pionic24Avatar border
TS
pionic24
'Tonyo' Hantu Banyu Versi Lokal
         Selamat pagi sing sore malam sahabat, kembali lagi bersama saya Pionic24. Baru2 ini muncul beberapa trend yang bisa dikatakan cukupmenarik untuk di telisik yaitu, anak2 muda yang meng-explore hal2 yang berbau misteri yang menjadi legenda atau mistos di daerah mereka masing2. Banyak dari kegiatan itu ditulis dalam artikel2, atau direkam dalam bentuk video dan kemudian di upload di media sosial, hal ini menurut Pion sangat bagus karena bisa menjadi sarana tambahan informasi mengenai legenda2 dan mitos2 di daerah masing2, lumayan untuk menambah stok cerita horor yg biasa diceritakan saat kumpul2 bersama teman.

                Salah satu dari sekian sosok misterius atau lebih banyak disebutnya sebagai mahluk halus yang dibahas di media adalah “Hantu Banyu”. Sosok penunggu sungai yang konon muncul untuk mengganggu korban dengan menyeret dan menenggelamkan mereka ke dasar sungai dan dibeberapa video yang Pion tonton bahkan sampai beberapa orang memancing sosok itu. Unik juga menurut Pion, jaman sekarang bukan ikan dan kerusuhan saja yang bisa dipancing tapi hantu juga, dan ketika gelembung air muncul, dengan semangat pemancingnya menghujamkan tombak ke air, pion jadi penasaran apa mahluk halus bisa terluka dengan senjata manusia?. Entahlah, tapi yang pasti  hari ini Pion bakal menceritakan pengalaman yang dilami salah satu saudara Pion, Sebelum itu mari simak sendikit penjelasan Pion ini.
                “Tonyo”, begitulah warga kami menyebutnya, sosok mahluk gaib penghuni tempat2 angker yang ada air atau sumber airnya seperti: sendang atau pemandian (bahasa Balinya: Beji), Dam atau bendungan, Tukad (sungai yang besar), dan bebengan (cekungan di sungai yang dalam airnya).  Sosok ini menurut beberapa cerita mulu-kemulut menampakan diri sebagai hewan air namun dengan dengan hujud yang nyeleneh atau tidak lazim. Biasanya dalam bentuk hujud Empas/Bedawang (bulus) dengan ukuran yang diluar nalar semisal yang pernah diceritakan didaerah Bali selatan di sebuah trowongan air dijumpai seekor Empas yang keluar dari trowongan uang ukuran badan sebesar tikar yang digerai. Mungkin saja hewan itu bisa tumbuh dengan ukuran besar, tapi dengan kondisi alam di sekitarnya dimana sungai tidak sesehat sungai Amazon rasanya mustahil nalar manusia dapat menerimanya. Pernah juga ada yang menjumpai sosok ikan yang berenang di permukaaan air dengan kepala utuh tetapi badan yang hanya tulang belulang. Kadang sosok2 hewan air lainnya yang ukurannya cukup besar yang muncul di kubangan air kecil entah darimana munculnya dan hilang ketika menggelepar di lumpur. 

Gambar Dam Ongan yang dikenal angker  (gambar hanya sekedar ilustrasi bukan bagian dari cerita)

                Sosok asli dari Tonyo ini jarang sekali dilihat orang konon sosoknya seperti manusia namun bertubuh kecil bersisik licin dan telanjang duduk2 di pinggir atau diatas batu sungai. Sosok itu ‘jarang’ dilihat orang bukan berarti tidak pernah dilihat, dan kali ini Pionic24 berkesempatan mendengar cerita dari saudara penggemar nasi “Be Guling” yang lama tidak pernah Pion ajak ngobrol. Begini ceritanya.

                Iwa Ngah sebut saja namanya begitu “Iwa: bahasa Bali ahiran ‘a’ dibaca ‘e’ seperti kata ‘e’ di kata ‘semangka’ jadi bacaanya ‘Iwe’, buakan dibaca ‘e’ dikata ‘cabe’. Iwa artinya paman”. Ia merupakan seorang yang gila mancing. Meskipun tinggal di kabupaten yang tidak punya laut hal ini tidak menjadikan hobi Iwa Ngah surut, justru hamparan suangai di daerahnya menjadi sasaran explorasi yang tak habis2nya dipancing Iwa Ngah. Tak hanya memancing siang mencari wader dan mujair, mancing malam mencari lele dan siadat  juga Iwa Ngah lakukan. Tidak sekedar memancing ramai2, kadang kalau teman2nya sibuk tapi niat mancing Iwa Ngah kumat, sendiri pun tak jadi masalah entah siang atau malam.

                Suatu hari sektar 7 tahun yang lalu Iwa Ngah teringat masa2 pada saat itu musim penghujan baru saja tiba. Ia dan teman2nya sedang asik nongkrong menikmati lantunan radio dan kopi panas, saat itu hari sudah mulai senja matahari belum sepenuhnya turun ke peraduannya. Namun akibat cuaca mendung  disertai rintik2 hujan ringan susana hari2 itu terasa lebih gelap dari semestinya.

                Dari kejauhan 2 orang temannya Iwa Ngah memacu motor dan berhenti di depan warung tongkrongan kemudian memamerkan hasil pancingan mereka 3 ekor ikan sidat seukuran lengan orang dewasa “Wah.. lumayan dapat mancing dimana?” tanya Iwa Ngah dengan bersemangat. 

           Temannya menjawab sambil menggigil akibat bajunya basah kehujanan “Itu, di Desa A. kemarin katanya ada tanggul kolam ikan warga yang jebol, kami iseng memancing disana Tukad (aliran sungai yang besar) sebelah Pancoran (Pancuran) ada batu besar. Disebelah batu besar itu airnya dalam disana kami mendapat ikan ini”. Ungkap teman Iwa Ngah sambil menunjukan karung beras yang berisi ikan menggeliat. Seisi warung mendengar sambil manggut2 teman Iwa Ngah pun pamit pulang. “Cobak mancing disana Ngah!!” teriak teman Iwa Ngah ketika motor mereka melaju meninggalkan warung.

Ilustrasi gambar ikan Julit atau sidat 
                Iwa Ngah sambil termenung mencoba mengingat kembali rute yang disampaikan oleh temannya tadi, hingga lamuan itu buyar oleh suara pak tua yang ngopi di sebelahnya, ”Anak2 itu tidak tau itu tempat mereka mancing seken-seken tenget (benar-benar angker).Uli jaman regen di Puri ba liu ada nak mati kelem ditu sing bakatange bangkene, mula umah Tonyo ne ditu (dari jaman raja di Puri sudah banyak yang mati tenggelam disana tidak ditemukan mayatnya, memang rumah Tonyo disana)”. Iwa Ngah manggut2 sekedar mendengar tanpa memperdulikan ocehan orang tua itu.

                Hingga 2 hari kemudian Iwa Ngah dan seorang temannya sebut saja namanya Pak Tut memutuskan berangkat berdua memancing ke Tukad Desa A. dengan peralatan pancing yang lengkap dan juga jas hujan yang menemani laju motormereka siang itu, jarak rumah dan lokasi lumayan sekitar 8 km. diikutsertai  dengan cuaca yang rintik hujan ringan dan gemuruh kilat, tidak membuat niat mereka terhenti untuk memancing justru  saat hujan2 air akan keruh sidat besar akan keluar mencari makan itu yang mereka berdua pikirkan. Sampai ahirnya motor yang dikemudikan Iwa Ngah masuk ke jalan sempit yang disemen. 

        “Kata teman yang mancing, masuk desa ketemu pertigaan belok kanan, kok jalannya jelek gini?”, kata Iwa Ngah, 

          “Biasa jalan ke Tukad  terjal, lagi pula siapa yang mau ngaspal disinya?”, ujar Pak Tut yang terguncang2 berboncengan dibelakang.

                 Sampai jalan semen itu ahirnya habis menyisakan jalan tanah becek yang tidak mungkin dilalui oleh sepeda motor. Mereka berdua berjalan kaki sambil menggendong tas pancing dan menjinjing peralatan lainnya, langkah mereka bersahutan melewati jalan setapak licin dan berlumpur akibat hujan, ternyata jalan yang mereka lalui cukup jauh untuk menuju lokasi memancing, harus melewati kebun warga dan kandang2 sapi yang becek terkena hujan yang kadang deras kadang berhenti. 15mnt berjalan ahirnya Iwa Ngah menemukan tukad yang dicari, nampak airnya tidak begitu keruh serta tenang dan tentunya air yang kebiruan menunjukan dasar Tukad yang cukup dalam.

Gambar ilustrasi Tukad  (gambar hanya ilustrasi nemu di internet)

                Suasana di sekitar nampak tenang nampak sekeliling bibir Tukad  atau suangai besar itu banyak pohon bambu yang berdiri rapi seperti sudah biasa batanya diambil oleh pemilik ladang. Sambil ngos2an ahirnya Iwa Ngah dan Pak tut beristirahat dibawah daun pohon talas yang terlihat mengembang layaknya payung, sambil beristirahat begitu pula mereka sambil merangkai pancing, kail dan pemberat sudah disiapkan, umpan cacing yang gemuk2 ditancapkan ke kail, nampak juga hujan sudah mulai agak reda Iwa Ngah melepas mantelnya.

                “Panasnya kayak olahraga di lapangan jalan2 pake jas hujan”, kelakar Iwa Ngah pada Pak Tut yang juga segera melepas jas hujannya. Jam ditangan masih menunjukan jam 3 sore tapi karena mendung malah seolah suasana nampak seperti jam 6 sore. Pak Tut segera mencari Spot dan melempar rangkaian pancingnya didekat akar2 pohon bambu, sementara Iwa Ngah memilih agak kehilir didekat2 batu besar Iwa Ngah bersila diatasnya sambil melempar umpan ke aliran air yang bersemu biru kehijauan.

                Sekitar 1 jam memancing, karena tidak ada tarikan ikan ahirnya Pak Tut pindah menuju tempatnya Iwa Ngah memancing. Mereka berdua berdesakan berbagi tempat bertengger diatas batu besar itu.

                “Ngah awas kalo kepleset bisa Kelem (tenggelam) kamu, dibawah batu ini kayaknya dalam sekali” kata Pak Tut sambil melempar umpan “Bluk!” suara pemberat menghantam permukaan air menyaratkan bahwa jarak permukaan air dan dasar sungai cukup jauh.

                “Jangan ngomong gitu Tut, aku gak bisa berenang”, ujar Iwa Ngah sambil mengambil pancing turun dari batu dan berjalan lebih ke hulu
          
               “Mungkin ada spot yang posisinya bagus, ngeri juga kalo berdua duduk di batu. Syukur kalo gak kepleset, kalo Iwa yang kepleset Klebu (tenggelam) dah, kalo Pak Tut yang kepleset Iwa gak bisa bantu, nah klao keduanya?, kepleset parah kan!” cerita Iwa Ngah sambil menggigit tusuk gigi di tanggannya

          “Ahinga hami be ua...”
      
         “Wak.. buang aja tusuk giginya, gak jelas ngomoong apa!” uajarku kesal, Iwa Ngah pun membuang tusuk gigi dari mulutnya sambil tertawa. Kembali Iwa Ngah bercerita.

         Saat berpindah lokasi itu Iwa Ngah berjalan semakin kehilir hingga dilihatnya ada pancuran kecil yang dibuat dari bambu serta Tugu kecil dan juga sebuah batu yang dilingkar kain Poleng (kain belang hitam putih seperti papan catur) disebelah pancuran yang airnya keluar dari selah2 akar pohon besar diatas tepian. 

           “Pasti ini tempatnya, kebetulan banget mudah2an dapat ikan besar hari ini”, dengan penuh semangat Iwa Ngah segera mencari posisi yang pas, tepat didepan pancuran itu ada batu yang lumayan besar mungkin diameternya 1,5 meter yang terkena aliran sungai, sekitar batu itu dangkal tapi dedepan batu itu ada cekungan dalam pas ditengah aliran air dan juga ada akar2 pohon diseberangnya yang merambat ke air, 

           “Ini baru mantap, pasti banyak sidat yang bersarang disisni” dengan bersemagat Iwa Ngah turun ke sungai yang airnya ternyata selutut kemudian memanjat dan duduk diatas batu itu bersila layaknya bertapa. Iwa Ngah melempar umpan dan menunggu sambil mengusir nyamuk dengan merokok.

Gambar ilustrasi pancuran bambu

             Iwa Ngah melirik ke hilir ternyata jaraknya cukup jauh dengan Pak Tut. Pak tut hanya nampak seperti titik kecil tapi cukup dapat dilihat dengan jelas sedang menarik pancing dengan kilauan senar yang ternyata beberapa kali ikan nyantol di kail pancing milik Pak Tut. 

                  “Wah!!, Si Ketut emang beruntung aja”, gumam Iwa Ngah dengan senyum sumbringah tidak mau kalah denga Pak Tut, hingga “DUT!!DUT!!” tarikan kecil yang kemudian menjadi tarikan yang keras di joran. Iwa Ngah seketika menyentak dan terjadilah pertarungan sengit antara ikan dan Iwa Ngah. Tarikan itu begitu kuat terdengar suara reel menjerit nyaring “Kriing...!!” dalam benak Iwa Ngah pasti ini ikan monster atau bobon lah minimal, hingga sampai Iwa Ngah kelelahan tapi ikan itu tidak kunjung menepi, kepermukaan saja tidak nongol2, hingga “Pluss!!”, joran terasa ringan “Sial lepas!!, kailnya pasti jadi lurus karena terikan ikan ini” Iwa Ngah kesal mengumpat-ngumpat sediri. Dikereknya kail mendekat dan ternyata, “Waduh kok bisa begini??!!”, Iwa Ngah terheran ketika menyaksikan pemberat dan kail serta umpan cacing yang masih mengeliat-geliat  utuh tanpa ada bekas gigitan ikan seperti semestinya.

                     Hujan gerimis kembali turun, tanggung untuk mengambil mantel yang ditaruh ditempatnya Pak Tut ahirnya Iwa Ngah kembali melanjutkan memancing. “Mungkin tadi cuma dijilat sama ikannya, sekarang pasti ditelan, ayo telan!!” kata Iwa Ngah sambil melempar kembali umpan tanpa memperdulikan keanehan yang ada.
Beberapa saat menunggu ahirnya kembali lagi pancing Iwa Ngah mendapatkan tarikan tapi sayangnya ketika beberapa saat ditarik lepas kembali dan ketika di cek umpannya masih utuh. Karena kesal Iwa Ngah memutuskan berhenti memancing dan melihat jam di tangannya. Sudah jam 5 sore, matahari yang tertutup mendung menjadikan sore itu nampaknya seperti layaknya petang.

                  “Sudah lah mungkin belum nasib. Si Ketut kayaknya dapat banyak”, Iwa Ngah segera membereskan peralatannya sambil meliririk Pak Tut berdiri mematung diatas batu menghadap Iwa Ngah dari kejauhan. Iwa Ngah melambaikan tangan kerah Pak Tut yang termenung dikejauhan ”Dasar, sudah pake kacamata gak lihat temen juga” Iwa Ngah menggrutu sambil menyebrangi aliran air menuju tepian, ketika sampai di tepian Iwa Ngah melewati pancuran kecil yang dilihatnya tadi.

              “Seger juga kalo cuci muka dulu sambil cuci tangan yang amis bau cacing” segera Iwa Ngah mencuci kaki dan kedua tangannya di pancuran itu, airnya yang begitu dingin dan segar seakan memberi tenaga tambahan meski telah capek bersila lama2 diatas batu berjam-jam, ketika tangan dan kaki sudah bersih Iwa Ngah mencuci muka sekalian. 

             Muka Iwa Ngah  didekatkan sambil membungkuk ke Air pancuran yang mengalir, karena sejuk jadinya Iwa Ngah betah berlama-lama  mengguyur wajahnya ke air sambil memejamkan mata. 

              Sampai terasa jari2 tangan mencolek pundak Iwa Ngah, Iwa Ngah menoleh kebelakang  untuk memastikan siapa orang dibelakanya, tapi ketika Iwa Ngah berusaha membuka matanya yang terpejam justru matanya terasa begitu perih, setiap diusap selalu saja ada tetesan air yang masuk ke mata memalui tetes rambut Iwa Ngah. 

           Dengan mata sedikit merem Iwa Ngah melihat samar2 dibelakanya ada seorang kakek, meski sangat susah membuka mata tapi tetes bisa menggambarkan  Pekak (kakek) itu perawakannya kecil, tidak memakai baju, botak dibagian kepala atas namun masih mempunyai rambut di pinggir2, serta janggutnya yang cukup panjang, namun tidak berwarna putih uban, masih hitam semua, kalau wajahnya itu keriput dengan banyak benjolan2 di kulitnya yang hitam, hanya itu yang Iwa Ngah bisa lihat dari matanya yang begitu perih.

           “Baang kaki ngidih rokone gus (kasi kakek minta rokonya nak)” ujar kakek itu dengan suara yang serak khas orang tua, iwa mengambil dua batang rokok di saku celannya dan menyerahkannya pada kakek itu, setelah itu Iwa Ngah kembali mengguyur matanya yang perih seperti kemasukan air laut dibanding kemasukan air pancuran.

              “Gus!, nyen ne ngejuk-ngejuk Kucit Kakine dini?, orahin nguliang!, (nak, siapa yang menangkap Babi-nya kakek disini?, suruh dia mengembalikan!” terdenngar suara kakek itu lagi dibelakang Iwa Ngah, beberapa saat mencucui muka terasa mata Iwa Ngah tidak perih lagi dan bisa melihat seperti biasa , Iwa Ngah teringat lupa meminjamkan korek, langsung Iwa Ngah merogoh korek di sakunya dan menoleh kebelakang

              “Ki!!, korek...hah??!!” betapa terkejutnya Iwa Ngah Menyadari sosok kakek itu tidak berada lagi di belakannya, melainkan sudah berada di tengah aliran sungai. Terlihat kakek itu membelakangi Iwa Ngah jaraknya ada sekitar 5 meter dari Iwa Ngah, kakek itu sedang santai mengepulkan asap rokok sambil berendam setengah pinggang, Iwa Ngah ketika melihat kakek itu begitu kurus sehingga tulang2 rusuknya bisa terlihat namun yang begitu mengerikan adalah ketika Iwa Ngah sadar kulit kakek itu perlahan berubah menghitam dan bersisik mengeluarkan lendir yang mengkilat di seluruh badannya.

                Jelas Iwa Ngah melihat sosok itu mengapung setengah badan di aliran air sungai yang berwarna biru, sosok itu tidak tenggelam melainkan melaju perlahan menuju ke hulu, Iwa Ngah mendadak gagu ketika sadar di semu birunya air nampak sang kakek tidak berjalan menggunakan kaki melainkan sebuah badan bulat panjang bersirip layaknya ikan Julit (sidat) besar dan begitu panjang hampir 3 meter-an. Sosok itu begitu santai mengepulkan asap tanpa memperdulikan Iwa Ngah yang bengong, belum sembuh akal sehat Iwa Ngah tiba2 mahluk itu masuk sepenuhnya kedalam air “BLUUK!!!”, haya suara itu yang terdengar dan sosok itu ahirnya lenyap.

Gambar ilustrasi manusia setengah ikan (ilustrasi nemu di internet)
 
               Iwa Ngah pun kembali ke alam sadarnya segera ia sulut tangannya dengan korek api ternyata terasa panas meyakinkan semua kejadian ini bukan mimpi, Iwa Ngah seperti orang linglung terlintas dipikirannya untuk teriak dan lari sekencang2nya, tapi ia tidak mau ambil resiko apalagi jalan becek dan jarak yang jauh pasti akan membahayakan Iwa Ngah dan Pak Tu kalo lari ketakutan.

            Sambil menyembunyikan rasa takut Iwa Ngah berjalan menuju hilir, tanpa disangka Pak Tut sudah merapikan peralatan pancingnya ahirnya mereka berjalan menuju tempat parkir motor ketika mereka melaju pulang tidak ada sepatahkatapun yang keluar dari mulut Iwa Ngah dan Pak Tut.
               
              Keesoakan harinya Iwa Ngah melancong ke rumah Pak Tut, dilihatnya Pak Tut jongkok di teras rumahnya memakai sarung dan koyo di pelipisnya.

                “Beh..Tut kehujanan kemarin segitu saja dah Poyok (sakit), apalagi kalo kena badai biasa mati kamu Tut” ucap Iwa Ngah sambil tertawa.

                “Kalo Cuma ujan kemarin gak bakal aku sakit, ini gara2 kemarin Aduh seken saja sial nasibe (benar2 sial nasibku), kemarin dikerjai aku!”. Jawab pak Tut kesal sambil mengigil.

                “Dikerjain apa?” tanya Iwa Ngah pura-pura tidak tau, Pak Tutu pun mulai bercerita.
                 
             Bersambung.....
NadarNadz
saeful07
nona212
nona212 dan 25 lainnya memberi reputasi
24
1.7K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
HenahitoAvatar border
Henahito
#4
@pionic24 jangan di ceritain gan 😂, ntar pada gamau mancing lagi di sungai 😂
0