kopesatAvatar border
TS
kopesat
BANYAK JUGA YG GA AMANAH SELAIN JOKOWI...JANGAN FITNAH MAKANYA BUNG...
Kok bisa ya Hidayat Nur Wahid dan orang2 PKS (Fimadani.com) bilang Jokowi yang dicalonkan sebagai Gubernur Jakarta dgn dukungan mayoritas rakyat Solo sebagai tidak amanah?
Itukan seperti pemindahan tugas misalnya dari Kapolsek jadi Kapolres.

Lagi pula bukankah orang2 PKS banyak yang begitu? Kalau hal yang seperti itu Jokowi disebut pengkhianat, tidak amanah, dsb, apakah orang2 PKS di bawah akan disebut juga sebagai pengkhianat, tidak amanah oleh orang2 PKS?

Hidayat sepertinya lupa, bahwa yang dilakukan Jokowi itu juga pernah dilakukan oleh orang-orang PKS. Di antaranya:


Ahmad Heryawan, anggota / Wakil Ketua DPRD DKI periode 2004-2009, memilih meninggalkan kursi DPRD untuk maju pada pemilukada Jawa Barat tahun 2008 dan terpilih sebagai Gubernur

Irwan Prayitno, anggota DPR RI periode 2009-2014, memilih meninggalkan kursi DPR untuk maju pada pemilukada Sumatra Barat tahun 2010 dan terpilih sebagai Gubernur

Tifatul Sembiring, anggota DPR RI periode 2009-2014, memilih meninggalkan kursi DPR untuk menerima tawaran Presiden SBY menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi

Hidayat Nurwahid, anggota DPR RI periode 2009-2014, berusaha meninggalkan kursi DPR untuk maju pada pemilukada DKI tahun 2012, sayangnya gagal.

Apalagi Jokowi sebetulnya tidak mengajukan diri. Jadi keliru jika menuduh Jokowi ambisius ingin jadi Gubernur DKI Jakarta. Jusuf Kalla (JK) yang meminta Jokowi untuk mencalonkan diri jadi Gubernur DKI. Meski Jokowi ragu sebab tidak ada partai yang mencalonkannya, namun JK meminta Mega untuk mencalonkan Jokowi melalui PDIP (Gatra, Tribun, Liputan6).

Jadi sebelum menuduh orang lain khianat atau tidak amanah, coba lihat diri sendiri dulu. Introspeksi. Ngaca.

Untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kita harus melaksanakannya dulu. Ibda bi nafsik! Mulailah dari diri kita sendiri, kemudian baru menyuruh orang lain. Jika tidak, resikonya adalah dilempar ke neraka.

Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيهَا الذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” [QS. Ash-Shaff : 2].
أَتَأْمُرُونَ الناسَ بِالْبِر وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS. Al-Baqarah : 44].

Dari Abu Zaid yaitu Usamah bin Zaid bin Haritsah ra, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Akan didatangkan seorang lelaki pada hari kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya -usus-ususnya-, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu bertanya: “Mengapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?” Orang tersebut menjawab: “Benar, saya dahulu memerintahkan kepada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakannya.” (Muttafaq ‘alaih)


Orang-orang PKS Juga Tidak Amanah?

Saat bincang-bincang di Talk Show TV One, Minggu Malam, 12 Agustus 2012, Mantan Calon Gubernur DKI pada pemilukada 2012 yang juga Mantan Presiden PKS, Hidayat Nurwahid menyebutkan alasan partainya tidak mendukung Jokowi karena Insinyur lulusan UGM itu diragukan komitmennya mampu menjalankan jabatan sebagai Gubernur DKI sampai 2017.

“Diminta komitmennya untuk menyelesaikan jabatan sampai 5 tahun, Jokowi tidak berani menjawab,” ujar Hidayat. Komitmen itu dipandang penting bagi PKS sebab Jokowi (hampir akan) terbukti berani tidak amanah, yaitu meninggalkan kepercayaan rakyat Solo saat usia pemerintahannya (periode kedua) baru 2 tahun.

Hidayat sepertinya lupa, bahwa yang dilakukan Jokowi itu juga pernah dilakukan oleh orang-orang PKS. Di antaranya:

Ahmad Heryawan, anggota / Wakil Ketua DPRD DKI periode 2004-2009, memilih meninggalkan kursi DPRD untuk maju pada pemilukada Jawa Barat tahun 2008 dan terpilih sebagai Gubernur

Irwan Prayitno, anggota DPR RI periode 2009-2014, memilih meninggalkan kursi DPR untuk maju pada pemilukada Sumatra Barat tahun 2010 dan terpilih sebagai Gubernur

Tifatul Sembiring, anggota DPR RI periode 2009-2014, memilih meninggalkan kursi DPR untuk menerima tawaran Presiden SBY menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi

Hidayat Nurwahid, anggota DPR RI periode 2009-2014, berusaha meninggalkan kursi DPR untuk maju pada pemilukada DKI tahun 2012, sayangnya gagal

Hidayat yang alumni Arab Saudi sepertinya juga lupa dengan sebuah syair Arab yang berbunyi:

لا تنه عن خلق وتأتي مثله، عار عليك إذا فعلت عظيم

“JANGAN Kau larang orang lain melakukan suatu perbuatan, tetapi Kau melakukan hal yang sama. Sungguh suatu aib yang besar jika Kau lakukan hal tersebut”.

Harusnya Hidayat introspeksi, ngaca, muhasabah, bahwa ketika ia mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur DKI beberapa waktu lalu, berarti ia berencana meninggalkan tanggung jawab dan kepercayaan warga Solo dan sekitarnya yang memilihnya untuk mewakili sebagai Wakil Rakyat sampai 2014.

Kenapa Hidayat tidak membuat pernyataan bahwa Ahmad Heryawan juga pengkhianat, yang telah meninggalkan tanggung jawab sebagai anggota DPRD DKI dan mengkhianati kepercayaan warga DKI, untuk menjadi Gubernur Jawa Barat.

Kenapa Hidayat tidak memproklamasikan bahwa Irwan Prayitno dan Tifatul Sembiring adalah pengkhianat, yang telah meninggalkan tanggung jawab sebagai anggota DPR dan mengkhianati kepercayaan warga Sumatra Barat. Irwan Prayitno dipilih rakyat Sumatra Barat untuk menjadi anggota DPR, tapi baru setahun keberadaannya di Parlemen, ia lari dari tanggung jawab. Demikian juga Tifatul Sembiring dipilih rakyat Sumatra Barat untuk menjadi anggota DPR, tapi baru seumur jagung keberadaannya di Senayan, ia lari dari tanggung jawab.

Bagaimana mungkin Hidayat dan orang-orang PKS menyuruh orang lain amanah, sementara Hidayat dan orang-orang PKS sendiri tidak mampu amanah.

Beginilah, jika memaknai amanah dari sudut pandang yang sempit. Maka, kalau Hidayat melihat pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI sebagai perilaku yang tidak amanah, ia harus konsisten. Ia harus berani mengatakan dirinya dan rekan-rekannya di PKS juga tidak amanah.

Saya sendiri tidak sepakat dengan pola pikir Hidayat. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Jokowi dan juga oleh Amad Heryawan, Irwan Prayitno dan Tifatul Sembiring adalah intiqal min hasan ila ahsan, berpindah dari perbuatan baik menuju yang lebih baik.

Menjadi Walikota Solo adalah pengabdian kepada rakyat. Menjadi Gubernur DKI juga pengabdian kepada rakyat. Bedanya, Jakarta lebih besar wilayah dan penduduknya. Maka, menjadi Gubernur DKI berarti memangku tanggung jawab yang lebih besar. Alangkah mulia, orang yang mau menyambut dan menyongsong tanggung jawab yang lebih besar demi pengabdian kepada rakyat dan memberikan kemanfaatan yang lebih besar. Bukankah tuntunan agama mengajarkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat buat orang lain”. Tentu memberikan manfaat kepada 10 juta jiwa lebih baik daripada hanya memberikan manfaat kepada 1 juta jiwa.

Saran saya buat Hidayat, berpikirlah positif. Jangan karena urusan politik yang sesaat, lalu hilang akal sehat sehingga rakyat yang menjadi korbannya. Sebagai Mantan Ketua MPR, seharusnya Hidayat menunjukkan sikap kenegarawanan. Kembalilah kepada Konstitusi. Selama tidak ada larangan bagi seorang kepala daerah di suatu tempat untuk mencalonkan di tempat lain, maka tidak perlu dipersoalkan. Titik.

SUMBER

Kok Bisanya Bilang Jokowi Tak Amanah


Setelah ragu di antara dua pilihan, akhirnya PKS menjatuhkan pilihan dukungan kepada Foke. Alasannya, karena Foke dipandang lebih amanah, sanggup mengemban jabatan sampai 2017, sementara Jokowi diragukan komitmennya mampu bertahan hingga 2017. Keraguan PKS didasarkan pada rekam jejak Jokowi yang berani meninggalkan tugasnya sebagai Walikota Solo untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, di saat usia pemerintahannya (periode kedua 2010-2015) baru berumur dua tahun.

Yang menjadi pertanyaan saya, kalau PKS memandang pencalonan Jokowi merupakan bentuk ketidak-amanahan, lantas kenapa dari awal PKS tidak menolak. Kenapa PKS masih memberi kesempatan Jokowi untuk bertemu. Kenapa Jokowi masih diharapkan datang ke Sekretariat PKS pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga, sebelum PKS mengambil keputusan. Ada apa?

Di tulisan saya sebelumnya, Orang-orang PKS Juga Tidak Amanah? saya sudah membeberkan banyaknya kader PKS yang tidak amanah. Mereka menyuruh orang lain amanah tapi mereka sendiri tidak amanah. Sebagai partai yang mengklaim sebagai Partai Islam dan dihuni banyak aktivis dakwah, lupakah mereka dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (Ayat 44): “Mengapa kalian menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan tapi kalian melupakan diri sendiri, padahal kalian membaca kitab, maka tidakkah kalian berpikir?” (Dalam bahasa Jakarte, emang loe kagak mikir…)

Lupakah mereka dengan firman Allah dalam Surat Ash-Shof (Ayat 2-3): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.”

Kenapa Baru Sekarang Dipersoalkan?

Apa yang dilakukan Jokowi sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelum itu, banyak pejabat yang sedang menjabat lalu mencalonkan diri untuk jabatan lain, yang sama-sama mengurus kepentingan rakyat, termasuk kader-kader PKS.

Kita masih ingat beberapa tahun lalu ada Gubernur yang sedang menjabat, memilih tawaran Presiden untuk menjadi Menteri. Gamawan Fauzi, misalnya, meninggalkan jabatan Gubernur Sumatra Barat untuk memilih menjadi Menteri Dalam Negeri. Fadel Muhammad meninggalkan jabatan Gubernur Gorontalo untuk memilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan masih banyak lagi gubernur yang lain.

Selain itu, banyak sekali anggota DPR / DPRD yang meninggalkan jabatan Wakil Rakyat untuk menjadi Menteri, Gubernur dan Bupati / Walikota.

Nah, kenapa PKS baru sekarang mempersoalkan pindahnya pejabat dari satu tanggung jawab ke tanggung jawab yang lain? Bukankah hal ini sudah berlangsung dari dulu, sejak PKS berdiri? Kenapa selama ini diam? Apakah karena faktor kepentingan?

Kalau yang dilakukan Jokowi dan pejabat-pejabat itu dianggap salah, kenapa PKS tidak mengusulkan kepada DPR supaya mengamandemen peraturan perundang-undangannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, acuan kita adalah Undang-Undang. Selama tidak ada pasal yang melarang Walikota untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur, maka tidak perlu diangkat menjadi persoalan.

Kita tidak bisa beralasan karena soal etika atau moral, sebab pemahaman ”baik atau tidak baik” tiap orang itu relatif, tidak sama. Sesuatu yang dianggap baik menurut PKS, belum tentu baik menurut PDI Perjuangan. Karena itu, rujukannya harus berbentuk peraturan perundang-undangan.

Apakah berhenti di tengah jalan melanggar sumpah jabatan? Mari kita lihat bunyi sumpah jabatannya:

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.”

Sumpah jabatan tidak membatasi kurun waktu tertentu. Artinya, selama menjabat, Kepala Daerah wajib menjunjung tinggi sumpahnya, tapi jika ia memilih berhenti karena permintaan sendiri maka sejak saat itu sumpah jabatan tidak mengikat lagi baginya.

Apakah berhenti di tengah jalan melanggar peraturan perundang-undangan. Coba kita lihat regulasinya, dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 29 Ayat (1) disebutkan: “Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berhenti karena:

meninggal dunia;

permintaan sendiri;

diberhentikan.

Berarti, Jokowi sebagai Walikota Solo diberi hak oleh UU untuk berhenti atas permintaan sendiri.

Sampai saat ini, kita belum bisa menilai Jokowi karena pengusaha mebel itu masih menjabat Walikota Solo. Ia masih ngantor seperti biasa. Hanya pada hari libur saja ia berada di Jakarta.

Seandainya, andaikan, kalau saja nanti Jokowi memenangkan pemilukada putaran kedua 20 September 2012, tentu Jokowi harus mengundurkan diri dari jabatan Walikota Solo. Kalau tidak mundur, justru itu menyalahi perundang-undangan. Bagaimana mungkin satu orang bisa memimpin dua daerah berbeda dalam waktu bersamaan.

Nah, apakah itu yang dikehendaki PKS? Jokowi jika terpilih sebagai Gubernur DKI nanti, tetap menjabat Walikota Solo sebagai pertanda perilaku amanah?

Ke depan, supaya tidak ada lagi pejabat yang mencalonkan diri untuk jabatan lain, seperti dilakukan Jokowi, maka solusinya adalah diberlakukannya pemilihan umum secara serentak dan bersamaan untuk memilih anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga pejabat yang habis masa jabatannya di suatu daerah atau di tingkatan tertentu bisa maju mencalonkan di daerah dan tingkatan lain. Selama belum ada aturan yang mengatur itu, maka hukumnya boleh apa yang dilakukan Jokowi sekarang ini.

Dimana Ketidak-amanahan Jokowi?

Jokowi bukanlah tipe pemimpin yang ambisius. Menjadi pejabat publik bukanlah cita-citanya semasa kecil. Jangankan menjadi Gubernur, nyalon Walikota Solo saja bukanlah angan-angannya dari dulu. Jokowi tidak pernah menyalonkan diri, tidak pernah mengeluarkan uang untuk melamar partai-partai. Ia selalu dicalonkan dan diminta oleh rakyat, karena ia dipandang sebagai sosok orang yang bisa dipercaya, dalam bahasa agama disebut amanah.

Semua berawal dari kesuksesan Jokowi memimpin Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Solo Raya. Teman-teman Jokowi di ASMINDO membujuk dan merayunya supaya mau mencalonkan diri sebagai walikota Solo 2005-2010.

Tidak mudah bagi Jokowi untuk menerima tawaran teman-temaannya itu. Ia sama sekali tak membayangkan masuk dunia politik dan memimpin Solo. Namun, ia juga merasa tertantang untuk bisa melakukan sesuatu terhadap kotanya sendirinya. Menurutnya, kalau mencalonkan diri sebagai walikota dengan tujuan hanya untuk memperoleh prestise dan uang, tentu menjadi pengusaha lebih banyak menghasilkan uang dibandingkan jadi walikota. Namun kalau memang memiliki visi dan pengabdian untuk masyarakat, jabatan walikota itu sangat strategis.

Jokowi merasa ”galau” dengan kepemimpinan walikota Solo sebelumnya yang dianggap tidak bisa mengatur kota dengan baik. Dari tahun ke tahun semakin tidak baik. Hotel tidak laku, kota semakin tidak teratur, semakin tidak rapi, di mana-mana ada PKL yang tidak diatur dengan baik.

Jokowi akhirnya mendaftar sebagai calon walikota Solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo dan diusung oleh PDI Perjuangan. Pasangan Jokowi Rudi berhasil memenangkan pilkada 2005 dengan perolehan suara 37 %, mengalahkan 3 pasangan calon lainnya, termasuk pasangan incumbent.

Bagaimana kepemimpinan Jokowi di Solo? Saya yakin publik sudah banyak tahu apa yang dilakukan Insinyur alumnus UGM itu. Bisa dibaca di buku-buku tentang Jokowi dan berita-berita di internet. Dan, menurut saya, makna amanah itu dilihat dari sudut pandang kinerja selama menjabat.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa Kota Solo bisa dinobatkan sebagai kota terbersih dari korupsi ke-3 versi Transparancy International Indonesia (TII) tahun 2010.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa terpilih dalam “10 Tokoh 2008” versi Majalah Tempo.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa memperoleh Bung Hatta Award 2010.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa mendapat MIPI Award 2011.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa dianugerahi sebagai Walikota Teladan versi Departemen Dalam Negeri tahun 2011.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa dinobatkan sebagai Tokoh Perubahan 2010 oleh Harian Republika.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia mampu meraih kepercayaan rakyat Solo untuk kedua kalinya pada Pilwakot 2010 dengan perolehan 90,9 % suara.

Kalau Jokowi tidak amanah, kenapa ia bisa menerima Penghargaan e-Government Indonesia (PeGI) dari Kementerian Komunikasi dan Informasi tahun 2012.

Kalau Jokowi tidah amanah, kenapa ia bisa masuk ”Nominator” Kepala Daerah Dunia, oleh The City Mayors Foundation tahun ini.

Kalau Anda menjawab, ”Solo kan kotanya kecil”, maka kenapa penghargaan yang sama tidak diterima oleh walikota/bupati lainnya, yang kota/kabupatennya kecil seperti Solo.

SUMBER

Pakar: Hidayat Juga Tidak Konsisten Menjalankan Tugas

Jakarta (ANTARA) – Pernyataan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid yang mengaku kecewa dengan Jokowi, mendapat tanggapan dari pakar politik dari Universitas Indonesia, Dr Ari Junaedi, yang mengatakan Hidayat juga tidak konsisten dalam menjalankan tugas.

“Hidayat Nur Wahid juga tidak konsisten dalam menjalankan tugas. Kalau memang dia konsisten, seharusnya beliau menyelesaikan tugasnya sebagai anggota Komisi I DPR, baru mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI,” ujar Ari di Jakarta, Senin.

Dia menilai pernyataan yang dilontarkan Hidayat Nur Wahid, seakan tidak bercermin pada diri sendiri.

“Jika itu yang dijadikan alasan untuk tidak mendukung Jokowi, maka itu seperti menjilat ludah sendiri,” katanya.

Hidayat yang gagal maju ke putaran kedua pemilihan gubernur DKI Jakarta, mengaku kecewa dengan calon gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi).

Hidayat yang merupakan salah satu juru kampanye Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, merasa kecewa lantaran Jokowi di tengah masa jabatannya mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta. Padahal saat itu, dia percaya Jokowi akan menjabat hingga akhir jabatan.

“Suara rakyat itu suara Tuhan, dan suara rakyat harus dihormati,” kata Hidayat.

PKS pada Sabtu secara resmi mengarahkan kepada pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.

Dukungan yang diberikan itu dilihat dari sisi visi, misi, dan program maupun dari sisi respons dari dua pasangan calon yang akan berkompetisi nantinya.

Dari hasil komunikasi politik maupun telaah internal, PKS menilai pasangan Foke-Nara lebih sejalan dengan visi, misi, dan program yang diusung PKS. Selain itu, pasangan bernomor urut 1 pada putaran pertama lalu dianggap lebih siap menampung aspirasi PKS.

Selain itu, hanya kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang menyanggupi untuk menyelesaikan masa jabatan hingga 2017.

Pilkada DKI Jakarta putaran kedua akan dilangsungkan 20 September dan diikuti dua pasangan calon yakni Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli dan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama.(rr)

SUMBER
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
8.2K
52
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan