elviciAvatar border
TS
elvici
Dua Cinta untuk Wika


Dua Cinta untuk Wika
Elvici



Hari masih pagi. Selesai bersih-bersih kamar dan mandi, Lia duduk di teras depan rumah kontrakannya. Sepi. Ia tak ada kuliah hari ini. Mencoba bersantai, ia mengutak-atik ponsel di pangkuannya, mencoba berkonsentrasi pada bacaannya. Namun, pikirannya selalu saja melayang pada seseorang yang beberapa minggu ini mengisi hari-harinya.

Lia takjub, hari-harinya seperti dipenuhi bunga-bunga, semangatnya beraktivitas bertambah dua kali lipat, bibirnya selalu mengukir senyum. Begitulah. Lengkap sudah gejala kasmaran di dirinya. Di mana-mana seolah ada dia, bukan hanya di pikiran, bahkan hingga di dinding, dan di langit-langit kamarnya. Begitu memesonanya sosok Koko sehingga mampu menguasai isi kepalanya hanya dalam tiga minggu.

Sikap Koko yang ramah, baik, perhatian dan romantis membuat Lia merasa tak perlu berpikir panjang untuk menerimanya ketika Koko menyatakan perasaannya seminggu setelah pertemuan mereka pertama kali. Koko selalu ada menemaninya, belanja di swalayan, menjemputnya ke kampus, membawakan bunga di setiap kencan mereka. Bagaimana perasaan Lia tidak melambung karenanya.



Lia beranjak ke kamar. Di teras depan, sinar matahari mulai membuat gerah. Lia terkejut ketika tiba-tiba Wika menerobos masuk dan melompat duduk di tempat tidur.

"Uni, Wika lagi seneng banget," katanya, mengguncang-guncang tubuh Lia. Lia menatap adik semata wayangnya itu. Enam bulan lalu dia masuk ke perguruan tinggi yang sama dengan Lia, tetapi berbeda fakultas.

"Ada apa, he?Gembira amat?" Lia tersenyum melihat wajah Wika yang berseri-seri.

"Ehm. Uni, Wika punya pacar baru sekarang." Wika tersenyum.

"Oh, ya? Lalu, Andi gimana kabarnya?"

"Ah, Uni. Itu, kan, cerita lama. Wika udah enggak SMA lagi. Jangan salahin Wika, dong. Dia tuh, kenapa menghilang, enggak pernah menghubungi lagi."

Lia duduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Berusaha membuang jauh pikirannya tentang Koko dan menyediakan waktu untuk mendengarkan cerita adik tersayangnya. "Hm, tapi jangan sampe kuliahmu jadi terganggu, ya."

"Dia bukan teman kuliah, Uni. Wika kenalnya di toko buku," terang Wika sambil memijit-mijit kaki Lia. "Em, Uni juga punya pacar, kan? Tuh, yang sering neleponin Uni. Kenapa enggak pernah diajak ke sini sih, kenalin ke Wika."

"Lho, kok malah Uni yang diinterogasi. Udah ah, mau tahu aja," jawab Lia cepat. Bayangan Koko melintas lagi. Lia memang belum menceritakan apa-apa pada adiknya. Senang hatinya melihat Wika berbahagia. Dengan wajah berseri, senyum malu campur gembira, membuat Wika yang manis makin cantik saja.

Wika memandang penasaran karena jawaban Lia tadi. Namun, ia tak bertanya lagi, dia punya cerita yang lebih penting untuk didengar dibandingkan jawaban pertanyaannya tadi.

"Oo, Uni tahu. Wika kan yang mau kenalin dia ke Uni?" Wika tersipu lagi. Kadang sifat kanak-kanaknya masih juga tampak. "Kapan Wika ajak ke sini?"

Bola mata Wika berputar senang. "Besok," jawabnya singkat. Tak tahan Lia melihat tingkah adiknya, tawanya lepas keluar, kemudian mengaduh ketika Wika mencubitinya.
*

Lia duduk di teras depan. Bulan terang separuh. Malam ini dia tak ada janji dengan Koko. Wika pergi sejak tadi sore, tentu ada janji dengan pacar barunya itu. Walaupun Wika tidak menyinggung masalah itu lagi, tetapi Lia yakin Wika tidak lupa dengan rencananya. Karena itu Lia bertahan di rumah, ia tak mau mengecewakan adiknya.

Sekitar pukul delapan malam Wika pulang, menyusul di belakangnya seorang pemuda tinggi menutup pintu pagar, membelakangi Lia. Lia menatap punggung pemuda itu. Potongan rambut dan kaos berkerah yang dipakainya mengingatkan pada seseorang.

Lia tersadar ketika Wika mengejutkannya. "Wika ke dalam dulu, ya. Bikinin minum."



Tinggallah Lia terpaku, menatap lurus pada seorang pemuda yang berdiri di depannya. Senyum sapa di bibir pemuda itu perlahan sirna dan hilang sama sekali. Bersalin dengan wajah yang kikuk dan terkejut.

Lia cepat menguasai diri dan berkata, "Mari, silakan duduk."

Pemuda itu tergagap dari keterpakuannya, lalu duduk, salah tingkah. Lia tenang, setenang air telaga, tetapi hatinya seolah disentak-sentak dan ditarik pusaran air di bawah telaga, terseret jauh, perih dan sakit.

Lia berseru, "Wika, mana minumannya."
*

Lia sedang menata buku-buku, membelakangi Wika. Wika duduk di tepi tempat tidur. "Gimana, Un?" tanyanya penasaran.

"Sip, oke punya," sahut Lia tak menoleh.

"Bener, Un?" tanyanya lagi. Lia mengangguk.

"Uni cerita apa aja tadi?" kejar Wika bertubi-tubi.

Lia berbalik menghadap Wika, menghela napas. Bibirnya mengukir senyum. "Enggak ngobrol banyak. Wika baik-baik, ya. Jangan khawatir, kalo dia macam-macam, dia akan berhadapan dengan Uni." Cres. Hati Lia tersayat.

Kini Lia duduk di samping Wika, mengusap kepalanya. "Wika sayang dia?" Tes-tes. Hati Lia mulai berdarah.

Wika semringah mengecup pipi Lia, "Wika juga sayang Uni Lia." Lalu berjingkrak keluar kamar. Tak melihat Lia sibuk menyusut air matanya yang jatuh tak tertahan.


*

Lia sangat ingin mengatakan kenyataan adalah tidak benar karena ia sulit memercayainya. Namun, ia tak bisa. Air mata menjadi jawaban bahwa apa yang terjadi harus ia terima. Ia mesti memaksakan rasanya menyusut karena Koko bukanlah seorang yang menjadikan dirinya satu-satunya. Lia menyadari cintanya tak dapat berlanjut kepada sesuatu yang bukan drama. Tak ingin ia termenung dalam kalut karena usia hubungan mereka masih belia. Ia merelakan cerita cintanya kusut demi senyum Wika, adik yang disayanginya.

***

Ilustrasi: geulgram | kesamaan nama dan kejadian dalam cerita adalah kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan
Diubah oleh elvici 03-05-2020 22:24
nana81280
nomorelies
trifatoyah
trifatoyah dan 49 lainnya memberi reputasi
50
1.5K
71
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
elviciAvatar border
TS
elvici
#1
Untunglah ini hanya cerita fiksi, Sis 😊
0