Irak tengah mempertimbangkan sebuah undang-undang baru yang membolehkan bocah delapan tahun menikah. Selain itu mereka juga harus melayani kebutuhan seks suaminya dan tidak boleh menolak saat diminta.

Surat kabar the Daily Mail melaporkan, Ahad (16/3), rancangan undang-undang ini mendapat kecaman keras dari pegiat Irak dan sejagat. Ini dinilai sebuah kemunduran atas kehormatan hak asasi perempuan.

Pegiat Irak Hana Adwar mengatakan hukum itu suatu kejahatan menyerang manusia dan masa kanak-kanak. Menikah di bawah umur sering terjadi kekerasan fisik dan psikis. Di bawah undang-undang Irak sekarang batas minimal pernikahan yakni 18 dan 15 tahun dengan perjanjian yang ketat antara dua keluarga.

Data statistik pemerintah memperlihatkan pernikahan di bawah umur saban tahunnya meningkat dan terakhir tiga tahun lalu sekitar 25 persen bocah telah dikimpoikan padahal sebelumnya hanya 21 persen.

Menteri Perencanaan Negara Abdul Zahra Hendawai mengatakan praktik rencana undang-undang ini tergantung dari beberapa provinsi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. "Selain itu juga tergantung dari pihak keluarga apakah mereka menerima atau mengabulkan permohonan pernikahan seseorang," ujar Hendawai.

Hukum ini mengacu pada salah satu sekolah berbasis Shiite, Syiah. Analis politik berbasis di Ibu Kota Baghdad Hadi Julo mengatakan rencana undang-undang ini berkaitan dengan pemilihan umum bakal berlangsung tahun ini. "Beberapa politisi shiite turut mempengaruhi hukum. Mereka berkuasa setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein beraliran Sunni," ujar Jalo.

Namun sejumlah politisi Shiite mengatakan undang-undang ini nantinya justru melindungi perempuan dan anak-anak. Sumber: MERDEKA.com