evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
Kumpulan Cerita Pendek Oleh. Evy Wahyuni


Libur yang Dirindukan

Oleh. Evy Wahyuni

***

Ulangan Akhir Semester(UAS) anak-anak telah usai. Saatnya masuk skedul baru, libur panjang. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang juga.
Anak-anakku girang bukan kepalang, tak sabar ingin liburan, walau cuma di kampung nenek tercinta.

Seperti siang ini, saat Nisa pulang sekolah. Wajahnya sumringah banget, senyumnya lebar selebar daun pintu. Hehehe !

“Umi ... Nisa besok sudah libur. Ayo telepon Abi, beri tahu kalo Nisa sudah libur sekolah,” ujar Nisa dengan girangnya.

“Iya sabar, tunggu Abi telepon saja baru di beri tahu. Kalau sekarang tidak bisa, siapa tahu Abi lagi sibuk kerja,” sahutku sambil terus melipat pakaian yang telah kering habis dicuci kemaren.

“Janji ya, Umi? Jangan lupa!”

“Iyaa ....”


Nisa berlalu menuju kamarnya lalu sibuk bermain squishy. Beberapa menit berlalu teleponku berdering, rupanya suamiku.

“Halo, assalamu alaikum Abi. Apa kabar?”

“Wa alaikum salam ... alhamdulillah baik. Gimana kabar Umi dan anak-anak? Semua sehat?”

“Alhamdulillah kami semua sehat-sehat wal afiat, oh iya Nisa besok sudah libur. Tadi dia suruh Umi kasih tahu Abi, sudah tak sabar mau liburan di rumah Neneknya di kampung.”

“Ooh sudah libur ya? Kalo Aidil gimana? Apa sudah libur juga?”
“Alhamdulillah Aidil sudah libur juga Bi.”

“Oke, nanti Abi ijin sama Pak Bos. Siapa tau bisa di ijinkan pulang sebentar sore.”

“Siip. Semoga Abi diberi ijin pulang sebentar. Umi tunggu kabarnya ya Bi?”

“Iyaa ... assalamu alaikum Umi.”
“Wa alaikum salam ....”


Sambungan telepon pun berakhir. Mungkin suamiku langsung menemui atasannya, meminta ijin agar bisa pulang naik kapal sore supaya bisa sampai di kota kami esok pagi.

Suamiku dipindah-tugaskan keluar kota, di seberang lautan beda provinsi. Jika ingin pulang harus naik ferry semalaman di atas lautan lepas baru esok pagi baru sampai ke kota kami. Sejak dipindahkan kesana otomatis suamiku tinggal terpisah dengan aku dan anak-anak. Istilah ‘dua dapur' berlaku bagi kami karena beda tempat tinggal.

Jika ingin pulang harus menunggu akhir bulan atau tanggal merah karena hari-hari penting, untunglah komunikasi lancar setiap hari, baik lewat telepon, sms lewat WA, video call semua dilakukan agar keadaanku dan anak-anak tetap terpantau olehnya.

***

Sore yang temaram, sinar mentari perlahan berubah jingga. Nisa dan Aidil berkali-kali bahkan berganti-gantian mengecek gawai mereka, kira-kira ada telepon atau sms dari sang ayah. Tak luput aku yang sedang sibuk di dapur pun kena serangan pertanyaan, “Umi ... Abi sudah beri kabar belum?”

Setelah terakhir komunikasi tadi aku segera memberitahu Nisa dan Aidil kalau abi sudah menelepon dan sekarang tinggal menunggu telepon lagi sekadar memberi kepastian apakah ayahnya akan pulang hari ini atau tidak.

***

Keesokan harinya, anak-anak masih sarapan, tiba-tiba di ruang depan terdengar suara ketukan pintu. Aku segera ke sana membuka pintu. Rupanya abi telah tiba dengan selamat.

Kuraih tangannya dan menciumnya takzim, lalu membantu membawa tas pakaian yang abi bawa. Kami sama-sama masuk, sebelumnya pintu kembali kututup.

"Anak-anak, lihat siapa yang datang!" seruku.

Mendengar suaraku sontak Nisa dan Aidil menoleh, lalu serempak meninggalkan meja makan lalu memeluk ayah mereka.

"Abiii ... akhirnya Abi datang juga!" teriak Nisa girang.

Aku hanya tersenyum haru menyaksikan kebahagiaan keluargaku. Belum liburan saja hatiku sudah sesenang ini, bisa berkumpul kembali dengan suami dan melihat keluarga utuh dengan kehadiran sosok ayah bagi Nisa dan Aidil.

Tamat. ***
Diubah oleh evywahyuni 05-04-2019 10:01
dewakere
terbitcomyt
volcom77
volcom77 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
16.4K
446
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
#164
Kebahagiaan Adrian


***👦👦👦***

"Nak, habiskan makananmu," sahut wanita itu. 

Segera kulahap habis butiran-butiran nasi di pinggir piring kaleng yang menjadi salah satu perabotan 'rumah' kami.

"Sudah habis, Bu," ujarku.

Ibu mengambil piring itu, segera dibersihkan lalu menaruhnya ke rak piring di sudut ruangan yang tak pantas disebut rumah ini.
Angin semilir memasuki celah-celah dinding triplek yang mulai terkelupas di beberapa bagian. Ibu tampaknya sedang membereskan sesuatu. Aku tak peduli, yang penting perutku sudah kenyang. Tak perlu membuat ibu susah payah mencarikan makanan lagi.

"Ayo ... kita harus bergegas, nanti terlambat lagi seperti kemarin." Ibu menarik tanganku ke luar. Setelah menutup pintu gubuk dengan terburu-buru. Kami segera berlalu meninggalkan tempat persinggahan ini.

Setelah lama berjalan menyusuri trotoar, kadang sesekali menyeberang jalan. Akhirnya, sampailah kami di depan sebuah rumah yang terbilang megah.
Ibu menatap rumah itu lama, tetes air matanya perlahan luruh ke bumi. Pagar berjeruji besi itu dipegang erat-erat. 

"Bu, Ibu kenapa?" tanyaku. 

Ibu bergeming, tak mendengar pertanyaan yang ku sodorkan. Pandangannya masih tertuju ke rumah megah itu. Sekian lama kegiatan seperti ini berlangsung tanpa tahu apa alasannya. Hanya mengikuti langkah ibu ke mana pun ia membawaku.

Tiba-tiba pintu depan terbuka, keluarlah seorang pria bertubuh tinggi tegap. Usia paruh baya, tetapi masih tampak muda. Di belakangnya keluar pula seorang wanita cantik bertubuh langsing, kelihatan masih muda.

Tatapan ibu mengeras. Disekanya bulir air mata di pipi dengan ujung jemari, lalu menarik pintu pagar agar terbuka lebar. Ia melangkah masuk setelah lebih dulu menarik kembali tangan kecilku.

Lelaki itu menoleh, menatap ke arah kami, diikuti pula tatapan wanita muda itu yang kini memegang lengan lelakinya. Aku memegang erat tangan ibu. Berganti-gantian memandang wajah ibu dan perubahan mimik di wajah laki-laki itu.

“Kau siapa?” tanya wanita itu. Namun, ibu tak menggubris pertanyaannya. Tatapan tajam ibu lekat ke pria itu, seakan ingin menerkam tubuh pria itu sekejap pula. 

Mas Bram, apa kau tidak mengingatku? Atau pura-pura lupa?” Suara ibu menantang angin, tak ada rasa takut. 

Juwita? Kaukah itu Juwita? Ya Tuhaan ....”

Lelaki itu berseru kaget menutup mulutnya, entah apa yang ada di benaknya, aku pun tak tahu. Kulihat ia lalu menepis tangan wanita muda itu dan berlari memeluk ibu.

Quote:


Lelaki itu tergugu sambil memeluk ibu yang tampak tak membalas pelukannya. Kulihat pula wanita yang tadi mendampingi laki-laki ini ikut-ikutan tegang di sana, kedua buku jarinya mengepal erat.

Mas Bram! Apa-apaan ini?”Ia melangkah maju lalu menarik tangan laki-laki yang bernama Bram itu.

Sinta! Cukup! Ada rahasia apa yang kau sembunyikan dariku selama ini? Apa kau bersekongkol di belakangku? Ayo, jawab!”

Mas! Aku tak tahu apa-apa! Jangan sembarangan menuduh!” Perempuan bernama Sinta berlari masuk rumah. Seperti tak menerima perkataan Pak Bram.

Ibu masih mematung, tak mengeluarkan kata-kata. Hanya air mata yang terus mengalir membanjiri kedua pipi tirusnya. Aku masih di sisinya, tak melepas pegangan tangan ibuku.

Pak Bram lalu menatapku, ia menyelidikiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Juwita, siapa anak laki-laki ini?” Akhirnya ia bertanya kepada ibu.

Ibu menghapus jejak tangisnya, lalu menatapku dengan kasih. Kembali ia menatap Pak Bram, kemudian mengucapkan sebaris kata yang membuatku ikut kaget.

“Ini Adrian, anakmu, Mas.”

Bagai petir yang menggelegar di siang hari, Pak Bram tersentak kaget, aku pun. Kupandangi lelaki itu, apakah benar ia adalah ayahku?

Quote:


Katanya lagi, “Adrian ... kemari Nak, aku adalah ayahmu.” Kedua tangannya mengembang, senyumnya tulus. Aku menatap ibu, ia melepas pegangannya, menganggukkan kepala menyuruhku maju ke hadapan ‘ayahku'.

Baru dua langkah, Pak Bram sontak meraihku. Ia memelukku erat, menangis. Aku tiba-tiba merasa hangat, kubalas memeluknya dan entah mengapa ikut menangis pula dalam pelukannya.

Ayah ... aku merindukanmu, ayah,”ucapku sambil terus memeluknya.

Iya, Anakku. Ayah juga sangat merindukanmu. Jangan tinggalkan Ayah lagi ya, Nak?”Aku mengangguk, ayah lalu mencium pucuk kepalaku 

Ayah melerai pelukan kami, menatap ibu yang larut dalam kebahagiaan. Ayah kembali mengembangkan satu tangannya meminta ibu mendekat. Lalu kembali memeluk kami berdua.

Apa sudah cukup acara peluk-pelukannya?” Suara tepukan tangan mengusik, seorang wanita paruh baya tengah berdiri di teras rumah, memandangi kami dengan pongahnya.

Ayah melerai pelukannya. Berbalik badan melihat wanita tua itu. Sedangkan ibu, kembali memegang tanganku. Suasana kembali tegang. Wanita muda yang tadi berdiri di samping ayah kini telah berdiri juga di samping wanita tua itu.

Juwita, akhirnya kau kembali juga, jangan katakan anak laki-laki yang kau bawa itu adalah anak Bram!” 

Ibu maju selangkah, aku ikut maju, lalu kami berdiri di samping ayah. “Ya! Memang benar, Bu. Ini Adrian, cucu Ibu-anak Mas Bram.”

Wanita tua itu kaget, ekspresinya memucat. Aku masih terus memperhatikan, apakah ia adalah nenekku? Kenapa begitu pongah dan sombong?

Ayah lalu berkata, “Adrian adalah anakku, Bu. Ini cucu Ibu. Mulai saat ini Juwita dan Adrian akan tinggal di rumah ini. Mereka adalah bagian dari keluarga ini sekarang, mereka istri dan anakku.”

Tidak! Jangan masukkan perempuan itu ke rumah ini! Jangan karena ia membawa seorang anak lalu mengaku-ngaku bahwa ia adalah anakmu lalu seenaknya kau mau memasukkannya di rumah ini. Tidak! Aku tidak setuju!” pekik wanita tua itu. Seakan menolak kehadiran ibu dan aku, cucunya!

Baiklah, kalau Ibu menolak Juwita dan Adrian, maka jangan salahkan aku kalau aku pergi bersama mereka!” ancam ayah.

Mas Bram! Apa karena perempuan itu, kau lantas mengabaikanku?” seru wanita muda di samping nenek.

Quote:


“Maaf Sinta, bila selama ini tak menanggapi perasaanmu. Tinggallah bersama Ibu, aku harus pergi sekarang.”[/I] Ayah lalu menarik tanganku dan menggandeng ibu, melangkah meninggalkan rumah itu.

Tunggu, Bram! Jangan pergi!”teriak nenek.

Ayah menghentikan langkahnya, kembali berbalik melihat nenek. Wanita tua itu berjalan ke arah kami. Aku ketakutan dan bersembunyi di belakang ibu.

Quote:


Maafkan Ibu, Bram. Maafkan Ibu juga Juwita, selama ini Ibu Khilaf. Hanya mengatas-namakan ego belaka.” Nenek meraih tangan ibu, lalu memeluknya erat. Ibu pun membalas pelukan nenek.

Kemudian sejenak perhatian nenek teralihkan. Ia menatapku lurus, kedua tangannya menangkup pipiku, memeriksa dan mengamati tiap inci di sana. Ketika ia merasa yakin kalau aku ini benar-benar adalah cucunya, nenek lalu memelukku. Menumpahkan tangis penyesalan, ia terus menciumi seluruh wajahku. Membuatku gerah karena perlakuannya.

Ne—nek, nenek tak malu punya cucu seperti aku?” tanyaku dengan berani.

Malu? Tidak, Nak. Kau memang anak Bram, wajah kalian mirip. Kau adalah cucu Nenek, maafkan Nenek karena selama ini mentelantarkan kalian.”

Nenek kembali memelukku. Hilang sudah gengsi yang tadi dia pamerkan, kini ia ibarat wanita tua pada umumnya yang rela memegang sebutir pasir demi melihat kebahagiaan yang hampir lepas dari genggaman.

Ayah lalu menarik tubuh nenek, membawa kami masuk ke rumah dan tak menghiraukan Tante Sinta yang masih berdiri di teras.

Ayah membawa ibu dan aku duduk di ruang tengah, nenek pun duduk di sebelahku. Tangannya merangkul dan membelai rambutku. Ayah duduk di dekat ibu, meraih tangan dan sesekali menciumnya. Membuat ibu jadi risih.

Quote:


Ibu mengangguk saja mendengar perkataan ayah, tak ada lagi tatapan tajam dan kata-kata yang pedas. Seperti masih tertidur dan bermimpi punya ayah dan nenek. Selama ini hanya ada ibu yang menemani. Sikap nenek pun berubah drastis, dari bersikap angkuh dan garang kini melunak dan menampilkan karakter yang sebenarnya.

🐇🐇🐇🐇🐇

Tante Sinta masuk dan duduk di sebelah nenek. Ayah lalu menatapnya tak suka. “Sebaiknya kau pulang saja ke rumahmu, tak baik bila terlalu lama tinggal di sini. Lagi pula istriku sudah kembali di sisiku, kurasa kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, Sinta.”

Tegas kata-kata ayah membuat wajah Tante Sinta memerah malu. Tanpa banyak kata ia lalu berdiri dan pergi ke kamarnya. Mungkin mengemas pakaiannya atas perintah ayahku.

Mas Bram, apakah ini sudah benar? Apa nanti Sinta tidak tersinggung karena kau menyuruhnya pergi?”tanya ibu.

Ayah mengangguk, memandang wajah ibu penuh cinta. “Sudahlah, tak usah kau pikirkan itu, Juwita. Seharusnya sudah sejak lama aku menyuruhnya pergi dari rumah ini, kehadirannya hanya membuat pikiran Ibu terkontamimasi hal-hal yang negatif.”

Ayah lalu menatapku, lalu menatap nenek. “ Bu, bisa minta tolong bawa Adrian ke kamarnya? Aku dan Juwita mau keluar sebentar membeli pakaian buat dirinya dan Adrian. Kami titip Adrian dulu, Bu.
Ayah lalu berdiri, menggamit tangan ibu. Ibu langsung menghampiriku. “Tunggu Ibu pulang ya? Jangan ke mana-mana.”Kubalas anggukan. Nenek segera membawaku ke sebuah kamar.

💙💙💙

Ibu lalu mengikuti langkah ayah ke luar, alangkah bahagia wajah wanita yang telah melahirkanku itu. Bertemu ayah dan diterima oleh nenek. Sungguh, aku tak mau menyelidiki apa sebab ibu sampai keluar dari rumah ini dulu. 

Setidaknya hidupku tak lagi berakhir di sebuah gubuk tua di pinggir kali. Aku sekarang berada di tempat yang semestinya, berkumpul dengan keluarga, merasakan bahagia seperti yang orang lain rasakan.

Tamat.
Anakin
begundal
begundal dan Anakin memberi reputasi
3