cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Dendam Arwah dari Masa Lalu
Cerbung ini telah tamat ya. Terima kasih untuk semua pembaca setia cerbung ini

Konten Sensitif


Prolog

Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?

Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.

Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.

Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.

Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.



Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?

Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.

“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.

“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”

“Serius, Mbak?”

“Lha memangnya kenapa tho?”

“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.

“Wah, gitu ya?”

“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”

“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”

“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.

“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.

“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”

“Kenapa bisa begitu, Mas?”

“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”

Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.

“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.

“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”

“Ambar, Mas.”

“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”

“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”

“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.

“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.

“Iya, Mbak, saya Ambar.”

“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”

Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.

Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.

Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.

Bersambung di sini

Written by @cattleyaonly



Diubah oleh cattleyaonly 30-07-2020 13:52
Lailahr88
pepenion
69banditos
69banditos dan 31 lainnya memberi reputasi
32
14.8K
159
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
#58
DENDAM ARWAH DARI MASA LALU (PART 19)


Kampung Lembah gempar, ketika mayat Wulung dan Tari diketemukan seorang warga yang hendak pergi ke sawah. Mayat keduanya sangat mengenaskan, bersimbah darah dengan luka menganga di dada,

Jasad Wulung yang diantar warga ke rumahnya disambut dengan linangan air mata Bu Rumi. Apa yang telah terjadi dengan anaknya, dan apa sebab seseorang begitu tega merenggut nyawa sang anak?

Bu Rumi ingin memberitahu suaminya, tapi dia tak tahu ke mana lelaki itu pergi bersama wanitanya. Sementara warga Desa Ujung Kelor telah berdatangan ke rumah mereka.



Istri Kang Rajiman segera memanggil salah satu anak buah sang suami--seorang berkepala gundul--dan menyuruh lelaki itu mencari tuannya. Lelaki gundul itu segera menjalankan perintah majikannya. Dia ingat tempat yang biasa disinggahi tuannya untuk mencari kesenangan. Penginapan itu, mungkin Kang Rajiman ada di sana.

Setelah mengendarai motor beberapa lama, anak buah Kang Rajiman tiba di depan penginapan yang dimaksud. Benar saja, ketika lelaki gundul itu menyebutkan nama Kang Rajiman pada penerima tamu, wanita itu langsung memberitahukan letak kamar Kang Rajiman.

Ketukan anak buah Kang Rajiman sangat mengganggu tuannya yang baru saja tidur dua jam. Kang Rajiman dengan rakus menghabiskan malam itu untuk menikmati tubuh Nyi Sundari.

Dengan perasaan marah, Kang Rajiman membuka pintu. Ketika melihat siapa yang datang serta merta umpatan keluar dari mulutnya.

"Beraninya kamu menggangguku!" hardik Kang Rajiman.

"Anu, juragan, ada berita penting." Sang anak buah terlihat ketakutan.

"Berita apa? Awas kalau tidak penting, aku habisi kamu!"

Si gundul menelan ludah. "Den Wulung, Juragan, Den Wulung meninggal."

"Apa?!" Kang Rajiman seperti disengat ribuan tawon. "Yang benar kamu?"

"Benar, Kang, semalam Den Wulung dibunuh seseorang."

Kang Rajiman terhenyak. Aliran darahnya seolah berhenti untuk beberapa saat, kemudian memuncak dikepalanya sebagai amarah. Lelaki itu meneriakkan umpatan berkali-kali.

"Akan aku cari pembunuh anakku sampai dapat!"

Kang Rajiman membalikkan badan, hendak membangunkan Nyi Sundari, tapi dilihatnya wanita itu sudah duduk di tepi ranjang. Suara percakapan di ambang pintu kamar membuatnya segera terjaga. Nyi Sundari mendengar isi percakapan itu dan mulai menduga siapa pelakunya.

Cepat Nyi Sundari merapikan baju dan dandanannya kemudian mengikuti langkah Kang Rajiman keluar.

Kang Rajiman segera menghidupkan motornya dan melaju secepat yang dia bisa. Lelaki itu menurunkan Nyi Sundari di kampung wanita itu kemudian pulang ke rumah.

Sesampai di rumah, sudah banyak warga yang berkumpul. Bahkan Wulung sudah selesai dikafani.

Kang Rajiman bersimpuh di depan jenazah Wulung. Wajahnya mengekspresikan kemarahan dan kesedihan yang dalam. Anak sulung yang masih muda ini harus pergi mendahului dirinya.

'Tak akan aku ampuni pembunuh anakku,' desisnya dalam hati.

Wulung pun segera disholatkan dan dimakamkan di pemakaman umun desa Ujung Kelor.

***

Hari pernikahan Ambar dan Ikram sudah cukup dekat. Segala persiapan sebagian sudah selesai. Hari itu sebuah kereta kuda datang membawa sebuah ranjang pengantin yang masih belum dirakit. Kusirnya mengatakan kepada Nyai Amirah bahwa ranjang itu hadiah dari teman Ikram di kota.

Nyai Amirah mengucapkan terima kasih pada si kusir. Kusir pun kemudian pergi. Nyai Amirah segera menyuruh dua santri yang sedang membantu persiapan di rumahnya untuk membawa ranjang itu di gudang belakang rumah sementara waktu.

Tak berapa lama seorang santri dari Al Ikhlas datang berkunjung. Mengatakan bahwa Kyai Nawawi yang sedianya diminta menikahkan Ambar dan Ikram tidak bisa hadir di hari pernikahan mereka, karena ada agenda di kota lain yang cukup jauh.

"Bagaimana kalau pernikahannya kita ajukan saja, Bah?" usul Nyai Amirah kepada suaminya.

"Usul bagus, Nyai. Kita ajukan pernikahannya, tapi walimahan tetap di hari yang telah kita tentukan. Karena undangan sudah terlanjur disebar."

Semua setuju dengan usul Nyai Amirah. Bahkan Ikram merasa senang hari pernikahannya dimajukan. Hanya, Ambar merasa deg-degan. Entah mengapa ada rasa tak enak yang menyumpal hatinya, hingga membuatnya merasa sesak.

Senja itu, hujan turun dengan begitu deras. Petir terdengar menggelegar berkali-kali. Padahal harusnya ini sudah musim kemarau.

Ambar berjalan ke dapur. Hendak membuatkan teh hangat untuk seisi rumah. Namun, malang baginya, tetesan hujan dari genting yang bocor membuatnya terpeleset dan terjatuh. Kepalanya membentur lantai. Wanita itu meringis kesakitan. Sementara Nisa yang melihat kejadian itu buru-buru membantunya bangun.

Ambar memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut-denyut. Dia tiba-tiba menatap Nisa dengan pandangan aneh, hingga membuat yang dipandang merasa bingung.

"Kenapa?" tanya Nisa seraya memapah Ambar ke kursi.

"Aku ingat sesuatu," jawab Ambar.

"Ingat apa?"

"Aku ingat diriku. Aku ingat semuanya sekarang."

"Mbak?" Nisa memandangnya dengan perasaan haru dan bahagia. "Jadi siapakah dirimu?"

"Aku Ambar, seorang bidan desa. Dan aku masih mempunyai ibu."

Nisa memeluk Ambar dengan penuh keharuan. Namun bagi Ambar, itu juga membuka kenangan pahit yang pernah dilaluinya bersama Seno di desa tempatnya mengabdi sebagai bidan desa.

"Lantas bagaimana? Apakah Mbak Ambar akan pulang sekarang?" tanya Nisa seraya melepaskan pelukannya.

"Iya, Nisa, aku ingin pulang."

Ada rasa sedih yang melintas di hati Nisa mendengar kata-kata itu. Sekian bulan wanita itu telah menjadi bagian dari keluarganya dan kini dia ingin pergi, walaupun nantinya akan kembali menjadi kakak iparnya.

"Bagaimana nasib Mas Ikram?"

"Maksudmu?"

"Apakah Mbak Ambar masih mau menikah dengan Mas Ikram?"

Ambar tersenyum. "Tentu saja masih."

"Terima kasih Mbak. Kalau sampai Mbak ternyata punya kekasih sebelum kenal Mas Ikram, pasti kakakku itu akan patah hati berat." Nisa memeluk Ambar sekali lagi. "Senangnya, akhirnya Mbak Ambar sembuh." Nisa berdiri kemudian berkata, "Aku ingin memanggil Mas Ikram, Abah, dan Ibu ke sini."

Ambar mengangguk. Beberapa saat kemudian orang-orang yang dipanggil Nisa datang berkumpul di meja ruang tengah.

"Benarkah ingatanmu telah pulih, Nak?" tanya Nyai Amirah dengan wajah berbinar- binar."

"Benar, Nyai."

"Alhamdulillah!" seru Ustadz Ilyas.

"Lalu, bagaimana?" tanya Ikram.

"Aku ingin pulang, mengabarkan rencana pernikahan kita pada Ibu, juga meminta restunya."

"Jadi, kamu masih tetap mau menikah denganku?"

"Tentu saja," kata Ambar kemudian tersenyum.

"Kalau begitu, besok kita akan mengantar Nak Ambar pulang, sekaligus melamar Nak Ambar di hadapan Ibu."

Ikram tersenyum senang.

"Sayang sekali, kita tidak punya sesuatu untuk dibawa sekarang," keluh Nyai Amirah.

"Tidak usah bawa apa-apa, Bu. Keluarga ini sudah memberikan segalanya pada saya," kata Ambar penuh terima kasih.

Malam itu, semua tidur dengan gembira kecuali Ambar. Ada ketakutan yang mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Dia mengatakan semua tentang dirinya, tapi tidak menceritakan sedikitpun tentang Ki Barata. Lelaki itu seperti bayangannya yang selalu mengejar. Apa yang dimilikinya hingga lelaki itu mengejar dirinya?

***

Pagi ini menjadi pagi tergamang bagi Ambar. Setelah hampir setengah tahun dia berada di tempat itu, kini dia akan meninggalkannya walau mungkin hanya sementara waktu. Tempat itu telah memberikan kenangan pahit sekaligus kenangan termanis dalam hidupnya. Terlebih di situlah Ambar menemukan tambatan hati.

Semua anggota keluarga Nyai Amirah telah bersiap dan sebuah dokar telah tiba di depan rumah. Kusirnya turun dan mengucapkan salam. Dia mengatakan telah siap mengantarkan keluarga itu ke kota.

Semua menaiki dokar. Tempat duduknya pas untuk dinaiki berenam dengan kusir.

Ambar memandang semua yang dilewati, seolah takut semua itu hanya akan menjadi kenangan yang tak pernah kembali. Dadanya berdebar-debar. Semangat dalam dirinya menyala hingga membuat hatinya tak sabar untuk segera sampai di rumahnya. Bagaimana kabar ibunya sekarang? Oh, betapa Ambar sangat merindukan wanita terkasih itu.

Ambar hanya bisa melihat punggung Ikram yang duduk di samping kusir. Ingin sekali Ambar melihat wajah kekasihnya itu dan melihat ekspresi yang tampak di sana. Tiba-tiba Ikram menoleh ke arahnya. Ambar tersentak dan melemparkan senyuman pada calon suaminya itu. Wajah Ikram terlihat tenang.

Setelah sampai di terminal dokar, mereka turun dan mencarter sebuah angkot. Kemudian mereka menempuh perjalanan satu setengah dengan angkot itu untuk sampai di depan rumah Ambar, bangunan bercat putih, dengan halaman yang luas. Pintu rumah itu tampak tertutup rapat.

Dengan tak sabar Ambar berlari ke pintu dan membukanya. Pintu itu tak terkunci. "Ibuuu! Ibuuu!" seru Ambar segera menerobos ke dalam.

Seorang wanita tua muncul dari dapur dan begitu terkejut melihat wajah sang anak yang telah sekian lama dicarinya.

"Ambar!" Ibu memeluk Ambar dengan penuh haru. Tangisnya pecah, hingga bahunya tampak terguncang-guncang.

"Syukurlah kamu selamat, Nak. Ibu hampir kehilangan harapan mencarimu."

"Ambar rindu Ibu," ucap Ambar disela-sela isak tangisnya.

Setelah puas memeluk Ibu, Ambar melepaskan pelukannya. "Ibu, ada tamu untuk Ibu, di luar."

"Siapa mereka, Nak?"

"Orang-orang yang telah menyelamatkanku, Bu."

Mereka segera menyongsong para tamu yang masih berdiri di depan pintu.

"Silakan masuk. Saya ibunya Ambar," kata Bu Minarsih sambil menyalami tamu-tamunya.

Mereka kini telah duduk melingkari meja tamu. Bu Minarsih membuka percakapan, "Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya, Ambar, dan membawanya kembali kepada saya."

"Sama-sama, Bu. Kami senang telah dipertemukan dengan wanita baik seperti Nak Ambar," jawab Nyai Amirah.

"Beliau-beliau ini tinggal di kampung Lembah, Bu. Abah ini seorang ustadz di pesantren Darul Haq, sedangkan Ibu adalah tabib terkenal di sana," kata Ambar memperkenalkan tamu-tamunya. "Ambar bisa sembuh dan kembali pulang ini karena ramuan obat dari Nyai Amirah. Kalau Ambar tidak sembuh, mungkin selamanya Ambar tak pernah kembali." Ada air mata yang mengambang di wajah Ambar yang siap untuk jatuh. Dia mengingat semua usaha keluarga itu untuk mengembalikan ingatannya.

"Besar rasa terima kasih yang saya sampaikan untuk Pak Ustadz dan Nyai, atas pertolongan Pak Ustadz sekeluarga kepada anak saya," kata Bu Minarsih kepada tmu-tamunya.

Suasana hening sejenak. Keharuan begitu menyelimuti dada Bu Minarsih dan Ambar.

"Begini, Bu, sebenarnya kami juga punya tujuan lain ke sini, yaitu melamar Nak Ambar untu anak saya, Ikram," kata Ustadz Ilyas seraya memandang kepada Ikram. Ikram tersenyum dan mengangguk hormat kepada ibu Ambar.

"Oh, ini kejutan yang membahagiakan bagi saya. Tapi, apakah Bapak dan Ibu sudah tahu bagaimana masa lalu anak saya?"

"Sudah, Bu. Nak Ambar sudah menceritakan semua pada kami. Nak Ambar sudah pernah menikah dengan Nak Seno, kemudian Nak Seno meninggal karena sakit."

"Oh, syukurlah kalau begitu," kata Bu Minarsih. "Bagaimana dengan dirimu, Nak Ikram? Apakah Nak Ikram bisa menerima keadaan anak saya apa adanya?"

"Iya, Bu. Saya menerima keadaan Ambar apa adanya."

"Jadi bagaimana, Mbar? Kita terima pinangan ini?" tanya Bu Minarsih seraya menoleh ke arah anaknya.

"Jika ibu tidak berkeberataan, Ambar menerima," jawab Ambar dengan tersipu.

"Baiklah, ibu yakin, kamu pasti tidak sembarang memilih seseorang untuk menjadi pendampingmu. Ibu yakin dengan pilihanmu, Nak." Bu Minarsih memandang tamu-tamunya. "Jadi, kami menerima pinangan ini, Bu, Pak. Semoga Bapak dan Ibu berkenan mendidik anak saya menjadi seseorang yang lebih baik lagi."

"Insya Allah," jawab Nyai Amirah.

Bu Minarsih tersenyum bahagia. Dia bukan hanya telah mendapatkan anaknya kembali, tetapi akan mendapatkan menantu lagi. "Sebentar, Bu, saya ke belakang dulu," pamit Bu Minarsih. "Ayo, Mbar!"

Bu Minarsih segera membuatkan teh hangat dan menyuguhkan camilan yang ada. Mereka pun berbincang beberapa lama dengan suasana yang lebih santai.

"Jadi, sebenarnya kami sudah menentukan hari pernikahaan Nak Ambar dan Ikram, dua hari lagi. Kami juga sudah menghubungi Kyai Nawawi untuk menjadi penghulunya," kaya Ustadz Ilyas.

"Kyai Nawawi dari pesantren Al Ikhas?" tanya Bu Minarsih.

"Ibu kenal?" tanya Nyai Amirah.

"Tentu saja, beliau Kyai yang sudah dikenal oleh masyarakat luas."

"Jadi bagaimana jika kita urus dan kita siapkan akad nikahnya di sini?"

"Saya setuju, Bu. Niat baik tak baik ditunda-tunda."

"Sebenarnya rencana awal pernikahannyaa akan kami adakan seminggu lagi, tapi Kyai Nawawi akan pergi ke kota lain pada hari itu untuk waktu yang cukup lama, akhirnya kami sepakat untuk memajukan hari."

"Bagaimana baiknya saja, saya ikut," kata Bu Minarsih

Kesepakatan pun tercapai antara keluarga Ikram dan Ambar. Kedua keluarga kini merasa lega. Nyai Amirah sekeluarga pun segera berpamitan.

"Sampai ketemu lagi, Mbak Ambar. Rindukan aku ya?" Nisa memeluk Ambar.

Ambar dan Bu Minarsih mengantarkan keluarga Ikram di pinggir jalan hingga keluarga itu mendapatkan angkot untuk kembali ke tempat kusir dokar tadi menunggu. Ambar memandang angkot yang dinaiki keluarga Ikram hingga kendaraan itu hilang di kelokan jalan. Terasa ada yang hilang juga dari dalam diri Ambar. Betapa dia telah terbiasa dengan keluarga itu. Ambar sangat menyayangi keluarga baik itu.

Bu Minarsih memandang ekspresi wajah sang anak dan dia merasa maklum. Dielusnya pundak Ambar. "Dua hari lagi, kamu akan kembali bertemu mereka, Nak," katanya.

Ambar tersenyum dan mengangguk pelan.

"Sekarang ceritakan kepada Ibu bagaimana awalnya kamu bertemu dengan pemuda tampan itu," kata Bu Minarsih seraya menggandeng tangan Ambar ke dalam.

Ambar menggelendot manja di lengan ibunya. "Ibu, aku kangen. Rasanya ini seperti mimpi."

"Cubit ibu, Nak. Ibu juga merasa ini seperti mimpi. Alhamdulillah, kita masih bisa dipertemukan."

Bersambung
nomorelies
graybpn
69banditos
69banditos dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup