nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Senandung Black n Blue
Ini bukan tentang pembuktian
Bukan juga tentang sebuah sesal
Ini tentang aku dan perasaan
Hanya satu dan penuh tambal

Ini bukan tentang akumulasi kemarahan
Bukan juga hitung-hitungan pengorbanan
Hanya aku dan keegoisan
Bergeming dalam kesendirian

Aku bukan pujangga
Aku tak mahir merangkai kata
Aku hanya durjana
Menunggu mati di ujung cahaya

Aku bukan belati
Bukan juga melati
Aku hanya seorang budak hati
Sekarat, termakan nafsu duniawi

Sampai di sini aku berdiri
Memandang sayup mereka pergi
Salah ku biarkan ini
Menjadi luka yang membekas di hati





Nama gue Nata, 26 tahun. Seorang yang egois, naif, dan super cuek. Setidaknya itu kata sahabat-sahabat gue. Tidak salah, tapi juga tidak benar. Mungkin jika gue bertanya pada diri gue sendiri tentang bagaimana gue. Jawabanya cuma satu kata. IDEALIS TITIK. Oke itu udah 2 kata. Mungkin karena itu, hampir semua sahabat gue menilai gue egois, yang pada kenyataanya gue hanya tidak mau melakukan hal apapun. APAPUN. Yang tidak gue sukai. Bahkan dalam pekerjaan, jika menurut gue tidak menyenangkan, gue akan langsung resign.

Menulis buat gue bukanlah sebuah hobi, bukan juga sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi hobi, bukan juga keahlian diri, bukan juga sesuatu bakat terpendam yang akhirnya muncul karena hobi. Apaa sihh !!? Menulis buat gue adalah cara terbaik meluapkan emosi. Di kala telinga orang enggan mendengar, dan lidah sulit untuk berucap tapi terlalu penuh isi kepala. Menulis adalah cara gue menumpahkan segala penat yang ada di kepala, cara gue bermasturbasi, meng-orgasme hati dengan segala minim lirik yang gue miliki.

Kali ini berbeda, gue tidak menuliskan apa yang ingin gue lawan. Tidak juga menuliskan opini gue tentang suatu hal. Ini tentang diri gue seorang. Tidak indah, tidak juga bermakna, hanya kumpulan kata sederhana yang terangkai menjadi sebuah kisah. Angkuh gue berharap, semoga ini bisa menjadi (setidaknya) hikmah untuk setiap jiwa yang mengikuti ejaan huruf tertata.

.


Quote:


.


Jakarta, 22 Desember 2018.

Senja telah berganti malam saat mobil yang gue kendarai tiba di kawasan kemayoran. Gue masuk ke areal JI Expo Kemayoran. Saat masuk gue melihat banyak banner dan papan iklan yang menunjukan bahwa di area ini sedang dilaksanakan sebuah acara akhir tahun dengan Tag line "pameran cuci gudang dan festival musik akhir tahun". Gue tidak mengerti kenapa sahabat gue mengajak gue bertemu di sini.

Sesampainya di areal parkir, gue memarkirkan mobil. Tidak terlalu sulit mencari tempat kosong, tidak seperti saat diselenggarakan Pekan Raya Jakarta, yang penuh sesak. Sepertinya acara ini tidak terlalu ramai, atau mungkin belum ramai karena gue melihat jam masih pukul 18.35.

"Whatever lah mau rame mau sepi."Ucap gue dalam hati.

Gue memarkirkan mobil, setelahnya gue sedikit merapihkan rambut, berkaca pada kaca spion, lalu memakai hoodie berwarna hitam yang sedari tadi gue letakan di kursi penumpang, kemudian keluar mobil sambil membawa tas selempang berisi laptop.

Perlahan gue berjalan, sesekali melihat ke kiri dan ke kanan, mencari letak loket pembelian tiket berada. Akan lebih mudah sebenarnya jika gue bertanya pada petugas yang berjaga. Tapi biarlah gue mencarinya sendiri.Toh sahabat gue juga sepertinya belum datang.

Di loket, gue melihat banyak orang menggunakan kaos yang bertema sama. Banyak yang memakai kaos bertema OutSIDers, Ladyrose, dan juga Bali Tolak Reklamasi. Gue sedikit memicingkan mata, dalam hati berkata."Sial gue dijebak."

Setelah membeli tiket, gue masuk ke areal acara, melihat banyak stand dari berbagai brand. Penempatan stand-stand menurut gue menarik, benar atau tidak, sepertinya pihak penyelenggara menaruh stand brand-brand besar mengelilingi brand kecil. It's so fair menurut gue. Karena banyak acara semacam ini yang gue lihat justru menaruh brand UKM yang notabenenya belum terlalu di kenal di posisi yang tidak strategis. Dan untuk acara ini gue memberi apresiasi tersendiri untuk tata letak tiap brandnya. Walau sejujurnya butuh konfirmasi langsung oleh pihak penyelenggara tentang kebenaranya.

Gue masuk lebih dalam, mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk gue menunggu sahabat gue yang belum datang. Sesekali berpapasan dengan SPG yang menawarkan barang dagangnya, gue tersenyum tiap kali ada SPG yang menawarkan gue rokok, kopi, dan lainnya. Dalam hati gue teringat tentang bagian hidup gue yang pernah bersinggungan langsung dengan hal semacam ini. Terus melanjutkan langkah, Gue tertarik melihat salah satu stand makanan jepang, lebih tepatnya gue lapar mata. Terlebih gue belum makan. Tapi saat gue ingin menuju ke stand itu, gue melihat ada stand sebuah merek bir lokal asal Bali. Gue mengurungkan niat untuk ke stand makanan jepang itu, dan lebih memilih untuk menunggu sahabat gue di stand bir.

Gue memesan satu paket yang di sediakan, yang isinya terdapat 4 botol bir, ukuran sedang. Gue mengeluarkan laptop gue, kemudian mengirim email kepada sahabat gue. Memang sudah beberapa hari ini gue selalu berhubungan dengan siapapun via email. Karena handphone gue hilang dicopet di stasiun Lempuyangan beberapa hari yang lalu.

"Fuck you Jon ! Gue di stand Albens, depan panggung yak. Jangan bikin gue jadi orang bego diem sendiri di tempat kek gini sendirian. Kecuali lo bajingan laknat yang ga peduli sama sahabat lo." Email gue pada Jono, sahabat gue.

Dari tempat gue duduk, gue dapat melihat panggung utama. Sepertinya dugaan gue tidaklah salah. Kalau guest star malam ini adalah Superman Is dead. Group band punk rock asal Bali. Pantas saja Jono mengajak gue bertemu di sini. Dia memang sangat menyukai musik bergenre punk rock macam green day, blink 182, SID, dan lainya.

Jujur saja, gue sebenarnya pernah menjadi Outsiders sebutan untuk fans superman is dead. Gue pernah menjadi OSD militan, yang selalu datang ke acara yang di dalamnya terdapat Superman Is Dead sebagai bintang tamunya. Tapi itu dulu, lebih dari sedekade lalu. Saat gue masih duduk di bangku SMA.

Dan malam ini, semua ingatan tentang itu semua membuncah. Berpendar hebat dalam bayang imajiner yang membuat mata gue seolah menembus ruang dan putaran waktu. Melihat semua apa yang seharusnya tidak perlu gue lihat, dan mengenang apa yang harusnya tidak perlu gue kenang. Sampai di titik tertentu gue sadar kalau gue sudah dipermainkan.

"JON, I know you so well, please please don't play with a dangerous thing. Comon Jhon I'm done. Gue balik" Gue kembali mengetik email untuk gue kirim pada Jono. Gue sadar gue sudah masuk dalam permainan berbahayanya. Dan gue tidak ingin mengambil resiko lebih.

Namun belum sempat email gue kirim. Gue melihat seorang perempuan berdiri tegak tepat di depan gue. Dan saat itu juga gue sadar gue terjebak dalam permainan konyol sahabat gue yang "luar biasa jahat".

"Haii Nat." Sapa perempuan itu.

"Fuck you Jhon, what do you think. Bitch !!" Gerutu gue dalam hati kesal.

Spoiler for opening sound:
Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 12:21
efti108
aftzack
sargopip
sargopip dan 65 lainnya memberi reputasi
62
131.6K
723
Thread Digembok
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#506
Menjelang Akhir: Suara Nata
Atas semua yang terjadi menimpa diri, gue tidak bisa menyalahkan siapa pun. Walau sebenarnya gue ingin menyalahkan seseorang atas semua yang menimpa diri gue. Tapi gue sadar semua ini; yang terjadi adalah buah dari apa yang gue tanamkan sendiri. Gue tidak bisa menyalahkan Dani yang mengumbar semua apa yang diam-diam masif gue kerjakan. Biar bagaimana pun Dani berada di dalam tekanan yang besar; gue pun membayangkan jika gue berada di posisi Dani apa mungkin gue bisa tahan untuk tidak mengumbar apa yang gue kerjakan. Lagi pula, apa yang dirasakan Dani memang sudah sedari awal gue rencanakan. Harusnya gue yang meminta maaf pada Dani, bukan justru menyalahkannya atas perceraian gue dengan Nina.

Pun, permasalahan sebenarnya yang membuat Nina menggugat cerai gue bukan karena itu. Dan lagi, gue tidak bisa menyalahkan siapa pun atas alasan sebenarnya Nina menggugat cerai gue. Lucu rasanya jika gue menyalahkan Karina. Karena bukan ingin Karina; semua tentangnya masih sangat melekat di hati gue. Jika ada yang bertanya kenapa Karina yang ada di hati gue. Kenapa bukan Dita saja. Gue mohon maaf yang sebesar-besarnya karena gue tidak memiliki jawabnya. Karena gue tidak mengetahui cara kerja hati. Gue tidak mengerti mekanisme hati membiarkan seseorang masuk dan tidak hanya masuk lalu keluar atau dikeluarkan tapi masuk untuk melekat dalam durasi yang lama atau bahkan selamannya. 

Gue hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali di dalam pikiran gue tiba-tiba muncul bayangan Karina. "Gimana bisa?" Padahal, gue sama sekali tidak sedang mengingat dia. Bahkan, segala tentang dia sebenarnya ingin gue hilangkan. Namun, harus gue akui jika itulah kesalahan gue; Mencoba melupakan Karina yang justru saat melakukannya gue harus terlebih dahulu mengingatnya; seharusnya jika gue ingin melupakannya, loncat saja dari atas ketinggian dan mendarat terlebih dahulu dengan kepala.

Sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Kenyataannya gue sudah bercerai dengan Nina dan harus rela menjadi duda muda. Sungguh-sungguh gelar yang tidak mengenakan. Tapi, bubur juga tetap akan enak jika ditambar suwiran daging ayam, potongan cakwe, sate usus, telur puyuh, kuah kuning, sambel dan jangan lupa kerupuk. Oh iya, satu lagi jangan lupa di aduk emoticon-Big Grin

Seperti yang gue katakan, bubur juga tetap enak; Tuhan tidak pernah ingkar janji jika kita berusaha sekeras-kerasnya dan berserah hasilnya pada Tuhan; melihat segala sesuatu dari sudut baiknya. Sebentar, gue tidak bilang kalau bercerai itu baik. Tetap saja perceraian itu hal halal yang dibenci Tuhan. Namun, kadang kala memang manusia menyerah dan mememilih jalan berpisah. Dan dalam kasus gue dan Nina, penikahan kami memang sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Pada akhirnya kami memutuskan bercerai (dengan tidak baik-baik, karena jika baik-baik kami tentu tidak akan bercerai). Namun seperti yang gue katakan Tuhan tidak pernah ingkar janji; hikmah dari percerain gue dan Nina adalah hubungan gue dan Nina yang menjadi semakin dekat. Bahkan lebih dekat dari pada saat kami menjadi menjalani hubungan sebagai pasutri.

Setelah bercerai dengan Nina, gue bisa lebih jujur pada Nina; apa yang selama ini gue rasakan, apa yang selama ini agak mengganggu pikiran gue, apa yang selama ini gue kerjakan yang selama ini tidak bisa gue katakan pada Nina selama gue masih menjadi suaminya. Entah kenapa bisa seperti itu sampai sekarang gue masih tidak mengerti bagaimana bisa gue dengan Nina justru bisa saling terbuka setelah kami bercerai. Mungkin, inilah yang sebenarnya gue inginkan dari awal dari Nina. Tapi apa pun itu gue merasa perceraian gue dan Nina membuat hubungan gue dengannya lebih baik dari sebelumnya. 

Setelah bercerai, gue hidup menyendiri di sebuah desa kecil di dalam lingkup Kabupaten Banyumas. Gue menutup diri dari segala hal, teman-teman, pekerjaan, bisnis, bahkan keluarga. Hanya orang-orang tertentu; yang gue percaya penuh yang gue berikan alamat serta izin untuk bertemu gue. Dari beberapa itu mereka adalah sahabat terdekat gue minus Malik. Ya, gue sama sekali tidak membiarkan Malik mengetahui keberadaan gue karena satu dan lain hal yang tidak bisa gue ceritakan; gue menghindari Malik.

Bisa dikatakan tahun pertama setelah gue bercerai dengan Nina adalah masa-masa suram dalam hidup gue. Gue sedikit depresi dengan diri gue sendiri, dalam satu hari gue bisa sama sekali tidak keluar kamar, yang gue lakukan hanya mencorat-coret tembok kamar dan menuliskan kalimat-kalimat pilu tentang apa yang gue resahkan dan tentang apa yang gue inginkan. Dan kalian harus tahu, kamar itu penuh satu kata yang jumlahnya hampir memenuhi 80% tembok kamar gue dan kata itu adalah KARINA.

Gue tidak mengerti mengapa kadang waktu gue mencemaskan Karina, kadang juga gue merindukannya, kadang juga gue membencinya dan kadang gue teramat menyesal sudah terkadang sempat membencinya. Bingung? Iya gue juga.

Pernah suatu waktu gue menceritakan apa yang sungguh-sungguh mengganggu di kepala gue pada Nina, namun saat itu kesalahtanggapam dari Nina. Nina menganggap perempuan yang gue ceritakan adalah Dita. Dan sebulan setelah gue menceritakan itu pada Nina dia mempertemukan gue dengan Dita di Jogja.

Dan pertemuan gue dengan Dita kala itu tidak begitu lama, kurang dari setengah jam gue sudah langsung pamit dan dalam pertemuan itu gue dan Dita sama sekali tidak membahas apa pun. Hanya saja di akhir pertemuan Dita menanyakan suatu hal yang tidak pernah gue jawab sampai sekarang.

"Bhy". Panggil Dita sebelum gue pergi meninggalkannya. "Perasaan kamu sama aku, masih ada?" Tanya Dita yang lalu membuat gue bergegas meninggalkannya.

Tunggu…tunggu…

Ini bukan maksud gue menggantung sebuah perasaan, pertanyaan atau seseorang. Hanya saja gue juga ragu untuk mengatakan jika Dita tidak lagi ada di hati gue. Biar bagaimana pun, Dita masih mengisi sudut kecil di hati gue. Tapi saat itu, entah bagaimana bisa semua tentang Karina sedang membutakan gue akan kenyataan itu. Namun patutnya gue bersyukur atas pertemuan itu karena dari pertemuan itu gue bisa banyak mengerti jika apa yang gue mau hanya Karina dan gue tersadar satu hal, jika apa yang selama ini tuju hanya untuk hidup bersama Karina. 

Setelah pertemuan dengan Dita gue memikirkan semuanya kembali. Mencoba memutar kembali apa yang telah gue jalani hingga seperti ini. Dan itu membuat gue menertawakan diri gue sendiri.

"Apa yang sebenarnya gue cari? Apa yang sebenarnya gue mau? Dan kemana sebenarnya tujuan gue?" Gue bertanya sendiri pada diri gue. Nyatanya, apa yang gue cari selama ini hanya perhatian dari Karina, gue bertingkah, bertindak dan berbuat semua hanya untuk mencari perhatian Karina selama ini. Nyatanya yang gue mau hanya menjalani waktu berdua dengan Karina gue tidak pernah benar-benar mau menjalani waktu bersama Nina atau Dita. Gue hanya menuruti nafsu gue saat bersama Dita dan hanya memanfaatkan Ayahnya yang seorang pengacara untuk mencari celah-celah hukum yang bisa gue manfaatkan untuk melindungi perusahaan yang didirikan Daddy dan Bokap gue dari orang-orang licik yang diam-diam ingin merebut itu semua. Kenyataanya disorientasi sex yang dialami Nina semasa remaja membuat fantasi gue atas Nina terlampau besar dan gue membohongi semua dengan menyebut fantasi itu sebagai cinta, nyatanya setelah mendapat apa yang gue mau dari Nina, gue jenuh. Dan kemyataannya gue ikut terlibat dalam mafia peredaran narkoba adalah untuk mengembalikan modal yang gue pinjam dari Ayahnya Renal untuk mengakuisisi semua perusahaan yang didirikan Daddy dan bokap gue dan kembali lagi tujuan awal gue mengakuisisi itu semua adalah Karina. Gue tidak benar-benar perduli dengan Malik yang menghidupi, melindungi anak cucu eks keluarga PKI dari hasil penjualan narkoba itu.

Gue menertawakan itu semua; kenyataan-kenyataan yang selama ini gue sembunyikan itu membuat gue sadar. Bahkan orang yang bertujuan mengumpulkan 7 bola dragon ball untuk menyelamatkan bumi dari orang jahat lebih baik dari pada gue. Gue hanya seonggok daging yang hina yang tidak mempunyai tujuan hidup selain hidup berdua bersama seorang perempuan yang gue cintai. Dan gue malu, gue malu pada semua orang baik yang sudah dengan tulus menolong dan mengorbankan dirinya hanya untuk gue yang mereka anggap baik. Kenyataannya gue hanya manusia egois yang hidup atas dasar kepentingan sendiri tanpa peduli orang lain menjadi korban.

Gue harus katakan kalau Nina, Dita, Malik, Ige, Dani dan bahkan Natalia adalah korban dari keegoisan diri gue yang hanya ingin hidup bersama Karina. Bukan hanya nama-nama yang sudah gue sebutkan. Nyatanya masih banyak lagi nama yang telah menjadi korban gue, yang tidak bisa gue sebutkan atau ceritakan di sini.

Di tengah itu semua, gue kembali menceritakan ke pada Nina apa yang gue rasakan. Di titik ini gue merasa Nina benar-benar perempuan yang luar biasa. Dia dengan sabarnya mendengar apa yang gue ceritakan, apa yang gue ungkapkan dan jujur di saat itu sedikit timbul perasaan sesal gue telah bercerai dengan wanita yang luar biasa hebat seperti Nina.

"Nina, maafin aku". Ucap gue tiba-tiba. Nina hanya tersenyum sambil menyeruput cangkir berisi teh hangat.

"Maafin untuk apa? Kamu engga nganggep aku masih cinta sama kamu, kan?" Sahut Nina.

"Memangnya engga?" 

"Cih, Pedenya kamu…" Ucap Nina lalu meletakan cangkirnya kembali ke meja. "Nata begini… mungkin iya aku cinta sama kamu, ah tidak. Benar, iya, aku cinta kamu. Tapi itu sudah. Aku pernah mencintai kamu. Yang berarti saat ini aku sudah tidak mencintai kamu. Saat ini kamu tidak lebih aku anggap sebagai Daddy-nya Natalia".

"…" Gue diam menatapi Nina.

"Jangan melihat aku begitu Nata. Aku sedang tidak berbohong atau membuat ini seolah-seolah tidak bisa diperbaiki. Kita bisa saja menjadi suami istri yang ideal di mata orang lain. Kita bisa terlihat amat bahagia atau kita bisa benar-benar bahagia. Dan nyatanya kita seperti itu sebelumnya. Sebelum aku sadar kita bahagia di atas kemunafikan dan kita tertawa di atas kebohongan".

"…"

"Setelah bercerai aku menyadari banyak hal. Pernikahan kita tidak pernah dilandasi cinta. Kamu hanya mempertanggungjawabkan apa yang telah kamu lakukan sama aku. Dan untukku…" Nina terlihat menghela nafas. "ternyata ini semua hanya untuk mencegah malu." Lanjut Nina sedikit tertawa.

"…"

"Aku dibutakan harapan." Ucap Nina lagi. "Dan aku melupakan kenyataan yang gamblang kalau sebelum kita menikah, kamu sedang bersama dia."

"Tapi tetap saja, sebagai seorang suami aku, gagal. Dan sebagai seorang suami, apa yang aku lakukan sama kamu, istriku, itu perbuatan yang jahat." Sahut gue.

"Memang…" Ucap Nina sedikit tegas. "Hal terjahat yang kamu lakukan adalah membuat seolah kamu mencintai aku".

"Itu bukan seolah, Nina". Sahut gue "Aku mau mencoba."

"Tapi hasilnya? 

"Nina, begini. Aku sama sekali engga ngerti gimana mekanisme hati. Gimana cara hati bisa mencintai seseorang, aku engga sama sekali tau gimana caranya. Mungkin aku bisa ajah milih suka sama siapa pun, atau bahkan, aku bisa milih hidup sama siapapun. Tapi untuk milih siapa yang mau aku cinta, Aku ga bisa. Dan aku engga mengerti kenapa. Aku udah coba buat cinta sepenuhnya sama kamu dan membenci Karina. Tapi aku engga ngerti kenapa semakin aku coba Karina justru semakin banyak di sini" Gue menunjuk ke dada gue. "Dan di sini". Gue juga menunjuk kepala gue.

"Nata menurut kamu cinta itu apa, sih?" Tanya Nina tiba-tiba.

"Aku ga tau, aku ga tau apa itu cinta. Banyak ilmuwan, banyak filsuf yang bicara soal cinta tapi ga pernah ada satu pun yang bisa bikin dunia sepakat sama mereka apa itu cinta. Dan kamu tanya itu, aku ga tau apa itu cinta. Aku ga ngerti."

"Nata, sekarang tutup mata kamu". Ucap Nina dan gue menurutinya. Gue menutup mata gue dengan hingga semua menjadi gelap.

"Nata, denger aku. Kamu ikutin apa yang aku ucapin, okeh!" Ucap Nina lagi.

"Okeh".

"Nata…" Ucap Nina.

"Iya Nina".

"Aku bilang ikutin, bukan disahutin." Protes Nina.

"Hehehe".

"Nata…" Ucap Nina.

"Nata…" Gue mengikutinya.

"Cinta itu…" Ucap Nina.

"Cinta itu…" Gue mengikuti lagi.



Aku tidak mengerti apa itu cinta
Namun, jika kamu bertanya padaku apa itu cinta
Hanya dirimu saja yang muncul sebagai jawabannya




"Kejar dia Nata, kejar dia orang yang muncul di saat gelap aku bertanya apa itu cinta". Ucap Nina setelah menyuruh gue kembali membuka mata.

"Ga mungkin, Nin".

"Ga mungkin kenapa?" 

"Susah pasti, di mata dia pasti aku udah dianggap orang paling jahat di bumi."

"Ya itu masalahmu. Masa harus aku juga? Kita engga lagi buat naskah sinetron dengan judul ku carikan istri untuk mantan suamiku, kan?" Sahut Nina lalu terkekeh geli sendiri.

"Nina." Panggil gue.

"Ya." Sahut Nina.

"Cinta itu apa sih?" Gue bertanya balik pada Nina.

"Emmmm… sebentar". Ucap Nina lalu menutup mata. "Natalia." Ucap Nina sambil terpejam kemudian membuka matanya.

"Jangan melulu merasa bersalah, atas keegoisan. Mungkin kamu merasa kamu manusia paling egois. Tapi kenyataanya keegoisan kamu itu hanya ada di dalam pikiran kamu, Nata. Alasan kenapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak hal untuk kamu adalah karena tindakan kamu yang jauh dari kata egois. Okeh mungkin dari semua yang kamu lakukan kamu punya tujuan pribadi. Tapi, apa selama ini kamu benar-benar menunjukan itu? Benar-benar menaruh tujuan pribadi kamu diurutan pertama? Mungkin kamu engga sadar, tapi yang kamu lakukan banyak menolong orang. Walau itu salah dan aku tetap engga setuju caranya. Dan dalam kasus kita. Kamu tidak jahat! Aku hanya manusia yang berpikir realistis soal cinta. Tidak seperti kamu yang sedikit kelainan jiwa dalam kasus ini…"

"Ehhhhh…" Sambar gue ingin protes.

"Tapi itulah kelebihan kamu, itulah keistimewaan kamu, kamu mempunyai cinta yang luar biasa. Yang jarang orang miliki. Cinta kamu pada dia itu murni, tidak bisa dijelaskan dan tidak bisa digambarkan. Engga bisa juga diumpamakan. Kejar dia Nata, pastikan dia juga punya cinta yang sama seperti kamu. Karena kalau engga, aku takut kamu berakhir di rumah sakit jiwa, hahaha".

"Konyol!!!!" 





November 2016

Gue harus mengakui, lebih mudah mencari uang dari cara haram dari pada halal. Setelah lama bercerai dengan Nina gue mengakhiri bisnis haram gue. Memulai lagi semua dari awal dengan cara yang benar atau setidaknya tidak curang. Gue melepas semua apa yang gue miliki seebelumnya. Perusahaan, bisnis-bisnis yang gue mulai dari uang haram, gue menjualnya semua dan uang dari hasil penjualan itu gue kembalikan lagi pada Malik. Terserah mau digunakan dia untuk apa, gue tidak ingin lagi peduli. Yang jelas, gue tidak mau lagi ada di dalam lingkaran gelap itu lagi.

Gue memulai usaha baru bersama Abdul di bidang supplier buah dan sayur. Di mana gue menyuplai kebutuhan buah dan sayur untuk beberapa restoran dan hotel yang ada di Jakarta. Abdul memastikan semua yang ada di Jakarta, sementara gue memastikan kalau kami tidak pernah kehabisan stok buah dan sayur. Karena dari itu gue harus rutin berkeliling dari satu perkebunan ke perkebunan lainnya yang masih ada di wilayah Jawa. Gue sengaja mengambilnya langsung dari petani agar setidaknya dari gue para petani bisa menjual buah dan sayurnya dengan harga yang bagus atau setidaknya layak. Karena itu juga gue hampir tidak punya waktu untuk mengejar apa yang gue inginkan, Karina.

Namun suatu waktu gue sengaja meluangkan waktu gue untuk ke Jakarta. Di hari di mana sedekade lalu untuk pertama kalinya gue mengatakan cinta pada Karina. Gue sengaja tidak memberi tahukan kedatangan gue lagi ke Jakarta pada siapapun. Hari itu, gue sama sekali tidak ingin melalui hari bersama siapa pun selain dengan Karina; bayangan dirinya yang terus ada di hati dan pikiran gue selama ini.

Gue menapak tilasi tempat-tempat yang mempunyai kenangan yang kuat antara gue dan Karina. Di mulai dari SMP tempat gue dan Karina dulu pernah satu sekolah, menaiki angkot dengan trayek yang dulu sering gue tumpangi berdua dengan Karina. Walau gue harus kecewa karena beberapa di antaranya trayek tersebut sudah tidak beroperasi dan di ganti dengan feeder transjakarta. Pada intinya secara jelas semua sudah berubah, namun perasaan yang timbul tiap kali mendatangi tempat-tempat yang penuh kenangan itu sama sekali tidak pernah berubah.

Pada akhirnya perjalanan gue berakhir di sebuah tempat yang dulunya adalah sebuah bangunan proyek yang terbengkalai yang kini sudah berganti menjadi sebuah mall besar yang bernama Kota Kasablanka. Lalu gue berjalan kaki ke arah kawasan Rasuna Epicentrum dan di saat memasuki kawasan itu perasaan gue sedikit bercampur aduk hingga akhirnya gue memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mengunjungi seseorang teman lama.

Dia seseorang yang gue kenal sebelum kepergian gue ke Chicago untuk hidup bersama Dita dulu. Dia orang yang mempunyai peran penting dalam menyadarkan gue kalau Negeri ini tidak bisa dipercaya. Dia adalah orang yang rela dipanggil dengan nama, Nata. Walau nama sebenarnya bukan Nata.

Gue menyambanginya ke tempat dia mencari uang. Di sebuah u-turn yang ada di kawasan yang belakangan heboh tawuran hingga mengganggu jalannya KRL jabodetabek. Di sana gue disambut baik olehnya, walau pun dia kini seorang "Pak Ogah" tapi saat gue datang dia sama sekali tidak membolehkan gue mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli makanan, minuman atau rokok. Dia benar-benar menjamu tamu selayaknya raja, itulah yang membuat gue bukan hanya kagum tapi seumur hidup gue selalu berterimakasih padanya. Walau gue agak sedikit sebal pada kekerasan pendiriannya yang hingga kini dia tidak pernah mau gue ajak mencari uang dengan cara yang lebih baik ketimbang menjadi Pak Ogah.

Gue dan dia mengobrol di depan sebuah minimarket yang kebetulan juga lahannya mencari uang dengan menjadi juru parkir di sini. Siang itu panas sekali, dan dia berinisiatif untuk membeli sebuah jus untuk menyegarkan obrolan kami saat itu.

"Lo sini ae Bang. Titip parkiran bentar gue beli jus dulu." Ucap dia.

"Elah, ga usah lah, beli apaan kek yang bisa beli di sini." Sahut gue menunjuk ke dalam minimarket.

"Ah bosen gue, Bang. Hahaha. Titip yak, jangan sampe ada yang lolos, hahaha." Sahutnya lalu pergi meninggalkan gue seorang diri.

Gue menunggunya seorang diri, dalam hati gue sedikit menggerutu karena harus meminta uang parkir pada kendaraan pengunjung minimarket ini. "Sialan, gue sering bikin meme soal tukang parkir Indomaret eh gue ngerasain dah jadi kang parkirnya." Gerutu gue dalam hati.

Sekitar lima menit, sebuah mobil sedan naik ke atas trotoar yang digunakan untuk parkir. Entah kenapa tiba-tiba jantung gue berdetak lebih cepat melihat mobil itu.

"Damned." Teriak gue dalam hati sambil menutup kepala gue dengan hoodie yang gue kenakan saat melihat seorang yang keluar dari mobil itu.
jenggalasunyi
khodzimzz
oktavp
oktavp dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup