ladeedah
TS
ladeedah
[TAMAT] The End of Horizon

courtesy of picture: nasa.gov



I’ve learned that waiting is the most difficult bit, and I want to get used to the feeling,
knowing that you’re with me, even when you’re not by my side

--Paulo Coelho in Eleven Minutes--


A Love Story

by

Nayla Dee
Diubah oleh ladeedah 09-11-2017 12:03
MyWildSide9imamarbaiugalugalih
ugalugalih dan 9 lainnya memberi reputasi
10
182.8K
870
Thread Digembok
Tampilkan semua post
ladeedah
TS
ladeedah
#417
BESAME MUCHO



Besame Mucho -- Consuelo Velázquez



Speak softly, love so no one hears us but the sky
The vows of love we make will live until we die
My life is yours and all because

You came into my world with love so softly love....

Too soft...and the softness almost kills both of us...


Hari-hari menjajaki minggu demi minggu, mengantarkan bulan dari satu purnama ke purnama lainnya.

“Ajeeeng! Gue sidang bulang depan!!” Brian merentangkan tangannya saat melihat gue keluar dari gerbang kampus.
“Oyaa??” gue menyambut pelukan Brian.
“Iya, udah ditentuin juga pengujinya!”
“Wow! Lo mau wisuda bulan apa kalo gitu?”

“Juli” lirih Brian.

Juli hanya tinggal dua bulanan lagi dan Brian juga akan berangkat ke Jerman di akhir September.

“Gue pasti dateng ke sidang akhir lo” bisik gue sambil mencium pipinya lembut. Brian merangkul pinggang gue dan kami berjalan ke mobilnya yang terparkir di seberang jalan.
“Langsung makan aja gimana, Sayang? Laper!” rajuk Brian saat kami sudah duduk di dalam mobilnya. Gue melihat jam, masih jam setengah tujuh malam.
“Sekalian nonton yuk!”
“Kalo mau nonton, di rumah gue aja gimana?” tawar Brian.
“Nonton apaan di rumah lo Bri?” canda gue genit.
“Ajeng, kalo lo mau praktek gue mau kok, ngapain pake nonton dulu” balas Brian dengan lebih—menggoda.

Kami makan pisang bakar di Madtari dan langsung menuju ke rumah Brian di kawasan—OK gue tidak pernah ke rumah Brian sebelumnya dan hanya tau rumahnya di kawasan Sarijadi.

“Mama lo ga di rumah?” tanya gue sebelum turun dari mobil sambil mengamati rumah megah berlantai dua di hadapan gue.
“Mama lagi di Jakarta, cuma ada Mang Danang yang jaga rumah”

Brian menggandeng tangan gue memasuki rumahnya. Ada foto keluarga berukuran besar di ruang tamu, Papa, Mama, Brian dan Adis. Interior rumah bergaya kontemporer modern dengan barang-barang minimalis namun tak menghilangkan kesan mewahnya, juga sebuah grand piano berwarna coklat tua mengisi ruang tengah.

“Lo bisa main piano Jeng?”
Gue menggeleng.
“Sini deh!” Brian menarik gue ke piano lalu dengan cekatan Brian membuka penutup piano dan mulai menekan beberapa tuts.

“Lo bisa bahasa Spanyol, Jeng?”

Gue menggeleng lagi. Brian tersenyum dan mulai memainkan sebuah melodi yang belum pernah gue dengar sebelumnya. Gue mendengarkan Brian sampai selesai bermain sambil mengamati jemarinya yang kurus dan panjang berpindah dari kunci ke kunci dengan lincah. Sesekali gue mengamati wajahnya yang tampak serius mengikuti gerak jemarinya.

“Itu tadi Besame Mucho judulnya” lirih Brian setelah selesai memainkan melodinya.

“Apa artinya?”

“Kiss me more” bisik Brian.

“Kasih tau dulu artinya nanti gue kasih lo kiss” balas gue.

Brian terkekeh. “Itu artinya, Sayang”

“Oh, besame mucho artinya kiss me more?”

“Oh yes! I will!”

Dalam sedetik Brian sudah meraih gue ke pelukannya dan mencium bibir gue.

“Katanya mau nonton” bisik gue di sela ciuman Brian yang—hot and lust, but somehow, its very romantic.

Brian tersenyum dan menarik gue ke ruang lainnya. Sebuah home theater dengan sebuah layar putih di hadapan beberapa reclining sofa terpampang di hadapan gue.

“Lo pilih kasetnya” Brian membuka lemari kaca berisi penuh kaset.
“Lo suka film apa Bri?” gue bingung memilih kaset sendiri.
“Apa aja” Brian memeluk gue dari belakang.
“Ini udah pernah lo tonton semua?”
“Yang deret ini belum pernah” Brian menunjukkan dua deret kaset.
“OK merem aja milihnya”

Gue memejamkan mata dan menjalankan jemari gue menelusuri satu persatu kaset. Brian menghentikan telunjuk gue dengan tangannya.

“Yang ini aja!” bisiknya. Gue membuka mata.

P.S. I Love You

“Adis yang suka nonton film romantis Bri?” tanya gue sambil memperhatikan Brian yang menyalakan proyektor ke layar putih.
“Gue juga suka Jeng, tapi yang sering beli kaset si Adis”

Film mulai terputar. Kami duduk di satu kursi karena sofanya memang berukuran besar. Kami nonton tanpa bersuara. Tangan Brian memainkan rambut gue dan menciumnya sesekali. Adegan Holly dan Gerry, pasangan yang...OK gue ga akan membocorkan isi film itu, mungkin ada diantara kalian yang pengen nonton.

Sebenarnya gue sudah pernah menonton film itu sebelumnya, bahkan membaca novelnya dengan judul yang sama oleh Cecilia Ahern, seorang penulis Irish dan latar belakang ceritanya juga di Irlandia.

“Jeng?”
“Hmm?”
“Lo pernah had sex?” tanya Brian saat ada adegan Holly dan Gerry sedang bermesraan di tempat tidur.
“Belum”
“Petting?” tanya Brian lagi.
“Belum juga”

“Lo pernah punya pacar ga sih sebelum ini, Jeng?” Brian menatap wajah gue.
“Pernah, sekali di SMA”
“Selama kuliah lo belom pernah pacaran?”

Gue menggeleng.

“Sama pacar lo di SMA, lo ga pernah petting?”
“Enggak, Bri. Kissing doang”
“Kenapa?” selidik Brian tampak heran.

“Gue—gue, gue aja yang ga mau. Lagian kebetulan banget pacar gue dulu anak yang ga suka gituan juga, dia suka belajar dan baca, kami ya gitu deh, belajar dan baca doang isinya” gue jelaskan dengan malu dan segera mengalihkan pandangan dari layar ke Brian. Dia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Lo sama mantan-mantan lo sering?” tanya gue.
Brian menggeleng.
“Dulu sempet pernah, tapi habis itu ga pernah lagi”
“Kenapa engga lagi Bri?”
“Gue takut Jeng, takut kalo ketagihan sebelum merit. Dan Papa juga ngelarang gue buat gitu-gitu”

Gue manggut-manggut dan kembali melihat layar.

“Kalo kita udah merit lo mau kan, Jeng?” Brian mempererat pelukannya.
“Kalo gue tetep ga mau lo sentuh setelah merit?” tanya gue.
“Lo suka play hard?” Brian memicingkan matanya. Gue hanya meringis dan menepuk keningnya.

“Gue tipe cuddle person, Jeng. Suka cuddling doang, pelukan sambil nonton atau ngobrol. Ga ngapa-ngapain selain ngerasain orang yang gue sayang ada di pelukan gue”

“Hmm gue inget di novel yang judulnya Looking For Alaska karyanya John Green, ada quotes ‘I wanted so badly to lie down next to her on the couch, to wrap my arms around her and sleep. Not fuck, like in those movies. Not even have sex. Just sleep together in the most innocent sense of the phrase’, lo gitu juga kah?”

“Iya, gue orang yang kayak gitu” Brian membenamkan kepalanya di rambut gue dan menghirupnya dalam-dalam.
“Gue suka bau rambut lo” bisiknya. Kami melanjutkan nonton film lagi.

========================


Gue sudah duduk di dalam ruangan sidang akhir Brian. Di hadapan gue ada fotokopi manuskrip Tugas Akhir yang baru saja diserahkan Brian ke gue dan masih belum sempat gue buka. Banyak orang yang menghadiri sidang Brian, terutama teman-teman satu jurusan dan teman-teman yang juga berbeda jurusan jika dilihat dari jaket himpunan yang berbeda dengan milik Brian.

Brian sudah berdiri di depan, mengatur laptop dan proyektor. Mengenakan setelan kemeja berwarna biru muda yang tergulung lengannya dengan dasi dan celana panjang berwarna hitam. Aroma Eau Sauvagenya sesekali menghampiri hidung gue saat angin sepoi berhembus pelan melalui jendela yang terbuka.

Gue datang sendiri dari kosan. Tak banyak yang gue kenal di dalam ruangan itu selain teman-teman Brian yang sempat bertemu saat syukuran dulu. Kami mengobrol sesekali dan segera diam saat dosen memasuki ruangan.

Brian melihat gue, gugup yang tampak dari senyum tipisnya gue mantapkan dengan anggukan dan acungan jempol gue.

Brian memulai sidang tugas akhirnya. Gue buka manuskrip Brian, mencoba mengerti apa yang bisa gue mengerti.

Hampir dua jam Brian presentasi disertai tanya jawab hingga sidang dinyatakan selesai dan Brian dinyatakan lulus tanpa harus mengulang sidang akhir lagi.

Gue menemani Brian melakukan selebrasi kecil bersama teman-temannya, menyelesaikan beberapa urusan administratif di kantor TU-nya setelah sidang.
“Lo udah laper?” tanya Brian yang melihat gue terdiam mengikutinya mondar-mandir.
“Udah jam tiga Sayang dan kita belum makan siang” rajuk gue manja.
Brian pun mengajak gue makan di kantin kampusnya.

“Mama gue ngajak lo ketemuan besok malem, bisa?” dengan entengnya Brian melontarkan pertanyaan itu.

Gue menghentikan kunyahan gue.

“Mau ngapain?”
“Mau ngobrol aja sama lo. Udah lama sih pengen ngajaknya, cuma Mama sibuk dan baru sempet besok malem, sekalian ngerayain kelulusan sidang gue”

“Sama lo kan?”

Brian menatap gue dan tertawa.
“Lo takut sama Mama gue?”

Gue manyun dan melanjutkan makan lagi.
“Iya Sayang sama gue!” Brian mengacak2 poni gue.

Quote:


Gue sudah duduk berhadapan dengan Mama Brian di restoran Luxton Hotel Dago. Brian sedang pamit menerima telepon dari Papanya sambil berdiri di dekat jendela kaca yang cukup jauh dari kami duduk.

“Apa kabar Jeng?” sapa Mama Brian. Malam ini dia lebih keibuan dibanding pertemuan pertama dulu. Wajahnya tampak cerah dengan senyum yang selalu terpancar sedari tadi kami datang.
“Baik, Tante. Tante apa kabar?”
“Baik juga. Kamu kapan mau sidang akhir?”
“Agustus Tante, mau ikut wisuda bulan September.”
“Tante gabisa nemenin Brian wisuda bulan Juli, kamu temenin dia ya sama Adis”

Gue hanya mengangguk pelan.

“Kamu bisa main musik, Jeng?”

Pelayan datang mengantarkan sebotol Chardonnay yang diletakkan di dalam bucket es. Lalu ia menuangkan ke gelas kami masing-masing.

“Bisa main gitar dan sedikit biola, Tante,” jawab gue setelah pelayan pergi. Mama Brian hanya memandang gue di balik gelas winenya.
“Bisa bahasa apa aja selain Indonesia dan Inggris?”

Pertemuan kali ini lebih terasa seperti interview kualifikasi calon mantu. Gue meneguk Chardonnay dan menatap Mama Brian dengan rileks.

“Bahasa Italia, Tante”
Mama Brian mencibirkan bibirnya sambil mengangkat bahu.
“Pernah kesana?”
“Satu kali”

“Brian bisa bahasa Spanyol dan Jerman, kamu belajar juga dong biar bisa ngomong pake bahasa itu” ujarnya sedikit sombong, bertepatan dengan Brian kembali ke meja kami.
“Ngomongin apa?” tanya Brian.
“Ajeng bisa bahasa Italia, Mama suruh belajar bahasa Spanyol dan Jerman biar bisa kayak kamu. Makin banyak bahasa yang kalian bisa kan makin bagus buat anak-anak kalian nanti”

Gue meremas jemari di pangkuan. Bahasannya sudah sangat jauh sekali.Anak-anak?

“Bahasa yang penting saling ngerti Mama, ga usah ngomong juga Brian tau kalo Ajeng cinta Brian, ya ga Sayang?”
Gue hanya tersenyum saat Brian mengelus pundak gue.

“Kamu mau lanjut kuliah lagi atau kerja setelah lulus, Jeng?”

Gue menatap Brian sejenak. Kami masih belum pernah membahas terkait pernikahan lagi sejak—gue minta Brian untuk tidak membicarakannya lagi.

“Belum punya rencana apa-apa Tante” jawab gue jujur.

Mama Brian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap gue dengan tatapan tak percaya.

“Kamu lulus beberapa bulan lagi dan masih belum punya rencana mau ngapain setelah lulus?” pertanyaan itu terdengar sedikit menghina gue yang—tak memiliki rencana.

“Udahlah Mama! Yang penting Ajeng bisa barengan sama Brian! Beasiswa Brian juga cukup buat hidup berdua, pas-pasan juga ga masalah yang penting hepi bisa bareng Ajeng!” potong Brian.

Mama Brian menyeruput winenya lagi. Tak lama kemudian makanan kami datang.

“Ga apa-apa juga kalo Ajeng ga mau kuliah atau kerja, kalian ga akan mati kelaparan kok,” celetuk Mama Brian.

Mungkin itu sarkasme....

Gue dan Brian langsung pulang ke kosan setelah makan malam.

“Brian, gue mau ngomong sama lo”

“Tinggal ngomong aja Sayang, pake bilang gitu segala” Brian menarik gue ke pangkuannya.

Gue mengalungkan lengan ke leher Brian dan menatap mata tajamnya.

“Berapa lama lo akan kuliah di Jerman?”

“Hmm 6 tahunan mungkin sampe postdoc”

“Kalo kita meritnya setelah lo lulus postdoc gimana?”

Brian mengerjapkan matanya dan mengernyitkan alisnya.

“Gue—gue—gue belum siap buat merit, Bri”

Brian menahan nafasnya dan menatap gue nanar.

“Shit!” desah Brian.

“Brian Sayang—maafin gue Sayang! Tapi gue—gue akan tunggu lo sampe lo lulus dan kita bisa tinggal bareng Bri, gue janji gue akan tunggu lo selama apapun lo akan kuliah! Gue juga bisa kunjungin lo tiap lo libur!”

Gue mulai menangis.

“Kenapa Jeng?” bisik Brian dan matanya juga berkaca-kaca.

"Karena gue ga mau jauh dari Papa gue,"

Brian memiringkan kepalanya, ada sungging senyum tipis di antara rasa tak percayanya.

"Itu alasan lo?"

Gue menelan ludah dan air mata tak bisa berhenti mengalir lagi.



“Karena—karena Papa gue lagi sakit Bri.”

Diubah oleh ladeedah 09-11-2017 19:55
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1