fanya06Avatar border
TS
fanya06
Suara Tawa Kuntilanak Membawaku Mendaki Gunung dan Waktu


Meskipun perempuan, aku suka sekali mendaki gunung. Dan sudah menjadi salah satu hobiku karena aku suka melihat pemandangan dari puncak gunung. Sejak duduk di bangku SMA, mendaki adalah hobi yang tidak pernah aku lepas sampai kapan pun. Karena terkadang, aku bisa melepas sejenak lelahnya hati. Benar kata pepatah bahwa lelahnya fisik akan membantu banyak untuk menghapus lelahnya hati.

Saat itu, tepatnya sehari sebelum tanggal satu Januari 2010. Aku bersama kelima temanku yaitu Ani, Febi, Hendra, Yogi dan Deri, ingin mendaki gunung Ciremai, yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung yang termasuk menjadi salah satu favorit tujuan pendaki karena sunrise di puncak gunung Ciremai memang sangat indah. Mengalahkan sunrise di gunung-gunung yang lain. Siapa yang tidak ingin mendapatkan momen matahari terbit saat berada di puncak gunung? Bahkan banyak para pendaki yang menginap di post terakhir sebelum sampai di puncak guna mendapat momen sunrise tersebut.



Gunung Ciremai, via Linggarjati adalah jalur yang kami pilih untuk melakukan pendakian. Via Linggarjati bukan saja terkenal dengan medannya yang tajam dan terjal, tapi juga mempunyai banyak cerita mistis berbalut mitos yang kental. Seperti kopi pahit, cerita mistis ini cukup seram tapi menagih.

Aku ingat, dan ini adalah kisah terhoror kami selama mendaki. Saat itu di pos 6 Pamerangan tempatku mendirikan tenda dengan kelima temanku pada malam hari terdengar suara tawa yang kurasa itu adalah tawa dari kuntilanak. Aku bergidik ngeri bersama teman-temanku, tapi kami tak menghiraukan suara itu. Namun, memikirkan kejadian tersebut tak satu pun dari kami yang mampu tertidur pulas.

"Ivana, kamu tidur aja, biar aku yang jaga malam ini." Yogi yang memang lebih berani dari kami berenam menyuruhku untuk tidur saja bersama yang lainnya. Walau mata terpejam tetap saja aku tak mampu melupakan suara tawa itu, selalu terngiang di telingaku.

Rasa takut terbayar sudah setelah kami berhasil mencapai puncak dan menyaksikan matarari terbit secara langgsung, begitu indah seperti yang kuinginkan. Entah kenapa berada di puncak gunung seperti ini membuatku serasa melayang menikmati indahnya alam karya yang Maha Kuasa.

Saat aku berdiri dan membentangkan kedua tangan lebar menikmati suasana itu, Deri tanpa aku sadari telah memelukku dari arah belakang.

"Ivana aku suka sama kamu, mau kan jadi pacarku?" Bisiknya cepat di telingaku. Aku merasa risih dengan caranya menyatakan cintanya padaku, sejenak aku terkesiap dengan ulahnya itu, tangannya juga memeluk erat tubuhku.

"Deri!!! Jangan macem-macem kamu Der ... lepasin nggak!!" Aku membentaknya saat tangan Deri dengan sengaja meraba bagian dadaku.

Sepertinya bukan cinta yang dapat kulihat dari sorot matanya tapi napsu belaka.

Atau mungkin dia mau balas dendam padaku karena beberapa kali cintanya kutolak di depan umum.

"Selow dong Na, iya aku lepas nih ... tapi aku nggak nyerah cuma sampai di sini buat dapetin kamu!" Jawabnya dengan semu jengah.

Yogi dari jauh terlihat memperhatikan kami. Sedangkan Ani Febi dan Hendra sibuk menyiapkan menu untuk pengisi perut yang mulai keroncongan. Hanya tersisa 6 bungkus mie instan yang mereka masak dengan cara diseduh saja.

Sejak kejadian itu Deri terus memperhatikanku begitu juga dengan Yogi. Namun Yogi terlihat khawatir entah apa yang dia khawatirkan.

Keesokan harinya, kami turun dari puncak gunung saat malam hari. Kali ini kami melewati jalur Bapa Tere, di jalur ini suasana sangat mencekam di mulai dari senter yang kedap kedip tanpa sebab, sampai terdengar musik gamelan yang sangat aneh dan kuno suaranya. Kami saling memandang satu sama lain, tapi kuyakinkan pada teman-temanku untuk tetap tenang dan melanjutkan perjananan di jalur yang benar.

Masih di kawasan antara Bapa Tere menuju Seruni suasana saat itu sangat sunyi mencekam dan gelap gulita ditambah lagi dengan kami mencium bau yang menyengat dan beraroma yang aneh.

"Tolong ... tolong ...."

Aku pun memandang semua temanku memastikan tak ada yang tercecer atau tertinggal, sambil bertanya apakah mereka mendengar suara minta tolong itu atau tidak. Ternyata mereka semua mendengarnya, salah satu temanku berusaha keluar jalur dan mencoba mencari sumber suara. Tapi, Aku menghentikannya. Aku berusaha mengingatkan teman-teman bahwa mungkin saja itu penghuni gunung yang sedang mencoba menyesatkan.

Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan, hingga tiba-tiba aku melihat sesuatu berwarna putih jauh di depan di dekat pohon besar, awalnya kami takut, tapi karena penasaran akhirnya kami melihat lebih dekat dan ternyata itu adalah tanda. Tanda jalan yang sama sepererti saat kami mendaki gunung, dan ternyata sedari tadi kami hanya berputar-putar di tempat saja.

Kabut masih menyelimuti malam, hawa dingin pun terasa menusuk sampai ke tulang.

"Tolong ... Tolong ...!"

Suara itu pun terdengar kembali, kali ini datangnya dari arah tanda jalan di dekat pohon itu.

"Hendra ... lu dengar suara minta tolong nggak?" Ani dengan wajah ketakutan bertanya kepada Hendra yang sedang membetulkan senternya, yang sedari tadi hidup mati saja cahayanya.

"Suara apaan sih?" Febi yang juga mulai ketakutan bertanya menimpali.

"Tolong ...! Tolong ... !"

Suara itu terdengar kembali dengan nada yang menyeramkan menyeruapai suara nenek-nenek.

Aku seolah terhipnotis mendengar suara itu, kakiku secara spontan melangkah mendekati arah suara itu.

Kelima temanku berteriak memanggil namaku namun lidahku kelu tak dapat menjawab panggilan mereka.

Mereka pun seolah berat melangkahkan kakinya mengejarku dari belakang. Seperti ada yang mendorongku dari belakang, begitu juga dengan mereka seperti ada yang menahannya dari depan.

Hanya ada kami berenam sebenarnya, namun suasana malam itu bagaikan dipenuhi oleh ratusan orang.

Aku semakin mendekat ke arah pohon dengan mata kupejamkan. Sekuat tenaga berusaha menahan langkah kakiku ke arah pohon tua itu, dengan memanjatkan doa dalam hati.

Tiba-tiba langkahku terhenti. Kubuka mata dan melihat sekeliling. Tak ada apapun di sekitar tanda jalan dan pohon di sampingnya. Dari belakang suara temanku pun tak ada lagi. Kemana perginya mereka?

Tanpa terasa suasana mencekam membuatku meneteskan air mata. Berjalan menyusuri kegelapan malam, seraya berteriak memanggil-manggil nama kelima temanku.

"Cu ... datang kemari!" Suara tawa seperti kuntilanak dan juga suara nenek-nenek memanggilku. Kembali aku terhipnotis mengikuti suara tawa itu.

Aku terus berjalan sampai hari semakin terang. Dan matahari mulai terlihat. Akhirnya aku menemukan jalan menuju ke pemukiman warga.

Namun semuanya terlihat sangat berbeda, tak seperti awal saat aku datang kemari. Aku pun bertanya pada seorang pejalan kaki yang berpapasan kepadaku.

"Pak jalan ini kapan diaspal ya? Perasaan kemarin belum di aspal seperti ini?"

"Owh ini sudah dari lima tahun yang lalu Neng, dari tahun 2010, kenapa ya, Neng?"

"Nggak kenapa kok, Pak."

Aku kebingungan mendengar jawaban dari bapak itu. Aku pun mencari wartel atu tempat penyewaan telepon karena dari kejadian semalam ponselku terjatuh entah dimana.

Aku menelpon ke rumah. Dan yang mengangkat adalah Ibuku.

"Ivana, ini beneran kamu, Nak?"

Beliau pun menangis sejadi-jadinya. Aku semakin tak mengerti, Ibuku pun menyuruh untuk menunggu jemputan dari rumah. Benakku masih dipenuhi tanda tanya juga rasa khawatir terhadap teman-temanku. Ingin aku mencari bantuan tapi pada siapa? Aku masih bingung.

***

Di rumah. Semua anggota keluarga tampak sudah berkumpul menyambut kedatanganku. Di sana aku melihat Yogi temanku. Aku berlari ke arah Yogi.

"Gi ... teman yang lain mana? Ani, Febi, Hendra, Deri? Kemana mereka?"

Yogi tampak murung dan menitikkan air mata, "Mereka semua tewas, Na."

"Maksud kamu?"

"Kamu hilang, Ivana. Sudah dari lima tahun lalu."

Yogi, menceritakan semua kejadian yang dia lihat selama pendakian, Hendra, Ani, Deri, dan Febi. Mereka tewas terperosok jatuh ke dasar jurang saat berusaha menjari jalur lain dalam perjalanan turun dari gunung. Dan Yogi juga bilang bahwa mereka berempat telah berbuat zina di atas gunung.

Aku pun mengerti dengan yang diucapkan Yogi. Namun masih diluar nalarku, kenapa aku bisa dikatakan hilang selama 5 tahun, padahal terakhir yang kuingat adalah menutup mata saat langkah kakiku tak terkontrol dan juga membuka mata serta suara panggilan dan tawa dari nenek-nenek. Hanya itu.

Dan ternyata benar adanya keempat temanku itu sudah tewas. Aku pun selalu menyempatkan diri mengunjungi makam mereka.

Mendaki gunung memang menjadi jiwaku, tetapi untuk menjaganya bukan merusaknya dengan sampah atau perbuatan tercela. Dunia nyata dan dunia lain itu memang ada, dan kita hanya perlu menghormatinya, mematuhi aturan yang ada di setiap tempat berbeda. Ibarat kita adalah seorang tamu yang berkunjung ke rumah orang. Tamat.



Penulis : fanya06

Cerita ini murni hanya fiksi karangan TS belaka, bila ada kesamaan nama tempat dan nama tokoh semua karena kebetulan saja.
Diubah oleh fanya06 27-09-2019 05:19
zafinsyurga
DeYudi69
andrerain5
andrerain5 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.5K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
fanya06Avatar border
TS
fanya06
#1
Suara Tawa Kuntilanak Membawaku Mendaki Gunung dan Waktu


Meskipun perempuan, aku suka sekali mendaki gunung. Dan sudah menjadi salah satu hobiku karena aku suka melihat pemandangan dari puncak gunung. Sejak duduk di bangku SMA, mendaki adalah hobi yang tidak pernah aku lepas sampai kapan pun. Karena terkadang, aku bisa melepas sejenak lelahnya hati. Benar kata pepatah bahwa lelahnya fisik akan membantu banyak untuk menghapus lelahnya hati.

Saat itu, tepatnya sehari sebelum tanggal satu Januari 2010. Aku bersama kelima temanku yaitu Ani, Febi, Hendra, Yogi dan Deri, ingin mendaki gunung Ciremai, yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung yang termasuk menjadi salah satu favorit tujuan pendaki karena sunrise di puncak gunung Ciremai memang sangat indah. Mengalahkan sunrise di gunung-gunung yang lain. Siapa yang tidak ingin mendapatkan momen matahari terbit saat berada di puncak gunung? Bahkan banyak para pendaki yang menginap di post terakhir sebelum sampai di puncak guna mendapat momen sunrise tersebut.



Gunung Ciremai, via Linggarjati adalah jalur yang kami pilih untuk melakukan pendakian. Via Linggarjati bukan saja terkenal dengan medannya yang tajam dan terjal, tapi juga mempunyai banyak cerita mistis berbalut mitos yang kental. Seperti kopi pahit, cerita mistis ini cukup seram tapi menagih.

Aku ingat, dan ini adalah kisah terhoror kami selama mendaki. Saat itu di pos 6 Pamerangan tempatku mendirikan tenda dengan kelima temanku pada malam hari terdengar suara tawa yang kurasa itu adalah tawa dari kuntilanak. Aku bergidik ngeri bersama teman-temanku, tapi kami tak menghiraukan suara itu. Namun, memikirkan kejadian tersebut tak satu pun dari kami yang mampu tertidur pulas.

"Ivana, kamu tidur aja, biar aku yang jaga malam ini." Yogi yang memang lebih berani dari kami berenam menyuruhku untuk tidur saja bersama yang lainnya. Walau mata terpejam tetap saja aku tak mampu melupakan suara tawa itu, selalu terngiang di telingaku.

Rasa takut terbayar sudah setelah kami berhasil mencapai puncak dan menyaksikan matarari terbit secara langgsung, begitu indah seperti yang kuinginkan. Entah kenapa berada di puncak gunung seperti ini membuatku serasa melayang menikmati indahnya alam karya yang Maha Kuasa.

Saat aku berdiri dan membentangkan kedua tangan lebar menikmati suasana itu, Deri tanpa aku sadari telah memelukku dari arah belakang.

"Ivana aku suka sama kamu, mau kan jadi pacarku?" Bisiknya cepat di telingaku. Aku merasa risih dengan caranya menyatakan cintanya padaku, sejenak aku terkesiap dengan ulahnya itu, tangannya juga memeluk erat tubuhku.

"Deri!!! Jangan macem-macem kamu Der ... lepasin nggak!!" Aku membentaknya saat tangan Deri dengan sengaja meraba bagian dadaku.

Sepertinya bukan cinta yang dapat kulihat dari sorot matanya tapi napsu belaka.

Atau mungkin dia mau balas dendam padaku karena beberapa kali cintanya kutolak di depan umum.

"Selow dong Na, iya aku lepas nih ... tapi aku nggak nyerah cuma sampai di sini buat dapetin kamu!" Jawabnya dengan semu jengah.

Yogi dari jauh terlihat memperhatikan kami. Sedangkan Ani Febi dan Hendra sibuk menyiapkan menu untuk pengisi perut yang mulai keroncongan. Hanya tersisa 6 bungkus mie instan yang mereka masak dengan cara diseduh saja.

Sejak kejadian itu Deri terus memperhatikanku begitu juga dengan Yogi. Namun Yogi terlihat khawatir entah apa yang dia khawatirkan.

Keesokan harinya, kami turun dari puncak gunung saat malam hari. Kali ini kami melewati jalur Bapa Tere, di jalur ini suasana sangat mencekam di mulai dari senter yang kedap kedip tanpa sebab, sampai terdengar musik gamelan yang sangat aneh dan kuno suaranya. Kami saling memandang satu sama lain, tapi kuyakinkan pada teman-temanku untuk tetap tenang dan melanjutkan perjananan di jalur yang benar.

Masih di kawasan antara Bapa Tere menuju Seruni suasana saat itu sangat sunyi mencekam dan gelap gulita ditambah lagi dengan kami mencium bau yang menyengat dan beraroma yang aneh.

"Tolong ... tolong ...."

Aku pun memandang semua temanku memastikan tak ada yang tercecer atau tertinggal, sambil bertanya apakah mereka mendengar suara minta tolong itu atau tidak. Ternyata mereka semua mendengarnya, salah satu temanku berusaha keluar jalur dan mencoba mencari sumber suara. Tapi, Aku menghentikannya. Aku berusaha mengingatkan teman-teman bahwa mungkin saja itu penghuni gunung yang sedang mencoba menyesatkan.

Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan, hingga tiba-tiba aku melihat sesuatu berwarna putih jauh di depan di dekat pohon besar, awalnya kami takut, tapi karena penasaran akhirnya kami melihat lebih dekat dan ternyata itu adalah tanda. Tanda jalan yang sama sepererti saat kami mendaki gunung, dan ternyata sedari tadi kami hanya berputar-putar di tempat saja.

Kabut masih menyelimuti malam, hawa dingin pun terasa menusuk sampai ke tulang.

"Tolong ... Tolong ...!"

Suara itu pun terdengar kembali, kali ini datangnya dari arah tanda jalan di dekat pohon itu.

"Hendra ... lu dengar suara minta tolong nggak?" Ani dengan wajah ketakutan bertanya kepada Hendra yang sedang membetulkan senternya, yang sedari tadi hidup mati saja cahayanya.

"Suara apaan sih?" Febi yang juga mulai ketakutan bertanya menimpali.

"Tolong ...! Tolong ... !"

Suara itu terdengar kembali dengan nada yang menyeramkan menyeruapai suara nenek-nenek.

Aku seolah terhipnotis mendengar suara itu, kakiku secara spontan melangkah mendekati arah suara itu.

Kelima temanku berteriak memanggil namaku namun lidahku kelu tak dapat menjawab panggilan mereka.

Mereka pun seolah berat melangkahkan kakinya mengejarku dari belakang. Seperti ada yang mendorongku dari belakang, begitu juga dengan mereka seperti ada yang menahannya dari depan.

Hanya ada kami berenam sebenarnya, namun suasana malam itu bagaikan dipenuhi oleh ratusan orang.

Aku semakin mendekat ke arah pohon dengan mata kupejamkan. Sekuat tenaga berusaha menahan langkah kakiku ke arah pohon tua itu, dengan memanjatkan doa dalam hati.

Tiba-tiba langkahku terhenti. Kubuka mata dan melihat sekeliling. Tak ada apapun di sekitar tanda jalan dan pohon di sampingnya. Dari belakang suara temanku pun tak ada lagi. Kemana perginya mereka?

Tanpa terasa suasana mencekam membuatku meneteskan air mata. Berjalan menyusuri kegelapan malam, seraya berteriak memanggil-manggil nama kelima temanku.

"Cu ... datang kemari!" Suara tawa seperti kuntilanak dan juga suara nenek-nenek memanggilku. Kembali aku terhipnotis mengikuti suara tawa itu.

Aku terus berjalan sampai hari semakin terang. Dan matahari mulai terlihat. Akhirnya aku menemukan jalan menuju ke pemukiman warga.

Namun semuanya terlihat sangat berbeda, tak seperti awal saat aku datang kemari. Aku pun bertanya pada seorang pejalan kaki yang berpapasan kepadaku.

"Pak jalan ini kapan diaspal ya? Perasaan kemarin belum di aspal seperti ini?"

"Owh ini sudah dari lima tahun yang lalu Neng, dari tahun 2010, kenapa ya, Neng?"

"Nggak kenapa kok, Pak."

Aku kebingungan mendengar jawaban dari bapak itu. Aku pun mencari wartel atu tempat penyewaan telepon karena dari kejadian semalam ponselku terjatuh entah dimana.

Aku menelpon ke rumah. Dan yang mengangkat adalah Ibuku.

"Ivana, ini beneran kamu, Nak?"

Beliau pun menangis sejadi-jadinya. Aku semakin tak mengerti, Ibuku pun menyuruh untuk menunggu jemputan dari rumah. Benakku masih dipenuhi tanda tanya juga rasa khawatir terhadap teman-temanku. Ingin aku mencari bantuan tapi pada siapa? Aku masih bingung.

***

Di rumah. Semua anggota keluarga tampak sudah berkumpul menyambut kedatanganku. Di sana aku melihat Yogi temanku. Aku berlari ke arah Yogi.

"Gi ... teman yang lain mana? Ani, Febi, Hendra, Deri? Kemana mereka?"

Yogi tampak murung dan menitikkan air mata, "Mereka semua tewas, Na."

"Maksud kamu?"

"Kamu hilang, Ivana. Sudah dari lima tahun lalu."

Yogi, menceritakan semua kejadian yang dia lihat selama pendakian, Hendra, Ani, Deri, dan Febi. Mereka tewas terperosok jatuh ke dasar jurang saat berusaha menjari jalur lain dalam perjalanan turun dari gunung. Dan Yogi juga bilang bahwa mereka berempat telah berbuat zina di atas gunung.

Aku pun mengerti dengan yang diucapkan Yogi. Namun masih diluar nalarku, kenapa aku bisa dikatakan hilang selama 5 tahun, padahal terakhir yang kuingat adalah menutup mata saat langkah kakiku tak terkontrol dan juga membuka mata serta suara panggilan dan tawa dari nenek-nenek. Hanya itu.

Dan ternyata benar adanya keempat temanku itu sudah tewas. Aku pun selalu menyempatkan diri mengunjungi makam mereka.

Mendaki gunung memang menjadi jiwaku, tetapi untuk menjaganya bukan merusaknya dengan sampah atau perbuatan tercela. Dunia nyata dan dunia lain itu memang ada, dan kita hanya perlu menghormatinya, mematuhi aturan yang ada di setiap tempat berbeda. Ibarat kita adalah seorang tamu yang berkunjung ke rumah orang. Tamat.



Penulis : fanya06

Cerita ini murni hanya fiksi karangan TS belaka, bila ada kesamaan nama tempat dan nama tokoh semua karena kebetulan saja.
Diubah oleh fanya06 27-09-2019 05:19
0