- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Hari Pahlawan] Jangan Renggut Benderaku
TS
arbylon12
[Hari Pahlawan] Jangan Renggut Benderaku
Welcome To My Thread
Sebelumnya, maaf ya klo trid ini kepanjangan... Ini adalah sebuah cerita inspiratif yang ane dapet selama surfing di internet. Kebetulan sekarang hari pahlawan, ane mau share cerita ini ke agan dan aganwati sekalian... Silakan disimak gan
Quote:
Jangan Renggut Benderaku
Bagimu negeri jiwa raga kami….
Baru saja lagu itu usai dinyanyikan, sekelompok siswa Papua baris paling belakang ramai bertepuk tangan. Wajah Pak Ahmad yang pagi itu bertindak sebagai pembina upacara memerah. Dari kemarin-kemarin ia bersabar dengan kelakuan remaja tanggung ini yang pernah menurunkan bendera Merah Putih dibalai kampung dan membuangnya ke sungai. Entah siapa yang menghasut mereka Tiap kali ditegur dan dinasehati mereka selalu mengaku salah dan meminta maaf. Habis itu mulai lagi mereka melecehkan harga dirinya seperti pagi ini.
Pak Ahmad semakin jengkel dengan perilaku mereka pahi ini. dari sejak upacara dimulai mereka terkesan enggan mengikuti. Tanpa mengenal takut Pak Ahmad kemudian menghampiri mereka yang tetap cengengesan sambil melayangkan pandangan ke arah lain. profesinya sebagai seorang benar-benar dilecehkan. hampi saja ia melayangkan tangannya kalau tidak ditahan guru lain yang langsung menariknya ke kantor.
Sementara gerombolan remaja yang sebenarnya sudah memasuki usia dewasa tadi namun masih tercatat duduk di kelas I SMP pimpinan Pak Ahmad, berlarian ke hutan tanpa merasa bersalah. Mereka menyeberangi sungai sambil tertawa-tawa dan menghilang dibalik rimbunnya pepohonan. Tak lama berselang, layang-layang bergambar Bintang Kejora beterbangan di langit kampung seberang. Layang-layang pertanda perlawanan belum selesai itu meliuk-liuk ditiup angin pegunungan yang kencang. Upacara bendera pagi ini terpaksa dihentikan untuk kesekian kalinya.
Dari jendela kantornya yang hampir ambruk, Pak Ahmad memperhatikan layang-layang itu sambil menahan amarah dan kecewa.
“Jadi bagimana, Pak?” Yohan, pemuda asli Kampung Binuai yang membantu Pak Ahmad mengajar selama ini bertanya sambil mengeluarkan beberapa amplop dari laci kerjanya. Rencananya mereka akan memanggil orang tua siswa badung tadi karena sudah bertindak diluar batas. Namun ada keraguan dari Pak Ahmad setelah melihat bendera Bintang Kejora juga bermunculan di pegunungan. Sepertinya ‘orang’ bukit itu sengaja memancing emosi warga kampung Binuai yang selama ini dikenal berseberangan sikap dengan mereka.
“Tunda dulu. Saya takut masalah ini melebar.”
Pak Ahmad terdiam. Ia mendengar suara hiruk-pikuk dari pos penjaga yang berjarak sekitar 100 meter dari sekolahnya. Suara letusan kemudian terdengar. Pak Ahmad dan Yohan mengamati dari jendela. Beberapa anggota TNI yang tak bisa mentolerir perbuatan tersebut memberi tembakan peringatan. Tak lama kemudian bendera-bendera Bintang Kejora menghilang. TNI juga menyita berbagai layang-layang dari remaja separatis tadi yang sudah melarikan diri ke kampung Opem
Ya, gerombolan siswa tadi berasal dari kampung Opem yang mulai lengang ditinggal warganya. Sebagian besar mereka mendiami bukit dan gunung. Mereka menolak bergabung dengan Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Berbagai langkah dilakukan untuk menjinakkan mereka. Hasilnya Cuma sepintas lalu. Kadang mereka mengaku Indonesia kalau mengharapkan bantuan atau sakit. Setelah itu mereka kembali menjadi ‘orang bukit’ yang kerjanya Cuma menganggu warga kampung Binuai dan sekitarnya. .
Yohan, guru honor yang sering membantu Pak Ahmad juga berasal dari kampung Opem. Namun ia dan keluarganya memilih pindah ke kampung Binuai karena ingin menjalani hidup dengan nyaman dan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Berbekal kecerdasannya Yohan lalu mendapatkan beasiswa hingga ke perguruan tinggi. Ia menjadi satu-satunya anak kampung Opem yang pandai membaca dan bergelar sarjana pendidikan. Sementara saudaranya yang lain dari kampung Opem dan kampung-kampung lainnya masih bergelimang dengan kebodohan.
Yohan dulunya sempat menjadi guru di Sentani. Karena cintanya pada kampung ia kembali pulang dan membantu Pak Ahmad mengajar sejak dua tahun lalu. Di sekolah yang serba minim inilah Yohan dan Pak Ahmad mengabdikan sebagian hidup mereka dengan mengajari anak-anak dari berbagai kampung dan usia. Sungguh perjuangan yang berat dimana nyawa mereka sendiri sebagai taruhannya.
Nasionalisme Yohan sendiri tak perlu diragukan. Ia mewarisi semangat Bapaknya yang menjadi korban keganasan OPM tujuh tahun lalu. Saat itu Yohan yang duduk di kelas III SMA menyaksikan sendiri ketika Bapaknya diseret ke hutan oleh kelompok bersenjata tak dikenal. Dua hari kemudian Bapaknya ditemukan tewas bersimbah darah. Dua butir peluru menembus dadanya.
Polisi kesulitan menangkap pelakunya karena tak ada bukti-bukti berarti yang ditinggalkan. Namun Yohan yakin kelompok separatis OPM yang melakukan itu, sebab beberapa hari sebelumnya Honai-nya sempat didatangi oleh kurir dari bukit dan bertengkar kecil dengan Bapaknya yang tengah mengumpulkan sagu. Walau masih bertalian darah, Dimata Bapak ‘orang-orang bukit’ adalah manusia yang tak tahu diri. Mereka rela hidup di hutan dengan alasan takut pada aparat keamanan. Padahal aparat keamanan tidak pernah menganggu mereka selama ini. Justeru orang bukit itulah yang sering turun menganggu aparat keamanan dan mengibarkan bendera Bintang Kejora dari sana setiap hari senin.
“Aku tak mau ikut. Sagu ini juga akan kujual dengan harga pantas. Cukup aku membantu kalian, tapi tak pernah kalian hargai. Walau kalian tahu siap orangnya, kalian juga tutup mulut tak mau beri tahu.” Yohan dapat mendengar jelas suara Bapaknya. Namun ia pura-pura sibuk membelah sagu dengan kapaknya.
Yohan yakin, ucapan terakhir Bapak inilah yang membuat mereka tersinggung. Ya, Bapak seperti ingin menuduh orang bukitlah yang mencuri ternak babi warga di Wamai akhir-akhir ini. Kabarnya mereka ingin berpesta untuk menyambut orang penting yang selama ini berjuang untuk ‘orang bukit’ dan Bintang Kejora. Tapi memang tak ada bukti yang jelas tentang keterlibatan mereka.
Sampai kini.
“Anak-anak sudah dipulangkan, Pak,”ujar Yohan tak lama berselang. Pak Ahmad yang masih berdiri dekat jendela mengaggu kecil. Ia melangkah pelan ke meja kerjanya.
“Kita masih ada kerja sedikit. Besok proposal itu harus dikirim. Kita cek lagi mana yang kurang. Mudah-mudahan sekolah ini cepat dibangun, agar kita bisa mengajar dengan nyaman.” Pak Ahmad mengembang senyum. Gundah hatinya sedikit terobati setelah temannya meminta Pak Ahmad melaporkan keadaan fisik sekolah mereka untuk melengkapi bantuan dari beberapa donatur.
“Kita doakan saja, Pak. Semua laporan sudah saya siapkan. Bapak tinggal mengeceknya sekali lagi. Besok sudah bisa dikirim,”ujar Yohan. Dia begitu bahagia bila cita-cita Pak Ahmad sejak semula dapat terwujud.
Usai kejadian senin pagi itu itu, Pak ahmad yang ditugaskan mengajar di pedalaman Papua sana banyak melamun. Ia merasa nyawanya semakin lama semakin terancam. Firasat itu yang dirasakan Pak Ahmad akhir-akhir ini. Bermula dari dua minggu yang lalu. Beberapa wali murid mendatanginya di kantor. mereka keberatan sekolah mewajibkan anaknya mengikuti upacara bendera.
“Dimana saja siswa wajib mengikuti upacara bendera, Pak. Termasuk juga di Biak sana.” Yohan saat itu agak berkeras membela Pak Ahmad yang didatangi orang tua kampung Opem.
“Kami juga tahu itu, tapi ini bukan Biak atau Wamena. Jangan kau samakan!”
“Sejak sekolah ini berdiri, baru bapak ini yang memaksa anak ikut upacara!” Seorang wali murid menunjuk muka Pak Ahmad. Pak Ahmad menghela nafas sejenak sebelum berbicara.
“Ya, begini saja. Kalau memang keberatan, tidak ikut juga boleh. Tapi tolong jangan mengganggu anak lain yang sedang upacara.”vonis Pak Ahmad.”Kalau tetap dilakukan, pilihannya jelas, diberhentikan atau berhadapan dengan aparat!”
Sikap tegas Pak Ahmad membuat mereka ciut. Mereka berlalu sambil membanting pintu kantor yang berderit-derit. Yohan mengamati dari jedela. Dari sana ia mengamati anak-anak kampung Opem mengikuti langkah orang tua mereka. Mereka sempat mengepalkan tinju ke arah Yohan, yang menyambutnya dengan geleng-geleng kepala.
Sejak kejadian bertubi-tubi yang menganggu hidupnya, sempat terpikir oleh Pak Ahmad untuk berhenti mengajar atau mengundurkan diri. Bukan ia tak sanggup menjadi guru, ia hanya mengkhawatirkan keselamatan istri dan anaknya. Ia agak menyesal juga kenapa dulu mau saja dipindahkan kemari dengan iming-iming kepala sekolah dan gaji yang besar. nyatanya lebih enak menjadi guru dan mengajar di Jayapura sana daripada menjadi kepala sekolah dipedalaman terpencil seperti ini.
Tapi untunglah. Selama mengabdi di daerah rawan konflik itu, sambutan penduduk setempat pada Pak Ahmad cukup simpatik. Mereka sangat menghargai profesi Pak Ahmad yang berjuang ingin mencerdaskan anak-anak mereka. Apapun hasil bumi dan buru yang didapat, tak lupa mereka berikan sebagian pada Pak Ahmad. Kadangkala itu juga yang membuat Pak Ahmad terharu. Mengingat itu ia menjadi berat meninggalkan profesi dan tempat kerjanya.
Tapi akhir-akhir ini, perasaan aneh mengusik hati Pak Ahmad. Ia merasa ada sepasang mata liar yang selalu mengiringi langkahnya saat mengajar. Namun berbekal keyakinan yang tinggi, Pak Ahmad sekeras mungmin menghalau perasaan tak enak tersebut. Apalagi tak jauh dari sekolah dan rumahnya, berdiri pos keamanan yang dijaga TNI. Mereka selalu siap memberikan pertolongan bila terjadi apa-apa dengan diri dan keluarganya.
Namun tetap saja Pak Ahmad merasa khawatir. Untuk mengurangi perasaan itu, ia kemudian menyekolahkan anaknya di Jayapura. Satu bulan sekali ia menjenguk anak istrinya untuk melepas segala kerinduan. Sungguh berat perjuangan yang harus dilaluinya.
Perjuangan Pak Ahmad dirasakan betul oleh istrinya. Pagi tadi istrinya mengabarkan ia akan pulang ke kampung dengan anaknya. Ia tak ingin dijemput karena tahu suaminya terasa capek akhir-akhir ini. Mulanya Pak melarang mereka pulang, tapi apa boleh buat, istrinya sudah di dalam perjalanan untuk memberikan kejutan.
Sembari menunggu kedatangan istrinya, Pak Ahmad masih sempat menemui Yohan di Honai-nya. Mereka memperbincangkan soal bantuan dana dari donatur. Yohan sangat bersyukur, proposal pengajuan dana yang ia siapkan diterima.
“Mereka Cuma minta kita memperbaiki desain bangunannya. Yang lain dianggap beres.”Pak Ahmad meminta Yohan untuk menemaninya ke kota, sekaligus menjemput istri dan anaknya yang sudah dua jam ini belum sampai juga. Tak biasa perjalanan mereka selama ini.
Yohan mengangguk dan ingin berkemas. Namun kemudian terdengar suara letusan. Sangat jelas. Diiringi letusan kedua dan ketiga beberapa saat kemudian. Kampung Binuai menjadi ramai. Semua laki-laki keluar rumah lengkap dengan senjata setelah terdengar tembakan dari aparat TNI.
Yohan, Pak Ahmad dan beberapa warga Binuai lengkap dengan senjata berlarian ke arah sungai, tempat sumber letusan. Hati Pak Ahmad sangat miris. Dilihatnya diseberang sungai tubuh istrinya sudah tergeletak tak bernyawa. Ia histeris. Yohan berusaha menenangkan Pak Ahmad.
Menjelang maghrib, barulah jasad istri Pak Ahmad berhasil di evakuasi. Anak semata wayang berhasil selamat setelah jauh terseret arus. Ia mengaku di dorong ibunya ke sungai saat orang-orang bertopeng menyergap mereka.
Mati dan hidup sudah ketentuan-nya. Pak Ahmad tak berlama-lama menyesali diri yang terlalu lambat menjemput istrinya. Masih ada tanggungjawab besar lainnya yang harus dia selesaikan.
Hari senin pagi ketika upacara bendera diadakan dengan pengawalan aparat TNI. Pak Ahmad menerima kabar dari salah seorang guru, kata mereka Yohan sudah bukat mengundurkan diri. Ia memutuskan berjuang melawan ‘orang-orang bukit’ yang merenggut kedamaian mereka selama ini. Sekaligus membayar hutangnya pada Pak Ahmad. Ya, kalau saja proposal yang dibuatnya dulu lengkap, tentu Pak Ahmad tidak semakin terlambat menjemput istrinya dan pulang mengambil jalan pintas yang aman. Itulah kesalahan yang tak bisa dimaafkan di mata Yohan.
“Pak Ahmad terus saja berjuang membangun pendidikan di sini. Dia akan berjuang dengan caranya sendiri,”ujar Pak Mathudum mengakhiri pesan rekan kerjanya. Air mata Pak Ahmad menetes perlahan.
Lagu Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat. Sang Saka Merah Putih dinaikan siswa dengan keteguhan hati. Semua peserta upacara memberi hormat berhias rindu pada masa depan.
Jauh dibalik pepohonan, Pak Ahmad melihat wali-wali murid yang menghardiknya tempo hari dan puluhan warga asli Papua lengkap dengan senjata tradisionil masing-masing turut memberi hormat pada sang Merah Putih. Penghormatan itu dikomandoi oleh Panglima Perang baru mereka yang berdiri di tumpakan tanah cukup tinggi.
Yohan, panglima perang itu seakan ingin berkata, Mereka boleh merenggut semuanya, tetapi mereka tak akan dibiarkan merenggut merah putih ini dari tanah kami, tanah kita, tanah Indonesia.
Air mata Pak Ahmad semakin deras mengalir.
Mau dikasi atau enggak juga gapapa gan Makasi sudah mampir
Sumber: [Hari Pahlawan] Jangan Renggut Benderaku
Diubah oleh arbylon12 10-11-2013 09:33
0
1.8K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan