ArnisarahAvatar border
TS
Arnisarah
Antara Ayah, Suami dan Anakku


Dokpri

Ayahku berdiri di belakangku, menatapku dengan kedua matanya yang penuh air mata. Mungkin dia sedang mengasihani diriku atau sedang mempersiapkan dirinya melihat kematian anak semata wayangnya.

Aku merasa lega ketika akhirnya ayah memberi restunya kepadaku untuk menikah dengan Ruly. Aku dan Ruly sudah berkali-kali putus nyambung selama 7 tahun. Ayah tidak suka karena Ruly berdarah Manado. Katanya aku harus menikah dengan orang Batak agar nanti tidak jauh dari keluarga karena aku anak tunggal.

Sebulan sebelum hari pernikahan aku harus menelan pil pahit. Ruly membatalkan pernikahan kami. Ucapan ayahku menyebabkan keluarga Ruly tersinggung. Tidak terkira malu yang harus kutanggung dan juga kerugian materi.

Aku mencoba memohon bahkan "mengemis" kepada Ruly untuk mengubah keputusannnya tapi nyatakan keputusannya sudah bulat.

Aku mulai membenci ayahku. Seandainya ayah tidak emosional, mungkin aku sudah menikah. Hubunganku dengan ayahpun mulai retak.

Setahun berlalu aku bertemu dengan Anwar, seorang dokter spesialis jantung. Pertemuan yang tidak disengaja ketika aku mengantar ibu berobat ke dokter Mira yang adalah sepupuku. Saat itu Anwar dan Mira sedang berbincang, lalu Mira mengenalkan aku sebagai sepupunya dan ibuku sebagai tantenya.

Jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin itu yang dirasakan Anwar terhadapku. Setelahnya aku dan Anwar mulai berpacaran berkat bantuan Mira. Perlahan-lahan aku menutup kenanganku tentang Ruly. Walaupun Anwar berdarah Jawa tapi orangtuaku tidak melarang.

Aku dan Anwar belum membicarakan pernikahan tapi kami tahu hubungan kami serius. Anwar selalu meluangkan waktu untukku di akhir Minggu.

Di suatu hari Minggu, Anwar dan rekan-rekannya mengadakan kegiatan pengobatan gratis dan donor darah di Bogor. Awalnya aku menolak ikut tapi karena Anwar memaksaku, akhirnya aku ikut bersamanya.

Aku membantu Mira pada bagian pendaftaran di stand donor darah. Jantungku berdegup kencang, kaget luar biasa ketika aku melihat Ruly ada di antrian pendaftaran. Seketika perasaanku kacau, antara takut, sebal dan juga rindu. Ya, terkadang aku masih merindukannya. Mira yang mengetahui kehadiran Ruly disana mulai mengawasiku.

"Tolong jangan ganggu Lydia, dia sudah punya pacar", kata Mira kepada Ruly ketika Mira mengambil darah Ruly.

Sejak pertemuan di acara donor darah itu, komunikasiku dan Ruly mulai intens. Sepertinya kami masih merasakan cinta yang sama seperti dulu.

Hubunganku dengan Anwar mulai hambar, bahkan aku tidak mendengarkan Mira setiap kali mengingatkanku agar tidak menyia-nyikan Anwar.

"Lydia, Aku mencintaimu apa adanya sejak pertama kali kita bertemu. Sekarang kamu berubah, apa kau masih mencintai Ruly?", tanya Anwar suatu kali kepadaku.

Aku kesal dengan omongan Anwar yang mulai mengusik hubunganku dengan Ruly lalu kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Anwar.

Sekarang aku merasa lebih bebas dengan perasaanku. Aku kembali dekat dengan Ruly, seolah-olah tidak pernah ada masalah.

Sejak gagal menikah dan sebal kepada ayah, aku memutuskan untuk ngekos. Sebuah tempat kost mewah dekat kantor. Disana ada Lulu, sahabat yang sudah seperti saudara bagiku.

Aku dan Ruly berencana pergi ke resepsi pernikahan temannya. Ssmentara aku mandi, aku meminta Lulu menemani Ruly jika Ruly sudah sampai dikost.

Aku membasahi tubuhku dan membayangkan diriku dalam balutan baju pesta yang dipilihkan Lulu untukku.

Akh sial, tiba-tiba mati lampu. Ini pasti gara-gara kelebihan daya. Segera kusambar handuk dan melangkah ke teras untuk menaikkan stop kontak. Dari teras lantai 2 kulihat mobil Ruly sudah terparkir di luar pagar.

Entah keinginan dari mana tiba-tiba saja aku ingin melihat ke bawah, ke halaman rumah kost.
Degg...jantungku berdegup kencang. Darahku langsung mendidih.

"Dasar setan, iblissssss....", kutukku dalam hati.

Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Lulu dan Ruly berciuman di sudut halaman tempat mobil Lulu terparkir.

"Sori, kayaknya aku gak bisa ke pesta. Perutku sakit banget, datang bulan", begitu bunyi pesanku di whatsaap Ruly.

Kemudian Lulu dan Ruly datang ke kamarku dan bak malaikat penolong mereka menanyakan keadaanku. Lulu memberiku obat penghilang nyeri haid yang ada di kamarnya. Aku meminumnya walau sebenarnya ingin kulemparkan botolnya persis di mukanya.

Dua Minggu setelah peristiwa itu aku memutuskan keluar dari rumah kost dan pulang ke rumah orang tuaku.

"Rasanya percuma dengan hubungan seperti ini, tujuannya tidak jelas, hanya membuang waktu", kataku suatu waktu kepada Ruly.

"Aku mohon, kita masih bisa bersama", kata Ruly sok memelas.

Kulupakan Ruly dan Lulu. Aku merasa bodoh karena telah menyia-nyiakan Anwar yang justru tengah berbahagia dengan Mira, sepupuku yang sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka.

Di penghujung tahun, seperti biasa keluarga besar dari ayahku berkumpul. Dalam pertemuan itu tanteku bilang akan mengenalkanku dengan anak kerabatnya yang baru datang dari Australia setelah bertahun-tahun sekolah dan bekerja disana.

Singkat cerita aku berkenalan dengan Juan. Katanya Juan anak yang baik dan pintar, wajahnya juga lumayan. Perfecto...semua keluarga setuju, apalagi jelas-jelas di belakangnya ada marga.

Walaupun aku merasa chemistry antara aku dan Juan belum dalam tapi aku menjalani hubungan ini. Juan juga semakin menunjukkan keseriusannya kepadaku. Kami sepakat untuk segera naik pelaminan.

Kedua belah pihak keluarga sangat bahagia dengan pernikahan ini. Aku sangat bersyukur setelah melewati masalah yang kompleks akhirnya aku menikah atas dasar cinta dan restu orang tua.

Kebahagiaan kami semakin lengkap mendengar kabar kehamilanku di usia pernikahan kami yang masih berumur 3 bulan. Juan dan mertuaku semakin memperhatikanku.

"Hon, aku keluar sebentar ya. Ketemu teman kuliah. Dia baru balik dari Australia", katanya suatu sore di hari Sabtu. Aku memang mendengarnya baru berbicara di telepon.

"Cewek atau cowok?", tanyaku dengan nada sedikit cemburu. Mungkin bawaan ibu hamil jadi lebih sensitif.

"Haha...cemburu ya? Cowok, namanya Ricky", katanya menggoda sambil mengusap perutku.

Malam itu dia pulang jam 2 pagi dan sedikit mabuk. Pikirku tidak apa-apa, mungkin tadi malam mereka bersenang-senang setelah lama tak bertemu. Keesokan harinya dia meminta maaf karena sempat membuatku kuatir. Dia bercerita tentang pertemuan dengan tan-temannya tadi malam. Aku tidak begitu mengenal teman-temannya,hanya sesekali Juan menceritakan mereka.

Beberapa hari kemudian dia mengatakan pulang agak malam karena nongkrong sehabis jam kantor. Setelahnya dia menjadi sering pulang malam.

Sore itu kami periksa kehamilan, usia kehamilanku sudah 16 Minggu. Rasanya tidak sabar ingin cepat-cepat tahu jenis kelaminnya. Tapi kata dokter belum kelihatan. Tiba-tiba ponselnya berdering dan aku mendengar dia mengatakan tidak bisa datang kongkow karena sedang menemaniku ke dokter. Aku tersenyum senang karena ternyata dia lebih memilih menemaniku dibanding bersenang-senang dengan temannya.

Kebiasaannya pulang malam membuat kami jadi sering berantem.

Pagi itu aku sedang sarapan di meja makan, dan kulihat si Bibi meletakkan sesuatu di sudut tempat pencucian baju.

"Apa tuh Bi?", tanyaku.
"Ini Bu. Tidak tahu, dari kantong celana bapak. Dulu juga pernah tapi bapak langsung ambil", kata Bibi polos.

Kuambil dari tangannya dan bilang "Tidak usah kasitau bapak, kalau ditanya bilang saja tidak ada".
Si Bibi mengangguk.

Hemmm... Kondom. Aku menjadi curiga tapi kucoba tepis pikiran-pikiran itu.

Semakin hari perangainya semakin kasar. Dia tidak pernah memukulku tapi ucapannya kasar, membentakku bahkan ketika perutku semakin membesar dia tidak pernah lagi mengelusnya.

Dan hari ini aku benar-benar marah atas ucapannya yang mengatakan lebih baik dengan perempuan jalang. Jangan-jangan inilah Juan yang sebenarnya.

Hubunganku dengannya semakin renggang tapi keluarga kami tidak tahu. Kata-katanya yang kasar tidak berhenti berputar-putar di otakku, terpupuk subur menjadi kebencian yang sangat dalam.

Akal sehatku mulai hilang, yang tumbuh hanya keinginan membunuhnya. Aku mulai mencari cara untuk melenyapkannya dan melemparnya ke neraka. Aku berubah jadi iblis betina yang garang.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 dini hari tetapi dia belum pulang. Tekadku semakin bulat untuk membunuhnya.
"Aku pasti berhasil melenyapkanmu laki-laki brengsek", kataku dalam hati

"Bu, ada telepon, penting katanya", si Bibi mengetuk kamarku. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi.

"Akh teleponnya terputus", gumamku.

"Dari tadi hp Ibu juga berbunyi. Tadi bilangnya dari Rumah Sakit", lanjut si Bibi.

Aku segera melihat layar ponselku dan benar saja ada 4 panggilan tak terjawab. Mendengar kata Rumah Sakit aku langsung mengingat orangtuaku.

"Oh Tuhan, inikah jalan dari tekadku semalam?", sambil mendengar Isak tangis ibu mertuaku.

Juan tewas dalam kecelakaan. Dia menabrak pembatas jalan, diduga mabuk. Tewas bersama seorang wanita yang sekarang sedang koma. Sungguh memalukan. Perasaanku campur aduk, apakah aku harus senang atau sedih. Tuhan masih berpihak kepadaku karena aku tidak perlu mengotori tanganku atas kematiannya.

Ucapan bela sungkawa membanjiri ponselku. Papan bunga berderet di pelataran rumahku. Inikah awal kebebasanku?

Usia kehamilanku 30 Minggu sekarang. Sejak kematian Juan, kedua orangtuaku lebih banyak tinggal bersamaku.

"Wah si Ucok nih", kata dokter memberitahukan jenis kelamin bayiku.

Kedua orangtuaku yang ikut mengantarku kontrol terlihat sangat senang, tapi tidak denganku. Aku hanya tersenyum tipis. Aku malah semakin membenci anak ini hanya karena dia lelaki.

Hari melahirkanpun tiba dan benar saja si Ucok. Kedua orangtuaku dan mertuaku menemaniku di Rumah Sakit, mereka sangat senang dengan kehadiran si Ucok. Ibu mertuaku memuji si Ucok mirip bapaknya, semoga nanti tidak kalah hebat dengan bapaknya.

Setiap kali mendengar pujian seperti itu maka kebencianku terhadap anak ini bertambah. Bahkan aku tidak mau menyusuinya padahal air susuku banyak. Ucok lebih banyak dirawat Ibu. Aku mencari seorang baby sitter untuk membantu ibu merawatnya.

"Harusnya kamu bersyukur, kepergian Juan masih menyisakan Ucok untukmu. Kamu punya tujuan untuk membesarkan Ucok, jangan terlalu larut dalam kesedihan", ucap ibuku suatu waktu.

Mereka mengira sikap abaiku terhadap Ucok karena kesedihan yang mendalam atas kematian Juan. Aku membenci Ucok karena dia anak Juan, dia laki-laki dan wajahnya mirip bapaknya.

Ucok sekarang berusia 2 tahun dan sedang lucu-lucunya menurut orang. Hampir setiap hari pengasuhnya mengirimiku video Ucok. Kutonton videonya tapi tidak sedikitpun hatiku berubah untuk mencintainya.

Seperti biasa ada pesan masuk dari pengasuhku. Ketika aku memutar video yang dikirimnya tiba-tiba seorang Office Girl yang sedang mengepel di belakangku berkata: "Ya ampun, lucu sekali anaknya Bu. Cakep, lucu, pintar. Senangnya punya anak seperti itu"

Aku melotot ke arahnya, dia lantang telah berani mengintip apa yang sedang kulihat.

"Maaf Bu, tidak bermaksud mengintip. Tapi anak Ibu benar-benar lucu. Ibu sangat beruntung, saya sudah 4 tahun nikah belum punya anak", katanya meminta maaf, menunduk kemudian permisi untuk pergi.

Dalam perjalanan pulang aku merasa terganggu dengan ucapan OG tadi. Apa benar aku harus bersyukur memiliki anak seperti dia? Anak yang mewarisi wajah laki-laki brengsek itu?

Untuk pertama kalinya jiwa keibuan dan kasihku timbul untuk Ucok. Sesampai di rumah untuk pertama kalinya aku memeluk Ucok dengan kasih. Bagiku kini Ucok adalah kado terindah.

Hari-hariku berubah sejak saat itu. Ucok menjadi penyemangatku. Aku memasang banyak sekali foto-foto Ucok di meja kantorku. Aku selalu menceritakan Ucok anakku kepada teman-temanku. Aku benar-benar merasa seorang ibu.

Ucok sudah berumur 5 tahun dan duduk di bangku TK. Sekarang Aku sendiri yang mengurus semua kebutuhannya, menemaninya belajar bahkan sesekali mengantarnya ke sekolah sebelum aku berangkat ke kantor.

"Nak, Minggu depan Mama mau tugas ke luar kota, 3 hari. Ucok di rumah baik-baik ya", ucapku menjelang tidur.

"Hufff... ", dia membalikkan badannya, pertanda tidak setuju. Begitulah sikapnya setiap kali aku bilang aku mau pergi.

"Mama harus pulang cepat ya, trus bawa mainan yang banyak", katanya dengan sikap manja khas anak-anak ketika aku akan berangkat ke luar kota.
Kami berpelukan sangat erat seolah tidak mau dipisahkan. Kuciumi pipinya sampai dia merasa geli.

Ini hari kedua aku di Yogya. Pukul 5 sore di hari itu rombongan kami menuju hotel setelah mengadakan kunjungan ke kantor cabang yang ada di Yogya. Aku mengangkat telepon dari ibuku. Aku tersenyum membayangkan kira-kira Ucok akan bercerita tentang apa hari ini.

"Lydia, kami sedang di RS. Ucok jatuh dari sepeda", kata ibuku dengan nada hati-hati.

Malam itu juga, penerbangan jam 9 malam aku langsung pulang ke Jakarta.

"Kita sedang berusaha menemukan apa yang menyebabkan anak ibu tidak sadarkan diri. Tidak ada luka di tubuhnya. Mungkin kepalanya terkena benturan keras. Nanti kita lihat hasil scan otaknya", kata dokter menjelaskan.

"Lakukan apa saja Dok, yang penting dia sadar. Sembuh", kataku sambil menangis. Kedua orangtuaku, mertuaku dan kakak iparku berjaga di rumah sakit.

Dua hari di ICU akhirnya Ucok sadar. Walaupun dokter belum menemukan penyebabnya namun perlahan kondisi Ucok membaik. Seminggu setelahnya Ucok diijinkan pulang ke rumah.

Sejak saat itu Ucok jadi sering sakit. Berkali-kali bolak balik Rumah Sakit namun dokter tak menemukan penyebab pasti penyakitnya. Setelah berbulan-bulan, Dokter mengatakan Ucok kena Meningitis. Sempat tidak percaya, mertuaku mengusulkan Ucok di bawa berobat ke Singapura.

Salah satu yang patut kusyukuri juga, mertuaku sangat memperhatikan aku dan Ucok walaupun anak mereka (Juan) telah mati. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka merasakan kehadiran Juan di diri Ucok.

Pemeriksaan lengkap di Singapura membuahkan hasil. Sama dengan pemeriksaan di Jakarta, disanapun Ucok didiagnosa mengidap Meningitis. Tapi yang membuat aku sedih dan marah bukan penyakit Meningitis. Dokter mengatakan Ucok juga kena HIV. Iya, HIV. Bagaimana bisa? Seketika duniaku runtuh.

Kusembunyikan diagnosa HIV itu ke semua keluarga kecuali ayah ibuku yang memang ikut ke Singapura. Pengobatan intensif pun dilakukan dan setahun ini sangat melelahkan dan menguras emosi. Hati kecilku marah, ternyata bukan cuma wajah yang diwariskan Juan kepada anakku tapi dia juga mewariskan penyakit. Kupikir kematian Juan sudah membebaskanku tapi ternyata semakin membelengguku.

Tidak lebih setahun akhirnya Ucok pergi untuk selama-lamanya.

"Mama, kalau aku besar nanti aku mau menjadi astronot biar bisa terbang ke surga", ini yang sering diucapkannya dulu.

"Kok astronot ke surga?", tanyaku.

"Iya, surga itu kan diatas, diluar angkasa", katanya.

"Kalau gitu nanti bawa Mama ke surga ya", sambungku.

Dan kamipun tertawa, mengkhayalkan banyak hal. Saat-saat seperti itu kami sangat bahagia.

Kepergian Ucok membuat gairah hidupku hilang. Aku ingin mati. "Nak, cepatlah jadi astronot, bawa Mama ke surga", batinku menangis.

Hiv bersarang di tubuh Ucok sejak dia dalam kandungan, itu artinya dia mendapatkannya dari aku. Ya hasil pemeriksaan terhadapku juga positif.

Aku berharap segera mati tapi ibuku selalu mengatakan aku tidak boleh kalah. Hidupku kosong, hampa dan tak berpengharapan.

Kugenggam obat-obatan yang harus kutelan setiap hari. Duduk aku di depan cermin memerhatikan wajahku yang terlihat menua dan bola mata yang tak bersinar. Di belakangku, di pintu kamar terlihat lelaki tua menatapku dengan air mata. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu,apakah dia sedang menyesali dirinya atau sedang mempersiapkan diri untuk melihat kematianku. *Tamat*


Terimakasih agan sista sudah mampir.
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa, cendol, rate, dan share. Salam Belajar Bersama Bisa.










lumut66
weihaofei
tien212700
tien212700 dan 31 lainnya memberi reputasi
32
4.3K
62
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anugradAvatar border
anugrad
#7
Ngeri cerita orang kelas bangsawan
0
Tutup