ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
[Cerpen #6] Boneka Penyegel Jiwa
Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali Abdur bin Arsyad berlibur ke rumah neneknya. Sebenarnya, berlibur bukanlah kata yang terlalu tepat. Mereka—Abdur dan ayahnya—kembali ke rumah kosong di pedesaan untuk mengurus barang-barang peninggalan Nenek sebelum rumah itu digusur untuk pembangunan jalan tol. Neneknya sendiri sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.

Sampai sekarang Abdur masih merasa ada yang aneh dengan kematian neneknya. Dia ada di sana saat itu terjadi. Pada malam hari itu neneknya terlihat begitu sehat tanpa kurang suatu apa pun dan keesokan paginya neneknya sudah meninggal.

“Takdir,” cuma itu jawaban yang ayahnya berikan padanya. Memang benar, tak ada yang bisa tahu kapan kematian akan menjemput.

Namun setelah itu kehidupan mereka banyak berubah. Tiba-tiba saja ayahnya mendapat pekerjaan di ibukota sehingga mereka pindah dan menetap di sana. Karir ayahnya melesat sehingga mereka bisa punya rumah bertingkat dan seorang pembantu. Tak ada masalah dengan kebutuhan finansial, tetapi hubungan kekeluargaan mereka menjadi amat renggang.

Puncaknya adalah lima tahun lalu. Saat itu ayahnya baru saja pulang dari pekerjaan di luar kota dan dia pulang dalam keadaan yang amat parah. Ibunya mencoba bertanya, tetapi tak ada jawaban yang keluar. Hari demi hari berlalu ayahnya bertingkah seperti orang linglung. Dia tak bisa mengingat banyak hal dan seolah-olah terganggu dengan kehidupan yang dia jalani. Meski demikian perlahan-lahan ayahnya kembali normal. Tidak sepenuhnya kembali seperti dulu, tapi setidaknya tak lagi mengkhawatirkan.

Namun setelah itu ibunya yang menjadi bingung. Dia tampak cemas setiap waktu dan ketakutan akan sesuatu yang tidak tampak. Dia menjauh dari orang-orang, bahkan suaminya sendiri. Dia sering memeluk Abdur dan membisikkan kata-kata asing yang entah bahasa apa. Mungkin itu mantra pengusir setan, mungkin juga cuma rancauan orang gila.

Dan setelah itu, ibunya meninggal. Ibunya tergelincir di puncak tangga dan terjatuh begitu saja. Sekarang hanya ada Abdur dan ayahnya. Ayahnya sudah berhenti bekerja. Dia menyerahkan semua tugas pada anak buahnya sementara dia hanya menikmati seluruh kemewahan dunia setiap harinya. Abdur tidak menyalahkannya untuk itu. dia lelah. Mereka semua lelah.

Sudah agak sore ketika mereka akhirnya tiba di rumah Nenek. Bangunan itu sudah lapuk dan menjadi sarang berbagai macam binatang karena tak pernah dihuni maupun dibersihkan. Rumah semi permanen itu memang tidak besar, tetapi Abdur lahir dan tumbuh di tempat ini.

“Apa Ayah pernah ke sini sejak Nenek meninggal?” tanya Abdur ketika mereka turun dari mobil.

“Hmm … pernah, lima tahun lalu. Cuma melihat-lihat,” jawab ayahnya singkat sebelum buru-buru masuk ke dalam. Abdur mengikuti dengan hati-hati. Salah melangkah bisa-bisa lantai kayu di bawahnya anjlok.

Mereka hanya akan mengambil barang-barang yang mungkin masih berharga dan segera kembali ke kota. Abdur tidak yakin masih ada barang berharga di tempat ini, cuma kenangan yang masih tersisa. Meski demikian ayahnya sibuk mencari-cari sesuatu di kamar Nenek.

Ada banyak yang tidak Abdur ketahui tentang neneknya. Ada yang bilang neneknya adalah seorang veteran perang. Ada juga yang bilang neneknya punya ilmu santet. Abdur cenderung percaya pada rumor-rumor itu karena neneknya memang punya banyak barang yang tak lagi lazim dilihat di jaman sekarang seperti keris dan juga boneka voodo. Entah apa yang dilakukan neneknya di masa lalu, Abdur jadi penasaran. Karena itulah dia ikut melihat-lihat kamar neneknya.

Berbagai macam bau bercampur dan menusuk hidungnya. Bahkan jika ada yang bilang kalau neneknya dulu adalah penyihir, Abdur tidak akan bisa menyangkal. Ekor bunglon, kapas bernoda darah, botol berisi cairan entah apa, dan sebuah boneka kecil yang ditusuk banyak jarum. Neneknya benar-benar suka mengkoleksi barang-barang seram. Itu membuatnya merinding.

Abdur mengambil boneka jarum di rak paling atas dan mengamatinya dari dekat. Boneka itu kecil dan terbuat dari kapas yang dililit perban sehingga bentuknya seperti mumi dengan dua mata bulat hitam seukuran kancing baju. Abdur merasa ada yang aneh dari boneka itu. Boneka itu terasa hangat, tatapan matanya seolah hidup. Jika boneka itu bisa bersuara, mungkin dia akan memanggil Abdur.

Namun sebelum Abdur melihat lebih jauh, ayahnya buru-buru merampas boneka itu dari tangannya.

“JANGAN SENTUH! INI BONEKA TERKUTUK!” teriak ayanya sebelum buru-buru melemparkan boneka tersebut ke dalam kotak.

“Terkutuk gimana? Jaman udah canggih, Yah. Masih aja percaya yang begitu.”

“Kamu nggak tau apa-apa, Dur. Ini boneka pelindung keluarga kita. Boneka ini hidup. Jiwa leluhur ada di dalam sini. Kalau boneka ini sampai rusak, habis kita semua.”

Abdur hanya garuk-garuk kepala mendengar itu. Seingatnya dulu ayahnya mengajarinya untuk tidak percaya hal-hal gaib karena itu sering digunakan untuk menipu orang, tapi kenapa sekarang ayahnya malah percaya hal-hal semacam arwah pelindung?

Abdur tidak memperpanjang masalah itu lebih jauh. Dia melihat saja saat ayahnya mengambil semua barang-barang antik nenek, memasukkannya ke kotak, dan membawanya pulang. Itu adalah terakhir kali Abdur mengunjungi rumah neneknya karena beberapa bulan kemudian pihak pemerintah akan meratakan semuanya dengan tanah.

***


Berbulan-bulan kemudian, Abdur sudah lupa dengan boneka yang dia lihat. Dia baru mengingatnya kembali saat tak sengaja menemukan boneka itu saat mencari Kartu Keluarga di lemari ayahnya. Boneka itu benar-benar bukan boneka biasa, ada ketidaknyamanan kuat yang Abdur rasakan dari mata boneka itu.

Mata itu bulat, hitam, dan seolah tidak berdasar. Semakin lama Abdur menatap mata itu semakin jauh dia merasa masuk ke dalam. Terus … terus … terus ….

“ABDUR!”

Teriakan ayahnya membuat Abdur menoleh ke belakang. Ekspresi marah yang tertoreh di setiap inci wajah merah itu tidak membuat Abdur takut. Sebaliknya, Abdur terus menatap wajah ayahnya seolah-olah dia belum pernah melihat wajah itu bertahun-tahun lamanya.

Dilihat terus menerus seperti itu membuat ayahnya perlahan-lahan kebingungan. Dia melihat boneka yang dipegang Abdur dan mendadak saja raut ketakutan menghiasi wajahnya. Kakinya yang gemetar mundur teratur hingga membentur dinding di belakangnya. Saat dia bicara, suaranya tergagap.

“Ti-tidak mungkin … Arsyad?”

“Ibu ….”

Tak ada lagi kata yang terucap di antara mereka. Mendadak saja Abdur bangkit dan menerjang ayahnya hingga terjatuh. Lalu, dengan kemurkaan yang tak bisa dideskripsikan, kedua tangannya melingkari leher ayahnya dan mencekiknya sekuat tenaga.

Hari itu juga, Abdur ditangkap atas dakwaan pembunuhan. Dia sama sekali tidak membela diri dan dia pun dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.

***


5 tahun kemudian ….

Segera setelah menyelesaikan masa tahanannya, Abdur kembali ke rumah tempat semua malapetaka itu terjadi. Rumah itu sama sekali terbengkalai selama lima tahun, semua perabot bahkan masih berada di tempat yang sama sejak Abdur dibawa pergi.

Tanpa berlama-lama, dia langsung menaiki tangga ke lantai dua. Di puncak, dia berhenti sekilas dan menatap tempat di mana ibunya dulu mengalami kecelakaan. Rumah ini, dan seluruh sejarahnya, sudah terkutuk sejak awal.

Akhirnya Abdur pun tiba di kamar ayahnya. Tak ada yang berubah, tampaknya pihak polisi tak mengambil apa pun saat menyelidiki kamar ini. Abdur langsung menemukan yang dia cari di kaki tempat tidur. Boneka yang ditusuk banyak jarum itu kini penuh debu, tapi masih terasa hangat.

“Maaf,” bisiknya pada boneka itu sembari berurai air mata. Dia terus dan terus saja mengucapkan maaf sembari memandang kedua mata hitam itu dalam-dalam. Terus … terus … terus ….

Dan kemudian, Abdur pun menjerit. Seluruh penderitaan yang harus dia tanggung selama lima tahun meledak tak tertahankan. Terkutuk. Terkutuklah semuanya.

=END=
provocator3301
indrastrid
bukhorigan
bukhorigan dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.3K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
#2
0
Tutup