dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
Kisah Pilu Si Udin Anak Seorang Petani (Based On True Story)

Source : pinterest


Angin semilir membuai ribuan daun pepohonan di sebuah desa yang terletak di provinsi Lampung. Desa yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani itu, kini tengah memasuki musim tanam padi. Para buruh tandur (buruh tanam padi) yang semuanya wanita itu, berduyun - duyun menuju ke ladang untuk mengais rezeki, yang cukup lumayan untuk memberi uang saku kepada anak - anaknya, membeli lauk pauk, serta minyak goreng untuk keperluan mengisi perut.


Tangan ibu - ibu setengah baya itu, kini sedang membopong rantang (tempat makanan) yang berisi bekal makanan, untuk disantap tatkala matahari sudah menuju ke garis yang tertinggi nanti.
Caping (topi khas petani yang berbentuk kerucut) pun telah berdiri kokoh di atas kepala mereka agar terlindung dari terik sang mentari yang merupakan anggota terbesar dari tata surya itu. Baju rombeng yang beberapa sisinya terdapat noda membandel, pun tengah membalut badan mereka dalam menjalankan purna tugas demi membesarkan komoditas penting di negara ini, yaitu padi.


Udin berjalan paling belakang mengikuti para buruh, sembari membawa caplak ndeso (alat pembuat garis tanam padi) yang kini tengah dipanggul di pundaknya. Ia terlihat enggan berjalan berdampingan dengan mereka, karena dirinya adalah satu - satunya lelaki diantara para ibu - ibu yang seumuran dengan ibu kandungnya.


Matahari masih bersembunyi, menampakkan semburat jingga yang menyejukkan mata. Para buruh segera meletakkan bekal mereka di gubuk, lalu berbondong - bondong menuju ke ladang yang sudah siap ditanami bibit padi.


Tugas udin kali ini adalah mengoperasikan alat tradisional pembuat garis padi itu. Garis yang dihasilkan dari caplak itu, nantinya akan ditanami bibit padi oleh para buruh tandur agar bisa lurus dan sejajar.
Tubuh kurus nan legam itu bersemangat sekali ikut membantu ibunya mengais rezeki di sawah.


Udin adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya, kini tengah merantau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga demi membantu taraf hidup orang tuanya yang kurang mampu. Sedangkan adik Udin saat ini masih menginjak kelas tiga SD.


Matahari sudah meninggi, perut para buruh telah meronta, diiringi peluh yang kian menyurutkan tenaga. Sudah saatnya istirahat sejenak dan makan siang.


Udin meletakkan alatnya, perutnya sudah mulai keroncongan. Makan siang adalah hal yang paling ia nantikan saat ini. Baginya, makan di sawah pasca meluapkan tenaga adalah hal ternikmat meskipun hanya sekedar menyantap nasi, sambal dan ikan asin.


"Udin, lagi libur sekolah ya?" tanya Bu Warsih yang tengah asyik mengunyah sayur jengkol.


"Males Bu, enakan kerja dapet duit," sahut Udin dengan polosnya.


"Kelas berapa to kamu ini?" tanya Bu Warsih kembali.


"Kelas dua MTS Bu," jawab Udin singkat sembari menyantap ikan asin kesukaannya.


"Udin ini memang begini, Bu. Sekolahnya bolong - bolong. Katanya males belajar. Udah dibilangin tetep ngeyel. Yawis, tak ajak aja ikut buruh daripada plonga - plongo di rumah." Ibu udin akhirnya angkat bicara.


Begitulah seorang Udin. Remaja berusia empat belas tahun itu memang tidak niat bersekolah. Ia lebih suka ikut ibunya buruh ke sawah, baik di kala musim tanam maupun musim panen.


Tak hanya ikut buruh tanam padi, Udin kerap kali ikut ibunya untuk buruh derep (buruh potong padi), serta buruh memetik jagung milik tetangga. Ia adalah anak yang senang bekerja. Hasil dari kerja kerasnya itu, ia kumpulkan sedikit demi sedikit dan bercita - cita semoga kelak ia bisa membeli seekor kambing.


*****

Malam itu sedang mati lampu. Mati lampu adalah suatu hal lumrah yang sering terjadi di desanya. Ibu Udin sibuk membuat penerang rumah dari sedikit kapuk yang dibilas dengan minyak makan. Lalu, kapuk itu dibakar dengan korek api dan menghasilkan lampu darurat yang murah meriah. Bagi ibu Udin, membeli lilin adalah pemborosan.


"Mak, Udin mau berhenti sekolah aja," ujar Udin dengan nada datar. Binar mata lebarnya memandangi api yang memancar di atas gumpalan kapuk.


"Terus kamu mau ngapain kalau nggak sekolah, Din?" tukas Ibunya yang tengah menempeli punggungnya dengan koyo akibat kelelahan bekerja buruh tadi pagi.


"Udin mau kerja di sawah saja ikut Emak sama Bapak."


"Kamu yakin, Le?" sahut bapak Udin yang baru saja pulang pasca menjadi buruh panggul itu.


"Iya, Pak! Jujur Udin nggak suka belajar, males pusing."


Itulah awal mula dimana Udin akhirnya resmi keluar dari sekolahnya. Ia kini telah menjadi remaja putus sekolah yang sehari - hari ikut bekerja buruh bersama ayah dan ibunya.


*****

Udin berjalan ke pematang sawah tanpa alas kaki sembari membawa celurit dan karung untuk mencari rumput. Kegigihannya selama bekerja di sawah akhirnya membuahkan hasil. Udin kini memiliki empat ekor kambing hasil jerih payahnya. Setiap sore hari, Udin dengan semangat berkobarnya selalu mencari makan untuk binatang peliharaannya.


Sudah dua tahun lamanya terhitung sejak ia tidak bersekolah. Remaja berusia enam belas tahun itu kini berubah menjadi remaja yang lebih kekar dan tinggi.
Ada satu keinginan yang ia idam - idamkan kali ini. Ia menginginkan sebuah motor layaknya teman - teman sebayanya yang sering terlihat wara - wiri dengan kendaraan barunya. Oleh karena itu, memelihara kambing adalah suatu hal menguntungkan yang diharapkan dapat mewujudkan impiannya.


Hari sudah menjelang senja, Udin membawa hasil merumputnya dengan sepedanya. Namun saat ia tiba di rumahnya, ia heran karena ada beberapa motor yang sedang terparkir di depan gubuknya. Ia bergegas memberi makan kambingnya, lalu berjalan melalui pintu dapur untuk mengobati rasa penasaran akan tamu yang bertandang ke rumah geribiknya itu.


Lantas ia pun menguping dan mengintip dari balik horden kusut diantara ruang tamu dan dapur. Suara ibunya tampak parau seperti menangisi sesuatu.


Yang terlihat di matanya adalah kakak perempuan dan pacarnya yang tengah menunduk lesu. Kakak Udin sudah kembali ke kampung halaman, satu tahun yang lalu pasca menjadi pembantu rumah tangga. Ia memutuskan kontrak kerjanya karena sang majikan dikabarkan tidak menggajinya selama enam bulan. Hal pilu itulah yang membuat kakak Udin akhirnya tak betah merantau di kota yang penuh kemacetan itu.
Sepulang dari ibu kota, kakak udin kini bekerja sebagai pramuniaga di pasar dan memiliki pacar seorang tukang parkir, di pasar tempat kakak Udin bekerja.


"Sudah berapa bulan?" gumam ibu Udin kepada kakaknya.


Kakak Udin hanya menangis tersedu sembari menatap perutnya yang terlihat membuncit.


"Keluarga kami akan bertanggung jawab, Bu," jelas suara bass yang merupakan bapak dari pacar kakak Udin.


Adegan perdebatan pun berlangsung meskipun adzan magrib tengah berkumandang. Kini Udin mulai paham bahwa ada ujian yang sedang menimpa keluarganya. Kakak perempuannya kini tengah hamil lima bulan. Mau tidak mau, pernikahan keduanya harus segera diberlangsungkan.


Malam ini tak seperti biasanya. Aroma ketegangan mulai tersurat di wajah anggota keluarga Udin. Hanya adik Udin saja yang masih santai menyantap jagung bakar yang ia sulut di pawonan (tungku tradisional dengan bahan bakar kayu) milik ibunya.


"Evi, perbuatan kotormu bener - bener sudah bikin Bapak dan Ibu sakit, Nduk!" hardik ibu Udin sembari mengusap bulir air matanya.


Kakak Udin hanya menunduk tanpa suara.


"Kita ini sudah melarat! Nggak bisakah kamu jaga dirimu? Ya Allah Gusti!" Tangis ibu Udin makin terisak membuat suasana menjadi sangat canggung.


"Kamu harus segera dinikahkan secepatnya, Nduk. Perutmu sudah membesar," pungkas Ayah Udin sembari menghisap rokok lintingnya.


"Nikah ngundang penghulu itu pakai duit! Belum lagi buat beli suguhan makanan. Semuanya itu pakai duit! Lha kita? Buat makan sehari - hari aja sudah susah!" Ibu Udin meracau sembari memijat kepalanya.


Tak lama kemudian, Bapak Udin menghampiri Udin yang tengah berdiam di dalam kamarnya.


"Udin, bisakah Emak dan Bapak pinjam kambingmu dulu. Bapak janji, kalau Bapak ada uang nanti akan Bapak ganti. Ini kebutuhan mendesak, Le," pinta bapak Udin dengan wajah penuh harap.


Udin tak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya. Terlebih lagi, ia tak mau kakaknya melahirkan tanpa seorang suami. Ia pun merelakan dua kambingnya terjual demi memenuhi kebutuhan pernikahan mendadak kakak perempuannya.


*****

Kini pekerjaan merumput Udin lebih ringan, karena ia hanya mencarikan makan kambingnya yang hanya tersisa dua ekor saja. Namun semangatnya semakin lunglai karena impiannya untuk membeli motor akan tertunda lebih lama.


Empat bulan berlalu, kakak Udin akhirnya melahirkan bayinya. Pasca menikah, kakak Udin ikut tinggal bersama keluarga suaminya. Namun kejadian serius terjadi, tatkala tiba - tiba kakak Udin pulang ke rumah sembari membawa bayi merahnya saat hari sudah menggelap.


Kakaknya mengalami KDRT yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Syukurlah, kakaknya berhasil kabur dan melarikan diri, meskipun tanpa membawa harta benda apapun. Ia berjalan kaki menuju ke jalan besar sembari berharap ada seseorang yang ia kenal dan mau menebenginya menuju ke rumah. Pertolongan Tuhan menghadirkan Pak Sanusi, tetangga desanya yang kebetulan saat itu sedang melewati jalan itu.


Ayah dan Ibu Udin hanya bisa pasrah. Tak mungkin ia menolak menerima kembali anak kandung dan cucu pertamanya itu.
Kini bertambahlah anggota keluarga Udin dengan kehadiran si kecil, anak dari kakak perempuannya itu.


*****

Kehadiran kakak dan keponakan Udin, membuat kebutuhan harian semakin banyak. Apalagi membesarkan balita juga membutuhkan banyak biaya untuk membeli susu dan keperluan lainnya. Belum lagi, ketika si kecil tiba - tiba demam dan harus dibawa ke dokter.


Lantas? Bagaimanakah tanggung jawab suami kakak Udin selama ini?
Pasca kejadian memilukan itu, kakak Udin akhirnya memutuskan hubungannya dengan ayah si kecil. Kini kakak Udin berstatus janda beranak satu yang tidak pernah dinafkahi sepeser pun oleh mantan suaminya itu. Hal itu berarti, semua kebutuhan si kecil merupakan tanggung jawab ayah dan ibu Udin.


Lambat laun, semua kambing Udin akhirnya terjual habis demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian membengkak. Harapan Udin untuk membeli motor impiannya, kini telah sirna menyisakan angan - angan belaka.


*****

Saat pagi menyongsong, tak seperti biasanya Udin hanya bisa terduduk lesu memandangi gerombolan pohon ketela yang tumbuh subur di depan rumahnya. Udin yang biasanya selalu gigih dan bersemangat dalam mengais pundi - pundi rupiah itu, kini telah berubah menjadi Udin yang pemurung dan sering melamun.


Teman - teman sebayanya yang tengah mengenakan seragam sekolah serta tunggangan motornya, sama sekali tak dihiraukan sapaannya oleh Udin. Mata Udin memang terbuka, namun pikirannya kosong mengawang nasib dirinya yang tak pernah beruntung.


"Pak, Udin akhir - akhir ini sepertinya lagi nggak enak badan," bisik ibunya yang tengah menyuguhkan kopi pahit kepada bapak Udin.


"Iya, biasanya dia paling semangat kalau diajak buruh, Bu. Coba tanyakan ke Udin, biar kalau sakit bisa segera dicarikan obat ke warung," saran bapak Udin.


Namun, reaksi mengejutkan ditujukan Udin saat ia ditanyai oleh ibunya perihal kondisinya. Udin malah mengamuk, meracau tak jelas serta tak segan membentak ibunya.


"Diam kau, Mak!" murka Udin sembari menendang pintu rumah yang sudah reot penuh rayap itu.


"Kamu kok jadi begini to, Le?" ibu Udin hanya bisa menangis meratapi perubahan sikap anak gigihnya itu.


"Aku capek jadi sapi perah terus, Mak! Urus sana anak - anak kesayanganmu!" Udin berlari masuk ke dalam kamar, diikuti suara si kecil yang meraung karena kaget mendengar teriakan amarah Udin.


Sinar mentari telah bersembunyi, berganti shift dengan para bintang dan bulan yang menampakkan diri pada kegelapan malam.
Semenjak pagi tadi, Udin tak keluar kamar sekali pun. Ia tak makan, tak minum maupun melakukan kegiatan rutinnya di kamar mandi. Ketukkan demi ketukkan ibu dan kakaknya, tetap tak menggoyahkan hati Udin untuk keluar kamar.


Hingga akhirnya, bapak Udin lah yang membuka paksa pintu itu.


"Ya Allah, Udin!" ibu dan kakak Udin terhenyak melihat adiknya yang duduk mematung sembari melototkan matanya.


"Din, Udin! Kamu kenapa to, Le!" Bapak Udin menggoyang - goyangkan tubuh Udin yang masih tak bereaksi itu.


Udin masih bernafas normal, namun matanya tak terpejam dan hanya bisa berkedip beberapa kali. Mata bulat nan lebarnya seperti tak mengenal tidur karena semalam penuh, ia hanya bisa melotot sembari bergumam sesuatu.


"Motor ... motor ..." gumam Udin beberapa kali dari bibirnya.


Bapak dan ibu Udin kini akhirnya mengerti akar masalah dari perubahan sikap Udin. Keinginan terpendamnya untuk memiliki motor memang sudah ia impikan sejak lama. Ia ingin seperti teman - teman sebayanya yang sebagain besar sudah memiliki motor. Itulah alasan yang mampu memotivasi Udin untuk selalu gigih dalam bekerja.


Buliran demi buliran bening mengaliri pelupuk mata keluarga Udin. Kemiskinan yang menjerat mereka, tidak akan mungkin bisa memenuhi hasrat Udin untuk memiliki kendaraan berharga mahal itu. Bapak Udin juga menyesal, karena ia tak kunjung menunaikan janjinya untuk mengganti kambing Udin yang telah terjual.

*****

Kondisi Udin semakin hari semakin parah. Ia sering kedapatan melamun, berbicara ngawur, serta tak bisa berkomunikasi dua arah lagi.


Bapak dan ibu Udin tak bisa tinggal diam melihat kondisi anaknya yang kian mengkhawatirkan. Dengan berbekal surat tanah satu - satunya, mereka menjadikan surat itu sebagai jaminan untuk meminjam uang di salah satu koperasi di desanya.


Aksi terpaksa itu, akhirnya bisa mendaratkan satu buah motor bekas untuk Udin. Sisanya, mereka gunakan untuk membawa Udin berobat ke dokter ahli kejiwaan. Biaya untuk berobat dan menebus obat pun tak kalah mahalnya.
Acapkali, bapak dan ibu Udin harus berhutang sana - sini untuk menebus obat yang wajib diminum oleh Udin setiap harinya.


Kini keadaan Udin berangsur - angsur membaik. Namun, pikiran dan tenaganya tak bisa kembali seperti sedia kala. Gaya bicaranya juga masih sering tak berarah.


Stok obat Udin, tak boleh habis dan terlewat. Karena, jika ia melewatkan obatnya, kondisi kejiwaannya akan kembali labil. Sebuah pil pahit ujian dari Tuhan yang harus ditelan oleh keluarga Udin.



Udin, semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan kepadamu, memberikan rezeki yang lancar kepada keluargamu. Karena Tuhan tidak akan pernah tidur, Tuhan Maha Baik, pasti akan ada pelangi setelah hujan yang akan Tuhan hadirkan untuk kebahagiaanmu.



End.
Diubah oleh dwyzello 09-04-2020 19:05
indrag057
Bgssusanto88
bukhorigan
bukhorigan dan 16 lainnya memberi reputasi
17
3.2K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
#1
Kisah Pilu Si Udin Anak Seorang Petani (Based On True Story)

Source : pinterest


Angin semilir membuai ribuan daun pepohonan di sebuah desa yang terletak di provinsi Lampung. Desa yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani itu, kini tengah memasuki musim tanam padi. Para buruh tandur (buruh tanam padi) yang semuanya wanita itu, berduyun - duyun menuju ke ladang untuk mengais rezeki, yang cukup lumayan untuk memberi uang saku kepada anak - anaknya, membeli lauk pauk, serta minyak goreng untuk keperluan mengisi perut.


Tangan ibu - ibu setengah baya itu, kini sedang membopong rantang (tempat makanan) yang berisi bekal makanan, untuk disantap tatkala matahari sudah menuju ke garis yang tertinggi nanti.
Caping (topi khas petani yang berbentuk kerucut) pun telah berdiri kokoh di atas kepala mereka agar terlindung dari terik sang mentari yang merupakan anggota terbesar dari tata surya itu. Baju rombeng yang beberapa sisinya terdapat noda membandel, pun tengah membalut badan mereka dalam menjalankan purna tugas demi membesarkan komoditas penting di negara ini, yaitu padi.


Udin berjalan paling belakang mengikuti para buruh, sembari membawa caplak ndeso (alat pembuat garis tanam padi) yang kini tengah dipanggul di pundaknya. Ia terlihat enggan berjalan berdampingan dengan mereka, karena dirinya adalah satu - satunya lelaki diantara para ibu - ibu yang seumuran dengan ibu kandungnya.


Matahari masih bersembunyi, menampakkan semburat jingga yang menyejukkan mata. Para buruh segera meletakkan bekal mereka di gubuk, lalu berbondong - bondong menuju ke ladang yang sudah siap ditanami bibit padi.


Tugas udin kali ini adalah mengoperasikan alat tradisional pembuat garis padi itu. Garis yang dihasilkan dari caplak itu, nantinya akan ditanami bibit padi oleh para buruh tandur agar bisa lurus dan sejajar.
Tubuh kurus nan legam itu bersemangat sekali ikut membantu ibunya mengais rezeki di sawah.


Udin adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya, kini tengah merantau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga demi membantu taraf hidup orang tuanya yang kurang mampu. Sedangkan adik Udin saat ini masih menginjak kelas tiga SD.


Matahari sudah meninggi, perut para buruh telah meronta, diiringi peluh yang kian menyurutkan tenaga. Sudah saatnya istirahat sejenak dan makan siang.


Udin meletakkan alatnya, perutnya sudah mulai keroncongan. Makan siang adalah hal yang paling ia nantikan saat ini. Baginya, makan di sawah pasca meluapkan tenaga adalah hal ternikmat meskipun hanya sekedar menyantap nasi, sambal dan ikan asin.


"Udin, lagi libur sekolah ya?" tanya Bu Warsih yang tengah asyik mengunyah sayur jengkol.


"Males Bu, enakan kerja dapet duit," sahut Udin dengan polosnya.


"Kelas berapa to kamu ini?" tanya Bu Warsih kembali.


"Kelas dua MTS Bu," jawab Udin singkat sembari menyantap ikan asin kesukaannya.


"Udin ini memang begini, Bu. Sekolahnya bolong - bolong. Katanya males belajar. Udah dibilangin tetep ngeyel. Yawis, tak ajak aja ikut buruh daripada plonga - plongo di rumah." Ibu udin akhirnya angkat bicara.


Begitulah seorang Udin. Remaja berusia empat belas tahun itu memang tidak niat bersekolah. Ia lebih suka ikut ibunya buruh ke sawah, baik di kala musim tanam maupun musim panen.


Tak hanya ikut buruh tanam padi, Udin kerap kali ikut ibunya untuk buruh derep (buruh potong padi), serta buruh memetik jagung milik tetangga. Ia adalah anak yang senang bekerja. Hasil dari kerja kerasnya itu, ia kumpulkan sedikit demi sedikit dan bercita - cita semoga kelak ia bisa membeli seekor kambing.


*****

Malam itu sedang mati lampu. Mati lampu adalah suatu hal lumrah yang sering terjadi di desanya. Ibu Udin sibuk membuat penerang rumah dari sedikit kapuk yang dibilas dengan minyak makan. Lalu, kapuk itu dibakar dengan korek api dan menghasilkan lampu darurat yang murah meriah. Bagi ibu Udin, membeli lilin adalah pemborosan.


"Mak, Udin mau berhenti sekolah aja," ujar Udin dengan nada datar. Binar mata lebarnya memandangi api yang memancar di atas gumpalan kapuk.


"Terus kamu mau ngapain kalau nggak sekolah, Din?" tukas Ibunya yang tengah menempeli punggungnya dengan koyo akibat kelelahan bekerja buruh tadi pagi.


"Udin mau kerja di sawah saja ikut Emak sama Bapak."


"Kamu yakin, Le?" sahut bapak Udin yang baru saja pulang pasca menjadi buruh panggul itu.


"Iya, Pak! Jujur Udin nggak suka belajar, males pusing."


Itulah awal mula dimana Udin akhirnya resmi keluar dari sekolahnya. Ia kini telah menjadi remaja putus sekolah yang sehari - hari ikut bekerja buruh bersama ayah dan ibunya.


*****

Udin berjalan ke pematang sawah tanpa alas kaki sembari membawa celurit dan karung untuk mencari rumput. Kegigihannya selama bekerja di sawah akhirnya membuahkan hasil. Udin kini memiliki empat ekor kambing hasil jerih payahnya. Setiap sore hari, Udin dengan semangat berkobarnya selalu mencari makan untuk binatang peliharaannya.


Sudah dua tahun lamanya terhitung sejak ia tidak bersekolah. Remaja berusia enam belas tahun itu kini berubah menjadi remaja yang lebih kekar dan tinggi.
Ada satu keinginan yang ia idam - idamkan kali ini. Ia menginginkan sebuah motor layaknya teman - teman sebayanya yang sering terlihat wara - wiri dengan kendaraan barunya. Oleh karena itu, memelihara kambing adalah suatu hal menguntungkan yang diharapkan dapat mewujudkan impiannya.


Hari sudah menjelang senja, Udin membawa hasil merumputnya dengan sepedanya. Namun saat ia tiba di rumahnya, ia heran karena ada beberapa motor yang sedang terparkir di depan gubuknya. Ia bergegas memberi makan kambingnya, lalu berjalan melalui pintu dapur untuk mengobati rasa penasaran akan tamu yang bertandang ke rumah geribiknya itu.


Lantas ia pun menguping dan mengintip dari balik horden kusut diantara ruang tamu dan dapur. Suara ibunya tampak parau seperti menangisi sesuatu.


Yang terlihat di matanya adalah kakak perempuan dan pacarnya yang tengah menunduk lesu. Kakak Udin sudah kembali ke kampung halaman, satu tahun yang lalu pasca menjadi pembantu rumah tangga. Ia memutuskan kontrak kerjanya karena sang majikan dikabarkan tidak menggajinya selama enam bulan. Hal pilu itulah yang membuat kakak Udin akhirnya tak betah merantau di kota yang penuh kemacetan itu.
Sepulang dari ibu kota, kakak udin kini bekerja sebagai pramuniaga di pasar dan memiliki pacar seorang tukang parkir, di pasar tempat kakak Udin bekerja.


"Sudah berapa bulan?" gumam ibu Udin kepada kakaknya.


Kakak Udin hanya menangis tersedu sembari menatap perutnya yang terlihat membuncit.


"Keluarga kami akan bertanggung jawab, Bu," jelas suara bass yang merupakan bapak dari pacar kakak Udin.


Adegan perdebatan pun berlangsung meskipun adzan magrib tengah berkumandang. Kini Udin mulai paham bahwa ada ujian yang sedang menimpa keluarganya. Kakak perempuannya kini tengah hamil lima bulan. Mau tidak mau, pernikahan keduanya harus segera diberlangsungkan.


Malam ini tak seperti biasanya. Aroma ketegangan mulai tersurat di wajah anggota keluarga Udin. Hanya adik Udin saja yang masih santai menyantap jagung bakar yang ia sulut di pawonan (tungku tradisional dengan bahan bakar kayu) milik ibunya.


"Evi, perbuatan kotormu bener - bener sudah bikin Bapak dan Ibu sakit, Nduk!" hardik ibu Udin sembari mengusap bulir air matanya.


Kakak Udin hanya menunduk tanpa suara.


"Kita ini sudah melarat! Nggak bisakah kamu jaga dirimu? Ya Allah Gusti!" Tangis ibu Udin makin terisak membuat suasana menjadi sangat canggung.


"Kamu harus segera dinikahkan secepatnya, Nduk. Perutmu sudah membesar," pungkas Ayah Udin sembari menghisap rokok lintingnya.


"Nikah ngundang penghulu itu pakai duit! Belum lagi buat beli suguhan makanan. Semuanya itu pakai duit! Lha kita? Buat makan sehari - hari aja sudah susah!" Ibu Udin meracau sembari memijat kepalanya.


Tak lama kemudian, Bapak Udin menghampiri Udin yang tengah berdiam di dalam kamarnya.


"Udin, bisakah Emak dan Bapak pinjam kambingmu dulu. Bapak janji, kalau Bapak ada uang nanti akan Bapak ganti. Ini kebutuhan mendesak, Le," pinta bapak Udin dengan wajah penuh harap.


Udin tak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya. Terlebih lagi, ia tak mau kakaknya melahirkan tanpa seorang suami. Ia pun merelakan dua kambingnya terjual demi memenuhi kebutuhan pernikahan mendadak kakak perempuannya.


*****

Kini pekerjaan merumput Udin lebih ringan, karena ia hanya mencarikan makan kambingnya yang hanya tersisa dua ekor saja. Namun semangatnya semakin lunglai karena impiannya untuk membeli motor akan tertunda lebih lama.


Empat bulan berlalu, kakak Udin akhirnya melahirkan bayinya. Pasca menikah, kakak Udin ikut tinggal bersama keluarga suaminya. Namun kejadian serius terjadi, tatkala tiba - tiba kakak Udin pulang ke rumah sembari membawa bayi merahnya saat hari sudah menggelap.


Kakaknya mengalami KDRT yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Syukurlah, kakaknya berhasil kabur dan melarikan diri, meskipun tanpa membawa harta benda apapun. Ia berjalan kaki menuju ke jalan besar sembari berharap ada seseorang yang ia kenal dan mau menebenginya menuju ke rumah. Pertolongan Tuhan menghadirkan Pak Sanusi, tetangga desanya yang kebetulan saat itu sedang melewati jalan itu.


Ayah dan Ibu Udin hanya bisa pasrah. Tak mungkin ia menolak menerima kembali anak kandung dan cucu pertamanya itu.
Kini bertambahlah anggota keluarga Udin dengan kehadiran si kecil, anak dari kakak perempuannya itu.


*****

Kehadiran kakak dan keponakan Udin, membuat kebutuhan harian semakin banyak. Apalagi membesarkan balita juga membutuhkan banyak biaya untuk membeli susu dan keperluan lainnya. Belum lagi, ketika si kecil tiba - tiba demam dan harus dibawa ke dokter.


Lantas? Bagaimanakah tanggung jawab suami kakak Udin selama ini?
Pasca kejadian memilukan itu, kakak Udin akhirnya memutuskan hubungannya dengan ayah si kecil. Kini kakak Udin berstatus janda beranak satu yang tidak pernah dinafkahi sepeser pun oleh mantan suaminya itu. Hal itu berarti, semua kebutuhan si kecil merupakan tanggung jawab ayah dan ibu Udin.


Lambat laun, semua kambing Udin akhirnya terjual habis demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian membengkak. Harapan Udin untuk membeli motor impiannya, kini telah sirna menyisakan angan - angan belaka.


*****

Saat pagi menyongsong, tak seperti biasanya Udin hanya bisa terduduk lesu memandangi gerombolan pohon ketela yang tumbuh subur di depan rumahnya. Udin yang biasanya selalu gigih dan bersemangat dalam mengais pundi - pundi rupiah itu, kini telah berubah menjadi Udin yang pemurung dan sering melamun.


Teman - teman sebayanya yang tengah mengenakan seragam sekolah serta tunggangan motornya, sama sekali tak dihiraukan sapaannya oleh Udin. Mata Udin memang terbuka, namun pikirannya kosong mengawang nasib dirinya yang tak pernah beruntung.


"Pak, Udin akhir - akhir ini sepertinya lagi nggak enak badan," bisik ibunya yang tengah menyuguhkan kopi pahit kepada bapak Udin.


"Iya, biasanya dia paling semangat kalau diajak buruh, Bu. Coba tanyakan ke Udin, biar kalau sakit bisa segera dicarikan obat ke warung," saran bapak Udin.


Namun, reaksi mengejutkan ditujukan Udin saat ia ditanyai oleh ibunya perihal kondisinya. Udin malah mengamuk, meracau tak jelas serta tak segan membentak ibunya.


"Diam kau, Mak!" murka Udin sembari menendang pintu rumah yang sudah reot penuh rayap itu.


"Kamu kok jadi begini to, Le?" ibu Udin hanya bisa menangis meratapi perubahan sikap anak gigihnya itu.


"Aku capek jadi sapi perah terus, Mak! Urus sana anak - anak kesayanganmu!" Udin berlari masuk ke dalam kamar, diikuti suara si kecil yang meraung karena kaget mendengar teriakan amarah Udin.


Sinar mentari telah bersembunyi, berganti shift dengan para bintang dan bulan yang menampakkan diri pada kegelapan malam.
Semenjak pagi tadi, Udin tak keluar kamar sekali pun. Ia tak makan, tak minum maupun melakukan kegiatan rutinnya di kamar mandi. Ketukkan demi ketukkan ibu dan kakaknya, tetap tak menggoyahkan hati Udin untuk keluar kamar.


Hingga akhirnya, bapak Udin lah yang membuka paksa pintu itu.


"Ya Allah, Udin!" ibu dan kakak Udin terhenyak melihat adiknya yang duduk mematung sembari melototkan matanya.


"Din, Udin! Kamu kenapa to, Le!" Bapak Udin menggoyang - goyangkan tubuh Udin yang masih tak bereaksi itu.


Udin masih bernafas normal, namun matanya tak terpejam dan hanya bisa berkedip beberapa kali. Mata bulat nan lebarnya seperti tak mengenal tidur karena semalam penuh, ia hanya bisa melotot sembari bergumam sesuatu.


"Motor ... motor ..." gumam Udin beberapa kali dari bibirnya.


Bapak dan ibu Udin kini akhirnya mengerti akar masalah dari perubahan sikap Udin. Keinginan terpendamnya untuk memiliki motor memang sudah ia impikan sejak lama. Ia ingin seperti teman - teman sebayanya yang sebagain besar sudah memiliki motor. Itulah alasan yang mampu memotivasi Udin untuk selalu gigih dalam bekerja.


Buliran demi buliran bening mengaliri pelupuk mata keluarga Udin. Kemiskinan yang menjerat mereka, tidak akan mungkin bisa memenuhi hasrat Udin untuk memiliki kendaraan berharga mahal itu. Bapak Udin juga menyesal, karena ia tak kunjung menunaikan janjinya untuk mengganti kambing Udin yang telah terjual.

*****

Kondisi Udin semakin hari semakin parah. Ia sering kedapatan melamun, berbicara ngawur, serta tak bisa berkomunikasi dua arah lagi.


Bapak dan ibu Udin tak bisa tinggal diam melihat kondisi anaknya yang kian mengkhawatirkan. Dengan berbekal surat tanah satu - satunya, mereka menjadikan surat itu sebagai jaminan untuk meminjam uang di salah satu koperasi di desanya.


Aksi terpaksa itu, akhirnya bisa mendaratkan satu buah motor bekas untuk Udin. Sisanya, mereka gunakan untuk membawa Udin berobat ke dokter ahli kejiwaan. Biaya untuk berobat dan menebus obat pun tak kalah mahalnya.
Acapkali, bapak dan ibu Udin harus berhutang sana - sini untuk menebus obat yang wajib diminum oleh Udin setiap harinya.


Kini keadaan Udin berangsur - angsur membaik. Namun, pikiran dan tenaganya tak bisa kembali seperti sedia kala. Gaya bicaranya juga masih sering tak berarah.


Stok obat Udin, tak boleh habis dan terlewat. Karena, jika ia melewatkan obatnya, kondisi kejiwaannya akan kembali labil. Sebuah pil pahit ujian dari Tuhan yang harus ditelan oleh keluarga Udin.



Udin, semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan kepadamu, memberikan rezeki yang lancar kepada keluargamu. Karena Tuhan tidak akan pernah tidur, Tuhan Maha Baik, pasti akan ada pelangi setelah hujan yang akan Tuhan hadirkan untuk kebahagiaanmu.



End.
Diubah oleh dwyzello 09-04-2020 19:05
0