the.darktales
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...

Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.

Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.

Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.

Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.

Selamat menikmati... 


Quote:


KARAKTER
Spoiler for Karakter:

REVIEW
Spoiler for Review:


INDEX

CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 10

CHAPTER DUA: PEMBEBASAN

CHAPTER TIGA: PERBURUAN

Spoiler for Side-Story:

CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]

CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%
Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%
Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
mnemonic0996810jonderosleemers76
sleemers76 dan 258 lainnya memberi reputasi
237
302.1K
2.6K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
the.darktales
TS
the.darktales
#1157
A JOURNAL: SIDE-STORY [LIMA]
Kalau boleh jujur, saya tidak benar-benar yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi sore itu...

Kedua matanya nampak menerawang jauh sekali, seakan mencoba mengumpulkan serakan-serakan memori dari masa silam. Dengan ditemani oleh sang suami, Dea berusaha menceritakan sudut pandangnya sendiri kepada saya sambil duduk santai di teras rumahnya beberapa bulan lalu.

Karena saya sendiri cukup terguncang waktu itu. Entah karena reaksi Wahyu Dewangga atau akibat ekspektasi saya sendiri yang ketinggian. Jurnal itu telah banyak menyebabkan masalah yang meninggalkan trauma bagi beberapa teman yang terlibat, bahkan sampai hari ini. Tapi ternyata, bagi si pembuatnya sendiri, jurnal itu tak memiliki arti apa-apa.

Tapi, apakah memang benar hanya sesederhana dan se-antiklimaks itu? Apakah memang benar, bahwa jurnal itu tak lebih dari tumpukan kertas lapuk bagi Wahyu Dewangga? Saya belum menyerah. Sambil menyesap kopi yang disuguhkan tuan rumah, saya masih berusaha mencari segaris benang merah yang menghubungkan cerita tentang jurnal ini dengan penuturan narasumber lain. Setipis apapun itu, saya masih percaya bahwa semua ini saling terhubung. Apalagi, saya bisa melihat ada seberkas keraguan di mata Dea atas apa pengalaman yang dia alami ketika bertemu dengan Wahyu Dewangga. Dia seperti mengawang di antara dua kemungkinan.

Kalau boleh ikut urun rembug, sebenarnya saya sedikit banyak sepakat dengan sampeyan, Mas.Kali ini, tanpa pernah saya sangka, sang suami ikut melontarkan pendapatnya. Kalau memang tidak punya arti apa-apa bagi Wahyu Dewangga, kenapa dia mengambil jurnal itu dari Dea dan menyimpannya untuk diri sendiri? Itu lho, yang saya masih pertanyakan.

Saya mengangguk-angguk, dibuat antusias dengan pandangan itu.

Suami Dea kemudian melanjutkan argumennya. Logika saja, kalau jurnal itu tak punya arti apa-apa harusnya Wahyu Dewangga membiarkan istri saya membawanya kembali. Atau bahkan ikut menyerahkan salinannya yang sudah dicorat-coret dengan bolpoin tadi. Tapi ini kan tidak! Apalagi kalau mendengar cerita dari Dea, kok buat saya Wahyu Dewangga ini terkesan mengalihkan perhatian dengan tertawa-tawa dan bertindak santai kemudian dengan halus mengambil alih jurnal yang awalnya Dea pertahankan. Nggih mboten (iya, tidak)?

Tapi coretan-coretan bolpoin di salinan jurnal itu beneran ada dan saya baca dengan mata saya sendiri! Dea tiba-tiba menyahut, membuat pandangan saya kembali beralih ke arahnya. Itu artinya, jurnal tersebut benar-benar ditolak. Itu fakta! Dan itu berarti, masuk akal kalau Wahyu Dewangga kemudian mengabaikan jurnal satunya yang ada di rak perpustakaan dan tidak melanjutkan uji lab tanah yang dia ambil dari sawah pendhem.

Saya sudah berusaha menahan diri sebisa mungkin, tapi rasanya tidak betah juga untuk menahan-nahan argumen yang sudah antri di kepala dan minta untuk diluncurkan. Sepurane (maaf) mbak, tapi poinnya bukan itu. Yang jadi pertanyaan adalah apa yang dialami oleh Wahyu Dewangga selama melakukan penelitian di Srigati. Kan itu yang jadi akar persoalan...

Dea mendesah berat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wahyu Dewangga hanya melakukan penelitian, mengikuti ritual Gelar Pendhem dan pulang ke rumah untuk menyusun jurnal yang kemudian ditolak oleh dosen pembimbingnya. Setelah itu? Dia melupakannya begitu saja dan mulai menyusun sebuah jurnal baru.

Kami bertiga kemudian terdiam. Terjebak dalam kebekuan, kehabisan tenaga untuk berkata-kata dan tersesat di pikiran masing-masing. Menyebalkan memang, saya akui, bahwa penuturan-penuturan narasumber lain yang begitu luar biasa harus bertumbukan dengan cerita Dea yang antiklimaks seperti ini. Alasan yang sama kenapa The Dark Tales sempat berpikir untuk tidak memasukkan kisah tentang Dea, Wahyu Dewangga dan jurnal tersebut ke dalam thread kita yang tercinta.

Andai kita bisa ketemu langsung sama Wahyu Dewangga, ya Mas? Mungkin kita tidak harus berdebat kusir seperti ini. Suami Dea memandang saya dengan tatapan penuh penyesalan. Seakan dia mengerti bagaimana waktu berlalu sedemikian cepat, dan saya sudah sangat terlambat ketika mendengar cerita tentang Srigati ini pertama kali dari Mas Adil; narasumber pertama saya.

Karena sekitar satu setengah tahun lalu, di pertengahan tahun 2020, Wahyu Dewangga telah membawa serta segala rahasia dan pertanyaan yang tersisa masuk ke liang lahat bersama jasadnya. Beliau meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di sebuah ruas tol menuju luar kota.

Untuk selanjutnya, tidak ada yang tahu dimana jurnal itu disimpan. Entah masih ada di rak buku ruang keluarga, atau malah sudah dibakar habis oleh sang pemilik. Dea sendiri, tak pernah lagi menyambangi rumah itu semenjak pertemuan pertamanya dengan Wahyu Dewangga sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Ada beberapa alasan yang tidak bisa disebutkan, namun Dea teguh pada pendiriannya bahwa urusannya dengan jurnal itu, Wahyu Dewangga dan Srigati sudah selesai. Dea ingin melanjutkan hidup, apalagi dia baru saja menikah dan memulai hidup baru bersama sang suami di sebuah kota yang terkenal dengan mi ongkloknya.

Begitupun dengan saya. Apapun yang menyangkut jurnal itu, bagi saya pribadi sudah selesai bersamaan dengan saya menulis bagian ini. Tapi setidaknya ada dua kemungkinan paling masuk akal yang bisa disimpulkan dari apa yang terjadi antara Dea dengan Wahyu Dewangga di hari itu.

Quote:

Quote:

Kemudian, saya pulang ke kota saya sendiri sambil berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan yang kian lama kian membuat tidak nyaman itu. Dan di akhir cerita, semua saya kembalikan kepada agan-agan semua. Terserah mau mempercayai kemungkinan yang pertama atau yang kedua, atau bahkan kalau agan punya pendapat lain di luar dua kemungkinan tersebut...

Tapi kalau agan bertanya kepada saya pribadi, saya telah memilih untuk mempercayai kemungkinan kedua. Alasannya; saya ingin hidup nyaman, bekerja dengan nyaman dan melanjutkan cerita ini dengan nyaman.

Fair enough.

Dan akhir kata, ijinkan saya mengakhiri side-storytentang jurnal ini di sini. Saatnya untuk fokus menulis Chapter 4 yang akan menjadi Chapter paling gelap di antara chapter-chapter sebelumnya.

Salam...
Diubah oleh the.darktales 13-03-2022 23:02
destinationbaliwakazsurya77mahapatih17
mahapatih17 dan 46 lainnya memberi reputasi
47
Tutup