santet_urangAvatar border
TS
santet_urang
Menolak Lupa (Musik) Indonesia
Menolak Lupa (Musik) Indonesia


Minggu pagi 10 maret saya nonton beberapa kanal TV swasta yang lagi menayangkan beberapa program infotainment yang diwarnai berita kasus narkoba Raffi Ahmad dan berita perceraian artis. Lalu ada berita duka tentang berpulangnya ayah dari pemain sinetron Poppy Bunga. Hampir disemua infotainment memberitakan kepulangan ayah Poppy Bunga.Poppy Bunga pun jadi focus perhatian. Tak dijelaskan secara rinci siapakah ayah Poppy Bunga itu. Mungkin bagi pengelola infotainment,tak penting siapa atau asal usul ayah Poppy Bunga. Ini yang sangat disayangkan.karena ayah Poppy Bunga itu sesungguhnya adalah salah satu bintang musik pop Indonesia era 70an. Dia adalah Usman leader, gitaris dan vokalis band Usman Bersaudarayang terbentuk tahun 1967 yang memiliki banyak hits di era 70an. Hanya sedikit data yang diungkap tentang almarhum Usman ini, tak lebih dari : ” Usman, ayah Poppy Bunga, adalah penyanyi senior”. Hanya itu, bahkan footage tentang kejayaan Usman Bersaudara di era 70an sama sekali tak dimunculkan di layar kaca.

Spoiler for Usman Bersaudara:


Miris sekali. Saya hanya menduga bahwa pengelola infotaimen tak mengetahui siapa sosok Usman dan mereka tak memiliki data komprehensif. Mau dicari di google datanya memang sedikit. Dugaan saya lainnya, pihak infotainmen menganggap sosok Usman tak perlu dikedepankan karena toh almarhum adalah tokoh musik masa lalu, jadul dan tak punya arti bagi pemirsa sekarang. Makanya yang dikedepankan adalah puterinya Poppy Bunga yang masih punya daya pikat yang mengangkat rating TV.

Apabila dugaan dugaan saya diatas benar maka kita patut prihatin. Pertama, karena bangsa kita tak terlalu peduli dengan dokumentasi maupun pengarsipan. Kedua, kita hanya terpukau pada pesona sosok penghibur masa kini, yang datang dari masa lalu ya sudah habis alias masuk kotak saja. Pada akhirnya kita memang tidak menaruh hormat kepada para pendahulu, orang-orang masa lalu yang sesungguhnya juga merupakan pembuka jalan bagi para penghibur masa kini.

Kita selalu lupa dengan masa lalu. Kita selalu mengabaikan sejarah. Missing linkatau putus mata rantai ini menjadikan kita bangsa pandir yang tak mengetahui sejarah masa silam bangsa dan budayanya.

Saya masih ingat beberapa waktu lalu, banyak rekan jurnalis yang kebingungan saat mau menulis tentang kiprah seni Bing Slamet, seniman serba bisa yang meninggal tahun 1974. Sosok Bing Slamet jarang ditemui dalam literature bahkan ketika kita menggoogling nama Bing Slamet yang keluar adalah data tentang anaknya Adi Bing Slamet atau Uci Bing Slamet dan yang paling banyak adalah info tentang cucu Bing Slamet, Ayundya Bing Slamet. Satu bukti lagi bahwa kita menghiraukan budaya dokumentasi dan pengarsipan.

Akibat fatal yang mencuat dari ketidakpedulian kita terhadap upaya dokumentasi adalah ketika pihak Malaysia mengklaim lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku sebagai karya cipta milik Malaysia. Nasionalisme semu kita terusik. Sebagian besar meradang atas perilaku Malaysia yang mengakui karya cipta milik Indonesia sebagai karya mereka. Teriakan Ganyang Malaysia membahana. Kita seperti kebakaran jenggot. Jika kita telaah dengan arif, yang salah sebetulnya dalah kita sendiri yang tidak sama sekali melakukan upaya dokumentasi atau pendataan karya cipta. Ini adalah kesalahan terbesar bangsa Indonesia. Tak peduli dengan harta karun budaya kita sendiri.

Tidakkah kita miris dan prihatin bahwa naskah kuno I Laga Ligo yang merupakan mahakarya suku Bugis Sulawesi Selatan yang ditulis di abad ke-13 justeru disimpan oleh pemerintah Belanda ?. Naskah ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari The Netherlands Bible Society, yang diberikan hak permanen ke Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Bahkan naskah I Laga Ligo ini dijadikan teater musikal oleh Robert Wilson.

Kesadaran terhadap warisan seni budaya kita justeru datang dari bangsa asing. Lihat saja misalnya Shadoks, sebuah label kecil yang berada di Jerman malah berupaya melakukan reissue terhadap beberapa album-album rock Indonesia era 70an seperti Ariesta Birawa, Sharmove hingga Guruh Gipsy. Lalu di tahun 2010, label Sublime Frequencies milik Alan Bishop di Seattle Amerika Serikat berupaya merilis ulang album kompilasi Dara Puspita serta album “To The So Called The Guilties” (Koes Bersaudara,1967) dan album “Dheg Dheg Plas” (1969) dan “Koes Plus Vol.2” (1970). Muncul pula kompilasi lagu-lagu rock Indonesia 70an dari Now Again Record bertajuk “Those Shocking Shaking Days Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970 – 1978.

Now Again Record ini adalah label milik Egon yang ternyata tertarik dengan skena musik Indonesia pada rezim Soeharto. Selain itu ada juga Strawberry Rains label milik Jason Connoy dari Toronto Kanada yang juga telah merilis album kompilasi repertoar rock AKA, band rock 70an dari Surabaya. Kini Jason Connoy siap merilis album reissue Kelompok Kampungan “Mencari Tuhan”. Kelompok Kampungan adalah kelompok folk Yogyakarta yang lahir dari komunitas seni Bengkel Teater WS Rendra.Jason Connoy baru baru ini mengirim e-mail ke saya bahwa dia tertarik untuk merilis ulang 5 judul album karya Harry Roesli pada era 70an seperti Philosophy Gang, Titik Api, Tiga Bendera, L.T.O dan Ken Arok.

Sebuah paradoks yang menggemaskan, di saat generasi sekarang justeru tak mengenal siapa pendahulunya, generasi yang ikut hidup di era 70an malah terjangkit virus amnesia nan akut.

Spoiler for Koes Plus:


Belakangan ini kesadaran itu mulai mencuat dalam komunitas yang mengumpulkan kembali produk industri rekaman musik Indonesia di masa silam. Ini upaya apresiasi yang bagus. Malah dari komunitas-komunitas semacam mulai terbetik kabar bahwa mereka berwacana ingin membangun museum musik. Lalu pada 13 maret 2013 Indosiar meluncurkan acara musik Rumah Musik Indonesia yang tampaknya ingin menyatukan serpihan serpihan sejarah musik negeri ini yang berserakan. Lewat episode perdana yang mengangkat kepioniran Koes Bersaudara atau Koes Plus dalam konstelasi musik Indonesia, upaya TV swasta ini rasanya harus kita hargai. Di saat jaringan TV swasta seolah tak peduli terhadap heritage musik Indonesia yang kerap dituding tak memiliki rating, munculnya Rumah Musik Indonesia ini seolah oase di padang tandus nan kering kerontang. Patut dihargai memang. Siapa lagi yang akan berbuat jika bukan kita. Hidup musik Indonesia.

sumber
0
1.3K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan