nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Senandung Black n Blue
Ini bukan tentang pembuktian
Bukan juga tentang sebuah sesal
Ini tentang aku dan perasaan
Hanya satu dan penuh tambal

Ini bukan tentang akumulasi kemarahan
Bukan juga hitung-hitungan pengorbanan
Hanya aku dan keegoisan
Bergeming dalam kesendirian

Aku bukan pujangga
Aku tak mahir merangkai kata
Aku hanya durjana
Menunggu mati di ujung cahaya

Aku bukan belati
Bukan juga melati
Aku hanya seorang budak hati
Sekarat, termakan nafsu duniawi

Sampai di sini aku berdiri
Memandang sayup mereka pergi
Salah ku biarkan ini
Menjadi luka yang membekas di hati





Nama gue Nata, 26 tahun. Seorang yang egois, naif, dan super cuek. Setidaknya itu kata sahabat-sahabat gue. Tidak salah, tapi juga tidak benar. Mungkin jika gue bertanya pada diri gue sendiri tentang bagaimana gue. Jawabanya cuma satu kata. IDEALIS TITIK. Oke itu udah 2 kata. Mungkin karena itu, hampir semua sahabat gue menilai gue egois, yang pada kenyataanya gue hanya tidak mau melakukan hal apapun. APAPUN. Yang tidak gue sukai. Bahkan dalam pekerjaan, jika menurut gue tidak menyenangkan, gue akan langsung resign.

Menulis buat gue bukanlah sebuah hobi, bukan juga sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi hobi, bukan juga keahlian diri, bukan juga sesuatu bakat terpendam yang akhirnya muncul karena hobi. Apaa sihh !!? Menulis buat gue adalah cara terbaik meluapkan emosi. Di kala telinga orang enggan mendengar, dan lidah sulit untuk berucap tapi terlalu penuh isi kepala. Menulis adalah cara gue menumpahkan segala penat yang ada di kepala, cara gue bermasturbasi, meng-orgasme hati dengan segala minim lirik yang gue miliki.

Kali ini berbeda, gue tidak menuliskan apa yang ingin gue lawan. Tidak juga menuliskan opini gue tentang suatu hal. Ini tentang diri gue seorang. Tidak indah, tidak juga bermakna, hanya kumpulan kata sederhana yang terangkai menjadi sebuah kisah. Angkuh gue berharap, semoga ini bisa menjadi (setidaknya) hikmah untuk setiap jiwa yang mengikuti ejaan huruf tertata.

.


Quote:


.


Jakarta, 22 Desember 2018.

Senja telah berganti malam saat mobil yang gue kendarai tiba di kawasan kemayoran. Gue masuk ke areal JI Expo Kemayoran. Saat masuk gue melihat banyak banner dan papan iklan yang menunjukan bahwa di area ini sedang dilaksanakan sebuah acara akhir tahun dengan Tag line "pameran cuci gudang dan festival musik akhir tahun". Gue tidak mengerti kenapa sahabat gue mengajak gue bertemu di sini.

Sesampainya di areal parkir, gue memarkirkan mobil. Tidak terlalu sulit mencari tempat kosong, tidak seperti saat diselenggarakan Pekan Raya Jakarta, yang penuh sesak. Sepertinya acara ini tidak terlalu ramai, atau mungkin belum ramai karena gue melihat jam masih pukul 18.35.

"Whatever lah mau rame mau sepi."Ucap gue dalam hati.

Gue memarkirkan mobil, setelahnya gue sedikit merapihkan rambut, berkaca pada kaca spion, lalu memakai hoodie berwarna hitam yang sedari tadi gue letakan di kursi penumpang, kemudian keluar mobil sambil membawa tas selempang berisi laptop.

Perlahan gue berjalan, sesekali melihat ke kiri dan ke kanan, mencari letak loket pembelian tiket berada. Akan lebih mudah sebenarnya jika gue bertanya pada petugas yang berjaga. Tapi biarlah gue mencarinya sendiri.Toh sahabat gue juga sepertinya belum datang.

Di loket, gue melihat banyak orang menggunakan kaos yang bertema sama. Banyak yang memakai kaos bertema OutSIDers, Ladyrose, dan juga Bali Tolak Reklamasi. Gue sedikit memicingkan mata, dalam hati berkata."Sial gue dijebak."

Setelah membeli tiket, gue masuk ke areal acara, melihat banyak stand dari berbagai brand. Penempatan stand-stand menurut gue menarik, benar atau tidak, sepertinya pihak penyelenggara menaruh stand brand-brand besar mengelilingi brand kecil. It's so fair menurut gue. Karena banyak acara semacam ini yang gue lihat justru menaruh brand UKM yang notabenenya belum terlalu di kenal di posisi yang tidak strategis. Dan untuk acara ini gue memberi apresiasi tersendiri untuk tata letak tiap brandnya. Walau sejujurnya butuh konfirmasi langsung oleh pihak penyelenggara tentang kebenaranya.

Gue masuk lebih dalam, mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk gue menunggu sahabat gue yang belum datang. Sesekali berpapasan dengan SPG yang menawarkan barang dagangnya, gue tersenyum tiap kali ada SPG yang menawarkan gue rokok, kopi, dan lainnya. Dalam hati gue teringat tentang bagian hidup gue yang pernah bersinggungan langsung dengan hal semacam ini. Terus melanjutkan langkah, Gue tertarik melihat salah satu stand makanan jepang, lebih tepatnya gue lapar mata. Terlebih gue belum makan. Tapi saat gue ingin menuju ke stand itu, gue melihat ada stand sebuah merek bir lokal asal Bali. Gue mengurungkan niat untuk ke stand makanan jepang itu, dan lebih memilih untuk menunggu sahabat gue di stand bir.

Gue memesan satu paket yang di sediakan, yang isinya terdapat 4 botol bir, ukuran sedang. Gue mengeluarkan laptop gue, kemudian mengirim email kepada sahabat gue. Memang sudah beberapa hari ini gue selalu berhubungan dengan siapapun via email. Karena handphone gue hilang dicopet di stasiun Lempuyangan beberapa hari yang lalu.

"Fuck you Jon ! Gue di stand Albens, depan panggung yak. Jangan bikin gue jadi orang bego diem sendiri di tempat kek gini sendirian. Kecuali lo bajingan laknat yang ga peduli sama sahabat lo." Email gue pada Jono, sahabat gue.

Dari tempat gue duduk, gue dapat melihat panggung utama. Sepertinya dugaan gue tidaklah salah. Kalau guest star malam ini adalah Superman Is dead. Group band punk rock asal Bali. Pantas saja Jono mengajak gue bertemu di sini. Dia memang sangat menyukai musik bergenre punk rock macam green day, blink 182, SID, dan lainya.

Jujur saja, gue sebenarnya pernah menjadi Outsiders sebutan untuk fans superman is dead. Gue pernah menjadi OSD militan, yang selalu datang ke acara yang di dalamnya terdapat Superman Is Dead sebagai bintang tamunya. Tapi itu dulu, lebih dari sedekade lalu. Saat gue masih duduk di bangku SMA.

Dan malam ini, semua ingatan tentang itu semua membuncah. Berpendar hebat dalam bayang imajiner yang membuat mata gue seolah menembus ruang dan putaran waktu. Melihat semua apa yang seharusnya tidak perlu gue lihat, dan mengenang apa yang harusnya tidak perlu gue kenang. Sampai di titik tertentu gue sadar kalau gue sudah dipermainkan.

"JON, I know you so well, please please don't play with a dangerous thing. Comon Jhon I'm done. Gue balik" Gue kembali mengetik email untuk gue kirim pada Jono. Gue sadar gue sudah masuk dalam permainan berbahayanya. Dan gue tidak ingin mengambil resiko lebih.

Namun belum sempat email gue kirim. Gue melihat seorang perempuan berdiri tegak tepat di depan gue. Dan saat itu juga gue sadar gue terjebak dalam permainan konyol sahabat gue yang "luar biasa jahat".

"Haii Nat." Sapa perempuan itu.

"Fuck you Jhon, what do you think. Bitch !!" Gerutu gue dalam hati kesal.

Spoiler for opening sound:
Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 12:21
efti108
aftzack
sargopip
sargopip dan 65 lainnya memberi reputasi
62
131.6K
723
Thread Digembok
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#558
Final throw; Hay Aku Kembali!
Kamu tidak perlu membahagiakan semua orang
Sejujurnya, kamu tidak bisa.


Setelah Natalia pulang bersama Nata yang aku lakukan hanya berdiri memandangi ramainya suasana Jl. Malioboro dari dinding kaca di dalam kamar hotel tempat aku menginap. Entah kenapa, rasanya aku merasa sedikit bersalah pada Nata. Aku merasa sikapku terlalu keras padanya. Jika kamu bertanya apa rasa bersalahku timbul karena aku masih menyimpan rasa padanya? Aku tidak tahu jawabannya. Tapi jika aku boleh jujur, alasanku masih sendiri tidak lain karena Nata. Maksudku, Nata memang sosok yang jauh dari kata sempurna. Tapi Nata adalah sosok terbaik yang pernah aku punya. Tentunya setelah orang tuaku.

Aku tahu itu salah; membandingkan pria lain dengan Nata adalah sebuah kesalahan besar. Karena setiap manusia pasti berbeda. Setiap pria pasti punya treatmen sendiri pada wanitanya. Tapi sekali lagi harus aku akui, jika treatmen yang Nata lakukan padaku saat kami masih berkomunikasi dengan baik entah itu saat masih berpacaran atau setelahnya adalah yang terbaik. Dia (Nata) begitu mengistimewakanku seolah aku yang paling berarti untuk dirinya, dia menjagaku dengan sepenuh tenaga, dia menghiburku dengan pelbagai caranya yang luar biasa yang juga terkadang gila, dan dia selalu mengkhawatirkanku tanpa menganggapku tak berdaya; Nata selalu punya cara beda dalam mengungkapkan cinta.

Aku juga tidak mengerti; terkadang aku bertanya sendiri dari mana Nata mendapatkan refrensi itu semua. Menyikapiku dengan caranya yang begitu (sekali lagi harus aku akui) begitu luar biasa. Jika boleh jumawa, rasanya Rumi pun tidak ada apa-apanya dibanding Nata.

"Haah, sudahlah, biarpun begitu, biarpun Nata adalah yang terbaik yang pernah aku punya. Nyatanya itu semua sudah menjadi kisah."Ucapku dalam hati mencoba membatasi perasaanku sendiri.

Tetiba lamunanku terpecah saat suara telepon kabel terdengar menggelegar di seisi kamar. Aku menjawab panggilan itu yang berasal dari resepsionist hotel yang memberitahuku kalau ada seseorang yang ingin bertemu denganku. Dan orang itu adalah Nina. 

"Lho, bukannya dia baru kembali besok?" Tanyaku heran. Resepsionist hotelpun sepertinya tidak kalah heran mendengar pertanyaanku yang pastinya dia tidak mengerti.

"Jadi bagaimana, Bu?" 

"Oh, iya. Saya segera turun ke bawah."
Sahutku. Aku sengaja memilih untuk menghampirinya dari pada menyuruhnya untuk langsung naik saja ke kamar. Karena aku sedikit curiga kalau itu bukan Nina. Tapi ternyata aku salah. Ternyata seseorang itu benar Nina. Aku sedikit terkejut saat melihat Nina sedang berdiri di lobby hotel ini. Lantas aku menghampirinya, menyapanya dengan begitu ramah juga aku tak tinggal meminta maaf karena Aku tidak menepati janjiku dengan baik untuk menjaga Natalia.

"Gapapa, aku makasih banget kamu mau jaga Natalia sampai Daddy-nya sampai." Ucap Nina sambil membalas pelukanku saat meminta maaf padanya. Entah kenapa saat Nina menyambut pelukanku air mataku tiba-tiba saja terjun bebas begitu saja, tanpa aba-aba dan tanpa sinyal-sinyal yang memberitahuku sebelumnya kalau air mata ini akan menumpah, bahkan begitu derasnya.

"Kamu, kenapa nangis?" Tanya Nina. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Nina dengan berbicara. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Memberikan gesture pada Nina kalau aku juga tidak tahu kenapa aku menangis.

"Kita ngobrol di tempat lain yuk." Ajak Nina.

"Di kamarku ajah." Sambarku dengan suara yang sedikit serak.

..


Maksudku, kita menangis untuk segala hal. Kita menangis tatkala kita merasa sedih namun juga saat kita merasa begitu sangat bahagia kita juga menangis. Dan untuk tangisku malam ini, mengenai apa yang sedang aku rasakan. Aku merasakan keduanya tanpa tahu mana rasa yang lebih mendominasi diantara komposisi pertemuan kedua rasanya. Aku senang bertemu Nata lagi dan memastikan kondisinya baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dari yang aku kira. Juga Natalia, aku bahagia mengenalnya, dia benar-benar seperti keajaiban yang nyata. Seperti Nata saat pertama kali aku mengenalnya. Seperti Tuhan dengan sengaja menitipkan gift-nya pada sepasang ayah dan anak itu sehingga membuat siapa saja yang mencoba mendekat kedalam lingkaran hidupnya seakan terus terhisap masuk ke dalamnya dan tak ingin lagi keluar dari lingkaran hidupnya. Seperti candu yang membuatku ingin dan terus ingin bersamanya. Terkhusus Natalia aku ingin terus berada di sisinya berbagi kecerian dengannya di dalam kecemasanku akan dirinya kelak jika mengetahui keadaan sebenarnya dari kedua orang tuanya; Aku bahagia di hari pertamaku bertemu Natalia, aku merasakan sebuah perasaan yang jauh lebih indah jika aku membayangkannya dari pada sebuah perasaan cintaku pada Nata. Bersama Natalia, aku merasa seluruh rindu tertumpah hingga tidak menyisa.

Namun di satu sisi aku sedih. Aku sedih karena kemunafikanku mengakui itu semua. Aku sedih karena aku belum bisa berdamai dengan kecewaku pada Nata. Aku belum bisa memaafkannya. Apa lagi, Nata belum secara langsung dan gentle meminta maaf padaku kalau apa yang dilakukannya dulu padaku adalah sebuah sikap yang jahat. Ya, aku juga sedih pada keegoisanku yang tidak bisa menerima kenyataan jika apa yang terjadi (menimpaku dan Nata) adalah buah hasil kesalahanku. Jika saja saat itu aku tidak berpaling, jika saja aku tidak merasa tersulut gengsi dengan apa kata orang, jika saja saat itu aku lebih bisa memahami Nata yang sudah sangat begitu luar biasanya mengertiku dan jika saja aku mengerti betapa keras Nata mencoba menjaga setia. Walau pun, beberapa kali dia tergoda, tapi kesetiaan cinta Nata selalu terbukti pada akhirnya.

Dan kesedihanku juga bertambah dengan kenyataan kondisi saat ini sudah sangat berubah. Sejujurnya aku tidak mempermasalahkan itu. Aku mengerti segalanya memang pasti berubah. Perubahan pasti datang sekeras apa pun seseorang bertahan. Maksudku, Nata saat ini, dia sudah bukan Nata yang dulu. Bukan karena statusnya yang duda yang membuatku enggan mengakui jika aku ingin kembali padanya. Ya, sejujur-jujurnya jika dikorek sedikit saja kamu pasti akan menemukan sebuah rongga besar di hatiku yang di dalamnya sudah banyak menyarang perasaan dan segala keinginanku untuk kembali mengarungi waktu bersama Nata. Satu-satunya aku masih menutupi semua itu adalah karena Nina. 

Bukan aku takut Nata memiliki cinta yang lebih besar pada Nina tapi justru sebaliknya. Aku takut jika Nina yang masih memiliki perasaan cinta yang begitu besar untuk Nata. Karena aku akan menjadi wanita yang jahat, dengan mengharapkan sesuatu yang seharusnya bukan untukku. Jika Nina memang masih sangat mencintai Nata. Nata lebih sepatutnya mencintai Nina karena Nina adalah Ibu yang melahirkan darah daging Nata. Iya, dan itulah kesedihan terbesarku, mungkin… (aku ingin terus mengelak)

"Karina… aku harus gimana yakinin kamu kalau Nata itu lebih cinta sama kamu. Engga! Bahkan cuma kamu yang Nata cinta."Ucap Nina setelah tiba dikamar hotel yang aku sewa, setelahnya aku menceritakan semua yang aku rasakan pada Nina.

"Nin, ini bukan tentang siapa yang Nata cinta. It's all about you! Aku engga mau mengambil sesuatu yang seharusnya bukan buatku. Engga adil buat kamu."

"Aku udah bilang, kalau aku udah ga cinta lagi sama Nata…"

"BOHONG!"
Sambarku

"Iya, iya, mungkin aku bohong…"

"Ga pake mungkin, Nin. Memang kamu masih cinta sama Nata."
Sambarku lagi.

"Please denger aku dulu. Ga pake mungkin. Iya, aku memang masih cinta sama Nata. Tapi untuk apa semuanya kalau bukan aku yang Nata cinta?"

"Kamu buat Nata cinta sama kamu, aku tau gimana caranya biar bikin Nata cuma cinta sama kamu."
Sahutku.

"See… cuma kamu yang tau gimana buat Nata cinta sama kamu dan menurutku ini bukan tentang caranya it's not about how but who. Alodya, dia pernah ngelakuin semuanya, kan? Ngelakuin apa ajah yang kamu suruh, membuat Nata nyaman seperti yang kamu lakuin. Tapi nyatanya apa itu bikin Nata cinta sama Alodya? Engga, kan?" 

"Engga Nin, engga…"

"Engga gimana? Aku memang masih cinta sama Nata. Aku ga bisa bohong sama orang yang juga masih cinta sama Nata. Tapi cintaku saat ini ga lebih dari sekedar karena Nata itu Daddy-nya Natalia. Itu ajah. Lagi pula, untuk apa kembali lagi jika hanya untuk saling menyakiti. Aku sama Nata sudah mencoba tapi memang semua engga bisa dipaksain. Kar, Please… "

"No, I can't… Sorry." 


Nina lalu diam sejenak lalu terlihat menghela nafas. Nina lalu mengusap-usap pundakku sambil berkata. "Yasudah kalau memang kamu engga bisa. Maaf udah ngepush kamu begini. Udah kita ga usah bahas ini lagi." 

Setelah itu aku dan Nina memang tidak lagi membahas Nata. Kami bertukar cerita kehidupan kami masing-masing, tentang apa-apa saja yang menjadi achive masing-masing dan pastinya tidak ketinggalan kami juga membahas Natalia. Nina banyak menceritakan betapa menyenangkannya dia dititipkan oleh Tuhan seorang peri kecil bernama Natalia itu. Tentang bagaimana kehidupan Nina dan Nata banyak berubah semenjak lahirnya Natalia. Nina begitu antusias sekali menceritakan itu semua sampai membuatku merasa seolah menjadi bagian diantaranya. 

Hingga akhirnya malam sudah mencapai puncaknya, Nina meminta izin untuk menginap semalam di sini. Aku mengiyakan itu lalu tidak lama setelah itu, Nina tertidur pulas sekali tanpa sempat mengganti pakaian. Aku memandanginya yang tertidur masih mengenakan kemeja dan roknya. Terlihat sekali kelelahan di wajah Nina, namun senyum yang tersungging di wajahnya seolah menyiratkan jika dia sangat menikmati lelahnya. Atau dia tengah gembira karena dia mendapatkan apa yang dimaunya.

"Licik kamu, Nin." Ucapku dalam hati sambil menyeruput sedikit teh yang aku seduh sebelumnya.



Sebagian manusia hidup mengejar mimpi, sebagian manusia hidup meraih cita-cita, sedangkan yang lainnya hidup apa adanya; tidak ada mimpi yang pasti dan cita-cita yang berarti. Selama bahagia menyelimuti, hidup sudah sangat berarti. Jika kamu bertanya padaku berada di mana hidupku. Aku akan percaya diri menjawab jika "aku adalah orang yang tidak mementingkan cita-cita."bahkan aku tidak memilikinya.. Maksudku, waktu aku kecil, aku bercita-cita menjadi seorang penyanyi terkenal seperti Aretha Franklin, Nancy Sinatra, atau Céline Dion itu, keren. Bernyanyi di hadapan ribuan orang menurutku itu adalah hal yang paling luar biasa saat itu. Namun nyatanya suaraku tidak seindah mereka, bahkan aku tidak mengerti nada. Aku harus tahu diri menanggalkan cita-cita itu dan memang saat aku beranjak remaja aku sudah menanggalkan itu. 

Saat SMP dan mulai mengenal Nata dan keluarganya cita-citaku berubah, saat itu aku ingin menjadi seorang model terkenal seperti Claudia Schiffer atau Cindy Crawford dan aku pun menekuni itu bahkan saat periode SMP hingga SMA aku sering menjadi model untuk beberapa majalah dan merek busana wanita. Tapi nyatanya itu semua justru membuatku tersiksa. Anggap saja aku terkena star syndrome hingga akhirnya berdampak aku harus kehilangan Nata.

Hingga lambat laun aku menyadari, yang aku ingin bukan materi atau popularitas yang tinggi. Yang aku ingin hanya kebahagian; kebahagiaanku mencintai dan kebahagiaanku dicintai. Tapi kesadaranku akan hal itu seolah terlambat. Satu-satunya pria yang bisa aku cintai dan mencintaiku dengan hebat, dia sudah berkhianat. Dia mengkhinati dirinya sendiri, dia mengkhianatiku, dan juga dia banyak mengkhianati banyak orang. Setelah itu aku kembali bertanya lagi, sebenarnya apa tujuan hidupku ini?

"Mencari kebahagiaan! Itu saja, yang aku pinta, Tuhan. Aku hanya ingin mencari kebahagiaan." Ucapku lantang. Dan anggaplah aku manusia terbodoh di dunia ini. Manusia yang tidak mengerti apa arti kebahagiaan yang aku cari. Karena sejujurnya, aku mempersempit makna kebahagiaanku, yaitu kamu. "Iya, Kamu… Nata!" 



Waktu sudah memasuki waktu subuh. Aku yang masih terjaga langsung mengabil air wudlu untuk segera menunaikan kewajibanku menyembah Sang Pencipta Semesta. Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan mengambil air wudhu dengan air hangat. Aku membiarkan air dingin menyucikan bagian-bagian tubuhku. Setelah selesai mengambil air wudhu, aku langsung menunaikan kewajiban sholat subuh. 

Aku memang bukan orang yang selalu menunaikan kewajiban sholat lima waktuku. Aku terkadang lalai, aku terkadang dengan sengaja meninggalkan kewajibanku menyebah Tuhanku hanya karena kata-kata "mager dan nanggung". Aku tahu itu adalah sebuah kesalahan. Maka dari itu setiap kali aku sholat, aku menggunakannya untuk berdoa dan memohon ampun sebanyak-banyaknya pada Tuhan Yang Maha Pengampun. Ya, walau setelah meminta ampun, aku juga masih saja lalai dalam beribadah. Tapi setidaknya aku selalu menyadari kalau itu semua salah. (Harap jangan diritu, sebaik-baiknya manusia beragama adalah manusia yang menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang mengaku beragama [Ibadah]).

Selesai solat, aku melihat Nina yang ternyata sudah bangun dari tidurnya. Dia memandangi ke arahku yang sedang melepas mukena sambil melempar senyumnya ke arahku.

"Kamu rajin solat, yah."Ucap Nina, entah itu sebuah pertanyaan atau kalimat yang menyatakan.

"Engga juga. Kalo inget ajah, sih." 

"Oh, aku pikir."
Sahut Nina, yang lalu aku simpulkan bahwa ucapnnya yang pertama adalah sebuah pertanyaan. "Kamu ga nanya aku sholat apa engga? Atau ga nyuruh aku sholat juga?" Lanjut Nina.

"Seperti seseorang entah siapa yang saat ini kamu lagi sindir? Heemmppp. Urusan ibadah urusan masing-masing sama Tuhannya. Dan aku juga bukan tipe orang yang suka mengingatkan sesuatu yang belum bisa konsisten aku kerjakan." Jawabku.

"Nata banget, sih." 

"Haaah, kenapa, Nin?"
Sahutku berpura-pura tidak mendengar apa yang Nina ucapkan; Aku tidak ingin lagi membahas Nata.

"Engga… Itu, lho. Orang, ga tau kenapa begitu." 

"Nata banget, sih."
Berganti aku meledek Nina.

"Hahahaha, so… gimana? Engga mungkin, kan melek semalaman belum mengambil keputusan?" 

Aku menggelengkan kepala. "Aku boleh minta alamatnya Kak Bella?" Tanyaku pada Nina.

"Asiikkkk…"

"Engga seperti itu, Nina…"

"Iya-iya oke, seperti apa pun itu. Aku harap keputusan yang kamu ambil tidak membuat kamu menyesal. Karena sepertinya ini bukan hanya untuk Natalia, ups."

"Rese!"


Perlahan matahari mulai menyinari langit Kota Jogja, aku dan Nina bergegas beranjak menuju ke Stadion Mandala Krida karena menurut penuturan Nina, di sana terdapat sebuah penjual lontong sayur khas kota minang yang sudah sangat terkenal di Jogja yang tidak boleh dilewatkan saat berkunjung ke Jogja.
jenggalasunyi
khodzimzz
oktavp
oktavp dan 15 lainnya memberi reputasi
16