seher.kenaAvatar border
TS
seher.kena
Muhammadiyah Ungkap Kejanggalan Saat Diajak Tur ke Xinjiang China


Jakarta - Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah, Muhyiddin Junaidi menceritakan detail kunjungan delegasi organisasi masyarakat (ormas) Islam ke Xinjiang, China. Dia juga menegaskan delegasi tersebut tidak menerima uang sedikit pun dari pemerintah China.

"Kami delegasi ormas Islam Indonesia dari Muhammadiyah, PBNU dan MUI jumlahnya 15 orang. Masing-masing ormas mengirim 5 orang plus 3 wartawan dari media cetak dan elektronik. Diundang Kedubes China untuk Indonesia ke Xinjiang Otonomic Region," kata Junaidi di PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2019).

Juanidi yang juga ketua delegasi mengatakan saat tiba di Beijing, pihaknya diterima oleh Dubes China untuk Indonesia. Kemudian mereka diberikan penjelasan terkait masyarakat muslim Uighur.

Sampai di Beijing, kami biasalah berkunjung, bersilaturahmi dengan Bapak Dubes, kemudian ada ceramah malam, makan malam. Memberikan gambaran soal Xinjiang Uighur Otonomic tersebut. Secara ringkas beliau mengatakan 22,8 juta penduduk Uighur itu mayoritas adalah muslim, sisanya non-muslim, dari beberapa suku," kata dia.

Setelah itu, Juniadi beserta rombongan diperkenalkan dengan pimpinan China Islamic Association (CIA). Mereka yang kemudian mengawal rombongan dari Indonesia selama kunjungan ke Uighur.

"Saat kami tiba di ibukota dari Xinjiang ke Uighur itu sudah hampir pukul 8 malam, kami minta saat jamuan makan malam kepada wakil ketua CIA untuk salat berjamaah. Tapi oleh beliau dikatakan masjid agak jauh dan susah ke sana karena suhu udara -17 derajat. Tapi kalau itu permintaan tamu, biasanya apapun dituruti," kata dia.

Atas penolakan untuk salat berjamaah itu, Junaidi mulai curiga terhadap pihak CIA. Kecurigaan Junaidi kian berlanjut saat rombongannya tiba di hotel.

"Mulai saat itu kami mencurigai, masuk kami ke hotel, memang sudah ada direction of kiblat di tiap kamarnya tapi nampak jelas yang asli dan yang baru dibikin itu berbeda. Yang seperti Anda temukan di Indonesia dan beberapa negara Islam biasanya arah kiblat itu sudah tetap definitif jelas. Kami mulai curiga," ujarnya.

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menjelaskan bahwa timnya juga tidak boleh keluar hotel sendirian. Perlakuan itu terjadi terhadap wartawan yang ingin berbelanja.

"Ketika seorang wartawan yang ikut kami ingin membeli rokok ternyata di depan dihadang, where are you going, 'mau beli rokok, akhirnya'. 'Oke saya (petugas yang hadang) mau beli, apalagi mau beli? Minum mau? Beli satu lagi untuk membakar rokoknya', itu saya berikan airnya dikasih, kemudian rokoknya dikasih, kemudian alat pembakar rokoknya dikasih," lanjutnya.

Hari berikutnya, rombongan dipandu untuk berkunjung ke museum tindak kekerasan yang disebut dilakukan oleh masyarakat Uighur terhadap warga sipil. Museum itu merekam semua tindak kekerasan yang diyakini Junaidi dilakukan oleh muslim Uighur yang terkait dengan ISIS.

"Hari berikutnya, pagi-pagi setelah salat subuh ternyata Wakil ketua CIA sudah nunggu di hotel, kami dibawa ke museum tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Uighur terhadap masyarakat sipil di Xinjiang," tutur Junaidi.

Jadi gambar yang ditampilkan saya tidak tahu, apakah itu betul apakah kekerasan yang dilakukan Uighur dan lain sebagainya. Tapi dari nama, itu nampak jelas bahwa mereka orang Uighur yang sudah terpapar paham radikal dan sudah melakukan tindak kekerasan kerja sama ISIS. Jadi dari awal sampai satu jam dijelaskan sedemikian rupa," imbuhnya.

Junaidi mengatakan, setelah melakukan beberapa kunjungan itu, pihaknya meyakini kebebasan beragama di China sulit ditemukan. Selanjutnya, tim berkunjung ke kamp pengasingan untuk muslim Uighur 'Re-education Center'.

"Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, institut agam Islam memang meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama, Freedom of religion itu agak susah kita buktikan. Mengapa? Karena Konstitusi China Bab 2 artikel 38 mengatakan dengan jelas bahwa pemerintah memberikan kebebasan warga untuk beragama dan tidak beragama," sebutnya.

"Setelah kami berkunjung ke re-education center, adalah penghuninya orang-orang Uighur yang melaksanakan agamanya secara terbuka," jelasnya.

Junaidi menilai konstitusi di China tidak mengizinkan warganya untuk melaksanakan kegiatan keagamaan di ruangan terbuka. Dia juga bercerita tentang seorang ibu yang dianggap radikal karena mengajarkan anaknya pemahaman agama.

"Konstitusinya mengatakan bahwa agama diterapkan di ruang tertutup tidak boleh di ruang terbuka. Kalau Anda menggunakan jilbab ke jalan itu Anda dianggap radikal, kalau Anda radikal maka Anda berhak dikirim ke camp re-education center, dilatih di sana selama satu tahun agar Anda paham konstitusi sana dan Anda paham bahasa Mandarin. Umumnya orang Uighur tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa mandarin," ungkapnya.

"Ini perbedaannya, kalau Anda salat itu dianggap radikal apabila itu di ruangan terbuka kalau Anda bekerja di sebuah kantor di sana hari Jumat Anda ingin salat maka itu dianggap radikal. Oleh karena itu hari Jumat salat dipenuhi kakek-kakek dengan seragam sama, tidak ada anak kecil, tidak ada anak muda. Kerena konstitusi. Beragama setelah 18 tahun baru boleh, kalau ada ibu yang mengajarkan anaknya agama di rumah dianggap radikal," lanjutnya.

Usai kunjungan yang berlangsung selama 17 hingga 24 Februari 2019 itu, Junaidi dan tim memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintahan China melalui Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Salah satu poinnya adalah mereka meminta China untuk memberikan kebebasan beragama kepada warganya.

"Setelah kami kembali, kami sampaikan hasil itu kami sampaikan ke Menlu Bu Retno. Ada beberapa poin antara lain kami minta kepada pemerintah China agar memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah secara terbuka karena itu dijamin oleh piagam PBB. Kami serahkan ke Bu
Retno," kata Junaidi.

Tetapi saya tidak tahu apakah Bu Retno sudah panggil Dubes China atau sudah diberikan ke China," lanjutnya.

Junaidi kemudian menegaskan bahwa pihaknya tidak menerima apapun dari pemerintah China. Dia mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menjual agama dengan cara seperti itu.

"Kami tidak terima apa-apa, bahkan yang diberikan untuk minum kopi itu ya dana yang kami habiskan lebih banyak dari dan yang diberikan untuk minum kopi di air port. Kami tegaskan no money, no corruption, insyaallah kami ormas Islam tetap istikamah, tidak akan menjual harga agama dengan nilai yang sangat murah," pungkas Junaidi.

https://m.detik.com/news/berita/d-48...njiang-china/3

Oh begitu toh
Diubah oleh kaskus.infoforum 19-12-2019 03:29
ruhnama
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 45 lainnya memberi reputasi
32
20.9K
325
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
sidewinder11Avatar border
sidewinder11
#3
jangangitu ah bro....di dunia ini segala sesuatu ada harganya kok...ga islam ga non islam....sebenarnya semua sama aja. cuma bbrp orang naif belum pernah di tes aja....jadi bisa ngomong kek di thread TS tsb hehehehe
0