AkbaranbuAvatar border
TS
Akbaranbu
Di Balik Peristiwa 5 Desember Di Marabahan
Quote:


Tidak banyak yang mengetahui atau mengingat kembali peristiwa heroik terjadi di Marabahan 58 tahun lalu, tepatnya 5 Desember 1945. Peristiwa 5 Desember 1945 tidak hanya kebanggaan rakyat Marabahan, juga masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya karena sebagai bukti perjuangan rakyat untuk kemerdekaan RI. Meskipun ada tenggang waktu sekitar empat bulan setelah proklamasi kemerdekaan RI, baru proklamasi kemerdekaan rakyat Marabahan sebagai perwujudan konsekwensi logis dukungan kemerdekaan, untuk hidup merdeka, bebas dalam menentukan nasib sendiri untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun menempuh berbagai risiko berat.

Beberapa catatan menarik sekitar peristiwa 5 Desember 1945, perlu diungkap kembali mengingat mulai lunturnya penghargaan terhadap pejuang kemerdekaan tempo dulu. Begitu juga sedikit sekali catatan-catatan sejarah pejuang lokal yang dipublikasikan ditambah banyak saksi dan pelaku sejarah yang telah meninggal dunia.

Mengapa di Marabahan

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, banyak pejuang di luar P Jawa tidak mengetahuinya, disamping memang sengaja ditutup oleh pihak penjajah. Begitu pula dengan proklamasi kemerdekaan RI di Kalimantan Selatan tempo dulu yakni di Marabahan, selain alasan tersebut pendapat Maulani (1996) berita tentang proklamasi kemerdekaan memang agak terlambat datangnya ke Kalsel, karena pada masa itu hubungan antara Jawa dan “Borneo Selatan” boleh dikatakan terputus sama sekali.

Lebih jauh digambarkan, hubungan yang biasanya melalui laut dengan perahu rakyat, sejak April 1945 terputus sama sekali akibat interdiksi (larangan/embargo) udara oleh sekutu. Galangan kapal di Kuin dan Alalak pada Mei 1945 diratakan dengan tanah oleh sekutu yang muncul menyiram Banjarmasin setiap hari dengan gelombang demi gelombang aksi pemboman udara.

Akhirnya, informasi itu diketahui juga oleh rakyat Marabahan dan lebih meyakinkan lagi, mereka mengetahui lewat siaran radio. Pesawat radio saat itu sangat langka, dibeli dari tentara Australia yang menduduki Banjarmasin untuk melucuti tentara Jepang.

Klimaks perjuangan rakyat Marabahan terjadi 5 Desember ’45, namun latar belakang dan risiko terjadinya peristiwa proklamasi juga menjadi sejarah penting. Terhitung sejak 1 Desember hingga 7 Desember ’45 berdasarkan naskah sejarah perjuangan/pertempuran rakyat Marabahan dan sekitarnya oleh DPRD Dati II Batola (1984) merupakan peristiwa penting yang mengitari pengibaran bendera Merah Putih di Marabahan.

Tepat pada hari Sabtu 1 Desember 1945, para pemuda Marabahan membentuk organisasi Persatuan Pemuda Republik Indonesia (PRRI) bertujuan mengisi jiwa rakyat dengan semangat proklamasi 17 Agustus 1945. PRRI inilah yang membeli radio dari tentara Australia sehingga rakyat Marabahan dapat mendengarkan pidato-pidato dari para pemimpin Bangsa Indonesia.

Kedatangan motorboat “OHA YO” dari Sampit tanggal 3 Desember 1945 di Marabahan, berisi rombongan BPRI Pusat yang dikenal rombongan “9″ Expedisi Kalimantan dipimpin H Achmad, Burhan dan Djaderi. Mereka mengadakan pembicaraan dengan PRRI tentang hal-hal yang berkenaan dengan kelanjutan perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah.

Tiga keputusan penting dihasilkan melalui rapat pimpinan dengan wakil-wakil segenap lapisan masyarakat setempat tepatnya hari Selasa 4 Desember 1945 di rumah Baidillah, yakni : (1) Melebur Persatuan Pemuda Republik Indonesia (PPRI) menjadi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI); (2) Mengambil alih kekuasaan pemerintahan NICA oleh BPRI dan mengibarkan bendera Merah Putih dalam waktu sesegeranya; (3) Mengeratkan hubungan dengan Kesatuan Kelaskaran yang ada di Kalimantan, terutama BPRIK di Banjarmasin (Pengambangan).

Selain itu, rombongan “9″ Ekspedisi Kalimantan juga menyerahkan bantuan persenjataan berupa 6 pucuk Senapan Panjang type 91, 1 peti berisi 900 biji granat tangan dan 1 peti bom pembakar.

Hasil keputusan untuk mengambil alih kekuasaan memang benar-benar dilaksanakan dengan sesegeranya. Pada keesokan hari tepat pada Rabu 5 Desember 1945, terjadilah pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan Rujehan Fathur, Cs dan merampas 1 karabein type 95 berikut 1 pucuk senapan kembarsdan beberapa peluru.

Pada hari itu juga digelar rapat raksasa yang menurunkan bendera Merah Putih Biru dan menaikkan bendera Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh M Syahruddin dan H Yacob di depan rumah eks controlir. Kemudian tampil ke depan beberapa orang tokoh seperti M Bahaudin Musa dan dari BPRI Ekspedisi Kalimantan yakni Djaderi.

Selesai rapat raksasa, tiang bendera Merah Putih dijaga beberapa anggota bekas Kaigon Heiho yakni Ajian, Bahran, Bahrian, Halul, Huldi (Tuhul), Badarussalam dan lain-lain. Selanjutnya sekitar jam 11:30 diadakan rapat perobahan personalia kepengurusan BPRI dan membentuk Dewan Markas BPRI yang bertanggung jawab menghadapi segenap risiko yang terjadi setelah proklamasi 5 Desember 1945.

Sehari setelah proklamasi, rakyat Marabahan mengibarkan bendera Merah Putih dari pukul 06:00 pagi sampai pukul 18:00. Selanjutnya sebagian pasukan perjuangan BPRI dipimpin H Arbain dengan kapal motor Ohayo berangkat menuju Belawang dan mengambil tindakan tegas terhadap Kepala Pemerintahan NICA, pengambil-alihan kekuasaan di Belawang mendapat dukungan pejuang setempat oleh H Mugeni bin Ahim, Bulkani bin Aspar dan M Aini bin Rais di bantu masyarakat Belawang.

Hari Kamis 6 Desember 1945 itu tersiar kabar, akan ada penyerbuan tentara NICA dari Margasari untuk merebut kembali Marabahan. Sore harinya, jam 15.00 pertempuran dari sungai Negara dan Marabahan tidak bisa dihindari. Kontak senjata tersebut tidak ada yang tewas, kecuali tali Bendera Merah Putih yang berkibar di depan rumah eks, Kontrolir putus, sementara tentara NICA berhasil dipukul mundur.

Pertempuran lebih seru pecah di hari Jumat 7 Desember 1945, yang sejak sore Kamis bantuan serdadu NICA datang dengan kapal besar Hap Guan dari Banjarmasin Pejuang Bakumpai Marabahan di kepung dari dua sisi, yakni dari Ulu Benteng dari sebelah Barat dan sebelah timur di Kampung Bagus. Kedudukan pasukan BPRI yang terjepit dengan persenjataan seadanya tidak membuat surut para pejuang untuk bertempur hebat meskipun mereka harus memilih mundur dengan keberhasilan menduduki Marabahan selama 3 hari dan 3 malam.

Setelah Marabahan dikuasai kembali oleh tentara Nica, terjadilah penangkapan besar-besaran serta perampasan senjata tajam diiringi penganiayaan baik terhadap pejuang atau penduduk setempat.

Mengapa daerah Marabahan sebagai pertama kali di Kalimantan Selatan mengibarkan bendera Merah Putih secara resmi, tidak lain karena tidak digagalkannya perjuangan rakyat Banjarmasin pada tanggal 9 Nopember 1945. Oleh Kolonel H Hasan Basri (1961) dalam bukunya Kisah Gerila Kalimantan (Dalam Revolusi Indonesia) dijelaskan bahwa penyerangan itu adalah semata-mata kenekatan pemuda-pemuda pencinta tanah air yang telah mengikrarkan sumpahnya.

Kabut Sejarah

Ternyata ada sejarah yang masih tertutupi dalam proklamasi 5 Desember 1945 tersebut. Mungkin karena pendokumentasian sejarah yang tidak melibatkan sejarawan, sehingga masih sulit melepaskan dari unsur subjektif. Adapun naskah sejarah perjuangan yang disusun oleh anggota DPRD Batola tahun 1984 mendapat kritik dari R Rangga pengamat sejarah lokal, bahwa ada unsur ketidakberanian menyebutkan pengkhianat bangsa yaitu Anang Kaderi dari pemerintahan NICA di Marabahan ketika peristiwa pelucutan senjata. Begitu pula tidak ada tulisan tentang keterlibatan perjuangan kaum perempuan seperti Ucu Idut istri Imran Aziz yang menggantikan perjuangan suaminya selama mengasingkan diri.

Begitu pula, bila diuraikan lebih jauh ke belakang, maka perjuangan rakyat Marabahan terutama pejuang Bakumpai tidak hanya berkobar hebat pada kejadian 5 Desember 1945 saja. Ada benang merah yang jelas membentang dengan perjuangan melawan penjajah sejak masa kerajaan Banjar, orang-orang Bakumpai bersama etnis Dayak lain hingga ke hulu Barito jelas tidak hanya membantu perjuangan pihak kerajaan Banjar terutama bangsawan Banjar yang rela keluar masuk hutan melawan penjajah.

Masyarakat Bakumpai dan etnis dayak lainnya juga turut bersimbah darah dan menyediakan tempat untuk daerah-daerah perlawanan, perlawanan hebat juga dilakukan oleh panglima Wangkang atau sebelumnya keberhasilan pejuang Dayak dalam perang Barito untuk menenggelamkan kapal Onrust. Mereka juga bahu membahu dengan Pangeran Antasari serta keturunannya melawan Belanda. Tapi sejarah masih saja berselimut kabut, perjuangan mereka nampaknya terkesan hanya dianggap sebagai pelengkap sejarah saja. Entah kenapa?

Spoiler for :


Spoiler for :


Spoiler for :
0
3.8K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan