas pelanggaran hukum yang dinilai tidak memiliki dasar yang kuat.
Bahkan organisasi sebesar ICW pun mengkhawatirkan dampak kriminalisasi yang terjadi,
ICW Khawatir Dampak Pemidanaan Terhadap Tenaga Ahli PLN
Banyak pihak menyayangkan pemidanaan para tenaga ahli dan profesional yang menjalankan tugas di sebuah perusahaan.
Misalnya dalam kasus peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Tribune GT 2.1 & GT 2.2 PLTU Blok II Belawan Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2) dan kasus kerjasama penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2).
Dalam perkara LTE, kendati tidak terbukti korupsi dengan tidak melanggar pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), namun Majelis Hakim Tipikor Medan menjatuhkan pidana 1,5 tahun hingga 4 tahun kepada enam terdakwa, empat diantaranya tenaga ahli PLN.
Adapun dalam perkara IM2, mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dipidana 4 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan ditambah menjadi 8 tahun di tingkat kasasi kendati Mahkamah Agung menyatakan tidak ada kerugian negara dalam perkara IM2.
Aktivis Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh menilai pemidanaan para tenaga ahli PLN tersebut akan berdampak buruk terhadap kondisi PLN.
Semestinya, para tenaga ahli yang terbukti tidak melanggar pasal 2 UU Tipikor tersebut dilihat sebagai bagian dari upaya positif mereka dalam mengatasi krisis listrik khususnya di Medan, sehingga perlu perlakuan khusus.
Fahmi menjelaskan dalam pengadaan barang dan jasa untuk pelayanan publik perlu dilengkapi dengan landasan hukum yang khusus.
Karena kebijakan tersebut memerlukan tindakan cepat karena dalam kondisi darurat.
“Jadi apabila langkah tersebut terlambat maka pelayanan ke publik akan terganggu. Masyarakat akan mengalami pemadaman listrik,” katanya ke beberapa media, Rabu (15/10/2014).
PLN sebagai institusi yang mendapat amanat untuk menjamin keamanan pasokan listrik ke masyarakat harus dibedakan dengan institusi lain, bahkan dengan institusi swasta.
Kalau tidak mendapat landasan hukum yang kuat maka BUMN ini akan terus mengalami hal serupa.
Pada akhirnya akan berdampak pada pelayanan publik yang tidak maksimal dari PLN.
Kalau tujuannya untuk meminimalisir praktik korupsi dalam setiap pengadaan barang dan jasa di PLN, maka bisa dilakukan secara transparan.
PLN setiap ada rencana pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelayanan publik, harus dipaparkan secara jelas ke publik. Dengan demikian semua pihak termasuk penegak hukum bahwa kebijakan yang dilakukan PLN untuk mengatasi kondisi darurat.
Hal ini bersamaan dengan rencana KPK yang akan melakukan sertifikasi terhadap penyedia barang dan jasa yang kredibel untuk institusi pemerintah maupun BUMN.
“Kalau tidak, maka khususnya PLN akan selalu menghadapi hal yang sama,” jelas Fahmi.
Fahmi mengharapkan, pemerintahan baru untuk memperhatikan kelemahan ini. Sebab hal ini tidak hanya terjadi pada PLN saja.
Tetapi juga pada pejabat BUMN lainnya yang karena keputusan yang penting di saat darurat harus berurusan dengan lembaga peradilan.
Pemerintahan baru bisa melakukan kajian terhadap perpres tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tujuannya untuk memberi kekuatan hukum bagi langkah-langkah darurat dalam kebijakan pelayanan publik.
Munculnya kasus-kasus pemidanaan oleh para tenaga ahli PLN juga mengundang komentar Wakil Presiden (terpilih) Jusuf Kalla.
Menurut JK, panggilan jusuf Kalla, tidak selayaknya orang yang membuat kebijakan dipidanakan.
"Sekarang itu orang banyak yang takut, takut dipenjara karena mengeluarkan kebijakan," ujarnya, di acara National Conference on Electrical Power Business & Technology, beberapa waktu lalu.
Jusuf Kalla menegaskan, sejumlah mantan pejabat PLN yang di Belawan, Medan, tidak tepat dipenjara karena kebijakannya. Sebagai bentuk protesnya, Jusuf Kalla mengaku sudah memberi masukan perihal tersebut kepada Jaksa.
"Saya bilang, jangan kau penjarakan orang yang buat kebijakan, tapi ya sudah lah (sudah diputus bersalah)," ujarnya, melalui rilis yang diterima Tribunnews.com Network.
Dia menyatakan, di era pemerintahanya lima tahun ke depan, hal tersebut akan segera diperbaiki.
Sebagaimana diketahui, empat orang mantan pejabat PLN dan dua rekanan PLN divonis bersalah dalam kelalaian administratif Pembangkit Listrik Tenaga Gas/Uap (PLTGU).
Hakim menjatuhkan hukuman satu setengah tahun hingga empat tahun penjara karena dianggap lalai tidak melaksanakan aturan Berita Acara pada pembayaran tahap kedua dan ketiga kepada Mapna Co sebagai kontraktor pekerjaan LTE PLTGU Belawan.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menyatakan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor.
Penegasan tersebut dinyatakan Ketua Majelis Hakim S.B. Hutagalung, saat membacakan keputusan vonis kepada terdakwa Chris Leo Manggala, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (1/10). Selain Chris Leo, dua terdakwa lain yang dibacakan vonisnya pada hari yang sama adalah Muhammad Ali dan Surya Dharma Sinaga.
Sedangkan terdakwa lain yakni, Rody Cahyawan, Supra Dekanto dan M. Bahalwan menerima vonis pada hari Jumat (03/10).
Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dengan menggunakan Pasal 2 tersebut, jaksa menuduh terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi seperti dakwaan primer Jaksa.
"Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti di persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer sesuai Pasal 2 tersebut, dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primer,” tandas Hutagalung.
Menurut Majelis Hakim, dalam perkara LTE, juga tidak terbukti ada kerugian negara yang timbul sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hutagalung menegaskan, Majelis berpendapat bahwa BPKP bukan lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara, melainkan tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Link :
http://www.tribunnews.com/nasional/2...enaga-ahli-pln
Serem juga ya gan. Dengan pemerintah membiarkan tindakan kriminalisasi ini terus terjadi, pasti akan menimbulkan rasa takut dan tidak nyaman disaat para pengambil keputusan mengambil tindakan. Mereka pasti akan takut menjadi korban kriminalisasi selanjutnya. Semestinya hukum di Indonesia harus lebih mementingkan keadilan, bukan kasus titipan yang sejatinya hanya untuk menguntungkan kepentingan sepihak. Semoga sistem peradilan di negara ini semakin menjunjung keadilan kedepannya. Aminnn....