Quote:
Surakarta, awal Oktober 1976
"Bapaakkk...!!! Ibuuu...!!! Kenapaaaa...? Hikss...! Hikss...! Hikss...!!!" Galih merintih dan terisak dengan mata terpejam dan tubuh terbaring diatas ranjang, membuat perhatian Ajeng yang tengah khusyu' berdzikir sehabis sholat Shubuh itu sedikit teralihkan.
"Hufth! Pasti mimpi buruk lagi," gadis berusia limabelas tahun itu meletakkan tasbih diatas hamparan sajadah tempat ia bersimpuh. Dan tanpa sempat melepaskan mukena yang dikenakannya, ia lalu bangkit dan menghampiri sang kakak yang masih saja terisak isak dalam tidurnya.
"Mas...!!! Mas Galih! Bangun! Sudah pagi!" Ajeng berbisik pelan sambil mengguncang bahu sang kakak. Pelan saja sebenarnya Ajeng menggoyangkan bahu Galih, namun efeknya sungguh diluar dugaan. Bagai diguncang gempa dahsyat, Galih yang masih terlelap itu tiba tiba tersentak bangun dan langsung duduk diatas pembaringan. Nafasnya tersengal, dengan keringat dingin sebesar biji biji jagung yang membanjir di wajahnya. Kedua matanya jelalatan, nanar menatap ke seluruh penjuru kamar dengan mulut tak henti hentinya memanggil manggil sang bapak dan ibu.
"Bapaaakkk...!!! Ibuuuu...!!!"
"Istighfar Mas! Istighfar! Nyebut!" Ajeng berseru sambil mengusap usap bahu Galih, mencoba menenangkan sang kakak yang masih histeris itu.
"Astaghfirullahhaladziiimmm...!!! Astaghfirullahhaladziiimmm...!!!
Astaghfirullahhaladziiimmm...!!!" Galih mengucap istighfar beberapa kali sambil menyeka peluh yang membasahi wajahnya itu.
"Mimpi buruk lagi?" Ajeng menyodorkan segelas air putih, yang langsung disambar oleh Galih dan ditenggak isinya sampai tandas.
"Ya!" desah Galih dengan nafas masih sedikit tersengal. "Mimpi buruk! Mimpi yang sama dan terus berulang ulang! Bapak dan ibu...."
Ajeng terdiam mendengar ucapan sang kakak itu. Ia sadar, seberapa berat beban yang ditanggung oleh sang kakak, akibat dari kejadian tragis yang ia lihat di masa kecil dulu. Suatu kejadian tragis yang menimpa kedua orang tua mereka, yang menyebabkan mereka kini menjadi anak yatim piatu karena harus kehilangan kedua orang tua dengan cara yang tak diduga duga. Ajeng menghela nafas, panjang dan berat! Di satu sisi, ia merasa sangat bersyukur, karena saat itu Galih sang kakak telah berusaha mati matian menghalang halangi dia agar tak ikut menyaksikan pemandangan tragis yang dilihat oleh sang kakak, hingga ia kini tak ikut merasakan trauma mendalam yang dialami oleh Galih. Namun di sisi lain, ia juga merasa sedih dan trenyuh. Dari cerita cerita yang ia dengar, sedikit banyak ia bisa ikut merasakan, betapa besar beban yang ditanggung oleh Galih sekarang.
"Sudah pagi," desah Ajeng akhirnya, setelah berhasil menguasai perasaannya. "Lebih baik sekarang Mas Galih segera ambil wudhu' dan sholat Shubuh, biar perasaan Mas Galih bisa sedikit tenang."
"Ah! Iya!" Galih melirik jam tembok yang menempel di dinding kamar itu, lalu bergegas turun dari atas pembaringan dan melangkah keluar kamar. Namun baru saja ia membuka pintu, langkahnya terhenti. Seolah teringat sesuatu yang penting, pemuda itu kembali berbalik dan menatap sang adik.
"Oh ya Jeng, bagaimana soal yang kemarin itu?" tanyanya pada sang adik yang tengah sibuk melipat mukena.
"Soal yang kemarin?" kini Ajeng yang menatap sang kakak.
"Yang kita bicarakan dengan Budhe kemarin," ujar Galih lagi.
Ajeng menghela nafas sejenak. Ia sudah mengira, sang kakak pasti belum akan menyerah. Ia tahu betul sifat kakaknya itu. Kalau sudah punya keinginan, pantang baginya untuk berhenti kalau belum kesampaian.
"Kurasa semua sudah jelas Mas," kata Ajeng akhirnya, dengan suara pelan. "Budhe jelas jelas keberatan dengan niat Mas Galih itu. Jadi..."
"Tapi ini wasiat dari almarhum bapak Jeng," Galih menukas cepat, sambil melangkah mendekat ke arah sang adik dan duduk disebelahnya. "Dan kita baru bicara dengan Budhe. Kurasa tak ada salahnya kalau kita bicarakan hal ini sekali lagi, dengan melibatkan Pakdhe juga. Siapa tau Pakdhe punya pendapat lain."
"Hufth," lagi lagi Ajeng menghela nafas panjang. "Aku takut kalau Budhe tersinggung Mas. Biar bagaimanapun, mereka yang selama ini merawat dan membesarkan kita. Tentu sangat berat bagi mereka untuk tiba tiba melepas kita begitu saja. Apalagi mereka nggak punya anak."
"Tapi kita sudah besar Jeng. Kita punya hak untuk menentukan masa depan kita sediri. Apalagi ini wasiat dari almarhum bapak. Selain itu, aku juga...."
"Yach," kali ini Ajeng yang memotong ucapan kakaknya. "Sebagai adik, aku sih ngikut aja gimana maunya Mas Galih. Tapi Ajeng juga berharap, Mas Galih jangan terlalu egois. Kita harus bisa menjaga perasaan Pakdhe dan Budhe Mas."
"Iya. Aku tau," ujar Galih pelan. "Biar nanti aku coba bicara pelan pelan dengan Pakdhe dan Budhe. Mudah mudahan mereka bisa mengerti."
"Ya. Mudah mudahan Mas. Sekarang, lebih baik Mas Galih sholat dulu. Waktu Shubuh sudah hampir habis."
"Astaga!" Galih tanpa sadar menepuk jidatnya sendiri. "Hampir saja! Ya sudah kalau begitu, aku ke kamar mandi dulu. Tolong sekalian rapikan kamarku ya."
Setengah berlari Galih lalu keluar kamar. Ajeng hanya bisa geleng geleng kepala dan tersenyum simpul melihat tingkah kakak laki lakinya itu.
"Mas Galih, apapun yang akan kauputuskan dan lakukan, aku akan selalu ada dibelakangmu, dan mendukungmu," gumam gadis itu sambil beranjak untuk membereskan kamar sang kakak yang sedikit berantakan itu.
Ajeng memang sosok gadis yang rajin. Hanya dalam waktu sekejap, kamar Galih yang berantakan itu telah berubah menjadi rapi. Ajeng lalu beranjak keluar, bermaksud untuk membantu sang Budhe yang jam jam segini biasanya sudah sibuk di dapur. Namun saat hampir sampai di pintu tembus yang menghubungkan antara ruang tengah dengan ruangan dapur, langkah gadis itu terhenti. Suara Budhe Katmi yang terdengar agak keras dari arah dapur menahan langkah gadis itu.
"Ini semua gara gara sampeyan Pak!" begitu kira kira suara yang didengar oleh Ajeng, membuat gadis itu penasaran dan bermaksud untuk sedikit menguping pembicaraan kedua orang tua angkatnya itu. Dengan sedikit berjingkat, Ajeng mendekat ke arah pintu tembus itu dan memasang telinga baik baik.
"Kalau saja sampeyan tidak buru buru memperlihatkan surat wasiat itu kepada Galih, tentu anak itu tidak akan merengek rengek minta kembali ke Margopuro!" kembali suara cempreng Budhe Katmi terdengar disela sela suara ribut sodet yang beradu dengan wajan penggorengan.
"Lha memang dimana letak salahnya?" suara berat Pakdhe Margono terdengar menyahuti omelan sang istri itu. "Yang namanya surat wasiat itu kan sebuah amanah. Harus kita sampaikan kalau sudah tiba waktunya."
"Iya! Aku tau Pak," Budhe Katmi menukas cepat, secepat tangannya yang sibuk mengaduk aduk nasi goreng didalam wajan yang masih berada diatas tungku. "Tapi apa sampeyan ndak mikir, apa akibatnya kalau sampai Galih dan Ajeng kembali ke Margopuro?!"
"Memangnya salah to kalau mereka kembali ke Margopuro?" Pakdhe Margono dengan santainya bertanya, sambil asyik membaca koran yang berada di tangannya.
"Jelas salah!" sentak Budhe Katmi sambil memukulkan sodet ke sisi penggorengan, membuat Pakdhe Margono tersentak kaget dan buru buru melipat dan meletakkan koran yang sedang dibacanya itu. Ajeng sendiri tak kalah kaget mendengar suara Budhe Katmi yang begitu keras itu. Apalagi dari arah belakangnya terdengar bisikan Galih yang sepertinya diam diam juga ikut menguping.
"Ribut lagi?" tanya Galih dengan nada berbisik.
"Bukan ribut, tapi beradu pendapat," jawab Ajeng, juga dengan berbisik. "Dan semua itu juga gara gara kita Mas!"
"Apa sampeyan ndak nyadar dengan trauma yang dialami Galih selama ini?" suara Budhe Katmi terdengar melunak. Perempuan setengah baya itu kini mengangkat wajan penuh nasi goreng dari atas tungku, lalu menuang isinya kedalam ceting yang sudah ia siapkan diatas meja makan dimana Pakdhe Margono tengah duduk di dekatnya itu. "Sampai sekarangpun Galih masing sering mimpi buruk tentang apa yang dulu pernah ia lihat di rumah terkutuk itu saat kecil dulu. Bisa sampeyan bayangkan kan? Apa jadinya kalau tiba tiba sekarang Galih harus kembali ke rumah itu. Belum lagi nanti sambutan warga disana. Kita sama sama tau Pak, bukan hanya para tetangga, bahkan saudara dan kerabat dari pihak ibunya Galihpun semenjak dahulu membenci bapaknya Galih, yang juga adalah adikmu itu. Mereka menganggap bapaknya Galih itu pengkhianat, tega menangkap dan memenjarakan tetangga dan sanak saudaranya sendiri hanya karena tugas yang diembannya. Padahal apa yang dilakukan oleh bapaknya Galih itu sudah benar! Mereka yang ditangkap dan dipenjarakan oleh bapaknya Galih itu yang pengkhianat negara. Lha kok bisa bisanya malah mereka yang menuduh bapaknya Galih sebagai penghianat! Aku kadang tak habis mengerti dengan jalan pikiran orang orang desa Margopuro itu! Terlebih Mbah Pariyem! Nenek tua peot itu yang jadi biang keladi kematian adikmu itu! Kalau saja si nenek tua itu tidak terus terusan menyudutkan bapaknya Galih, tidak setiap hari mendatangi dan memaki maki bapaknya Galih dan menuduhnya menjadi biang keladi atas menghilangnya anak dan menantunya Mbah Pariyem itu, tentu bapaknya Galih tak sampai berbuat nekat mengakhiri hidup dengan cara yang tragis! Heran! Padahal kalau dipikir pikir Mbah Pariyem itu kan masih bibinya ibunya Galih! Kok tega teganya...."
"Halah! Sudah sudah!" Pakdhe Margono memotong ucapan Budhe Katmi yang diucapkan dengan sangat cepat dan nyaris tanpa jeda itu. "Ndak usah ngungkit ungkit cerita masa lalu. Kalau sampai didengar sama Galih dan Ajeng, malah ndak baik jadinya."
"Tapi Pak...."
"Justru aku berharap Bune, dengan kembalinya Galih dan Ajeng ke Margopuro, bisa menjadi terapi untuk trauma yang dialami Galih. Mereka itu sudah dewasa. Sudah bisa berpikir matang. Apalagi Galih! Dia telah tumbuh menjadi pemuda yang cukup dewasa. Lagipula...."
"Tetap saja aku ndak setuju kalau Galih dan Ajeng kembali ke Margopuro Pak! Bagaimana kalau warga sana yang masih mendendam kepada bapaknya Galih itu melampiaskan dendam mereka kepada Galih dan Ajeng?"
"Oalah Bune Bune, pikiranmu itu lho, kok jadi ngelantur kemana mana! Mana mungkin mereka sampai berbuat seperti itu! Ingat, peristiwa itu sudah sepuluh tahun berlalu! Bisa jadi mereka malah sudah melupakan peristiwa itu! Ndak usah mikir yang macam macam lah!"
"Ah, entahlah Pakne!" suara Budhe Katmi kembali melunak. "Rasanya, masih berat banget untuk melepas mereka pergi. Selama ini, aku sudah merasa sangat bahagia dengan kehadiran mereka. Kita tak punya anak Pakne, dan kehadiran mereka menjadi hiburan tersendiri buatku. Kalau tiba tiba sekarang mereka harus pergi...,"
"Solo Wonogiri itu nggak begitu jauh Budhe," Galih yang sudah tak tahan mendengar obrolan kedua orang tua angkatnya itu, keluar dari tempatnya menguping dan menyela. "Galih janji, Galih akan sering sering main kesini kalau sudah pindah ke Margopuro. Biar bagaimanapun, Galih juga tak bisa melupakan begitu saja jasa jasa Pakdhe dan Budhe selama ini."
"Galih?!" serempak Pakdhe Margono dan Budhe Katmi menoleh ke arah Galih yang kini ikut duduk di dekat mereka. Ajeng yang muncul belakangan juga ikut duduk disamping sang kakak.
"Jadi kamu masih tetap berniat untuk pulang ke Margopuro?" tanya Budhe Katmi dengan nada kecewa.
"Iya Budhe, sesuai dengan amanah yang ditulis oleh almarhum bapak dalam surat wasiatnya itu." jawab Galih tegas.
"Mbok ya dipikir sekali lagi to Le," ujar Budhe Katmi lagi. "Hidup di desa itu nggak gampang lho. Apalagi tanpa didampingi oleh orang tua, dan kamu juga harus menjaga adikmu. Memang, almarhum bapakmu meninggalkan warisan yang tak sedikit. Tapi...., ah, tanpa warisan dari bapakmupun, Budhe masih sanggup untuk membesarkan kalian. Budhe takut Galih, Budhe takut kalau nanti kamu sampai kenapa kenapa di desa sana. Budhe..."
"Budhe, tolong," Galih menukas ucapan sang Budhe. "Tolong sekali ini saja, kasih Galih kesempatan untuk berbakti kepada almarhum bapak dan ibu Galih. Galih pulang ke Margopuro, bukan semata mata ingin memenuhi wasiat dari bapak, bukan juga semata mata karena warisan yang ditinggalkan oleh bapak. Tapi Galih punya tekat tersendiri. Ibarat kata pepatah, sebagai seorang anak, Galih harus bisa 'Mikul dhuwur mendhem jero asmaning wong tuwo!' Galih ingin membersihkan nama baik bapak, dan ingin membuktikan kepada warga Margopuro bahwa apa yang selama ini mereka tuduhkan kepada bapak itu adalah salah!"
"Bagus!" Pakdhe Margono yang sejak tadi hanya diam, kini ikut bicara. "Ini baru namanya keponakan Pakdhe! Ini baru namanya anak dari Marsudi! Pakdhe bangga kamu punya pikiran semacam itu Galih! Dan kamu Bune, kamu seharusnya juga bangga punya keponakan seperti Galih ini. Umurnya baru delapan belas, tapi jalan pikirannya sudah mlethik seperti orang dewasa!"
"Yach, apa boleh buat," Budhe Katmi akhirnya hanya bisa menghela nafas. "Tapi Budhe harap, kalau kalian nanti mengalami kesulitan, jangan ditunda tunda lagi untuk kembali kesini!"
"Jadi Budhe mengijinkan?" Mata Galih berbinar.
"Ya. Meski dengan berat hati. Dan dengan satu syarat, Galih."
"Apa syaratnya Budhe?"
"Kamu harus bisa menjaga baik baik adikmu disana! Budhe tidak akan pernah memaafkanmu, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan Ajeng di desa."
"Galih janji Budhe! Galih janji akan menjaga Ajeng dengan segenap jiwa dan raga Galih."
"Jadi, kapan kalian akan berangkat?" sela Pakdhe Margono.
"Bagaimana kalau besok Pakdhe?" jawab Galih.
"Ya sudah kalau begitu. Biar besok diantar sama Pardi! Sekarang, lebih baik kalian persiapkan segala sesuatunya dulu. Andai Pakdhe bisa ambil cuti, ingin rasanya Pakdhe yang mengantar kalian. Sayangnya Pakdhe belum bisa cuti."
"Nggak papa Pakdhe. Diantar sama Kang Pardi juga kami sudah sangat berterimakasih. Dan, Budhe, terimakasih atas ijin dan kepercayaan Budhe kepada kami," bergantian Galih dan Ajeng menyalami dan mencium tangan kedua orang tua itu, membuat kedua orang tua itu, terutama Budhe Katmi, tak kuasa menahan air matanya.
bersambung