- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
PIKASO, Taman Bacaan yang dibangun di atas wc umum.
TS
siagaindonesia
PIKASO, Taman Bacaan yang dibangun di atas wc umum.
ini ibu budi dengar suara preketekeketetekk......
SICOM -Taman bacaan Pikaso, sepintas nama Pikaso identik dengan nama ke barat baratan, tetapi nama Pikaso yang di pakai sebagai identitas rumah baca ini singkatan dari Pinggir Kali Sonto, atau yang lebih di kenal dengan nama Taman Bacaan Pinggir Kali Sonto. Nama Kali Sonto sebenarnya adalah nama yang di sematkan oleh Mbah Lawu ( 70 th), seorang penggiat budaya Jawa, sekaligus tokoh pager bumi yang peduli dengan lingkungan kekumuhan Kali Sonto di sebuah perkampungan padat penduduk di tengah Kota Solo.
Ide pembuatan Taman Bacaan Pinggir Kali Sonto berawal dari kepedulian mbah Lawu terhadap lingkunganya sendiri, menurutnya, banyak para seniman besar dan penggiat lingkungan yang memiliki nama besar dan kondang di Kota Solo, bahkan nama besar tersebut sudah dianggap sebagai seorang begawan seni, namun kiprah dan kepedulianya dengan lingkungan sosial budaya di sekitarnya justru tidak ada.
Para tokoh besar ini biasanya hanya memiliki ide terhadap suatu program yang besar, yang notabene akan berujung pada orientasi proposal dana kepada para penguasa. Hal inilah yang akhirnya membuat para begawan begawan seni, dan pemerhati sosial budaya akan melenceng dari tujuanya yang utama. Ujar Mbah Lawu.
‘ Tahun 2007, saat pertama kali membersihkan Kali Mboro (nama sebelum menjadi Kali Sonto), dirinya dianggap gila’ Ujarnya
Tetapi hal ini, tegas mbah Lawu, tak menyurutkan niatnya peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Selama ini masyarakat beranggapan, bahwa pembersihan sungai yang ada di kampung Mboro, Kalurahan Jagalan, Kecamatan Jebres ini menjadi tanggung jawab pihak pemerintah kota, sehingga kepedulianya justru malah di anggap sebagai orang gila. Tekanan dan cemooh tidak hanya datang dari masyarakat sekitar saja, pemerintah Kalurahan setempat bahkan menganggapnya sebagai seseorang yang patut di waspadai, menginggat latar belakang Mbah Lawu yang merupakan orang tua dari Wiji Tukhul, salah satu aktivis yang hilang pada saat reformasi tahun 98.
Selain dianggap kaum ekstrimis, mbah Lawu juga dianggap oleh sebagaian orang sebagai orang yang menyembah berhala. Anggapan ini di karenakan, kepedulian Mbah Lawu mengangkat punden Mbah Sonto yang ada di pinggir Kali Mboro, dan juga menggiatkan berbagai tradisi budaya Jawa. Salah seorang masyarakat yang tidak senang dengan kehadiranya di pinggir kali Mboro, bahkan sempat hendak membunuhnya.
Malam usai membersihkan sungai, tiba tiba dirinya di kalungi dengan celurit dari belakang. Meski penglihatanya tak begitu bagus, tetapi mbah Lawu tahu dan sadar betul siapa orang ini sesungguhnya. Tak gentar dengan ancaman celurit di lehernya, mbah Lawu justru mempersilahkan orang itu menyembelihnya. Karena bagi dia, raga yang di kehendaki kematianya, hanyalah bangkai daging busuk yang sudah dari dulu mati.
Perjalananya saat masuk di dalam luweng comberan kali pepe, saat tenggelam usai melestarikan terumbuk karang di laut di Bengkulu, dan peristiwa tenggelamnya Mbah Lawu di segoro kidul akibat kepedulian lingkungan, membuat dirinya pasrah. Bahwa hidup hanyalah Yang Maha Kuasa yang mengaturnya, karena apabila saat itu dirinya harus mati, itu semua adalah kehendak Gusti.
Meski tekanan dan cibiran kini telah banyak berkurang, tetapi masih juga banyak orang yang beranggapan dan melarang anak anaknya berkunjung di taman Bacaan Pikaso, mereka beranggapan dan mengkawatirkan jangan jangan anak mereka di ajari menyembah berhala.
‘Padahal banyak bacaan disini yang bernuansa kisah kisah Islami, yang dulu di sumbang oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah dan perguruan lainya di kota Solo’ Tegas Mbah Lawu.
Apa yang menjadi cita citanya adalah, bagaimana masyarakat di pinggiran Kali Mboro sedini mungkin di kenalkan dengan kepedulian lingkungannya, agar mereka memiliki rasa social yang tinggi. Oleh karena itu taman bacaan ini menjadi sebuah sarana dan edukasi bagi anak-anak untuk belajar berbagai hal tentang seni, budaya dan tambahan mata pelajaran sekolah. Selain di ajarkan tembang gending Jawa, menulis huruf Jawa, bahasa Inggris, seni membuat wayang, membuat topeng, dan kesenian lainya, anak anak juga diajak langsung berkarya lewat seni.
Pergantian nama Kali Mboro menjadi nama Kali Sonto pada saat awal memang di tentang oleh pihak kalurahan, tetapi sejak berbagai festival seni di gelar di sepanjang Kali Sonto, yang di dukung para seniman seniman kondang di Kota Solo, serta mampu mengangkat dan merubah nama kampung Mboro, yang dulunya dianggap sebagai kampung preman, bromocorah dengan data tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi kampung yang peduli dengan lingkungan, social dan budaya bangsa, akhirnya pemerintah Kalurahan setempat diam saja.
Bahkan pihak Kalurahan seringkali menggunakan nama Kali Sonto dalam berbagai event budaya kampung. Tetapi meski demikian, setiap kali pagelaran seni yang di gelar selama tiga sampai lima hari, seluruh biaya total dikumpulkan dari hasil swadaya para seniman dan masyarakat sekitar. Bahkan ketika pagelaran wayang kulit di gelar selama tiga hari, tiga malam, tanpa sepeserpun pemerintah Kalurahan turut membantu dari sisi financial.
‘Berbagi sumbangan memang pernah di sodorkan sebagai bantuan, tetapi setiap kali pembuatan LPJ pihak pemerintah setempat meminta ada pajak sumbangan. Pajak ini disanggupi, tetapi saat laporan pajak di masukan dalam LPJ, pihak pemerintah menolak dan meminta agar jangan di tulis. Ketidak cocokan ini akhirnya membuat Mbah Lawu menolak, setiap kali ada bantuan ataupun sumbangan yang di berikan pada saat festival seni Kali Sonto’ Kata Mbah Lawu
Sedangkan pembangunan taman Bacaan Pikaso, menurut keterangan mbah Lawu, adalah sumbangan dari sebuah perusahaan swasta yang peduli dengan budaya dan lingkungan. Namun pembangunan ini belum sepenuhnya mampu di realisasikan, mengingat di sepanjang pinggir Kali Sonto tidak ada satupun lahan kosong yang bisa didirkan sebuah bangunan.
Hanya ada sebuah WC umum yang di sebelahnya terdapat lahan kosong, tetapi ini pun sulit dilakukan, mengingat apabila didirkan bangunan, pasti jalan di pinggir sunga akan tertutup alias buntu. Belum lagi kondisi WC umum yang sangat kotor tidak layak pakai, membuat pembangunan taman bacaan anak sempat tersendat pembangunanya. Sampai akhirnya bantuan dana yang telah di sumbangkan dari perusahaan swasta tersebut, terlebih dulu harus dipakai untuk merenovasi fasilitas WC umum. Dengan harapan apabila dibangun taman bacaan, hendaknya tidak menjadi masalah dalam hal kesehatan di kemudian hari.
Beberapa bulan usai merenovasi WC umum, pembangunan taman bacaan pun akhirnya bisa terlaksana, tetapi di bangun di atas WC umum, dengan harapan agar jalan yang ada di pinggir sungai tidak tertutup oleh bangunan taman bacaan. Pembangunan taman bacaan akhirnya selesai dan menjadi sebuah taman pintar bagi anak anak di pinggir Kali Sonto.
Tidak hanya melahirkan seni dan ide kreatif yang berasal dari Kali Sonto, event budaya tahunan yang di gelar milik Pemerintah Kota Solo salah satunya juga diadopsi dari pagelaran festival seni Kali Sonto, yaitu festival Jenang. Festival tahunan ini setiap tahun di gelar oleh Pemerintah Kota Solo di Ngarsopuro, sebagai salah satu cara mengangkat budaya tradisional bangsa ini. Pungkas Mbah Lawu. Jud
Spoiler for cek:
SICOM -Taman bacaan Pikaso, sepintas nama Pikaso identik dengan nama ke barat baratan, tetapi nama Pikaso yang di pakai sebagai identitas rumah baca ini singkatan dari Pinggir Kali Sonto, atau yang lebih di kenal dengan nama Taman Bacaan Pinggir Kali Sonto. Nama Kali Sonto sebenarnya adalah nama yang di sematkan oleh Mbah Lawu ( 70 th), seorang penggiat budaya Jawa, sekaligus tokoh pager bumi yang peduli dengan lingkungan kekumuhan Kali Sonto di sebuah perkampungan padat penduduk di tengah Kota Solo.
Ide pembuatan Taman Bacaan Pinggir Kali Sonto berawal dari kepedulian mbah Lawu terhadap lingkunganya sendiri, menurutnya, banyak para seniman besar dan penggiat lingkungan yang memiliki nama besar dan kondang di Kota Solo, bahkan nama besar tersebut sudah dianggap sebagai seorang begawan seni, namun kiprah dan kepedulianya dengan lingkungan sosial budaya di sekitarnya justru tidak ada.
Para tokoh besar ini biasanya hanya memiliki ide terhadap suatu program yang besar, yang notabene akan berujung pada orientasi proposal dana kepada para penguasa. Hal inilah yang akhirnya membuat para begawan begawan seni, dan pemerhati sosial budaya akan melenceng dari tujuanya yang utama. Ujar Mbah Lawu.
‘ Tahun 2007, saat pertama kali membersihkan Kali Mboro (nama sebelum menjadi Kali Sonto), dirinya dianggap gila’ Ujarnya
Tetapi hal ini, tegas mbah Lawu, tak menyurutkan niatnya peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Selama ini masyarakat beranggapan, bahwa pembersihan sungai yang ada di kampung Mboro, Kalurahan Jagalan, Kecamatan Jebres ini menjadi tanggung jawab pihak pemerintah kota, sehingga kepedulianya justru malah di anggap sebagai orang gila. Tekanan dan cemooh tidak hanya datang dari masyarakat sekitar saja, pemerintah Kalurahan setempat bahkan menganggapnya sebagai seseorang yang patut di waspadai, menginggat latar belakang Mbah Lawu yang merupakan orang tua dari Wiji Tukhul, salah satu aktivis yang hilang pada saat reformasi tahun 98.
Selain dianggap kaum ekstrimis, mbah Lawu juga dianggap oleh sebagaian orang sebagai orang yang menyembah berhala. Anggapan ini di karenakan, kepedulian Mbah Lawu mengangkat punden Mbah Sonto yang ada di pinggir Kali Mboro, dan juga menggiatkan berbagai tradisi budaya Jawa. Salah seorang masyarakat yang tidak senang dengan kehadiranya di pinggir kali Mboro, bahkan sempat hendak membunuhnya.
Malam usai membersihkan sungai, tiba tiba dirinya di kalungi dengan celurit dari belakang. Meski penglihatanya tak begitu bagus, tetapi mbah Lawu tahu dan sadar betul siapa orang ini sesungguhnya. Tak gentar dengan ancaman celurit di lehernya, mbah Lawu justru mempersilahkan orang itu menyembelihnya. Karena bagi dia, raga yang di kehendaki kematianya, hanyalah bangkai daging busuk yang sudah dari dulu mati.
Perjalananya saat masuk di dalam luweng comberan kali pepe, saat tenggelam usai melestarikan terumbuk karang di laut di Bengkulu, dan peristiwa tenggelamnya Mbah Lawu di segoro kidul akibat kepedulian lingkungan, membuat dirinya pasrah. Bahwa hidup hanyalah Yang Maha Kuasa yang mengaturnya, karena apabila saat itu dirinya harus mati, itu semua adalah kehendak Gusti.
Meski tekanan dan cibiran kini telah banyak berkurang, tetapi masih juga banyak orang yang beranggapan dan melarang anak anaknya berkunjung di taman Bacaan Pikaso, mereka beranggapan dan mengkawatirkan jangan jangan anak mereka di ajari menyembah berhala.
‘Padahal banyak bacaan disini yang bernuansa kisah kisah Islami, yang dulu di sumbang oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah dan perguruan lainya di kota Solo’ Tegas Mbah Lawu.
Apa yang menjadi cita citanya adalah, bagaimana masyarakat di pinggiran Kali Mboro sedini mungkin di kenalkan dengan kepedulian lingkungannya, agar mereka memiliki rasa social yang tinggi. Oleh karena itu taman bacaan ini menjadi sebuah sarana dan edukasi bagi anak-anak untuk belajar berbagai hal tentang seni, budaya dan tambahan mata pelajaran sekolah. Selain di ajarkan tembang gending Jawa, menulis huruf Jawa, bahasa Inggris, seni membuat wayang, membuat topeng, dan kesenian lainya, anak anak juga diajak langsung berkarya lewat seni.
Pergantian nama Kali Mboro menjadi nama Kali Sonto pada saat awal memang di tentang oleh pihak kalurahan, tetapi sejak berbagai festival seni di gelar di sepanjang Kali Sonto, yang di dukung para seniman seniman kondang di Kota Solo, serta mampu mengangkat dan merubah nama kampung Mboro, yang dulunya dianggap sebagai kampung preman, bromocorah dengan data tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi kampung yang peduli dengan lingkungan, social dan budaya bangsa, akhirnya pemerintah Kalurahan setempat diam saja.
Bahkan pihak Kalurahan seringkali menggunakan nama Kali Sonto dalam berbagai event budaya kampung. Tetapi meski demikian, setiap kali pagelaran seni yang di gelar selama tiga sampai lima hari, seluruh biaya total dikumpulkan dari hasil swadaya para seniman dan masyarakat sekitar. Bahkan ketika pagelaran wayang kulit di gelar selama tiga hari, tiga malam, tanpa sepeserpun pemerintah Kalurahan turut membantu dari sisi financial.
‘Berbagi sumbangan memang pernah di sodorkan sebagai bantuan, tetapi setiap kali pembuatan LPJ pihak pemerintah setempat meminta ada pajak sumbangan. Pajak ini disanggupi, tetapi saat laporan pajak di masukan dalam LPJ, pihak pemerintah menolak dan meminta agar jangan di tulis. Ketidak cocokan ini akhirnya membuat Mbah Lawu menolak, setiap kali ada bantuan ataupun sumbangan yang di berikan pada saat festival seni Kali Sonto’ Kata Mbah Lawu
Sedangkan pembangunan taman Bacaan Pikaso, menurut keterangan mbah Lawu, adalah sumbangan dari sebuah perusahaan swasta yang peduli dengan budaya dan lingkungan. Namun pembangunan ini belum sepenuhnya mampu di realisasikan, mengingat di sepanjang pinggir Kali Sonto tidak ada satupun lahan kosong yang bisa didirkan sebuah bangunan.
Hanya ada sebuah WC umum yang di sebelahnya terdapat lahan kosong, tetapi ini pun sulit dilakukan, mengingat apabila didirkan bangunan, pasti jalan di pinggir sunga akan tertutup alias buntu. Belum lagi kondisi WC umum yang sangat kotor tidak layak pakai, membuat pembangunan taman bacaan anak sempat tersendat pembangunanya. Sampai akhirnya bantuan dana yang telah di sumbangkan dari perusahaan swasta tersebut, terlebih dulu harus dipakai untuk merenovasi fasilitas WC umum. Dengan harapan apabila dibangun taman bacaan, hendaknya tidak menjadi masalah dalam hal kesehatan di kemudian hari.
Beberapa bulan usai merenovasi WC umum, pembangunan taman bacaan pun akhirnya bisa terlaksana, tetapi di bangun di atas WC umum, dengan harapan agar jalan yang ada di pinggir sungai tidak tertutup oleh bangunan taman bacaan. Pembangunan taman bacaan akhirnya selesai dan menjadi sebuah taman pintar bagi anak anak di pinggir Kali Sonto.
Tidak hanya melahirkan seni dan ide kreatif yang berasal dari Kali Sonto, event budaya tahunan yang di gelar milik Pemerintah Kota Solo salah satunya juga diadopsi dari pagelaran festival seni Kali Sonto, yaitu festival Jenang. Festival tahunan ini setiap tahun di gelar oleh Pemerintah Kota Solo di Ngarsopuro, sebagai salah satu cara mengangkat budaya tradisional bangsa ini. Pungkas Mbah Lawu. Jud
Spoiler for sumber:
http://www.siagaindonesia.com/2014/04/pikaso-taman-bacaan-yang-dibangun-di-atas-wc-umum
Diubah oleh siagaindonesia 26-04-2014 21:40
0
1.3K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan