moztikamayAvatar border
TS
moztikamay
Cerpen : Senar-senar Cinta
Sore agan-agan kali ini gua mau share cerpen gue nih. Gua pikir daripada ngumpet di laptop dan nantinya mubadzir apalagi sampai jamuran, kan sayang. Jadi mending gua share ke agan-agan nih. Buat yang mau ngasih pencerahan dari cerpen gua ini agar lebih baik monggo. Yang mau ngasih kritik atau kripik boleh banget. Okay deh.. langsung aja disimak ya emoticon-Smilie



°°Senar-senar Cinta°




"Jangan sentuh gitar gue !"

itulah kalimat yang sering gue ucapin ketika ngelihat ada orang yang nyoba dekatin gitar gue, nggak peduli siapapun itu.
Terdengar keterlaluan memang, tapi menurut gue itu cara paling ampuh menjaga gitar kesayangan gue biar tetap utuh seperti sedia kala.
Gue nggak mau gitar itu tersentuh oleh jemari siapapun apa lagi sampai ada goresan ditubuhnya. Tak hanya satu ataupun dua orang yang menganggap gue fanatik bahkan gila lantaran gitar itu. Semua anggapan itu nggak pernah tinggal di telinga gue, gue selalu mendorongnya pergi dan seolah gue benar-benar tuli. Keadaan itu dimulai semenjak mantan pacar gue ninggalin gue dan sudah pasti masih berlangsung sampai saat ini.

Sebuah gitar itu berawal pada saat mantan pacar gue Gandi lupa sama janjinya buat nemenin gue ke toko buku karena ketiduran, alhasil gue ngambek. Dan sekonyong-konyong dia nyanyi di depan rumah. Gue nggak begitu ingat akan lagu yang Gandi nyanyikan, yang gue ingat pasti dia menyelipkan nama gue "Nadira" di tiap bait liriknya yang ia ciptain sendiri.
Awalnya gue berpikir cowok iseng yang mencoba jadi pengamen amatir.

"Siapa sih, kok bawa-bawa nama gue ?"
Gue yang lagi duduk separuh melamun spontan gue membalikkan badan 90° kemudian memahami wajah pengamen itu lewat kaca.

"Itu kan Gandi. Ngapain tuh anak pake ngamen segala" Guepun keluar menghampiri dia.

"Sayang udahan dong ngambeknya, aku minta maaf. Janji deh nggak bakal diulangin" Ucapnya dari balik pintu garasi sambil tersenyum.

Tangannya menggenggam setangkai bunga mawar putih plus sebatang coklat, ya.. dia berusaha nyogok gue dan usahanya nggak sia-sia. Bukan karena sogokannya tapi sejujurnya gue nggak betah lama-lama marahan dengannya.
Mulai saat itu gitar itu disimpan di rumah gue atas usulnya dan setia menjadi saksi kisah kami. Setiap dia ke rumah dia selalu nyanyi buat gue entah lagu ciptaan dia sendiri atau lagu orang lain. Jemarinya begitu lihai menyusun irama demi irama dengan apik, suaranya juga terdengar renyah membuat gue selalu ketagihan. Dan caranya menatap gue saat melantunkan lagu, membuat gue semakin jatuh cinta. Bagaimana tidak, tatapan yang tulus, teduh, seakan mengajak gue menyelusup semakin dalam dan semakin dalam hingga gue tersekap dalam ruang bertabur cinta. Bahkan tak jarang kita berduet, masa itu seakan masih terasa hangat di rumah ini. Suaranya, tawanya, kekonyolannya masih terekam jelas di ruang tempat gue duduk sekarang.

"Andai kamu masih disini, aku yakin aku nggak bakal kaya gini. Aku butuh kamu, aku rindu kamu sayang. Kenapa kamu harus ninggalin aku ?" Air mata mengucur deras, gue terus terisak, terbenam dalam duka.
Setahun sudah gue dengan kondisi kaya gini, hidup di masa lalu. Menyakitkan dan tak terbantahkan namun anehnya selalu gue nikmati. Hingga saat ini belum ada satupun yang mampu menggeser posisinya dari hati gue. Gue berharap otak gue berhenti bekerja tapi nyatanya kenangan itu kembali berputar dalam ingatan.


***

Sabtu malam itu tak sepekat biasanya, langit ternoda oleh bintang yang membentuk titik-titik memenuhi pelataran langit. Bulan menampakkan wajahnya tanpa ragu. Angin berhembus dengan lembutnya memandu dedaunan yang meliuk-liuk manja. Keindahan malam itu semakin sempurna ketika handphone gue berdering berbarengan dengan ringtone yang gue setting secara sengaja.

"You are..
the only exception
you are..
the only exception
You are..
The only exception "

Sepenggal lagu berjudul The Only Exception milik Paramore mulai mengusik konsentrasi gue yang lagi duduk di kursi belajar, menelaah tiap-tiap kalimat yang tersusun rapi di novel. Gue langsung berhenti, padahal tinggal beberapa lembar lagi. Buru-buru gue comot handphone gue yang terlentang di sebelah tumpukan buku, di seberang novel yang lagi gue baca.

"Yeah.. Gandi" hati gue seolah menari ke awang-awang
Kebahagiaan yang selalu muncul di benak gue saat menerima telepon atau sms dan apapun yang berkaitan dengan Gandi.

"Iya sayang, ada apa ?" gue membuka pembicaraan.
"Kamu nggak lagi sibuk kan ?" tanyanya dengan suara lembut seperti biasanya.
"Nggak kok sayang, aku cuma lagi baca novel aja".
"Aku mau ngajak kamu keluar malam ini"
"Oke, aku siap-siap dulu ya" jawab gue bergairah, senyum mengembang tiba-tiba. Ingin rasanya gue teriak dan meloncat girang tapi sekuat tenaganya gue berusaha tenang.
"Iya sayang, tiga puluh menit lagi aku nyampe di rumah kamu, oh iya.. bawa gitar kita ya ".

Begitulah dia menyebut gitar itu meski sebenarnya masih resmi milik dia seorang. Gue tak pernah protes akan hal itu. Setelah gue mengiyakan permintaannya, perbincangan kami terhenti. Akhirnya gue meloncat, meski tidak dengan teriakan serta kegirangan seperti niat awal. Dengan sukses gue tepat di posisi yang gue targetkan, gue buka lemari dan segera memilah-milah baju.

"Ini aja deh, Gandi pasti seneng ngeliat gue pake baju ini"

Gaun coklat pudar polos sebawah lutut dengan lengan bermotif setengah balon. Dan bagian itu yang paling gue suka, menurut gue itu terlihat lucu. Pita berwarna coklat yang agak tua melingkari pinggang gaun itu.
Gaun yang merupakan kado ulang tahun gue yang ke 19, tiga bulan yang lalu.
Gaun itu memang simple, menggambarkan karakter dia yang simple dan nggak neko-neko. Begitu juga dalam menghadapi masalah di hubungan kami, masalah apapun pasti terasa ringan dan nggak berlarut-larut. Meski gaun itu polos nggak sepolos cinta dan kasih sayang yang ia tuai. Semua selalu indah dan berwarna, ada saja yang membuat gue semakin sayang padanya. Dari surprise-surprise kecil sampai kejutan yang menghentakkan jantung gue secara spontan.
Begitu sudah rapi, gue berlalu dari kamar dan duduk di ruang depan nunggu Gandi. Tak harus berlama-lama gue melirik jam yang mematung di dinding dengan bosan. Setelah lima menit menunggu, tepat pukul 19.15 terdengar suara motor dari luar. Gandi datang tepat sesuai janji yang dia ucap setengah jam lalu. Gue langsung keluar dengan menenteng gitar. Sebenarnya sempat terpikir, mungkin dia mau ngajak gue ngamen, tapi otak gue tetap saja memerintahkan untuk tampil anggun. Entah otak gue yang tiba-tiba konyol karena saking senangnya atau mungkin nggak mau berpikir panjang. Entahlah yang jelas gue hanya ingin selalu tampil istimewa di depan Gandi.

Baru sekitar beberapa meter menjauh dari rumah. Gue mendekatkan bibir gue ke telinganya.

“Kita mau kemana sih ?” tanya gue. Berharap akan ada kejutan di jawabannya.
“Tugas kamu malam ini cuma tiga, pertama nggak boleh banyak tanya, kedua nggak boleh protes” jawabnya, kemudian diam seperti sedang mengambil ancang-ancang untuk melanjutkan jawabannya.

“Dan yang terakhir peluk aku seerat mungkin biar badan kamu yang kerempeng itu nggak melayang terbawa angin.”

Agak kesal mendengar jawabannya, tak ada bosannya dia mengeledek badan gue. Memang sih tak ada yang salah, dia berkata jujur tapi tetap saja gue agak kesal. “Ih.. kamu nyebelin.” Gue menjitak kepalanya tapi sia-sia karena yang ada hanya membuat tangan gue sakit, dia memakai helm. Sial !

“Eits ingat, nggak boleh protes !”
“Fiuuuuuuuuuh..” gue hanya bisa pasrah.

Untuk pertama kalinya kami melaju diatas motor sportynya tanpa obrolan. Keadaan itu berlangsung sekitar setengah jam, gue benar-benar terjebak dalam kebosanan. Sampai akhirnya gue sudah tak tahan lalu mengeluarkan pertanyaan itu lagi, yang sedari tadi mengembung di tenggorokan.

“Kita mau kemana sih sebenarnya ?"

Semenit, dua menit hingga jauh lebih lama dari itu Gandi tetap bungkam. Kebosanan dan rasa kesal menjulur hingga ubun-ubun. Gue menarik napas perlahan, mungkin bisa tenang, pikirku. Tiba-tiba rasa penasaran muncul.
“Apa Gandi menyiapkan surprise buat gue ya ?" bisik hati gue. Gue melamun, menebak-nebak rencana apa yang sedang dibuatnya. Saat gue tengah sibuk berkonsentrasi dalam lamunan dia memecahkannya. Gandi menghentikan laju motornya.

"Ayo sayang turun" ucapnya.

Gue kaget, gelagapan sampai akhirnya hanya bengong mengikuti aba-aba Gandi. Gue melirik ke sekeliling. Gelap, tak ada seorang pun disana, hanya beberapa pepohonan berdiri di antara rerumputan.

"Kok ke tempat gelap gini sih sayang" suara gue kontan gemetar, perasaan takut serta khawatir bergejolak di benak gue.

"Udah ikut aku aja"

Gandi menggandeng tangan gue, tapi gue agak nggak yakin dalam genggamannya berbeda dengan biasanya. Gandi menuntun gue dengan sangat hati-hati. Benar-benar malam yang mencekam sekaligus mendebarkan. Tiba-tiba napas terasa berat untuk gue hirup dan gue hempaskan. Detak jantung yang tak karuan seperti berdetak di ujung telinga gue.
Gue melangkah tinggi-tinggi demi menghindari gelitikan rerumputan nakal. Nyamuk bertengger di kaki juga tangan, lalu menggigit dan menghisap darah gue. Gue semakin gelisah.

“Kamu nggak mau macam-macam kan ?” Tanya gue lirih, terucap dalam nada ketakutan. Lagi-lagi Gandi tak menjawab. Tiba-tiba gue terkejut..





Jeng.. jeng.. apakah yang terjadi ? Tunggu kelanjutannya ya hihi.. emoticon-Wink
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan