LaditachudaAvatar border
TS
Laditachuda
Misteri Penghuni Gunung Puntang
Cerita Nyata di Gunung Puntang



Quote:





Hari itu mendadak kampus ribut oleh suara-suara protes para panitia penerimaan mahasiswa baru. Berdasar informasi yang kudengar, kami akan digembleng di perkemahan daerah Banjaran sana. Dan, itu berarti di Gunung Puntang.

"Mita enggak jadi ikutan, ah," celetuk gadis manis di sampingku sambil mengenyakkan pantat di anak tangga.

"Mana bisa kamu enggak jadi ikut, pan udah didata noh," protesku sambil menunjuk papan yang berisi lembar pengumuman data panitia.

"Takut, yah, Non? Jangan takut, pan ada babang," goda Sangidi yang sedari tadi berdiri dekat-dekat kami. Menurutnya ini kesempatan emas buat tebar pesona pada para mahasiswi yang jadi panitia.

"Kenapa mesti pada takut, sih? Ada apaan emang di gunung itu?" Tiba-tiba Tora pemuda pecicilan jurusan editing ikut nimbrung. "Gue tantangin dah kalo emang ada penghuninya."

"Woy, kualat lo entar!" seruku memperingatkan, yang ternyata hanya disambut tawa geli dari Tora. Si Sangidi juga malah cengar-cengir saja.

Sepanjang siang itu panitia rusuh meminta destinasi penggemblengan diganti. Tapi ternyata nihil tidak didengarkan. Rupanya panitia inti tidak punya tempat alternatif lain. Dan, aku melihat kedua orang sok berani itu kasak-kusuk terus sampai kerumunan panitia bubar. Entah apa yang tengah direncanakan Tora dan Sangidi, semoga saja mereka tidak macam-macam nanti di Gunung Puntang.

Semua panitia mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya ketika hari keberangkatan tiba, termasuk aku. Segala perkakas yang aku maksudkan sebagai tameng pun ikut disisipkan. Semalam suntuk aku memang sengaja menulis ayat-ayat suci di potongan kertas kecil-kecil.

"Aku bawa ini," ucap Mita sambil menunjukkan Al Quran kecil, kemudian membungkusnya dengan sapu tangan lebar.

Aku mengangguk setuju dengan alternatif yang diambilnya. "Pokoknya pas di sana jangan sompral," ucapku tegas yang disambut anggukan setuju Mita.

"Hei, guys kumpul bentar sini!" Tiba-tiba seruan Kak Jaka memecah kesibukan kami.

Para panitia bergegas kumpul di lapangan parkir kampus. Truk tentara tampak berjejer di jalan utama universitas.

"Sebelum berangkat saya ingatkan lagi dengan tata tertib yang telah ditulis di sini!" seru Jaka sambil mengangkat lembaran kertas pengumuman. "Dan yang paling penting jaga sikap kalian di sana. Ini memang dimaksudkan untuk menggembleng nyali para panitia sekaligus survey tempat untuk MABA nanti," ucapnya lagi.

Jaka dikenal sebagai anggota blue hickers,jadinya kami tidak perlu meragukan lagi pengalamannya di alam terbuka. Belum lagi desas-desus yang menyatakan kalau dia ini indigo.

Tak lama kemudian, rombongan panitia pun berangkat dengan dua truk tentara. Selama perjalanan si Tora tak hentinya memamerkan kalung hitam yang dipakainya. Aku yakin itu cuma kalung biasa dari loakan, bukan seperti sesumbarnya yang mengatakan itu kalung ajaib.

"Si Tora pamer terus dari tadi," ujar Mita sambil mengedikkan kepala ke arah pemuda itu.

"Awas saja kalo dia sampe macem-macem di gunung nanti," ucapku kesal.

Benar saja ketika truk kami tiba di lokasi perkemahan, Tora langsung bergegas turun melompati teman-teman yang lain dalam truk. Dan, ketika kakinya sampai ke tanah, dengan congkaknya dia berseru-seru.

"Hei, kenalin gue Tora! Dateng ke sini pengen kenalan sama kalian semua!" serunya sambil menepuk-nepuk dada. Kemudian berputar sambil merentangkan tangan. Menantang makhluk-makhluk yang tak terlihat.

"Mantap, bro!" dukung Sangidi yang menyusul Tora turun dari truk. Ia menepuk-nepuk bahu Tora bangga.

"Busyet, sombong lo, bakiak dekil!" seruku sambil melempar mereka dengan kerikil. Mita dan teman yang lain pun ikut kesal dengan tingkahnya.

Jaka akhirnya meminta kami semua mengikuti panitia inti ke tempat perkemahan. Sumpah, aku benar-benar menyesal ikut ke tempat ini. Apalagi ternyata tempat kami berkemah dekat puing-puing bangunan yang berlumut.




Ketika sampai di tempat perkemahan, si Tora lagi-lagi bertingkah. Ia mengelilingi puing-puing itu sambil berseru-seru


"Haloo para noni cantik! Ayo, kemari. Keluarlah!"

Jaka akhirnya hilang kesabaran dengan tingkah Tora. Terlebih dia diprotes terus dari tadi oleh panitia inti.

"Tora! Kamu jangan sompral di tempat ini. Hati-hati!" Dengan berang Jaka memperingatkan.

Tora hanya cengar-cengir saja. Ia memang terkenal sombong di kampus selama ini. Tingkahnya kurang ajar dan tidak pernah menunjukkan rasa hormat pada siapa pun. Tapi menurutku, seharusnya sikap itu tidak dibawa ke tempat ini. Apalagi puing-puing bangunan itu sebenarnya adalah bangunan Belanda yang hancur oleh pasukan Jepang. Katanya para Belanda itu dibantai oleh pasukan Jepang waktu itu. Dan, aku yakin pasti tempat ini berpenghuni.

"Kalung ini dahsyat," ucap Tora kegirangan pada Sangidi yang tengah mendirikan tenda. "Tak satu pun yang datang menggangguku."

Sangidi mengacungkan jempol pada temannya itu. "Pan udah dibilang, kalo si Mbah itu sakti."

Sementara itu anak-anak yang lain mulai gerah dengan tingkah Tora yang sombong. Bahkan Jaka sendiri tidak tenang. Ketika kemah-kemah sudah didirikan, kami diajak berkeliling oleh panitia inti hingga ke sebuah kolam berbentuk hati. Tora kembali berseru-seru menantang di tempat itu.

"Keluar dari kolam, dong noni cantik!" serunya sambil menarik kalung hitamnya, menantang.

Wita mengerang mendengar suara Tora. "Enggak takut didatengin penghuni gunung tuh anak ck ck," celetuknya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku terdiam. Tidak kukatakan pada Wita kalau air di kolam seperti memantulkan bayangan tumpukan manusia. Angin sore mulai mendingin dan sekelebat aku seperti melihat sosok-sosok dibalik pepohonan melihat ke arah kami. Aku merinding, lalu dengan segera melafadzkan doa-doa.

"Kak, bisa kita kembali ke tenda?" tanyaku segera pada Jaka yang juga terlihat tidak tenang.

Jaka mengangguk dan mulai berseru meminta para panitia berkumpul untuk kembali ke tenda. Ketika berada di lapangan perkemahan, ternyata suasana hati kami bukannya tambah baik. Entah itu pengaruh dari puing-puing bangunan, entah karena pengaruh suasana yang mulai gelap. Jaka dan panitia inti lainnya mulai menyalakan api unggun dan mempersiapkan acara untuk menggembleng kami di jurit malam nanti. Terlihat benar kalau Jaka pun tidak tenang.

Kemudian malam pun turun. Anak-anak panitia tidak ada satu pun yang mau tinggal di tenda. Mereka merasakan keseraman yang sama denganku. Apalagi kemudian aku kembali seperti melihat bayangan-bayangan di balik pepohonan.

"Aku ingin pulang," isak Wita sambil meremas tanganku.

Aku mengangguk, merasakan kegelisahan yang sama. Gelap membuat suasana semakin tertekan, kami seperti dikelilingi oleh ribuan sosok dan mata yang marah. Tiba-tiba kulihat Jaka berdiri mendadak.

"Kabut turun teman-teman," ucapnya gelisah. Perkataannya disambut bisikan gelisah kami yang semakin saling merapatkan diri di depan api unggun.

Aku melihat Jaka memandang sekeliling dengan tatapan gelisah. Bila hari itu siang, bisa kupastikan wajahnya pasti sepucat bulan.

"Kak, ada apa?" tanya seorang panitia yang juga memperhatikan Jaka dari tadi.

Jaka tersentak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Jurit malamnya kita batalkan teman-teman. Kabut turun. Sebaiknya kita kembali ke tempat parkir truk."

Sontak panitia inti yang lain protes. Sedangkan kami tentu saja gembira. Ternyata keputusan Jaka tidak bisa diganggu. Dia tidak bercerita alasannya lebih lanjut, hanya masalah kabut saja yang diungkapkan.

"Ikat pinggang kalian dengan tambang. Mulai dari yang paling depan." Perintahnya kemudian sambil memberikan contoh.

Aku dan Wita bergegas baris, tidak sudi rasanya kalau sampai kebagian paling belakang.

"Penakut hehe." Tora kembali berlagak. "Biar aku yang paling belakang," ucapnya sombong sambil mendorong Sangidi ke depannya.

Aku bersumpah melihat seringai gembira Sangidi karena tidak kebagian paling belakang. Lagian siapa pula yang mau?

"Kak, aku tadi melihat bayangan orang-orang di--." Aku langsung berhenti bicara ketika Jaka mengerutkan kening dan menempelkan telunjuk di bibirnya. Akhirnya, kubiarkan Jaka mengikat pinggangku dengan tambang dalam diam.


"Di sekitar api unggun tadi mereka banyak sekali. Turun dari bukit, mendatangi tempat kita," bisik Jaka kemudian sambil meninggalkan aku yang ketakutan.

Aku yakin Jaka memutuskan membatalkan acara karena firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Kami pun akhirnya berjalan perlahan di tengah kabut. Jaka memimpin di depan, sedangkan panitia inti lainnya berada di samping barisan tengah.

Quote:




Serasa seabad ketika kami akhirnya tiba di parkiran truk. Dengan perasaan lega tambang-tambang pun dilepaskan dari badan. Beberapa panitia cewek nangis sesenggukan. Termasuk aku juga dari tadi menahan tangis karena ketakutan.

"Mana Tora?" teriakan Jaka mengagetkan kami semua. Serentak kami menoleh ke ujung barisan. Hanya Sangidi yang tampak, dan dia pun sama kebingungan.

Tora dipastikan tidak ada, dan itu artinya kami harus kembali untuk mencari. Akhirnya, ketika kabut menghilang, Jaka dan anggota blue hickerslainnya terpaksa mencari Tora. Mereka dibantu oleh penduduk dan penjaga hutan. Kami diwanti-wanti untuk tidak berkata yang aneh-aneh ketika menunggu.

Aku mendengar cerita Jaka kemudian, bahwa para pencari telah berkeliling hingga subuh tiba. Tapi Tora tetap tidak ada. Mereka terus menelusuri jalur yang dilewati kami semalam, dan berulang kali melewati bukit yang ada batu besarnya di tepi lembah. Ketika hari mau beranjak sore lagi mereka mulai putus asa dan memutuskan kembali untuk minta bantuan tim SAR.

"Kita coba sekali lagi berkeliling ke bukit!" Jaka memutuskan untuk mencari sekali lagi setelah berkeliling berkali-kali.

Ketika mereka hampir tiba di bukit yang ada batu besarnya, dari kejauhan sudah terdengar suara merintih-rintih. Jaka dan rombongan mempercepat langkah, dan terkejut ketika menemukan Tora tengah menyembah-nyembah udara kosong.

Quote:


"Tora!!" teriak Jaka ketika secara ajaib Tora muncul di bukit yang telah berkali-kali mereka lewati.

Para relawan pencari langsung menarik Tora yang tengah berlutut. Mereka menuntunnya, menjauh dari batu besar kemudian berusaha menenangkannya. Tora terus menerus minta ampun sambil menangis.

Kami akhirnya pulang dengan perasaan gelisah. Banyak dari kami yang menelepon orang rumah minta dijemput di kampus. Ketika aku tiba di rumah pun masih tak sanggup rasanya menjawab pertanyaan orang rumah yang mencecar terus. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi, dan kenapa acaranya tiba-tiba dibatalkan. Aku hanya bisa diam dan mengulum rasa takut di hati.

Seminggu kemudian aku pun mendapat kabar setelah kejadian malam itu tentang Tora. Sangidi mengatakan kalau Tora sekarang diam terus, dia seperti orang linglung. Hanya saja sikapnya jadi berbeda, dia tidak besar mulut lagi. Pokoknya benar-benar beda. Berdasar cerita yang menyebar, disebut-sebut kalau Tora diculik penghuni Gunung Puntang lalu diberi pelajaran karena perkataan sompralnya.




Sumber: here, here


Diubah oleh Laditachuda 19-09-2019 11:31
infinitesoul
someshitness
nona212
nona212 dan 35 lainnya memberi reputasi
36
7.3K
106
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
indahmamiAvatar border
indahmami
#4
Quote:


G' usah di denger, yg penting ada.
emoticon-Angel
iissuwandi
bekticahyopurno
bekticahyopurno dan iissuwandi memberi reputasi
2
Tutup