dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Profesor IDI Buka-bukaan Ungkap Kelemahan Disertasi 'Cuci Otak' dr Terawan
Senin, 04 Apr 2022 20:50 WIB
Profesor IDI Buka-bukaan Ungkap Kelemahan Disertasi 'Cuci Otak' dr Terawan


Foto: ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA

Jakarta - Prof Rianto Setiabudi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI mengungkap lima kelemahan disertasi dr Terawan Agus Putranto. Hal inilah yang sebelumnya kerap menjadi pertanyaan Komisi IX DPR RI mengapa dokter sekelas Terawan yang sudah bergelar S3 'dipecat' dari IDI.
"Nah, dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya memberikan sedikit komentar mengenai disertai dr Terawan ini, tidak untuk men-downgrade beliau," buka Prof Rianto dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin (4/4/2022).

"Jadi ada bagian-bagian tertentu dalam disertai itu yang mengandung kelemahan-kelemahan substansial," tegas dia.

Pertama, terkait penggunaan heparin dalam metode digital subtraction angiography (DSA) atau dikenal 'cuci otak', metode ini mengharuskan memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Setelahnya, di sana dilepaskan kontras.

"Kontras itu nanti akan menunjukkan di mana letak mampetnya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter," sambung dia.

Sementara itu, dosis kecil heparin tersebut tidak bisa merontokkan gumpalan darah, hanya bisa mencegah mampetnya bekuan darah. Karena itu, ketika metode ini digunakan, masalah yang timbul diyakini Prof Rianto sangat besar.

"(Pasien) yang digunakan ini orang-orang stroke, yang stroke-nya sudah lebih dari satu bulan, jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin kita cari di literatur manapun bahwa heparin efektif merontokkan, melarutkan bekuan darah seperti itu," terang dia.

Ia menekankan zat lain yang bisa melarutkan bekuan tersebut adalah thrombolytic agents. Itu pun hanya akan efektif jika umur bekuan darah baru berkisar beberapa jam. Tidak bisa efektif digunakan pada pengidap stroke lebih dari satu bulan.

Prof Rianto menekankan dalam setiap uji klinis perlu adanya kelompok pembanding untuk memastikan kesahihan riset. Sementara itu, disertasi Terawan tidak memiliki kelompok pembanding tersebut sehingga sulit menyimpulkan kebenaran studi.

"Ini adalah sebuah penelitian yang cacat besar sebetulnya," tandas dia.

Tolok Ukur Keberhasilan Riset dipertanyakan

Tidak ada penjelasan apakah pasien mengalami perubahan signifikan seperti misalnya dari semula tak bisa jalan, bisa kembali menjalani aktivitas normal. Hal ini juga menjadi kelemahan disertasi Terawan karena hanya menggunakan tolok ukur pelebaran pembuluh darah.

"Seharusnya satu uji klinik yang baik tolok ukurnya tidak boleh itu, tetapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pasien, misalnya tadinya dia nggak bisa ngurus diri, sekarang bisa ngurus diri, tadinya nggak bisa jalan sekarang bisa jalan, itu adalah tolok ukur yang benar," lanjutnya.

Penentuan Sampel Penelitian dan Teknik Pengobatan

Penentuan besar sampel dalam penelitian yang berjumlah 75 orang juga tidak didasari dengan alasan ilmiah yang jelas. Prof Rianto menegaskan hal yang juga fatal dan sulit diterima nalar para sejawat, yakni penggunaan alat diagnostik menjadi terapeutik atau penanganan.

"Kalau boleh saya analogikan, kalau ada seseorang yang batuk darah pergi ke dokter, dokternya mengatakan kamu rontgen dulu, setelah dirontgen dia bilang ya itu nggak ada pengobatan lain, prosedur diagnostik itulah yang menjadi pengobatannya, jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima oleh nalar kita," pungkas dia.

Peneliti dan pembimbing di Unhas, tempat disertasi dr Terawan, dituding Prof Rianto mengetahui betul kelemahan-kelemahan tersebut, tetapi terpaksa menyetujui karena ada tekanan dari luar.

Ada Tekanan Menyetujui Disertasi dr Terawan

"Jadi kita mungkin akan bertanya mengapa para ilmuwan yang menjadi pembimbing beliau itu diam saja, saya dalam hal ini mengatakan hormat saya setinggi-tingginya di Unhas," kata dia.

"Karena mereka sebetulnya tahu sejak semula weakness ini, cuma mereka terpaksa mengiyakannya karena ada konon tekanan eksternal yang saya sama sekali juga tidak tahu bentuknya apa," sambungnya.

Sementara itu, pada 2018, ilmuwan yang menjadi promotor disertasi S3 dr Terawan menyebut metode cuci otak yang dipraktikkan sebenarnya tidak ada masalah di dunia kedokteran, tetapi ia mengakui apa yang dilakukan eks Menkes Terawan itu memicu kontroversi di kalangan dokter.

"Secara ilmiah metode itu tidak ada masalah. Yang jadi persoalan teknologi yang digunakan dokter Terawan yang oleh masyarakat profesi kedokteran dinilai tidak standar dalam pengobatan stroke," kata Prof dr Irawan Yusuf, PhD, Jumat (6/4/2018).

"Ini kan baru tahap awal, untuk mekanisme ini belum sampai ke sana. Di dunia kedokteran selalu ada kontroversi dan harus diselesaikan dengan riset yang panjang. Masalahnya sudah telanjur digunakan. Saya sebagai promotor akan mencari perbaikannya," lanjut dia kala itu.

Baca artikel detikHealth, "Profesor IDI Buka-bukaan Ungkap Kelemahan Disertasi 'Cuci Otak' dr Terawan" selengkapnya https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6016391/profesor-idi-buka-bukaan-ungkap-kelemahan-disertasi-cuci-otak-dr-terawan.
viniest
dzuyoung
jawaban1
jawaban1 dan 31 lainnya memberi reputasi
30
15.5K
421
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
pembawalapAvatar border
pembawalap
#62
kok comment 2 nya ndak pada objective ,,, sentimen negative IDI kuat sekali

maklum lah buzernya dr terajana lebih lantang ,,,
pake label arab , kadrun dll

pantas orang IDI lebih baik diam
seperti kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya ,,

kudunya si DPR nya minta di buka saja desertasi DR terajana ,, kemudian di audiensi publik / sidang terbuka oleh dokter 2 pakar ahlinya apalagi katanya penemuan yang brilian atas cuci otaknya ,,,
klo perlu samapai pakar2 luarnegri klo yang di dalam negeri aja ndak di percaya ,,
hadifahri
rakooon
rakooon dan hadifahri memberi reputasi
2
Tutup