volcom77Avatar border
TS
volcom77
Sejarah Asal Usul Jember Seharusnya Bermula Sejak Pra Majapahit


Kondisi topografi Jember masa lalubesar merupakan daerah dataran rendah yang subur dan perang. Mengarahkan berupa belantara berawa sehingga memunculkan istilah 'moeras' yang memiliki konotasi bergantung pada berlumpur. Tak pelak banyak desa dan dusun yang namanya berkaitan dengan udara atau curah seperti Curah Nangka, Curah Lele, Curah Kates, Curah Mluwo dan Rawa/ Rowo seperti Rawatamtu, Rawatengah, Rawatengu, dan lainnya. Jember sendiri bisa berarti becek.

Pada masa kerajaan Singhasari abad 13, wilayah yang kini disebut Jember merupakan bagian dari Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru . Hutannya lebat dan berawa-rawa sehingga berfungsi sebagai buffer zone dan benteng alam dengan kerajaan di Bali. Selain sebagai tempat berburu, wilayah ini sering dikunjungi kaum bangsawan untuk berbagai kegiatan ritual.

Pada masa Majapahit Jember mengemuka sebagai tempat tirthayatra/ ziarah Hayam Wuruk tahun 1359 M. Terdapat sebanyak 25 titik 'tetirah' sebagaimana disuratkan oleh Prapanca dalam naskah Desawarnana atau yang lebih dikenal sebagai Negarakretagama, diantaranya yakni Kasogatan Bajraka, Renes, Tampahing, Palumbon, Kunir Basini , Sarampwan, Rabut Lawang, Balater, Sadeng, Kutha Bacok, Balung, Tumbu, Habet, Galagah, dll.

Beberapa tahun sebelumnya berkecamuk Pasadeng (Perang Sadeng) di Puger dan Ketha di Panarukan, pasukan penyerbu dari Majapahit diperkirakan menetapkan basis pertahanan di wilayah ini.

Pada Perang Paregreg (1401-1406 M) kawasan Jember juga menjadi medan laga dan area pergerakan pasukan. Jember juga muncul pada ekspedisi Adityawarman dan Gajah Mada saat menyerbu Bali.

Pada masa selanjutnya yakni masa kolonial, kawasan ini disebut sebagai Java's Oosthoek yang merupakan cikal bakal lahirnya Jawa Timur. Penguasa Mataram Pakubuwono II yang terdesak menghadapi perlawanan pemberontak Untung Suropati dan Trunojoyo, menggadaikan wilayah ini pada VOC. Mataram mengklaim Jawa bagian timur, terutama Malang hingga Blambangan sebagai bagian wilayahnya. Pengaruhnya sebenarnya tidak terlalu kuat sehingga rakyat di daerah ini acap kali diperhadapkan dengan Mataram. Lagi pula wilayah 'Brang Wetan' atau 'Mancanegara Timur' ini adalah tempat persembunyian favorit para pembangkang VOC maupun Mataram.

Pada masa Perang Puputan Bayu (1771-1774) daerah Puger, Kedawung dan Nusa Barong di Jember menjadi dasar pertahanan melawan VOC.

Ketika di Belanda golongan liberal dengan Open Door Policy nya berkuasa, Jember mengubah menjadi lahan perkebunan (afdeling) untuk komoditas tembakau, lalu kopi, kakao,dan karet selama berpuluh-puluh tahun. Jejak masa perkebunan tembakau ini berisi cerita khasanah sejarah Jember hingga sekarang.

Melalui Staatblad No. 322 tentang Bestuurshervorming, Decentralisastie Regentscappen Oost Java , yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929, pemerintah kolonial Belanda menetapkan wilayah ini menjadi regentschap (setingkat Kabupaten).

Lagi-lagi, fenomena catut dokumen pemerintah kolonial berulang. Tanpa keinginan yang memuaskan, tanggal tersebut kini dijadikan penetapan hari jadi kota Jember. Padahal Jember sudah ada jauh sebelum Belanda datang.

Salah satu yang penting bagi pemerhati sejarah Jember dewasa adalah masih belum mencukupinya upaya penelusuran tentang-usul Jember. Cerita yang berkembang dalam masyarakat terkesan kusut, janggal dan kurang pas. Ada yang mempertanyakan mengapa tidak berasal dari kata jembar yang artinya luas yang secara konotasi lebih banyak didengar dari jember yang berarti becek.

Bahkan ada satu kisah tentang nama Djember yang terlanjur populer walaupun tidak dapat ditemukan dari data tertulis yang dapat dituliskan. Cukup menggelikan karena nama Jember konon katanya berasal dari istilah “Tanah Birnie”, penyebutan yang berasal dari nama orang Skotlandia George Birnie yang merupakan salah seorang pengelola perkebunan.

Konon George Birnie (?) menikah dengan wanita setempat yang bernama Djemilah, pendatang yang berasal dari etnis Madura. Birnie sangat diperhatikan olehnya, sehingga ketika wanita itu meninggal dibuatlah kuburan yang cukup mentereng ala mussoleum yang cukup megah pada jamannya. Model kuburan tidak menggunakan model tradisi cungkup dengan dua nisan kuburan Islam setempat, tapi meniru bentuk kuburan bergaya Eropa dengan penulisan huruf latin dengan menyebutkan nama dan tahun yang dikebumikan di situ.

Sejak saat itu muncullah istilah “Djembir”, yakni perpaduan kata Djemilah dan Birnie, yang karena pengaruh aksen dan logat setempat lalu berubah menjadi Djember.

Jelas hasil olah othak-athik gathuk yang lucu dan ahistoris.

Sumber: Sejarah Jember, Sebuah Keniscayaan (Revisi) tulisan Zainollah, S.Pd dan Heru Santoso, S.Pd dari komunitas sejarah Bhattara Saptaprabhu
Gambar penutup: Alun-alun Jember 1920.


Quote:
agusrezapratam4
Syncdevil
anameo96
anameo96 dan 24 lainnya memberi reputasi
23
4.9K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
volcom77Avatar border
TS
volcom77
#1
Sejarah Asal Usul Jember Seharusnya Bermula Sejak Pra Majapahit


Kondisi topografi Jember masa lalubesar merupakan daerah dataran rendah yang subur dan perang. Mengarahkan berupa belantara berawa sehingga memunculkan istilah 'moeras' yang memiliki konotasi bergantung pada berlumpur. Tak pelak banyak desa dan dusun yang namanya berkaitan dengan udara atau curah seperti Curah Nangka, Curah Lele, Curah Kates, Curah Mluwo dan Rawa/ Rowo seperti Rawatamtu, Rawatengah, Rawatengu, dan lainnya. Jember sendiri bisa berarti becek.

Pada masa kerajaan Singhasari abad 13, wilayah yang kini disebut Jember merupakan bagian dari Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru . Hutannya lebat dan berawa-rawa sehingga berfungsi sebagai buffer zone dan benteng alam dengan kerajaan di Bali. Selain sebagai tempat berburu, wilayah ini sering dikunjungi kaum bangsawan untuk berbagai kegiatan ritual.

Pada masa Majapahit Jember mengemuka sebagai tempat tirthayatra/ ziarah Hayam Wuruk tahun 1359 M. Terdapat sebanyak 25 titik 'tetirah' sebagaimana disuratkan oleh Prapanca dalam naskah Desawarnana atau yang lebih dikenal sebagai Negarakretagama, diantaranya yakni Kasogatan Bajraka, Renes, Tampahing, Palumbon, Kunir Basini , Sarampwan, Rabut Lawang, Balater, Sadeng, Kutha Bacok, Balung, Tumbu, Habet, Galagah, dll.

Beberapa tahun sebelumnya berkecamuk Pasadeng (Perang Sadeng) di Puger dan Ketha di Panarukan, pasukan penyerbu dari Majapahit diperkirakan menetapkan basis pertahanan di wilayah ini.

Pada Perang Paregreg (1401-1406 M) kawasan Jember juga menjadi medan laga dan area pergerakan pasukan. Jember juga muncul pada ekspedisi Adityawarman dan Gajah Mada saat menyerbu Bali.

Pada masa selanjutnya yakni masa kolonial, kawasan ini disebut sebagai Java's Oosthoek yang merupakan cikal bakal lahirnya Jawa Timur. Penguasa Mataram Pakubuwono II yang terdesak menghadapi perlawanan pemberontak Untung Suropati dan Trunojoyo, menggadaikan wilayah ini pada VOC. Mataram mengklaim Jawa bagian timur, terutama Malang hingga Blambangan sebagai bagian wilayahnya. Pengaruhnya sebenarnya tidak terlalu kuat sehingga rakyat di daerah ini acap kali diperhadapkan dengan Mataram. Lagi pula wilayah 'Brang Wetan' atau 'Mancanegara Timur' ini adalah tempat persembunyian favorit para pembangkang VOC maupun Mataram.

Pada masa Perang Puputan Bayu (1771-1774) daerah Puger, Kedawung dan Nusa Barong di Jember menjadi dasar pertahanan melawan VOC.

Ketika di Belanda golongan liberal dengan Open Door Policy nya berkuasa, Jember mengubah menjadi lahan perkebunan (afdeling) untuk komoditas tembakau, lalu kopi, kakao,dan karet selama berpuluh-puluh tahun. Jejak masa perkebunan tembakau ini berisi cerita khasanah sejarah Jember hingga sekarang.

Melalui Staatblad No. 322 tentang Bestuurshervorming, Decentralisastie Regentscappen Oost Java , yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929, pemerintah kolonial Belanda menetapkan wilayah ini menjadi regentschap (setingkat Kabupaten).

Lagi-lagi, fenomena catut dokumen pemerintah kolonial berulang. Tanpa keinginan yang memuaskan, tanggal tersebut kini dijadikan penetapan hari jadi kota Jember. Padahal Jember sudah ada jauh sebelum Belanda datang.

Salah satu yang penting bagi pemerhati sejarah Jember dewasa adalah masih belum mencukupinya upaya penelusuran tentang-usul Jember. Cerita yang berkembang dalam masyarakat terkesan kusut, janggal dan kurang pas. Ada yang mempertanyakan mengapa tidak berasal dari kata jembar yang artinya luas yang secara konotasi lebih banyak didengar dari jember yang berarti becek.

Bahkan ada satu kisah tentang nama Djember yang terlanjur populer walaupun tidak dapat ditemukan dari data tertulis yang dapat dituliskan. Cukup menggelikan karena nama Jember konon katanya berasal dari istilah “Tanah Birnie”, penyebutan yang berasal dari nama orang Skotlandia George Birnie yang merupakan salah seorang pengelola perkebunan.

Konon George Birnie (?) menikah dengan wanita setempat yang bernama Djemilah, pendatang yang berasal dari etnis Madura. Birnie sangat diperhatikan olehnya, sehingga ketika wanita itu meninggal dibuatlah kuburan yang cukup mentereng ala mussoleum yang cukup megah pada jamannya. Model kuburan tidak menggunakan model tradisi cungkup dengan dua nisan kuburan Islam setempat, tapi meniru bentuk kuburan bergaya Eropa dengan penulisan huruf latin dengan menyebutkan nama dan tahun yang dikebumikan di situ.

Sejak saat itu muncullah istilah “Djembir”, yakni perpaduan kata Djemilah dan Birnie, yang karena pengaruh aksen dan logat setempat lalu berubah menjadi Djember.

Jelas hasil olah othak-athik gathuk yang lucu dan ahistoris.

Sumber: Sejarah Jember, Sebuah Keniscayaan (Revisi) tulisan Zainollah, S.Pd dan Heru Santoso, S.Pd dari komunitas sejarah Bhattara Saptaprabhu
Gambar penutup: Alun-alun Jember 1920.


Quote:
0