kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
Evaluasi Keberagamaan Kita
Dalam kehidupan beragama kita, seringkali kita terjebak pada kulit, sedangkan isinya kita lupakan. Padahal perjalanan tidak hanya pada tahap kulit saja, masih ada tahapan yang mesti dilalui hingga kita bisa mencapai isinya. Maka ada empat hal yang menjadikan kita bisa terjebak hanya pada sebatas kulit saja.

Pertama, kita bangga dengan Islam tapi baru sebatas berhenti di kata “bangga”, belum menjadi bukti. Tidak hanya berteriak takbir untuk membela Islam, tapi mesti disempurnakan dengan membela Islam melalui hal lainnya, misalnya, apakah shalatnya sudah benar, akhlaknya sudah mulia. Bangga kepada Islam amat bagus, tapi tidak cukup hanya dengan kebanggaan. Namun bukan berarti tidak boleh bangga, tapi itu tidak cukup.

Islam tanpa dibela sudah sempurna, kita membela Islam untuk diri kita. Berjihad, pahalanya untuk dirinya. Mati syahidnya untuk diri sendiri. Berjuang untuk dirinya sendiri juga. Islam sudah sempurna tapi buahnya apa? Akhlaknya bagaimana?

Seperti pada orang pesantrenan lebih bangga dengan di pesantrennya, padahal belum tentu di pesantren ia belajar dengan baik.

Kedua, jangan-jangan kita hanya sekadar senang pada tahap tahu. Sudah tahu ilmu itu sepertinya merasa hebat. Kita merasa bangga dengan status dan merasa bangga dengan tahu. Untuk apa hanya tahu keutamaan shalat tahajud, misalnya, tapi tidak mengamalkan ilmunya.

Mari kita evaluasi kenapa pengajian banyak tapi masih belum signifikan perubahannya. Boleh jadi kita lebih senang dengan tahu, lebih bangga hapal dalil untuk menasehati orang lain, mendebat orang lain, daripada berjuang untuk memperbaiki akhlak diri. Pengetahuan bila untuk berdebat tambah tidak nyaman, tapi pengetahuan untuk diamalkan dan tentunya disebarkan dengan ikhlas, akan semakin berkah dengan bertambah ilmu bagi dirinya.

Kita baru senang hapal quran atau hadis. Kita lebih sering membahas dalil yang shahih, padahal kelakuan kita tidak shahih. Dalil bisa jadi shahih, tapi akhlaknya belum tentu shahih. Tidak disuruh menjadi ulama, tapi menjadi orang yang bertakwa. Belum tentu ketika menjadi ulama bisa menjadi ulama yang benar. Namun dengan menjadi orang bertakwa tentunya bisa mudah menjadi ulama bila Allah SWT mentakdirkannya. Orang bertaqwa bisa terukur, karena ia takut kepada Allah, dan gampang bisa menjadi ulama.

Ketiga, kita orientasinya lebih pada aksesories, gelar, penampilan. Apakah keshalehan itu ditandai dengan aksesories. Caranya bisa dengan mudah, ketika kita akan shalat atau sedang bercermin. Apakah ketika shalat hanya penampilan biasa saja dan khusyuk, berbeda dengan bercermin untuk berpenampilan sehari-hari. Betul Allah SWT itu Indah dan Maha Indah, tapi apabila kita diperbudak oleh penampilan, bisa menjadikan tuhannya penampilan. Bahkan apabila ia lebih diperbudak oleh penampilan bagaimana merias jilbabnya, bisa jadi jilbabnya yang menjadi tuhannya. Apa yang dicari, penilaian manusia atau penilaian makhluk.

Apalagi dengan orang yang kuliah di jurusan keagamaan, mungkin nantinya bisa disebut ustadz, yakinilah bahwa bukan itu yang dituju dari ilmu itu, tetapi apakah ada buahnya atau tidak. Khawatir belajar agama hanya aksesories, bangga dengan gelar, sorban, dan sebagainya. Maka ilmu itu sesungguhnya bisa membuat menjadi bijak dan matang. Beda dengan orang yang lemah yang memiliki sedikit ilmu, maka ia lebih sibuk menyalahkan orang lain. Jangan sampai kita malah menjadi perang dengan ilmu, atau kita bernafsu karena ilmu. Hati-hati kita lebih senang budaya aksesoris daripada budaya isi. Budaya “gelar” pada kehidupan kita lebih menjadi orientasi kita. Kita bangga anak kita bergelar, tapi kita ukur apakah akhlaknya lebih baik, setelah kuliah, apakah akhlaknya menjadi lebih baik kepada orang tuanya, atau kepada pembantunya, atau kepada teman-teman sekampungnya, apakah tidak merendahkan yang tidak sempat kuliah.

Keempat, malas merujuk kepada yang lebih baik. Kita terjebak dengan merasa sudah berbuat. Ini masalah. Untuk belajar ikhlas, kita mesti sungguh-sungguh. Untuk hanya belajar tahu saja, kita demikian sungguh-sungguh.

Dikisahkan ada dua orang santri yang sekamar berdua, tapi karena standardnya berbeda dalam hal kebersihan, maka sulit menemukan titik temu mana itu sudah bersih atau belum.

Kita mungkin sudah merasa beribadah, tapi kita hanya sampai pada sikap ujub, menyampaikan kebaikan diri untuk dipuji saja. Beramal tidak cukup bila tidak memakai hati. Kita perlu belajar kepada orang yang menampilkan akhlak dan ibadahnya yang lurus. Kita belajar mujahadah membersihkan hati tidak cukup hanya satu tahun dua tahun, karena bisa jadi bisa bertahun-tahun itu pun mesti dengan sungguh-sungguh. Maka perlu kiranya kita merujuk kepada standard yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih shahih.


0
766
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan