InaSendryAvatar border
TS
InaSendry
Kumpulan Cerpen Ina Sendry
1. Selfi Terkutuk


ilustrasi

Kupecahkan celengan ayam warna merah yang bertahun-tahun bersembunyi di bawah dipan. Bunyi kemrincing di lantai terdengar merdu di telinga. Uang saku yang kusisihkan selama ini sepertinya sudah cukup untuk membeli ponsel pintar. Di kelas hanya aku seorang yang memakai hape jadul, cuma bisa dipakai untuk menelpon dan mengirim pesan singkat. Sebenarnya bisa juga dipakai berswafoto, tapi hasilnya buram.

Segera kuselipkan uang ke dalam saku celana samping. Saat ini juga ponsel pintar impian harus jadi milikku. Setelah pamit kepada ibu, aku bergegas ke tepi jalan raya untuk menunggu mobil angkutan umum. Tak berapa lama, mobil angkot itu segera meluncur ke pusat perbelanjaan elektronik di kotaku.

Dengan hati riang aku memasuki salah satu toko ponsel pintar. Seorang pelayan laki-laki menghampiriku.

"Ponselnya, Mbak. Silakan dilihat-lihat dulu. Ini brosurnya."

Tiga buah brosur ia angsurkan di atas etalase. Ia menjelaskan kelebihan fitur setiap merk yang tertulis. Suaranya hanya masuk ke telinga kanan lalu keluar lagi ke telinga kiriku. Aku tak begitu paham dan tak peduli. Aku hanya ingin ponsel yang bisa digunakan untuk berswafoto seperti milik teman-teman di sekolah.

Akhirnya kuputuskan membeli yang harganya tak jauh dari uang dalam sakuku. Pelayan itu segera mengemas ponselku ke dalam kardus, lalu memasukkannya lagi ke kantung plastik belanja. Usai melunasi harga yang ia sebut. Aku keluar dari pertokoan barang-barang canggih itu. Impianku terwujud sudah.

Tak sabar rasanya untuk segera berselfi ria, lalu mengunggahnya di semua akun media sosialku. Sudah terbayang berbagai pose dan lokasi-lokasi instragamable di sekitar kampungku yang cocok buat sekadar narsis.

Membayangkannya aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Jika saja seorang lelaki yang duduk di depanku tidak menahan geli sambil terus memandangku, mungkin aku masih terus berkhayal seperti orang sinting.

Hanya ada lima orang di bangku belakang mobil angkot ini. Selain lelaki yang baru saja menertawaiku, penumpang lain tampak cuek melemparkan pandangan ke jalan raya. Namun, seorang wanita berambut panjang yang duduk di bangku belakang sopir rasanya juga melihat ke arahku. Benar, ketika kami bertemu pandang, ia memang tengah ... memelototiku? Mendadak kudukku meremang.

Kualihkan pandangan ke kendaraan yang berjalan di belakang angkot. Sebuah mobil jenazah dengan lampu menyala menyalip pelan. Kulihat lagi wanita yang duduk di belakang sopir. Hei, ia menghilang. Padahal mobil yang kutumpangi belum pernah berhenti. Aneh.

Mobil angkot sebentar lagi sampai di depan rumah. Beberapa meter sebelum terlewat, kuminta sopir berhenti. Setelah mambayar ongkos, aku segera berlari ke dalam rumah.

Setelah di kamar segera kubuka kardus kemasan ponsel pintar itu. Kuusap lembut permukaan casingnya yang berwarna merah. Layar LCD menyala menampilkan beberapa aplikasi. Segera keketuk aplikasi kamera, ah, cantiknya wajahku. Lampu blizt menyala, kumiringkan kepala ke kanan, ke kiri. Kuambil juga gambar dari atas wajah. Puas sekali saat foto-fotoku tersimpan di galeri.

Keesokan harinya di sekolah.

"Widih ... hape baru, nih?"

"Wiez, keren euy! Cakep lagi warnanya."

Aku hanya tersenyum-senyum menanggapi komentar mereka. Puas dan bangga rasanya saat teman-teman di kelas berdecak kagum. Sekalian kupamerkan kecanggihan kameranya. Tanpa dikomando mereka langsung berpose di belakangku saat aku menekan tombol kamera dan berswafoto.

Beberapa foto kupilih untuk diunggah ke akun Facebook. Dengan fasilitas edit gambar kutambahkan beberapa emot lucu, lalu kutulis juga captionnya. Klik unggah.

Bel tanda masuk kelas berdering. Belum sempat kulihat hasil unggahan, Pak Samsul guru Matematika sudah berada di ambang pintu. Sabarlah ponsel kesayanganku. Nanti kita bermain-main lagi.

Akhirnya jam istirahat pun tiba. Kunyalakan layar LCD lalu membuka aplikasi Facebook dan meluncur ke postingan foto yang tadi kuunggah. Ternyata banjir komentar dan tanggapan. Namun, apa ini?

Horor bangeeet!

Siapa itu yang nyempil di belakang kalian?

Et dah! Serem amat tuh yang berdiri paling belakang


Semua komentar mengatakan hal yang sama. Penasaran kulihat unggahan foto tadi, ya Tuhan, apa ini?


ilustrasi

Sosok wanita di dalam mobil angkot beberapa waktu lalu selalu muncul di setiap swafotoku, baik di rumah maupun di foto yang tadi pagi kuambil bersama teman-teman. Ekspresi wanita itu masih sama, melotot. Belum pulih dari rasa kaget dan bingung atas apa yang terjadi, mendadak masuk pemberitahuan dari aplikasi Mesengger. Sebuah pesan dari akun yang tak dikenal.

Kamu masih ingat padaku?

Deg!

Ingatanku melayang pada kejadian tersebut. Lututku goyah, badanku langsung lemas. Benar ia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang tewas di tempat dua bulan lalu. Dan diam-diam kupungut ponselnya yang terlempar ke tepi jalan lalu kujual, lantas uangnya kumasukkan ke dalam celengan ayam.

Malang, 19 September 2019

Penulis: Ina Sendry
Diubah oleh InaSendry 27-03-2020 13:05
dalledalminto
istijabah
godong87
godong87 dan 36 lainnya memberi reputasi
35
6K
168
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
InaSendryAvatar border
TS
InaSendry
#2
2. Bulan dalam Jelaga


Dena merasakan basah pada sudut bibirnya. Diusapnya pelan area yang terasa perih itu dengan punggung tangan. Ada rasa asin menempel di bibir. Ia memejamkan mata, seraya menarik napas dalam-dalam. Seolah berusaha mengusir nyeri yang berdenyut, jauh di dalam hatinya.


Tamparan dan pukulan adalah makanan sehari-hari baginya. Mungkin di mata Jo, ia hanyalah samsak yang sudah sepatutnya diperlakukan demikian. Toh, sampai saat ini ia masih belum kehilangan nyawa. Itu sudah cukup.

Mata Dena menerawang, mungkin sedang membayangkan peristiwa dua tahun lalu. Saat ayah dan ibu meyakinkannya ..., bukan memohon lebih tepatnya, agar ia mau menikah dengan Jo, kekasih kakaknya sendiri.

"Apa Ayah tidak peduli dengan perasaanku? Aku tidak mencintainya. Bahkan aku sudah menganggap ia abangku sendiri, Ayah."

"Nak, Ayah paham, tapi apalah daya kami ini? Semua undangan telah tersebar. Betapa malunya keluarga Pak Hanan, jika harus menarik semua undangan itu."

"Sayang, Ibu yakin, Jo adalah orang baik. Kelak, ia pasti akan memperlakukanmu dengan penuh kasih sayang."

"Tapi, Bu ... Jo itu mencintai Kak Reta, bukan aku. Demikian juga aku, sama sekali tak ada rasa pada Jo. Malah jijik bila harus merebut kekasih kakakku sendiri. Lagi pula, kenapa kita tidak menunggu Kak Reta kembali. Aku yakin dia masih hidup."

"Yakin bagaimana? Kita sudah melihat sendiri jenazahnya di rumah sakit? Semua identitas dan barang-barang yang melekat pada jenazah adalah betul milik kakakmu."

"Tolonglah ayah dan ibu rundingkan lagi hal ini dengan Pak Hanan. Dena sungguh tak mau menikah dengan Jo."

"Dena, ibu sangat sangat paham, Nak. Namun, Pak Hanan dan Bu Ranti sangat ingin menjalin hubungan kekerabatan dengan kita. Mereka sudah sangat menyayangi kakakmu. Demikian juga mereka pun menyayangimu, dan sangat ingin kau menjadi putri menantu mereka."

Sungguh perdebatan yang melelahkan. Apalagi Pak Hanan dan Bu Ranti pun turut membujuk Dena agar mau menerima Jo. Dena pun menyerah.

Suara berat lelaki itu mantap menyahut akad ijab kabul yang diucapkan penghulu. Meski ada rasa gamang dalam hati Dena untuk menjalani pernikahan, tapi segera ditepis jauh-jauh pikiran buruk itu.

Jo adalah lelaki yang baik. Itu yang selalu disebut oleh Reta--kakak perempuan Dena satu-satunya--yang telah berpacaran selama lima tahun dengan lelaki yang kini jadi suaminya.

Tahun pertama pernikahan semua berjalan wajar. Jo memperlakukan Dena dengan penuh perhatian. Sekali pun tak pernah memaksakan hasratnya. Kesabaran dan ketulusan yang ditunjukkan Jo, lambat laun meluluhkan hati Dena. Hingga rasa sayang perlahan tumbuh di hatinya.

Awal tahun kedua, Jo mulai berubah. Rasa cemburu berlebihan kerap menjadi penyebab pertengkaran. Setiap saat ponsel Dena selalu diperiksa oleh Jo. Bila mendapati sedikit saja chat dengan teman lelaki, Jo pasti akan marah-marah. Tak peduli dengan penjelasan yang Dena berikan. Malah beberapa bulan terakhir ini, Jo tak segan bermain tangan padanya.

Namun, kekerasan demi kekerasan itu ditelannya sendiri. Dena sudah bosan mengadukan pada orangtua atau pun mertuanya. Karena ia selalu dianggap istri yang manja. Jo begitu pandai berakting saat di depan mereka. Bahkan bukti-bukti kekerasan yang pernah ia abadikan menggunakan ponsel selalu dihapus oleh Jo.

Jam berdentang sembilan kali membuyarkan lamunan Dena. Sambil berpegangan pada meja ruang tamu, ia mencoba bangkit. Tamparan Jo yang cukup keras tadi masih meninggalkan rasa pusing. Tertatih ia mengunci pintu. Lalu agak terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam kamar. Ia hempaskan tubuh kurusnya di pembaringan. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang teramat sangat. Lelah lahir juga batin. Tak lama matanya pun terpejam.

Baru sebentar terlelap, sebuah gedoran yang sangat keras memaksanya terbangun. Suara teriakan dan makian Jo di luar membuatnya bergegas membuka pintu. Begitu anak kunci diputar, Jo mendorong pintu dengan keras hingga Dena jatuh terjengkang.

"Dasar perempuan bodoh! Kenapa pakai kunci pintu segala, Jalang!"

Sebuah tendangan dari kaki bersepatu laras menghantam wajah Dena. Darah kembali mengucur, kali ini alis Dena robek. Namun, tak terdengar rintihan sedikit pun keluar dari bibirnya.

Dena mencoba duduk. Ditatapnya dengan nyalang wajah suaminya. Tatapan mata yang menyiratkan perlawanan, tak ingin diperlakukan seperti ini terus-menerus.

Jo memandang sinis ke arah Dena. Mulutnya menyeringai saat tangan kekar itu menjambak rambut Dena.

"Kau berani menatapku seperti ini, Jalang? Kau menantangku, hah!"

Cuiiih!

Dena merasa heran sendiri, saat menyadari ia telah meludahi wajah suaminya.

Jo mengusap ludah membasahi sebagian wajahnya. Rahangnya mengeras, lalu menatap Dena. Matanya yang melotot tampak kemerahan.

"Kurang ajar! Berani kau meludahiku, Bodoh! Apa kau cari mati, hah! Yah, sebaiknya memang kau kuberi pelajaran sampai mati seperti kakakmu itu!"

"Ap ... apa maksudmu? Kak ... kau membunuh Kak Reta?"

Mata Dena semakin berani menantang ke bola mata suaminya. Ia tampak kaget dan murka mendengar kata-kata Jo barusan.

"Ya. Aku yang membunuhnya. Wanita pramuria itu pantas mati. Kurekayasa kejadiannya agar ia seolah-olah mati terbakar di dalam mobil. Hahahaha. Hari itu ia ingin memutuskan pertunangan kami. Mungkin ia tergoda lelaki lain. Dasar pramuria laknat!"

"Dia mencintaimu, Jo. Kakakku sangat mencintaimu, Keparaaat!"

"Tapi dia berkhianat! Ia memutuskan sepihak pertunangan kami!"

Teriakan Jo di depan telinga Dena sesaat membuatnya merasa tuli. Air mata Dena semakin deras keluar.

"Kau ... kau juga kerap menyiksa kakakku, kan, Jo?" Lirih suara Dena teredam isak tangisnya.

"Hahahahahah. Ia pantas mendapatkannya, Sayang. Ia ramah dan genit pada setiap lelaki di kantornya."

"Biadap kau, Jo! Luka-luka yang kerap kulihat di tubuh kakakku itu karena ulahmu, iya kan!"

"Hahaha. Aku memang biadap, Sayang. Dan kini kau pun juga ikut jadi pramuria seperti kakakmu, kan? Tadi aku bertemu Dion, teman SMAmu dulu. Ia menanyakanmu. Kau ... pasti sudah selingkuh dengannya bukaaan!"

Jo mengangkat tangannya dan mengepal. Dena segera menendang lelaki itu. Ia lari ke belakang. Jo mengejarnya. Dena meraih benda apa saja untuk melempari Jo. Ia ketakutan melihat suaminya yang seolah menjelma menjadi iblis.

Perlawanan Dena tak ada artinya bagi Jo. Saat ia berhasil meraih tubuh istrinya, segera ia hempaskan ke arah rak piring. Suara gaduh dari piring dan gelas yang pecah, membuat Jo semakin bernafsu menghajar istrinya. Tak ada sedikit pun belas kasih.

Dena jatuh tengkurap di lantai. Matanya menatap sebilah kapak yang tergelatak di bawah rak. Ia merayap berusaha meraihnya. Tak dirasakannya kaki Jo yang menginjak-injak punggung dan kepalanya.

Kapak itu kini digenggamnya erat. Sekuat tenaga ia berbalik, telentang dan mengayunkan pada kaki Jo. Lelaki itu roboh, mulutnya meraung keras. Kesempatan tak disia-siakan Dena. Kapak di tangannya kembali mengayun ke arah kepala suaminya. Kapak itu menancap tepat di ubun-ubun Jo.

Dena dan Jo saling melotot. Darah segar segera merembes dari kapak yang menancap. Muka Jo tak lagi terlihat, tertutup cairan merah segar. Tak lama lelaki itu pun rebah.

Tamat

Malang, 7 Desember 2019

Penulis : Ina Sendry
Pict : Pinterest
Diubah oleh InaSendry 27-03-2020 13:09
riwidy
pudakbrama
bekticahyopurno
bekticahyopurno dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup