infowifibgrAvatar border
TS
infowifibgr
MELUPAKAN SEJARAH
Rabu malam, 30 Oktober 2013, saya menghadiri undangan dari TEMPO Institute, sebuah sayap Majalah TEMPO yang bergerak, antara lain, dalam bidang sumber daya manusia dan pendidikan penulisan. Acara diselenggarakan di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Menjadi Indonesia adalah program tahunan yang dilakukan Tempo Institute sejak lima tahun lalu.

Sebanyak 1.536 mahasiswa dari seluruh Indonesia TEMPO kumpulkan. Mereka membuat esai tentang Indonesia. Dewan juri mengambil 32 orang penulis esai terbaik. Malam itu, di gedung tempat dilaksanakan berbagai acara budaya nasional, itu para esais terpilih, berkumpul. Banyak tokoh hadir di situ. Di antara hadirin, selain para penulis, peneliti, politisi, dan para aktivis kemanusiaan, tampak Titiek Puspa dan Basuki Tjahaya Purnama. Sementara, Irma Hutabarat, wanita penuh aktivitas dan MC handal itu, membawakan acara dengan sangat hidup.

Arif Zulkifli, Pemred TEMPO, memberikan sambutan. Ia memulai dengan menyebut sebuah demontrasi yang dilakukan sekemompok pemuda yang membawa poster bertuliskan:

"Mari kita lupakan Sumpah Pemuda, karena ia bertentangan dengan Islam!"

Arief menulis di twitter, "Kita tidak mungkin melupakan sejarah. Melupakan Sumpah pemuda adalah sama dengan menapikan peran umat Islam dalam Sumpah Pemuda!"

Saya tertarik dengan pernyataan Arif hal “melupakan sejarah”. Minggu, 10 Muharam, ketika saya menuliskan artikel ini, saya teringat kembali apa yang dikatakan Arif. Sebuah peristiwa sangat besar telah terjadi dan menimpa keluarga besar pembawa agama ini. Saya juga belum lupa ketika pada tahun 1987, di ruang guru SMP Karya Pembangunan, Bandung Selatan, membaca sebuah buku kecil, terbitan Balai Pustaka, dari perpustakaan sekolah. Buku lama itu berjudul Karbala Banjir Darah dan Air Mata.

Husain, putra Ali dan Fatimah, menerima ratusan sampai ribuan surat dari masyarakat Kufah. Rakyat mengadukan tentang kelaliman pemimpin mereka. Orang-orang Kufah minta ada seorang pemimpin yang yang saleh untuk menegakkan kebenaran, melawan pemerintah yang zalim.

Dengan diiringi 70-an orang yang terdiri atas saudara-saudara perempuan dan para shahabat, cucu Rasululllah itu, pergi menuju Kufah. Beberapa orang menaiki kuda dan unta, tetapi sebagian besar berjalan kaki. Kepergian rombongan ini, diendus pasukan penguasa.

Dalam perjalanan, di tengah padang pasir, rombongan orang-orang suci ini dihadang dan digiring ke tempat yang paling gersang. Sumber air untuk kebutuhan makan dan minum ditutup untuk mereka. Ali Akbar, putra Husain dan kaum wanita di dalam kemah didera kehausan yang sangat. Abbas meminta izin kepada Husain untuk mengambil air dari Sungai Furat. Ia berhasil mencapai tepian sungai. Dia celupkan jemarinya ke dalam air yang dingin, tapi ia mencurahkannya kembali. “Tidak layak aku minum air sejuk sedangkan kehausan mencekik saudaraku Husain.” Abbas memenuhi kantong airnya. Dari balik pohon kurma, musuh mematahkan kedua tangannya. Panah-panah beracun menghujani tubuhnya. Ia roboh dengan kantong air yang ia ingin persembahkan kepada keluarga Husain. Sementara anak panah lainnya merobek kantong air itu, dan tongkat besi membelah kepalanya.

Bergemuruhlah peperangan yang sangat tidak seimbang itu. Satu pihak terdiri atas sekitar 74 orang yang sebagian besar berjalan kaki, dan banyak perempuan dan anak-anak, melawan pihak lain berupa pasukan berjumlah lebih dari 4000 orang berkendaraan kuda dan bersenjata lengkap.

Anak-cucu keluarga Muhammad, yang Nabi saw pesankan kepada umatnya untuk senantiasa menjaganya, dibantai habis-habisan.

Pada tanggal 10 Muharam, hari ini, 1333 tahun lalu, setelah badannya dihujani anak panah dan tombak, cucu terkasih yang yang sering Nabi saw gendong dalam shalatnya, yang kepalnya sering dicoiumi Nabi saw., dipotong lehernya oleh manusia laknat, Syimir bin Dzil Jausyan dari pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin Umar bin Saad. Saudara-saudara perempuannya, dirantai, dinistakan.


Emha Ainun Nadjib, beberapa tahun lalu, menulis di TEMPO: “Sesudah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah saw. diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua’lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria –sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa– tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.

Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.”
Bukhari menulis dalam kitabnya: "Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan: ‘aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan: ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, ‘Diantara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain Radhiyallahu 'anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).’"


Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu 'anhu dinyatakan:
"Lalu 'Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu 'anhu".
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu: "Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain Radhiyallahu 'anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan, ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu!”’
Demikian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu: “Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.”’



Meskipun ada kelompok yang bermaksud menutup-nutupi peristiwa itu, berusaha melupakan sejarah; namun malapetaka besar itu, tidak mungkin dihilangkan. Sejarah tidak akan pernah terlupakan.





Dalam perjalanan Bogor-Jakarta-Bandung-Bogor, 10 November 2013 (10 Muharam 1435 H.) dan Ciomas,11 November 2013, tengah malam.



Salam,
dikutip dr catatan
Jonih Rahmat
Pengasuh Yayasan R-Rahmah
0
814
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan