cekcoy
TS
cekcoy
"Dosa yang tak termaafkan". ( yang suka nyinyir&mengkritik; dokter masuk!)
“Dosa” Yang Tak Termaafkan.. ? (Pasca 27 November 2013)
By: Yusite Amalia
From: Kompasiana Dua hari berlalu pasca Demo Ribuan Dokter se Indonesia menolak Kriminalisasi
dokter. Serentak rakyat Indonesia terkaget kaget, banyak yg kemudian mencibir dan
berbicara nyinyir, Dokter kok Demo, dan kemudian menghujat habis habisan bahkan
sampai berkata “saya makin kecewa dengan dokter Indonesia” Jarang sekali yg kemudian melanjutkan cibirannya dengan menggali, “Kenapa dokter
bisa sampai demo?” Terlepas dari kebiasaan mayoritas bangsa ini yang sering berpikir pendek dan cepat
mengambil kesimpulan, harus diakui memang, Substansi dari Dokter turun ke jalan
kali ini menjadi terkaburkan dengan emosi dan pemberitaan yang tidak berimbang. Bersamaan dengan turun ke jalannya dokter,muncul pemberitaan, ada pasien
jantung kritis yg tidak terlayani, pasien sakit kritis yang tidak terlayani, pasien
jamkesmas yg kembali pulang karena tidak terlayani, atau pasien yg kemudian
melahirkan di toilet. Dan sontak semua orang ramai2 menghubungkan hal ini dengan
ketidakhadiran dokter di tempat karena turun demo. Padahal jelas, tidak ada satupun
pelayanan emergency yg ditinggalkan dokter. Dengan pahit harus kami sampaikan, bukan hari Rabu kemarin saja banyak pasien
jantung kritis yang tidak terlayani. Bukan hari kemarin saja banyak pasien
jamkesmas yg harus kecewa setelah melalui antrian sejak subuh tapi belum bisa
dilayani sampai menjelang maghrib. Bukan hari kemarin saja pasien kecewa karena
harus kembali menunda jadwal operasi yang antriannya bisa berbulan bulan. Bukan
hari kemarin saja banyak ibu bersalin yang gagal mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan, karena meskipun mulas dan sudah masuk fase persalinan aktif, mereka
masih terlambat ke fasilitas kesehatan karena terlalu takut dengan ongkos yang
harus mereka siapkan. Salah dokter kah? Padahal hari Rabu kmarin pelayanan di RS tidak ada bedanya
dengan tanggal merah lainnya dimana pelayanan IGD, OK cito, ICU, NICU dan rawat
inap tetap berjalan seperti biasa. Jika untuk mereka yg tak terlayani hari Rabu kemarin, banyak orang dengan
mudahnya mengambil kesimpulan bahwa semuanya gara2 dokter demo, lalu
bagaimana dengan ratusan bahkan ribuan pasien terlantar di hari hari
sebelumnya??? Inilah wajah sebenarnya Sistem Kesehatan di Negeri ini. Wajah penelantaran. Jauh
dari kepedulian. Pelayanan kesehatan negeri ini sudah lama ditelantarkan dengan Kebijakan dan
Anggaran setengah hati. Bagaimana tidak? Anggaran fungsi kesehatan hanya 1%
dari APBN, bahkan ketinggalan jauh dari negara miskin seperti Rwanda yg berani
menyiapkan 15% untuk kesehatan rakyatnya. Bagaimana tidak ditelantarkan? Disaat mobil dan alat2 konsumtif lainnya
mendapatkan insentif pengurangan pajak, Alat kesehatan justru dikenai pajak barang
mewah, dan pajak obat obatan dinaikkan. Bagaimana tidak ditelantarkan? Premi peserta Jaminan kesehatan Nasional hanya
diberi 19.225 rupiah saja dengan alasan stabilitas fiskal di saat trilyunan uang negara
beredar seperti kacang goreng dari rekening koruptor satu ke koruptor yang lain. Bagaimana tidak ditelantarkan? tenaga profesional kesehatan dibayar murah, dan
dipaksa bekerja melayani ratusan pasien dalam sehari dengan fasilitas seadanya. “Tapi kan kemarin bukan demo ttg itu? Tapi demo solidaritas dan tolak kriminalisasi?
Ga usah cari cari alasan or sibuk ngeles lah dokter. Bilang aja dokter takut
dipenjara.” Hehe.. Betul kami memang khawatir dipenjara. Setelah penelantaran yang selama ini terjadi, setelah kerja keras pengabdian untuk
terus hadir melayani negeri ini, meskipun yg karenanya kami rela bertemu keluarga
hanya sebentar saja setiap pekannya, meskipun yang karenanya kami harus bekerja
ekstra time cari tambahan dari klinik satu ke klinik lain, dari RS satu ke RS lain, agar
anak anak kami dapat hidup dengan layak. Dan kemudian semua itu berujung
dengan mudahnya kami divonis malpraktek untuk sebuah risiko medis yang hingga saat ini dokter paling hebat di dunia pun belum bisa mengatasinya, jelas kami takut
terpenjara. Bukan hanya terpenjara fisik, tapi juga terpenjara dalam ikhtiar profesionalisme kami. Kami khawatir terpenjara bukan karena kami takut tak bisa makan. Kami khawatir ketika dengan mudahnya pak jaksa dan pak hakim memenjarakan
kami dengan vonis malpraktek tanpa memahami ataupun mengkonsultasikan
kasusnya, kami kemudian bekerja dengan mekanisme defensive yg berlebihan, tidak
berani menolong pasien sebelum ada tandatangan lengkap keluarga dan pasien,
tidak berani menangani pasien sebelum cek lab dan pemeriksaan penunjang ini itu,
meskipun hanya untuk kasus demam biasa, yang akibatnya semakin dalam kocek yang harus dirogoh pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Kami khawatir jika
banyak dari kami kemudian memilih untuk tidak menolong pasien gawat daripada
gagal berusaha kemudian masuk bui. Untuk pejabat negeri ini mungkin tidak masalah merogoh kocek lebih dalam, atau
kalau tidak mau bersabar, tinggal nyebrang ke negeri tetangga. Tapi untuk sebagian
besar rakyat, yg untuk makan saja susah, mungkin mereka memilih untuk tetap
diam dalam kesakitannya di rumah atau kemudian pergi k klinik “Tong Seng”.
Apakah klinik Tongseng dan sejenisnya sanggup menurunkan angka kematian ibu
dan bayi dan penderita gizi buruk? Kami sudah cukup lama bersabar dalam kerja2 pengabdian yang nyaris seperti
perbudakan ini. Meskipun banyak yang berkata, “kalau ga suka, ga usah aja jadi
dokter, atau ya begini indonesia,kalo ga suka pindah aja ke LN”, sejenak ijinkan
kami mencoba meminta untuk tetap dapat melayani dalam Kepastian dan
perlindungan hukum yang adil. Kami bukan minta kekebalan hukum, tapi Ijinkan
kami untuk tetap melayani saudara kami di negeri ini dengan kemampuan tertinggi kami dalam perlindungan hukum yang berkeadilan. —Ya..tapi mbok ya ga usah pake demo atao mogok. Kesannya gimana gitu, kok
dokter sama kaya buruh.– betul, anggapan demo atau mogok hanya pantas dilakukan buruh, itu sebuah
persepsi yang selama ini memenjarakan dokter justru menjadi makhluk yang tidak
berani bersikap. Memilih diam untuk semua ketidak adilan yang terjadi di depan
mata. Memilih bertahan dalam ketidakadilan meskipun tembok2nya tak kunjung
berhasil ditembus. Dokter demo/mogok, sudah banyak terjadi di negara maju lainnya. Di Kanada, dokter
mogok berhasil memaksa pemerintah menaikkan anggaran kesehatannya. Di israel,
mogok pelayanan selama 4 bulan, berhasil memaksa pemerintah melakukan
perubahan yg fundamental dalam sistem kesehatannya. Bahkan di sebuah jurnal
disebutkan berpengaruh positif pada penurunan angka mortalitas. “Ah..itu kan di luar negeri, tetep aja di indonesia hal ini nggak pantes.” Jika memang demikian, Kami Mohon maaf atas semua pilihan perjuangan yang kami
ambil. Bung Karno dan jendral Sudirman pun tak selalu sepakat dalam cara
memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Jika ada yang terluka, kami mohon maaf,
karena selama ini sesungguhnya dokter dan pasien sama sama terluka oleh
kebijakan yang dzhalim. Mencuci luka, kemudian menjahitnya, tak jarang ada perih
yang harus dirasakan. Sekaligus kami memohon maaf atas segala keterbatasan kami melayani pasien
yang masih penuh dengan kekurangan dan terus perlu kami perbaiki. Naluri kami
adalah melayani. Semoga semuanya tidak menjadi “dosa” yang tak termaafkan. Tapi peperangan belum usai, karena Sejatinya peperangan ini bukan lah perang
dokter vs pasien. Tapi perang rakyat Indonesia melawan ketidakadilan, perjuangan
rakyat Indonesia menghadirkan Sehat yang berkeadilan di negeri ini. Let’s Unite, Let’s Make A Change.
Diubah oleh cekcoy 02-12-2013 07:01
0
1.8K
3
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan