albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
PENJUALAN LISTRIK NAIK 8,24%, PLN MALAH MERUGI, UANGNYA LARI KEMANA ?
PENJUALAN LISTRIK NAIK 8,24%, PLN MALAH MERUGI, UANGNYA LARI KEMANA ?

Sri Mulyani menyebut PLN akan mengalami peningkatan kerugian capai Rp 71,1 triliun di sepanjang 2022.Kerugian tersebut terjadi di tengah peningkatan hasil penjualan dan pendapatan PLN pada 3 bulan pertama 2022.

Dalam laporan keuangannya, PLN mencatat penjualan listrik naik 8,42 persen secara year on year menjadi 65,42 terawatt hour (TWh) pada kuartal I 2022. Pertumbuhan terjadi seiring mulai pulihnya aktivitas masyarakat dari pandemi covid-19.

Lewat kenaikan hasil penjualan, sampai Januari 2022 lalu saja, PLN mencatat pendapatan Rp 25.13 triliun, atau naik 12,38% dibanding periode yg sama tahun lalu.

Tentunya masyarakat bertanya. Hasil penjualan dan pendapatan meningkat, tapi kenapa PLN bisa mengalami kerugian ? Uangnya lari kemana ?

Hasil penjualan dan pendapatan bukanlah faktor utama penentu perolehan keuntungan. Dalam kaitan ini, hasil penjualan dan pendapatan masih harus dikurangi dengan pengeluaran untuk membayar beban usaha.

Jika pengeluaran beban usaha lebih besar dibandingkan hasil penjualan dan pendapatan, maka PLN akan mengalami kerugian.

Dengan kenyataan kerugian di kuartal I, menunjukan bahwa, hasil penjualan dan pendapatan yg disebut meningkat, ternyata nilainya lebih kecil dibandingkan pengeluaran untuk membayar beban usaha.

Banyak macam komoponen beban usaha yg harus dibayarkan PLN. Satu yg paling besar adalah pengeluaran untuk membayar pembelian tenaga listrik yg diproduksi oleh pembangkit swasta (Independent Power Produced/IPP).

Belum ada data beban usaha, terutama terkait pembelian tenaga listrik dari pembangkit swasta kuartal I 2022 yg dirilis PLN. Tapi berkaca dari tahun-tahun sebelumnya,, masalah utama kerugian PLN ada di situ.

Misalnya di sepanjang tahun 2021. PLN mencatat hasil penjualan meningkat menjadi 257.634 GWH dari 243.582 GWh di 2020. Penjualannya memang meningkat, tapi peningkatan tersebut lebih rendah dibandingkan pasokan listrik yg diproduksi. Sepanjang 2021, produksi listrik PLN capai 289.470 GWh.

Artinya ada pasokan listrik yg tidak terjual. Jumlahnya capai 31.836 GWh sepanjang 2021 (289.470-257.634 = 31.836). Dimana daya tidak terjual tersebut, menjadi sumber kerugian PLN. Karena meskipun hasil penjualannya meningkat, tapi tidak mencapai keseluruhan daya yg diproduksi.

Dari sana muncul ketidak seimbangan secara akuntansi. Bahwa pendapatan lebih kecil dibandingkan pengeluaran untuk membayar beban produksi. Di 2021, hasil penjualan dan pendapatan hanya mencapai Rp 288,86 triliun. Sementara beban usaha/produksinya Rp 323, 19 triliun. Maka PLN merugi Rp 34.33 triliun.

Tetapi kerugian tersebut ditolong oleh pembayaran subsidi Rp. 49,79 triliun dan kompensasi Rp 24,59 triliun dari pemerintah. Sehingga PLN berbalik mencatat keuntungan Rp 13 triliun di 2021.

Seandainya tidak ditolong subsidi dan kompensasi pemerintah, PLN masih mencatat kerugian.

Jadi masalah utama kerugian PLN dikarenakan over suplay. Dimana jumlah tenaga yg diproduksi melampaui kebutuhan masyarakat.

Catatan pentingnya, pasokan listrik PLN tidak semuanya diproduksi sendiri. Sebagian besarnya justru dibeli dari pembangkit swasta. Di saat yg sama, Pembelian tenaga dari swasta jumlahnya sangat berlebihan sehingga memicu over suplay.

Statistik PLN 2021 mencatat, dari total 289.470 tenaga yg dirpoduksi di 2021,
106.496 GWh dibeli dari pembangkit swasta atau setara dengan Rp103,55 triliun. Dimana biaya pembelian tersebut merupakan bayaran beban usaha terbesar yg menjadi sumber kerugian PLN di tahun 2021. Namun kerugian tersebut ditolong oleh pembayaran subsidi dan kompensasi pemerintah sehingga PLN berbalik mencatat keuntungan.

Pertanyaannya: kenapa PLN tidak menurunkan jumlah pembelian tenaga darii swasta agar tidak over suplay dan merugi ?

Tentu saja tidak bisa. PLN tidak punya kuasa karena sudah disandera oleh kebijakan politik listrik pemerintah.

Lewat Kemen ESDM pemerintah merilis Permen ESDM Tahun 2017 jo. Permen ESDM No. 49 Tahun 2017 Tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL).

Aturan ini dijadikan sebagai dasar acuan pembentukan Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dengan Produsen listrik swasta berbasis Independent Power Produced (IPP).

Beleid tersebut mengharuskan dalam PPA untuk mencantumkan mekanisme “Take Or Pay”. Secara langsung mekanisme ini mewajibkan PLN membeli listrik dari IPP sesuai jumlah yang tertera dalam kontrak.

Misalkan, kapasitas pembangkit swasta (IPP) 100 MW dengan ketentuan Availiability factor dalam PPA sebesar 80%, maka PLN wajib membeli listrik 80 MW. Jika PLN tidak membeli dengan jumlah itu, maka harus membayar denda Take Or Pay kepada pihak swasta.

Model kontrak seperti ini tentu saja merugikan PLN dan menguntungkan pembangkit swasta. Pasalnya dalam keadaan surplus pasokan sehingga mengakibatkan adanya tenaga tidak terjual, PLN tidak bisa menurunkan kapasitas pembelian listrik dari swasta. PLN tetap wajib membeli sesuai kapasitas yang tertera dalam kontrak. Jika tidak, maka PLN akan didenda.

Selama aturan ini tidak dirubah, selama itu pula PLN dipaksa untuk membeli listrik dari swasta dengan jumlah yg memicu over supplay dan merugi.

Aturan inilah yang dalam beberapa kesempatan diskusi dengan sejumlah pemangku jabatan, penulis menyebutnya sebagai kebijakan neoliberal yang sengaja dibuat dengan maksud untuk menarik minat modal swasta pada proyek 35.000 MW.

Pemerintah bertindak seolah “kacung”. Dikarenakan kebijakan pembelian listrik tersebut justru berdampak pada dialihkannya risiko usaha dari pembangkit swasta yang terlibat dalam proyek 35.000 MW untuk ditanggung PLN secara berlebihan.

Logika sederhananya bahwa dengan mendorong PLN menyerap listrik dari swasta sesuai ketentuan kontrak tanpa memperhitungkan potensi over supplay, sama halnya pemerintah memberi jaminan kepada produsen listrik swasta agar terhindar dari risiko kerugian akibat listrik tidak terjual.

Selanjutnya, untuk menghindarkan PLN dari risiko kerugian akibat over supplay, pemerintah bertindak “konyol” dengan melimpahkan beban untuk ditanggung APBN dan kenaikan tariff listrik kepada masyarakat serta pencabutan subsidi secara bertahap.

Dalam kasus terbaru, risiko yang ditanggung APBN terlihat pada kebijakan diskon tariff listrik yang dijalankan sejak April 2020 hingga akhir tahun 2021 lalu. Menurut pemerintah, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberi stimulus kepada rakyat akibat pandemi covid-19.

Dalam sudut pandang penulis, istilah stimulus hanya kamuflase populis. Kebijkan tersebut justur lebih terbaca sebagai upaya pemerintah untuk mensiasati over supplay PLN yang melonjak di masa pandemi.

Bahasa sederhananya, diskon tariff dimaksudkan untuk membayar beban kerugian PLN akibat lonjakan jumlah tenaga listrik yang tidak terjual di masa pandemi.

Diketahui pandemi covid-19 mengakibatkan penjualan listrik PLN turun karena konsumsi listrik nasional yang menurun di bawah target 8% sebagaimana dicantumkan dalam RUPTL PLN yang belum menglami perubahan.

Dalam konteks ini diskon tariff diberikan untuk meningkatkan daya serap listrik masyarakat dan dunia usaha. Dalam pelaksanaannya di tahun 2020, total anggaran yang ditanggung APBN cukup fantastis mencapai Rp 13 triliun. Kelanjutan program dari Janurai hingga Juni 2021, terhitung keseluruhan anggaran telah mencapai RP 17.7 triliun.

Merespon besarnya anggaran tersebut, pemerintah sibuk teriak-teriak APBN bengkak. Lantaran itu, pada 2 Juli 2020, dalam konfrensi pers secara daring, Menteri Keuangan “Terbalik” Sri Mulyani, secara resmi mengumumkan revisi pemberian diskon tariff listrik kepada pelanggan bisnis dan industri golongan 450 VA yang tadinya gratis, diturunkan jadi 50%. Sementara golongan rumah tangga 900 VA diturunkan menjadi 25%.

Penurunan diskon tariff tersebut seolah-olah menunjukan APBN jebol lantaran mensubsidi listrik kepada masyarakat. Padahal jelas-jelas lonjakan subsidi untuk membayar kebijakan dikson tariff listrik tersebut lebih dimaksudkan untuk menolong PLN dari risiko kerugian akibat melimpahnya pasokan tenaga tidak terjual.

Menariknya, keluhan pemerintah atas pembengkakan subsidi tersebut membuat pemerintah memiliki alasan untuk memangkas subsidi terhadap 15.19 juta pelanggan miskin dan rentan golongan 450 VA.

Dengan meminjam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementrian Sosial, pemerintah menyebut, dari 24.49 juta pelanggan hanya sekitar 9.3 juta yang tepat sasaran. Data ini sungguh tidak bisa dijadikan alasan karena Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, sampai September 2020 lalu, jumlah kemiskinan Indonesia sebesar 27.55 juta orang. Jumlah tersebut meningkat 2.76 juta dibanding September 2019 (BPS, 2020)

Seandainya, pemerintah punya “nyali” untuk merenegosiasi penurunan pembelian listrik PLN dari pembangkit swasta, maka tidak akan terjadi over supplay dan PLN tidak perlu merugi. Selain itu, pemerintah juga tidak perlu menjebol APBN untuk menyelamatkan PLN lewat pembayaran subsidi dan kompensasi.

Terpentingnya, untuk PLN sendiri, tidak perlu merugi akibat hasil penjualan dan pendapatan harus digunakan untuk bayar beban usaha, yg mayoritasnya adalah pembelian listrik dari swasta secara berlebihan.

***
Sumber Pendukung :

https://www.google.com/amp/s/amp.sua...unyikan-sampah

https://www.google.com/amp/s/www.idx...bukan-bangkrut

https://www.google.com/amp/s/m.bisni...er-1-juli-2022
andreanadinata
penikmatbucin
tumiskecap
tumiskecap dan 29 lainnya memberi reputasi
30
10.1K
279
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
parmansuparmanAvatar border
parmansuparman
#22
Pemerintah gak punya duit buat bikin pembangkit, jadi harus mendorong swasta untuk bikin. Swasta bukan lembaga sosial, mereka mau bangun kalo ada jaminan pemerintah/PLN mau beli. Karena UU udah bilang, yg bisa jual listrik adalah PLN, swasta dilarang jualan. Karena swasta butuh jaminan, muncullah angka 80% yg harus dibeli, dibawah itu swasta gak sudi bangun pembangkit.

Pertanyaannya kemudian knp oversupply, karena ternyata demand listrik tdk sebesar yg diproyeksikan, pemerintah salah hitung. Ya salah pemerintah, salah yg ngitung.

Solusinya bagaimana? Banyak, biar orang2 pinter di Bappenas yg mikir. Tapi salah satunya bisa dimulai dari elektrifikasi kendaraan, itu EV mbok ya dikasih insentif, biar orang rame convert ke EV, biar demmand listrik naek, sehingga semua supply dari IPP bisa terserap.
caurboy
caurboy memberi reputasi
2
Tutup