notararenameAvatar border
TS
notararename
Cinta Dua Generasi (Novel bukan Picisan)

Credit : pandaibesi666


Rasanya akan mengurangi keseruan cerita ini, jika kuberitahu cerita apa ini, maka lebih baik langsung saja ku ceritakan, dan silahkan membaca.

1. Prolog
Bima, biasa orang memanggilku. Ralat, setelah kutimbang, orang biasa lebih memilih untuk memanggilku si gondrong, itupun sangat jarang sekali mereka memanggilku. Hanya bunda, Koh Hendra pemilik toko kelontong tempatku bekerja, dan beberapa orang lainnya memanggil aku Bima. Ya, aku bukan orang yang mudah bergaul, dan juga kurasa tidak ada yang mau berteman denganku. Ini adalah hari ketujuh aku bersekolah di sekolah terbaik di Jakarta, atau mungkin tidak berlebihan jika kukatakan sekolah terbaik sekaligus termahal di Negri ini, Indonesia. Hanya anak dari pejabat-pejabat atau pengusaha kaya raya, yang mampu membiayai anaknya untuk sekolah disini, sekolah penghasil lulusan calon sukses, atau lebih dikenal dengan nama B.I.S. (Barata International School). Barata nama pemilik sekolah ini, seorang pengusaha kaya dan cerdas, setidaknya begitu yang kudengar dari bunda, Koh Hendra, dan siswa-siswa yang sedang bercengkrama satu sama lainnya di kantin. Sedangkan aku, duduk sendirian di pojok kanan kantin, tanpa ada satu orangpun yang sudi duduk denganku, barangkali karena tak ada yang tahu siapa itu Tabara pikirku, dan memang kenyataannya akupun tak tahu siapa itu Tabara,yang kutahu hanya itu adalah nama belakangku, dan bunda tidak pernah bercerita sedikitpun tentang ayahku. Lalu kembali aku memikirkan kejadian 7 hari yang lalu. Hari pertama aku bersekolah disini untuk melanjutkan pendidikanku setelat tamat dari smp."Halo, perkenalkan aku Bima Tabara." Ucapku ketika giliranku tiba, ya walikelas meminta kami untuk berdiri dan memperkenalkan nama masing-masing."Apa bidang pekerjaan ayahmu?" Tanya  siswa yang duduk di belakangku."Aku tak punya ayah" jawabku sedikit gemetar, entah sudah berapa kali aku menjawab pertanyaan ini, tetapi tetap saja aku bergetar ketika ditanya tentang ayah. Bunda tidak pernah bercerita apapun tentang ayah. Pernah sekali aku bertanya padanya, hanya kemarahan dan amukan yang kudapat darinya. Tak pernah sekalipun aku melihat seperti apa bentuk wajah ayahku.
"Lantas, bagaimana dengan ibumu?"Tanyanya lagi. "ibuku adalah seorang tukang cuci di rumah tetangga." kurang dari setedik setelah aku mengatakan itu, tiba-tiba saja seisi sekelas yang tenang berubah menjadi ricuh.
"bagaimana bisa dia bisa sekolah disini?" Dan masih banyak suara-suara lain yang sangking banyaknya, tidak dapat kutangkap semuanya.
"sudah-sudah, silahkan duduk, dan lanjutkan siswa sebelahnya"ujar sang guru, yang walaupun tidak membuat suasana kelas menjadi tenang seperti sebelumnya, tapi membantu mengurangi keributan didalam kelas yang terjadi karena aku.Terpikirla aku akan perkataan bunda.

"Apa benar tidak bisa bersekolah di tempat lain saja?" Tanya bunda, berbanding terbalik dengan ekspetasiku saat akan memberitahukan berita bahagia ini, bahwa aku mendapatkan  beasiswa di B.I.S., bukan beasiswa berupa potongan spp, tetapi benar-benar beasiswa penuh, dengan kata lain aku bisa belajar di sekolah terbaik di Negri ini, tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.
"Hanya sekolah ini bun yang bisa memberikanku beasiswa, lagipula kita tidak punya uang untuk membayar biaya sekolah sendiri, aku juga mungkin bisa melanjutkan studi  ke luar negri gratis dan memperbaiki keadaan kita bun."ucapku berseri-seri, bahkan Koh Hendra pun menyelamati aku ketika aku memberitahunya tentang berita ini. "Belajarla sungguh-sungguh, kelak ketika kamu sukses, jangan lupa dengan kokoh ya." pesannya.
"Bila memang itu maumu, yasudah..."

tteett....tteett....

Lonceng pertanda waktu istirahat habis membuyarkan kenanganku. Mungkin bunda tahu bahwa orang tak punya sepertiku mungkin akan kesulitan untuk bergaul di sekolah ini, sekolah para siswa yang katanya berpendidikan tinggi, dan kaya raya ini. Berdirila aku dan kutenteng roti yang tadi kubeli dan belum sempat kuhabiskan, dan berjalan menuju kelasku, X MIPA 3. Sesampainya di kelas aku langsung berjalan ke meja belakang pojok belakang kanan, entah kebetulan atau emang orang tanpa teman sepertiku diharuskan duduk di tempat yang tidak terlihat. Tetapi begitulah, berdasarkan denah tempat duduk yang sudah dibuat oleh walikelas, tempat dudukku adalah di paling belakang, sebelah kanan, sendirian.

1 minggu kemudian.....

Seperti biasa, walikelas masuk untuk memberikan briefing (sudah tradisi setiap pagi walikelas datang ke kelasnya masing-masing untuk memberikan informasi, ataupun wejangan-wejangan terhadap muridnya) walau lebih sering dilakukannya adalah memberikan nasihat nasihat picisan, seperti jagalah kebersihan sekolah, belajarlah sungguh-sungguh, dan masih banyak lagi.
"Hari ini, ada kedatangan siswi, direkomendasikan langsung oleh Herman Barata." Lantas bagaikan Dejavu dihari perkenalan aku 2 minggu yang lalu, terulang lagi kejadiannya. Suasa kelas menjadi ramai, dan akhirnya kudapatkan lah informasi. Singkatnya, sudah ada banyak isu-isu bahwa pacar dari Robert Barata, anak dari pemilik sekolah ini akan belajar disekolah ini. Kurasa hanya aku, yang tidak tahu siapa itu Robert Barata, sampai sekarang, baru aku tahu bahwa Heman Barata memiliki anak yang  memiliki prestasi luar biasa, dan sedang bersekolah juga disini, beda angkatan tapi. Ya, dia kelas 11. Tiba-tiba saja suasana kelas menjadi tenang, kuperhatikan wajah siswa-siswi di kelasku. Tak ada satupun yang berkedip, memandang ke depan, ke arah papan tulis. Bingung, akupun menoleh ke depan untuk melihat siapa gerangan yang bisa menenangkan kelas ini.

Memang bukan main cantiknya, hidungnya mancung, rambutnya panjang terurai lurus. Matanya tajam, siap menusuk siapapun yang menatap matanya yang bewarna cokelat itu. Badannya tidak kurus, juga tidak gembrot. Mukanya mulus, putih, seperti tidak pernah keluar rumah, dan pasti banyak uang dihabiskannya untuk perawatan pikirku. Benar-benar seperti Apsara (baca:bidadari) yang biasa hanya ada di novel roman picisan.
"Halo, perkenalkan namaku, Vienna."
Astaga, bahkan suaranya pun bisa menghiphotis siapapun yang mendegarnya, lembut dan halus. Berbanding terbalik dengan yang aku alami, tak ada satupun orang yang bertanya pekerjaan orangtuanya, nama belakangnya-pun tak ada yang berani tanya. Mungkin karena kecantikannya, murid menjadi tidak peduli dengan latar belakangnya, mungkin juga karena dia adalah pacar Robert, sehingga tak ada yang meragukan latar belakangnya.


buat yang mau baca via wattpad

Chapter I
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Chapter II
10.
11.
12.
Diubah oleh notararename 12-05-2023 06:20
anasabila
someshitness
dodo.leonard688
dodo.leonard688 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
13.5K
116
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
notararenameAvatar border
TS
notararename
#45
7. Setelah kejadian malam itu, bunda bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, maka akupun mencoba bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa juga.
"Hati-hati Bim" Pesan bunda, setelah aku pamit untuk pergi ke sekolah.
Akun pun lalu menggowes sepeda menuju ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku memakirkan sepedaku di parkiran motor yang sepi, karena kebanyakan murid berangkat ke sekolah diantar sopir, ataupun dengan menggunakan mobil sendiri. Seperti biasa para murid menyambut aku dengan pandang mata. Meski sudah hampir setahun aku berangkat ke sekolah menggunakan sepeda, sepertinya mereka masih saja menganggap orang yang berangkat ke sekolah dengan sepeda sebagai sesuatu yang aneh.

Baru beberapa langkah aku berjalan untuk menuju ke kelas, kudengar Vienna memanggil namaku, aku menoleh ke belakang, dan kulihat dia melambaikan tangannya kepadaku dari gerbang sekolah, dibelakangnya kulihat mobil yang sama yang menjemputnya semalam berlalu pergi.
"Ada apa?" tanyaku bingung.
"Emang harus ada apa-apa baru boleh menyapa seorang teman?"Jawabnya. Aku hanya menjawab dengan senyuman.
Saat ini, aku dan Vienna sedang berjalan bersebelahan menuju ke kelas. Jujur saja aku merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, karena aku merasakan banyak pandang mata dan bisikan-bisikan dari murid yang kutemui.
"Jangan hiraukan mereka Bim."Ucap Vienna, menyadari bahwa saat ini kami sedang menjadi pusat perhatian para murid.
"Tentu saja." Bohongku.



-----



Makin hari, makin dekat hubunganku dengan Vienna. tak terasa, Ujian Akhir Semester baru saja selesai, kulihat semua murid dalam kelasku tertawa gembira karena mereka akan terbebas dari belajar dan berlibur selama satu bulan. Kecuali aku, dan gadis yang sedang duduk di sebelahku, yang tidak tertawa gembira seperti murid yang lain.

Sejujurnya, aku merasa sedikit kecewa karena rasanya baru sebentar aku memulai pertemanan dengan Vienna, tapi sudah harus berpisah. Dan untuk vienna, aku menerka mungkin dia tidak tertawa karena sebentar lagi dia akan berpisah dengan kekasihnya. Walaupun, jujur, sedikit aku berharap dia kecewa karena akan berpisah denganku, tapi aku tahu itu merupakan hal yang tidak mungkin, siapa aku dibandingkan Robert Barata.
"Tidak terasa bulan depan kita sudah naik kelas sebelas" Ucapku.
"Iya, semoga saja kita bisa berada di kelas yang sama lagi."
"Iya, semoga. Kalau begitu aku pulang dulu Vie, sampai ketemu bulan depan."
"Tunggu, tadi pagi Robert bilang ingin berbicara denganmu Bim"
"Robert kekasihmu?"
"Iya."
"Dimana?"
"Katanya dia akan datang ke kelas setelah ujian, mungkin sebentar lagi dia akan datang Bim."
"Kenapa dia ingin bicara denganku?" tanyaku lagi. Belum sempat Vienna menjawab, suasana kelas yang tadi sedikit ricuh karena para murid yang sedang memamerkan rencana liburannya satu sama lain, berpamitan satu sama lain, atau membahas ujian yang baru saja selesai, menjadi diam. Aku dan Vienna pun ikut diam, dan menoleh untuk mencari tahu penyebab murid kelas menjadi sunyi. Ternyata, Robert diikuti oleh 5 orang temannya memasuki kelasku, dan menuju ke arah mejaku. Aku dan Vienna berdiri dari tempat duduk, untuk menyambut Robert.
"Robert." Ucapnya sambil menyodorkan tangannya.
"Bima." Ucapku lalu menjabat tangannya.
"Kata murid-murid, kau adalah pacar barunya Vienna, benar begitu?" Katanya, disusul dengan bisikan-bisikan dari murid kelasku.
"Robert!!" Geram Vienna.
"Tentu saja tidak, aku dan Vienna hanyalah teman, tidak lebih. Jangan percaya dengan gosip murahan yang dibuat oleh murid-murid sekolah." Jawabku. Robertpun tertawa.
"hahaha, aku hanya bercanda Bim, tidak mungkin aku percaya akan gosip-gosip murahan seperti itu. Aku percaya dengan Vienna." ucapnya lalu menggenggam tangan Vienna. Melanjutkan,
"Semenjak pertama kali aku kenal dengan Vienna, aku tidak pernah melihatnya berteman dengan siapapun, ini adalah pertama kalinya aku melihat Vienna berteman dengan seseorang" Perkataannya, membuatku terbelalak. Tidak pernah aku sangka, kalau Vienna ternyata kurang lebih sama sepertiku, tidak mudah bergaul dan barangkali tidak suka bergaul. Lantas, mengapa ia ingin berteman denganku?....
"Robert!!" Geram Vienna lagi. Robert melanjutkan, menghiraukan Vienna,
"Maka, aku ingin mengundangmu untuk datang ke acara perpisahan kecil-kecilan yang kubuat dalam rangka kepergianku ke Amerika sebentar lagi. Aku harap kau bisa datang Bim, besok pukul tujuh malam di rumahku. Aku ingin lebih mengenal teman dari kekasihku." Pintanya.
"Akan aku usahakan." Tolakku sopan, tentu saja aku tidak akan datang, selain aku tidak suka keramaian, aku juga sadar aku hanya akan jadi bahan omongan murid lain jika aku datang,
"Baiklah kalau begitu, aku akan mengirimkan sopir untuk menjemputmu, memastikan agar kau datang. Bisa kau ketikkan alamatmu?" Ucapnya, sambil menyodorkan ponselnya.
Ragu, aku melihat Vienna menganggu mengangguk kepadaku. Maka, aku ambil ponselnya dan aku ketikkan alamatku.
"Baiklah, aku akan menyuruh sopir untuk menjemputmu sekitar jam 6. Kalau begitu kami pulang dulu Bim." Pamitnya, lalu merangkul Vienna dan berjalan keluar kelas, disusul teman-temannya dan bisikan murid kelasku yang kaget akan undangan Robert kepadaku.


"Menurutku, yang dikatakan oleh murid-murid bukanlah gosip, tapi fakta yang tertunda." Ketus Meisha. Waktu yang seharusnya digunakan untuk mengajari Meisha berubah menjadi waktu bercerita. Setelah aku menceritakan sedikit peristiwa yang terjadi di sekolah, Meisha malah mendesakku untuk menceritakan se-lengkap mungkin bagaimana aku bisa menjadi dekat Vienna. Mulai dari kejadian saat Vienna diganggu preman jalanan, Vienna memintaku mengajarinya beberapa materi ujian, hingga akhirnya Robert mengundangku ke acara perpisahannya.
"Aku memang berharap begitu, hahaha" ucapku bercanda, atau mungkin memang berharap.
"Sudah pukul lima lebih. Sebaiknya kau pulang kalau begitu kalau tidak mungkin harapanmu tidak akan terwujud." Kata Meisha dengan nada marah yang begitu terasa, lalu dia berdiri dan berlari menujur kamarnya. Kususul, kuketok pintunya.
"Pulanglah!" Teriaknya.
"Aku hanya bercanda Mei, lagipula kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah, aku hanya sedang lelah Bim, pulanglah dan bersiap-siap." Ucapnya kini bukan teriakkan, suaranya lirih hampir seperti menangis.
"Baiklah kalau begitu, Beristirahatlah Mei, aku pulang dulu." Kutunggu sebentar menunggu jawaban, tetapi ia tidak menjawab. Tidak ingin mengganggu Mei, aku memilih untuk pulang dan bersiap-siap.


Kulihat diriku di depan kaca, kulihat seorang pria hampir dewasa, becelana jeans murah, dan kemeja yang sudah sedikit kekecilan. seorang pria berkulit putih, dengan hidung maju kedepan dan mungkin kalau boleh jujur, bisa dikatakan rupawan. Rambutnya panjang sebahu, terakhir kali dia memiliki rambut pendek adalah saat dia berumur enam tahun. Setelah itu, bunda selalu melarangnya memiliki rambut pendek entah untuk alasan apa.
Inilah perawakanku, Bima Tabara.


Pukul 6.30 tepat, Vienna mengirimkan pesan, mengabari kalau sopir yang menjemputku telah tiba, dan sedang menunggu ditempat yang sama saat menjemput Vienna dulu. Aku lalu berpamitan dengan bunda, memang awalnya bunda kaget sekaligus senang ketika aku mengatakan kalau aku akan pergi ke acara perpisahan seorang teman, karena biasanya aku tidak pernah pergi, atau lebih tepatnya tidak pernah diundang ke acara apapun. Bunda hanya berpesan untuk berhati-hati dan tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Lalu, aku berjalan keluar lorong ke jalan raya, kulihat mobil yang menjemputku ternyata mobil yang sama yang menjemput Vienna. Aku buka pintu depan, dan duduk. Kulihat ternyata sopirnya juga sopir yang sama, kini aku bisa melihat wajahnya dari dekat, aku tambah yakin kalau aku pernah melihat sopir ini. Entah kapan dan dimana, aku sangat merasa familiar dengan wajahnya dan rambut botaknya. Suaranya membuyarkan pikiranku.

"Duduk dibelakang saja, tuan." Ucapnya sopan, sambil tersenyum gugup.
"Tidak apa-apa aku lebih nyaman duduk di depan, panggil saja aku Bima. Pak...?"
"Ahmad." Jawabnya.
"Baiklah, Pak Ahmad."
Mobilpun berjalan, dan disepanjang perjalanan, aku menangkap beberapa kali Pak Ahmad diam-diam melirikku melalu kaca spion. Mungkin dia bingung siapa aku sampai-sampai harus dijemputnya. Tidak ingin ambil pusing, aku abaikan lirikannya dan memilih untuk melihat jalanan. Lima belas menit berlalu, jalan raya yang ramai, berubah menjadi jalanan yang sepi. Gedung - gedung tinggi, berubah menjadi pohon-pohon tinggi yang rimbun. Sedikit aku berprasangka, jangan-jangan ia hendak membunuhku karena aku dekat dengan Vienna. Segera aku tepis prasangka buruk itu, karena sekalipun ia mencoba membunuhku, aku yakin aku bisa mengalahkan Pak Ahmad, umurnya mungkin sekitar enam puluh. Beberapa menit berlalu, aku lihat dibalik pohon-pohon tinggi nan rimbun, sebuah rumah, ralat sebuah istana berwarna putih. Dari kejauhan orang sudah bisa melihat istana milik Herman Barata, aku sungguh takjub melihat tempat tinggalnya yang sangat besar.
Mobilpun memasuki gerbang besar yang terbuka untuk para tamu, lalu memutari air mancur di tengah lapangan yang melingkar. Mobil berhenti tepat di depan istana megah.
"Sudah sampai tuan." Aku mengerutkan dahiku.
"Sudah sampai Bima." Ucapnya gugup, menyadari kesalahannya.
"Baiklah, terimakasih Pak." Akupun turun dari mobil mewah ini, dan sekali lagi aku takjub akan kemegahan istana ini. Dari dekat semakin terlihat jelas betapa besarnya tempat ini. Banyak mobil mewah terpakir di halaman, entah itu mobil milik teman Robert yang hadir di acara ini, ataupun mobil milik Herman Barata sendiri. Beberapa orang becengkrama satu sama lain, yang pria menggunakan jas, yang wanita menggunakan dress, beberapa bergandengan tangan masuk ke dalam. Kurasakan beberapa mata menatapku, mungkin karena aku adalah satu-satunya yang tidak menggunakan pakaian mewah seperti mereka. Kucoba untuk mengabaikan perasaan tidak nyaman ini, dan melangkah masuk ke dalam.
Semakin takjub, aku melihat keindahan isi rumah ini. Memang aku tidak mengerti tentang keramik, tapi aku yakin bahkan keramik yang digunakan di tempat ini merupakan keramik dengan kualitas yang terbaik. Beberapa chandelier terpasang di langit-langit, menambah kesan mewah. Di tengah terdapat tangga bewarna emas. Tapi tidak ada yang menaiki maupun menuruni tangga tersebut, sepertinya itu adalah tempat tinggal keluarga Herman Barata.
Aku melihat, beberapa orang sedang mengambil makanan, ada yang memilih duduk dan bercengkrama satu sama lain, beberapa pelayan menawarkan minuman ataupun makanan kepada para tamu, bahkan pelayan disini pun menggunakan jas. Sedikit malu, Aku memilih untuk duduk di salah satu sofa kosong yang berada di ujung. Bahkan walaupun duduk di pojokpun, aku masih merasakan banyak mata menatapku, seakan aku tidak cocok berada di tempat seperti ini, bahkan pelayanpun seakan enggan untuk sekedar menyapa atau menawarkan minuman atau makanan. Beberapa menit berlalu, aku masih tidak melihat tanda-tanda kehadiran Robert maupun Vienna. Bosan, aku memilih untuk berdiri dan berjalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan tempat ini lebih jauh. Di kanan, terdapat pintu kaca menuju ke sebuah kolam berenang. Aku melihat beberapa orang sedang barbeque-an. Entah mengapa, aku merasa sangat familiar di rumah ini. Tanpa sadar tubuhku bergerak ke arah kiri, dimana terdapat koridor panjang. Aku berjalan, terus berjalan sendiri. Entah mengapa aku bergerak ke sini, padahal tidak ada seorangpun disini.
Di ujung koridor, terdapat dua pintu kayu. Tanpa sadar, aku membuka pintu di sebelah kanan. Ternyata, sebuah koridor lagi, tetapi di kiri kanan terdapat berbagai pintu, dengan sebuah angka di atas masing-masing pintu. Lagi-lagi seakan sudah biasa aku lakukan, aku berjalan ke sebuah pintu dengan angka 07 diatasnya, lagi-lagi aku merasa dejavu, pintu ini, angka ini seakan ini bukanlah pertama kalinya aku kesini. Baru saja ingin kubuka, terdengar suara yang tidak asing bagiku.
"Aku harap kau bisa melupakanku." Suara lembut itu, aku yakin itu adalah suara Vienna.
"Apa maksudmu? Apakah setelah sekian lama kau masih belum bisa memaafkanku?" Suara itu, aku yakin adalah suara Robert.
"Jangan bahas itu Rob! jika kau memang mencintaiku tidak seharusnya kau melakukannya saat itu. Dan sampai kapanpun aku tidak akan memaafkanmu! kau biadab Rob." teriak suara Vienna, hampir menangis.
"Aku melakukannya karena aku begitu mencintaimu Vie, dan saat itu kita memang berpacaran. Waktu itu kau bilang kau sudah memaafkanku. Mengapa tiba-tiba kau menjadi begini Vie? Jangan memintaku melupakanmu Vie, aku mohon. Aku sangat mencintaimu, aku berharap setelah tamat sma kau akan menyusulku ke Amerika, dan kita bisa menikah disana." Suara Robert kini melembut. Kata-kata menikah dan menyusul ke Amerika, membuat hatiku sedikit panas.
"Sebenarnya, aku tidak pernah mencintaimu, aku juga tidak pernah memaafkan kejadian saat itu. Pergilah ke Amerika, dan lupakan aku." Teriak Vienna.
"Jangan bilang kau tidak mencintaiku, aku tahu kau mencintaiku Vie!"
"Tidak Rob, aku tidak pernah mencintaimu, bahkan sebelum kejadian itu aku tidak mencintaimu, dan setelah kejadian itu, aku menjadi membencimu!"
"Tidak Vie, Tidak! kau hanya boleh mencintaiku" Bentak Robert. Terdengar suara barang jatuh dan suara tangisan wanita. Segera aku membuka pintu, tidak ingin sesuatu terjadi kepada Vienna.
ariid
penikmatindie
idner69
idner69 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup