nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
219.9K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#263
Part 42-a
Gue berpindah posisi saat mobil yang gue kendarai sudah sampai di pelataran lobby apartemen-nya Gladys. Setelah mengeluarkan beberapa plastik belanjaan gue yang ada di kursi belakang. Gue berdiri di samping pintu kemudi, Alodya membuka kaca jendelanya.

"Alo, sekali lagi, sorry yah buat kejadian tadi." Ucap gue.

"Iyah, gapapa. Gue ngerti kok perasaan cewek lo." Sahut Alodya. Kemudian kami sama-sama terdiam. "Wid…" Panggil Alodya.

"Haaa!"

"Lo gak apa-apa?" Tanya Alodya. "Dari tadi abis lo ketemu Sun… eh Arumi lo jadi aneh." Lanjut Alodya.

"Gak apa-apa, Alo. Santai, Kok." Sahut gue.

"Wid, ya mungkin kita baru 6 bulanan ini kenal. Tapi itu udah cukup buat gue tau kalo lo ini orang yang engga suka cerita apapun yang lo rasain sama orang lain." Ucap Alodya dan gue hanya tersenyum merespon ucapannya.

"Gue tau lo pastinya punya alasan yang logis kenapa lo engga pernah mau cerita sama gue, Malik atau… Tapi gak ada salahnya, Wid. Cerita apa yang lo rasain sama orang lain, terlalu disimpen sendiri, dipendem sendiri, juga gak baik kan? Terlalu penuh nanti justru malah bikin…"

"Santai, Alo! I'm good. Always good." Sambar gue.

"Haaah…" Alodya menghela nafasnya. "Elo emang elo." Lanjut Alodya sambil menggelengkan kepalanya. "Yaudah, gue balik yah. Salam buat pacar lo."

"Iyah, take care, Alo. Salam juga buat Karina, yah. Hahahahah." Sahut gue, Alodya hanya mengacungkan jari tengahnya kemudian menutup kembali kaca jendela sebelum akhirnya melaju dan gue tidak lagi melihatnya setelah mobil berbelok di tikungan.

Setelah mobil Alodya sudah tidak lagi terlihat, gue masuk ke dalam lobby apartemen kemudian duduk di sofa yang ada di pinggir lobby. Walaupun gue memegang akses apartemen-nya Gladys, gue sengaja menunggunya di lobby.

Sekitar 20 menit menunggu, gue melihat Gladys melintas pintu utama lobby. Gladys awalnya tidak menyadari posisi gue, Gladys langsung menuju ke pintu lift namun sesaat sebelum dia masuk ke lift dia menoleh hingga akhirnya dia menyadarinya.

Setengah berlari Gladys langsung menghampiri dan memeluk gue sambil menangis. "Udah gak usah nangis, Dys." Ucap gue sambil membelai rambutnya. "Ini belanjaan kamu, kalo gak kuat minta tolong ajah security atau…" 

"Engga! Engga! Engga! Kamu mau kemana emangnya?" Sambar Gladys lirih.

"Aku gak kemana-mana…"

"Nyuk maaf…" 

"Gak usah minta maaf, Dys! Kamu gak salah. Aku yang salah." Sambar gue. Gladys hanya menggelengkan kepalanya dan semakin membenamkan kepalanya di dada gue.

"Yaudah, aku anter kamu keatas, yah." Sahut gue lalu gue dan Gladys menuju ke lift untuk menuju ke apartemen-nya Gladys yang berada di lantai teratas gedung apartemen ini.

Sepanjang lift bergerak ke atas, Gladys tidak berbicara satu kata pun, dia hanya memeluk gue sambil membenamkan wajahnya di antara pundak dan leher gue. Sesekali dia menyeka air matanya sambil menyingkirkan rambut-rambut yang menempel pada wajahnya.

Melihat Gladys seperti ini, sejujurnya di dalam hati gue merasa bersalah. Dan memang saat ini sebenarnya gue bersalah. Gue hanya sedikit beruntung bisa mengalihkan keadaan, playing victim dengan memanfaatkan laki-laki yang bersama Gladys sebelumnya untuk membalikan keadaan jika saat ini Gladys lah yang bersalah karena dia baru saja "jalan" dengan mantannya.

Padahal, jika Gladys mengetahui apa yang sebenarnya terjadi… "Tidak, Gladys tidak boleh mengetahui apa yang terjadi." Ucap gue dalam hati lalu mencium keningnya Gladys. "Geng, maafin aku." Ucap gue pada Gladys bersamaan dengan pintu lift yang terbuka saat kami sudah tiba di lantai tempat apartemen Gladys berada.



Quote:


..


Quote:




"Aku langsung pulang yah?" Ucap gue pada Gladys.

"Engga! Engga! Engga! Kamu gak boleh pulang. Janji kamu apa?" Sahut Gladys.

"Aku sekolah besok!" Sahut gue.

"Yaudah berangkat dari sini, kan lebih deket." Sahut Gladys.

"Seragam aku di rumah." 

"Yaudah hayu ambil sama aku sekarang."

"Yaudah aku engga pulang sekarang. Nanti sebelum subuh aku pulang yah." Sahut gue sambil menggelengkan kepala.

Lalu gue merapihkan plastik-plastik belanjaan, yang sebenarnya hampir semua isi belanjaan ini adalah titipan Gladys. "Haaaah…" Gue menghela nafas. "Kamu mau meluk aku terus begini?" Tanya gue pada Gladys.

"Emang kamu ga bisa rapihin ini semua sambil aku peluk begini?"

"Ya okehh." Sahut gue pasrah jika manjanya Gladys sedang kumat. 

"Nyuk sebernya kamu tadi ngapain sama dia? Dan dia itu siapa!?" Tanya Gladys tiba-tiba.

"Kamu kenapa tadi bisa sama mantan kamu? Kamu dari mana? Ngapain?" Tanya balik gue.

"Aku nanya duluan."

"Posisi aku lebih menguntungkan dan lebih pantes buat marah, percaya gak?" Sahut gue.
Diubah oleh nyunwie 29-04-2021 18:29
khodzimzz
anonymcoy02
joyanwoto
joyanwoto dan 29 lainnya memberi reputasi
30