raaaaud20
TS
raaaaud20
BROKEN HEART


Langit yang semula cerah berubah menjadi gumpalan awan mendung, membuat sebagian orang memilih untuk tidak beranjak keluar rumah atau keluar ruangan. Suara gemuruh petir disertai gerimis sebagai pertanda kepada penduduk bumi agar tetap berada di dalam ruangan, tapi tidak berlaku untuk dua sejoli berseragam SMA, mereka tetap berjalan menuju halte bus yang ada di persimpangan jalan.

Mereka berjalan beriringan tapi tak ada yang berani memulai percakapan, mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Tepat saat mereka sampai di halte bus, hujan mulai mengguyur bumi dengan deras tanpa ampun membuat sebagian umat manusia mengumpat karena bajunya basah terkena hujan. Mereka duduk bersebelahan sambil menatap air hujan yang mulai memenuhi gorong-gorong jalan.
Cipratan air hujan yang membasahi sepatu putih milik Arda, membuatnya mengumpat kesal, Fak, basah deh.

Ardi di sebelahnya Arda hanya bisa terdiam dan menatap sekilas ke arah Arda yang mengumpat kesal karena sepatunya basah terkena air hujan. Ardi sedang perang dengan pikiran dan hatinya, pikiran meminta untuk mengungkapkan, sedangkan hati meminta untuk memendam agar cinta itu tumbuh dengan subur.

Terlihat Arda sedang memasukkan sepatu ke dalam tasnya, sekarang dia harus bertelanjang kaki. Meskipun harus menahan dinginnnya air hujan dia harus menahannya, karena jika dirinya tetap memakai sepatu maka besok tidak bisa masuk sekolah dengan alasan sepatu basah karena hujan.

Arda tak akan pernah membuat alasan seperti itu karena hujan tidak pernah salah, menurut Arda hujan itu sebagai penyalur rasa sedih dan bahagia karena setiap Arda merasakan sedih atau bahagia dia selalu bermain hujan, hanya dengan itulah kesedihan dan kebahagiaannya akan larut dalam rintikan air hujan yang mengalir.

Kaki Arda berayun sambil memainkan tampias air hujan, membuat Ardi semakin takut mengganggu aktivitas Arda. Saat akan memanggil Arda selalu saja ada halangan, petir menyambar atau suara klakson mobil yang melewati persimpangan.

"Ekhm," Ardi berdehem untuk mengode Arda agar menoleh, namun sepertinya kode yang diberikan Ardi kalah dengan tampias air yang membuat sesekali Arda tertawa.

"Eum, ARDA!" teriak Ardi sontak membuat Arda menoleh dengan tatapan bingung.

"Apa?" jawab Arda dengan berteriak karena hujan mulai mengguyur dengan deras dan menimbulkan suara di atap halte.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo!"

đź‘Łđź‘Ł



Jangan lupa cendol segar, rate dan bagikan. Belajar Bersama Bisa dan Terimakasih
Diubah oleh raaaaud20 09-07-2020 09:09
kkaze22bukhoriganhusnamutia
husnamutia dan 12 lainnya memberi reputasi
13
7.3K
56
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
raaaaud20
TS
raaaaud20
#44

Di kamar kos pojokan terdengar sebuah isakan tangis seorang gadis. Tangisnya terdengar memilukan. Dia meringkuk di sebelah meja belajar sembari menatap nanar ponselnya. Tertera sebuah panggilan lima menit yang lalu.

“Aku salah apa?” tanyanya dengan terisak.
Air matanya menetes dengan deras tiada henti. Hatinya begitu hancur berkeping-keping. Semua yang dilakukannya seolah tak ada artinya apa-apa selama ini. Tangisnya semakin menjadi-jadi mengingat tuduhan yang dilayangkan lewat telepon beberapa menit yang lalu. Bibir yang selama ini selalu tersenyum manis dan tak pernah luput memuji kecantikannya, kini dengan tega mengeluarkan kalimat tuduhan.

Kejadian demi kejadian telah dia lewati bersama pasangannya. Menerima semua apa yang ada dalam diri pasangannya, mulai mencintai semua yang ada dalam diri pasangannya. Mencintai rasa cemburunya, mencintai rasa khawatirnya, mencintai semua sifat buruknya. Tak pernah sekalipun dia berani menuduh pasangannya. Tak ada secuil rasa curiga berlebihan terhadap pasangannya. Tapi kenapa disaat dirinya mulai menerima semua itu, dia dengan tega menuduhnya.
Seperti menancapkan pisau tanpa sebab. Memukul dan membombardir tanpa ampun.

Apa salahku?

Atau aku yang terlalu mencintainya?

Aku mohon, siapapun jelaskan kepadaku semua ini!


Tangisku semakin menjadi-jadi mengingat kenangan manis yang telah kita lakukan, tertawa bersama, dan jalan bersama. Semua itu seolah-olah lenyap seketika oleh kalimat ganas dari mulutnya yang tajam seperti pisau.
Apa ini akhir dari hubungan yang aku mulai beberapa bulan lalu, atau ini akan menjadi awal keberlangsungan hubungan ini.

Arrggggh, entahlah aku tidak tahu harus bagaimana. Sakitnya menancap tajam didadaku. Apakah aku harus memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan ini? Pikiran alam bawah sadarku menyuruh untuk segera melepaskannya yang tidak pernah percaya pada diriku, tapi hatiku berteriak jangan.
Dengan mantap aku mengambil benda kotak di atas meja, dan mencoba berani mengambil keputusan. Kupencet nomornya dan terdengar nada sambungan telepon.

“Halo,” ucapnya dengan suara serak. Aku yakin dia juga menangis.

Aku terdiam, mengumpulkan keberanian mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak mau dia salah paham tanpa sebab atau kalau mau memutuskan hubungan setidaknya dia tahu kebenarannya seperti apa.

“Aku belum sempat menjelaskan kamu sudah mematikan telepon. Jangan dimatiin atau dipotong, kalau mau mendengar kebenaran haruslah diam dan menyimak,” ucapku berusaha setenang mungkin.
Terdiam sejenak, dan menghirup udara pelan agar sedikit tenang. “Apa yang kamu tuduhkan itu salah besar. Kamu mendoakanku buruk pun gapapa, karena emang aku gak melakukan. Aku telepon dengan orang lain terutama cowok karena memang butuh banget, dan kamu tuduh orang yang bangun tidur karena kaget tak hanya itu ponselku pun pakai jaringan wifi, otomatis lemot. Coba kamu jadi aku, bangun tidur kaget dan dituduh hanya karena memanggilnya lama terus berpikiran lagi telponan. Aku berusaha sabar loh ngadepin sikapmu yang seperti ini.”

Hening. Tidak ada jawaban atau pembelaan.

“Kalau kamu terus-terusan seperti ini, wanita mana yang mau dituduh seperti itu? Atau balik saja posisinya, aku nuduh kamu telponan padahal enggak secara terus-menerus? Gimana rasanya?” tanyaku dengan nada sedikit tegas dan sedikit berapi-api namun tertahan sedikit.

“Emmm, iya maafin aku,” ucapnya penuh penyesalan.

“Aku gak butuh maafmu, aku butuh rasa percayamu terhadapku. Jangan hanya karena trauma kamu melakukan hal tersebut kepadaku. Aku memang wanita tapi tolonglah aku juga bukan wanita yang seperti itu,” kataku mempertegas bahwa aku butuh kepercayaan dari dia. “Dan juga kalau kamu sudah tak percaya lagi denganku lebih baik akhiri saja hubungan kita.

Terdengar di seberang telepon isak tangis semakin jadi. Dia menangis sesegukan.

“Kamu inget nggak kalimat yang sering aku ucapkan?”

“A-a-apa?”

“Seorang wanita tidak akan bisa mengubah lelakinya, tapi ketika lelaki mencintai wanitanya maka dia akan berubah dengan sendirinya,” jelasku. Kuharap dengan kalimat yang seperti ini membuat dia intropeksi diri.
Aku juga capek kalau seperti ini terus. Sabar bukan berarti tidak bisa marah dan mengambil keputusan tegas. Sabar karena untuk menghargai rasa cemburu dan khawatir dari pasangan yang artinya dia masih peduli dengan kita. Tapi kalau sudah lewat batas, ya lebih baik mengakhiri hubungan menjadi jalan terakhir.

Lima menit dalam keheningan, isak tangis di seberang telepon sudah tak terdengar. Mungkin dia sudah menyadari kesalahannya.

“Sayang, aku menuduh kamu karena memanggil memang beneran. Disitu aku langsung mengingat traumaku di masa lalu, pengkhianatan. Maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan.

“Ya sudahlah, sepertinya kita butuh waktu untuk berhenti dari hubungan ini. Bukan untuk mengakhiri tapi untuk intropeksi diri. Aku beri waktu seminggu untuk inrtopeksi diri, jika kita salin mencari berarti hubungan ini akan ada kelanjutan. Tapi, jika salah satu dari kita justru menemukan rumah baru, kita pisah dengan baik-baik. Maaf jika selama ini aku salah kepadamu dan aku maafkan kesalahanmu. Terimakasih untuk semuanya,” putusku dan mengakhiri panggilan ini.


Malang, 21 Maret 2021
riwidyuliyatiserina79purba
erina79purba dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup