KOMUNITAS
Home / FORUM / All / Story / ... / Stories from the Heart /
Ingin Membayar Gaji Mama
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/6151bc81d914a776581ccc87/ingin-membayar-gaji-mama

Ingin Membayar Gaji Mama

Ingin Membayar Gaji Mama


Quote:


Bab 1. Rara yang kesepian

Rara memasukan uang sakunya ke dalam celengan plastik berbentuk panda, untuk ke sekian kalinya. Mata bening itu memancarkan binar harapan, bibirnya mengulum senyum, sepuluh jemari lentik mengangkat celengan dengan mata sedikit menyipit, mengintip sudah berapa banyak isinya.

"Belum penuh," desisnya sambil meletakkan kembali di meja belajarnya.

"Rara, buruan 'ntar Mama terlambat!" seru mamanya dari meja makan sambil membereskan piring-piring kotor dan mengelap meja makan.

"Iya, Ma ... Sebentar Rara ambil tas dulu." Rara mengambil tas sejurus kemudian, memakai sepatu, tidak membutuhkan waktu lama Rara siap untuk berangkat.

Perjalanan ke sekolah memakan waktu kurang lebih lima belas menit, selalu dan selalu terburu-buru setiap harinya. Sang mama pun tak hentinya mengomel pada putrinya itu.
Gadis kecil dengan mata lentik, hidung bangir, kulit putih, fotocopy dirinya waktu kecil.

"Ra, berapa kali Mama sudah bilang, pagi-pagi jangan malas-malasan." Nasehat sang Mama yang tidak lebih seperti omelan di telinga gadis kecil itu.

"Mandi jangan buat mainan, sarapan jangan buat mainan, jadi anak itu harus smart, nurut apa kata orang tua."

Rara hanya menunduk, menggigit bibirnya, sesekali melirik dengan ekor matanya pada wanita yang bibirnya sudah mirip ikan koki itu.
Padahal di sekolah Bu Anita tidak pernah mengatakan kata jangan, setiap kali dia melarang Rara dan teman-temannya. Ketika Rara mencoret tembok sekolah, Bu Anita dengan lembut berkata,

"Rara, sebaiknya menggambar di papan tulis saja, atau Rara menggambar di buku gambar ini."

Kalau Rara membuang sampah sembarangan, Bu Anita juga tidak pernah marah, dia akan berkata,

"Sebaiknya membuang bungkus coklat di tempat sampah, anak cantik, kasihan dong tempat sampahnya dianggurin."

Mama, mengapa mama berbeda? Sukanya marah-marah nggak jelas, papa juga kenapa nggak pernah negur mama batin Rara kesal. Padahal papa bisa saja menegur mama.

"Kalau Mama lagi ngomong itu didengerin, Ra!"

"Iya, Ma. Ini juga Rara dengerin," sahut Rara pelan.

"Janji besok mau nurut sama Mama?" tanya Mamanya menegaskan.

"Iya, Ma."

"Jangan iya, iya aja! Tapi dilaksanakan," titah Mama sedikit emosi.

"Papa juga, kalau pagi itu nggak usah lama-lama jogingnya, kalau terlambat gini, Mama juga yang repot."

Papa yang tengah serius menyetir, menarik sudut bibirnya, menggelengkan kepala, keningnya berkerut pandangan mata tetap lurus kedepan tak bersuara. Sekarang yang kena omelan gantian papa, Rara nyengir. Dapat giliran juga akhirnya batin Rara selanjutnya.

"Papa ini denger nggak sih, Mama ngomong?" tanya mama dengan gigi gemeretak menahan dongkol, melirik maut ke arah suaminya.

"Iya denger."

"Papa tahu nggak, Mama tuh nggak bisa diginiin, Mama capek kalau tiap hari ngomel begini."

"Ya makanya, kurangi dong frekuensi ngomelnya, ups!"

"Jadi Papa nyalahin, Mama?"

"Ya nggak dong, mana berani Papa nyalahin Mama, dalam pasal 1 Mama nggak pernah salah, kalau pasal dua salah, kembali ke pasal satu, begitu seterusnya sampai kiamat ...."

"Papa!" teriak mama dengan tatapan mata suram, napasnya naik turun menahan emosi yang meledak-ledak.

"Ma, nggak usah teriak-teriak dong, konsentrasi Papa jadi buyar nih, kalau ntar nabrak gimana dong."

"Gimana nggak teriak, Papa nggak dengerin Mama!"

"Ma, boleh nggak Rara minta Adek?" tanya Rara dengan wajah memelas, seketika itu.

Sudah dari minggu-minggu yang lalu gadis kecil itu menginginkan seorang adik bayi, tapi tidak berani mengatakan pada mamanya. Baru kali ini Rara berusaha mengatakan isi hatinya, walaupun tentu saja ini bukanlah saat yang tepat.

"What?"

"Ma, Rara kesepian di rumah. Mama pulangnya malam, Papa juga, Rara di rumah cuma sama Bibik, boleh ya Ma, Rara minta Adek?" rengek Rara manja.

"No! Belum saatnya!" tegas wanita itu.

"Ma ...," rengek Rara lagi.

"Kabulin permintaan Rara kenapa, Ma. Bukankah dia sudah berumur enam tahun, sudah saatnya punya Adek," usul laki-laki yang sedang menyetir, siapa tahu di ACC.

"Papa, cicilan mobil ini belum lunas, cicilan kursi, cicilan kulkas bahkan cicilan panci juga belum lunas, mikir dong, Pa!" ucap wanita itu sedikit berteriak.

"Ya, Papa mikir makanya kerja tiap hari, agar kebutuhan kita bisa terpenuhi."

"Nah itu tahu," gerutu Mama.

"Ma, teman-teman Rara punya Adek, kok Rara nggak?" tanya Rara kemudian.

"Gini aja Ma, bulan depan Papa naik gaji, Papa bakalan dapat warisan dari Ibu di kampung, Mama di rumah aja nemenin Rara biar nggak kesepian."

"Mama bisa bosen di rumah aja, lagian 'ntar siapa yang gaji Mama, kalau di rumah?"

"Tenang Ma, Rara yang akan membayar gaji Mama, selama ini Rara nggak pernah jajan di sekolah, semua uang saku sudah Rara masukan ke dalam celengan, semuanya untuk Mama, asalkan Mama mau nemenin Rara di rumah."

Tanpa terasa pipi wanita itu memanas, matanya mulai berembun, perasaan campur aduk tak karuan, menengok keegoisannya selama ini. Bekerja siang malam demi menenuhi gengsi, sebenarnya kalau mau hidup bersyukur, tidak sebentar-sebentar ganti mobil, perabot rumah tangga, pastilah tidak akan banyak tagihan.

"Untuk saat ini Mama belum bisa, sayang." Mama Memejamkan matanya kemudian membuka dengan pelan.

"Kenapa, Ma?" tanya Rara polos.

"Karena, Mama harus bayar hutang."

"Bayar hutang?"

"Iya, hutang Mama banyak, sayang."

"Hutang apalagi sih, Ma?" tanya papa tiba-tiba menghentikan mobilnya mendadak.

"Ini sudah siang, Papa."

"Yang bilang masih pagi juga siapa?"

"Papa!"

"Kamu hutang apalagi?"

"Hutang traktir teman-teman, Mama," Suaranya dengan nada memelas.

"What?"

Laki-laki itu seketika menoleh kebelakang, teman-teman sosialita lebih penting dari anak sendiri rupanya.

"Ma, Rara tuh pengen sebelum bobok didongengin sama Mama, dielus-elus rambutnya, kapan Rara bisa merasakan belaian Mama."

"Bibik setiap malam juga dongengin Rara, 'kan?" tanya Mamanya kemudian.

"Rara bosen didongengin Bibik, masa tiap malam dongengnya Kancil mencuri ketimun, gak kreatif. Coba dong nyuri yang lain." Gerutu Rara.

Papa seketika tertawa sampai punggungnya berguncang, dalam hati memuji kecerdasan putrinya dalam melakukan demo pada mamanya biar tidak kesepian. Mulut mama membulat sempurna, memutar cepat kepalanya setengah lingkaran, menatap takjub pada putri kecilnya.

"Tuh Ma, yang kreatif dikit napa?"

"Papa ini."

"Ma, Rara mau nanya, sebenarnya Rara ini anak siapa sih?"

"Ya jelas anaknya Mama dan Papa dong."

Mama memeluk Rara gemas, menciumi pipi tembemnya berkali-kali, sampai gadis cilik itu kegelian. Sesaat kemudian menatap wajah sang mana dan bertanya.

"Bukan anaknya Bibik?"

"Ya bukan dong, sayang."

"Kenapa Rara di rumah seringnya sama Bibik, makan, mandi bahkan bobok juga ditemenin Bibik," protes Rara.

"Rara sayang, Mama itu kerja semuanya buat Rara, apa-apa itu serba mahal, belanjaan mahal, bahkan katanya sembako juga bakalan kena pajak."

"Ma, kamu ngomongin pajak sama anak TK, ya mana dia ngerti."

"Rara sudah sampai, belajar yang rajin, jangan nakal ya."

Kembali melanjutkan perjalanan, wanita itu pindah duduk ke depan. Matanya menatap kosong ke depan, memikirkan ucapan Rara barusan, benarkah dia kesepian selama ini? Boneka, aneka mainan yang dibelikannya apakah tidak mampu mengusir kesepiannya? Dongeng kancil mencuri timun tiap malam, memamangnya bibik nggak punya dongeng lain apa? Batinya gerimis.

Setitik air menggenang di sudut mata Mama Azalea. Narendra yang tahu perubahan mimik muka istrinya, mengelus pundaknya, kemudian menggenggam jemari lentiknya.

"Ma, belum terlambat," ucapnya pelan.

"Maksud Papa?"

"Memberi Adek pada, Rara. Biar dia tidak kesepian."

"Hutang kita belum lunas," jawab wanita itu cepat.

"Apa kamu mau memberikan Adek pada Rara, menunggu cicilan rumah kita lunas? Dua puluh tahun lagi lho, Ma "

Laki-laki itu tak kuasa menahan ketawanya, lha masa iya menunggu dua puluh tahun lagi, Rara sudah punya suami baru punya adek?

"Papa ngeledek ya?"

Jemari lentik itupun dengan cepat mencubit pinggang laki-laki di sebelahnya yang langsung teriak kesakitan.

"Ampun Ma ..., makanya di ACC dong proposalnya."

"Proposal yang mana?" tanya wanita itu bingung.

"Proposal bibit unggul, yang siap menyebar benih tapi sawahnya belum siap."

Bersambung


Sumber gambar pinterest
profile-picture
profile-picture
profile-picture
jenggalasunyi dan 16 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh trifatoyah
15
Bab 3. Sinta Dibuat Malu oleh Rara

Ingin Membayar Gaji Mama


Akhirnya Bik Sani minta bantuan supir Go-Jek untuk menemui Arman ke kantornya, perasaannya tidak menentu, ia merasa bersalah karena telat menjemput Rara. Hatinya mulai was-was rasa takut kian menghantui dirinya, bagaimana kalau Azalea tahu putrinya pulang dengan orang tak dikenal? Membayangkan repetannya saja membuat kepala Bik Sani mendadak pusing.

Sampai di kantor tempat Arman bekerja, Bik Sani celingukan, wajahnya terlihat sangat cemas, setelah meminta bantuan resepsionis Bik Sani duduk menunggu di ruang resepsionis, sambil menunggu kedatangan majikannya, sementara sopir Go-jek masih setia menunggunya, karena belum dibayar juga.

"Ada apa Bik? Ada apa Bik Sani ke sini?" tanya Arman penasaran.

"Anu ... anu ... Pak, itu Non Rara." Bik Sani menjawab pertanyaan majikannya dengan gugup, keringat dingin mengucur membasahi dahinya.

"Tenang Bik, ada apa dengan Rara?" Arman menyodorkan air mineral ukuran gelas yang ada di meja resepsionis pada Bik Sani, tidak lupa menyerahkan sedotan kecil padanya. Dengan tangan gemetar Bik Sani menerima air mineral itu dan meminumnya perlahan.

"Pak, Non Rara nggak ada di sekolah."

"Nggak ada gimana?"

"Iya ... kata Bu Guru nya, sudah pulang dijemput saudara sepupu mamanya."

"Jangan ngaco Bik, saudara sepupu Mama Rara nggak ada di sini."

"Iya kata Bu gurunya, apa mungkin Non Rara di culik, Pak. Aduh gimana ini?"

"Bik Sani tenang dulu, coba aku telpon Mamanya Rara."

Sambungan telepon sedang tidak aktif, berulang kali Arman menghubungi Azalea tetap tidak ada jawaban. Bik Sani semakin panik, badannya gemeteran persis orang kena demam. Rama yang melihat keduanya di ruang resepsionis lantas menghampiri mereka.

"Ada apa, Ar?"

"Ini Ram, anakku diculik."

"Apa!"

"Iya, Rara diculik dari sekolahnya."

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?"

"Ya karena selama ini nggak ada yang menjemput Rara kecuali Bik Sani, aku dan Azalea."

"Sudah dicari ke mana saja?" tanya Rama kembali.

"Belum dicari sih, wong aku aja baru tahu sekarang."

"Mamanya udah tahu belum?"

"Belum sih, kalau Mamanya tahu bisa panjang repetannya."

"Ya, udah. Kamu cari dulu. Sinta ngapain juga katanya ijin."

"Ya mana aku tahu." Berkata Arman sambil mengedikan bahunya.

Arman mengucapkan banyak terima kasih pada atasannya sekaligus sahabatnya dari kecil itu. Dia langsung mengajak Bik Sani untuk ikut mencari Rara, sebelumnya Arman membayar Go-Jek yang telah mengantarkan Bik Sani ke kantornya.

***

Sementara itu Rara tengah duduk di bangku belakang mobil Avanza warna silver yang terus melaju ke luar kota. Gadis kecil itu terus saja berceloteh tentang pelajarannya di sekolah, seakan tak ada rasa takut sedikitpun.

"Tante kita mau ke mana sih?" tanya Rara kemudian.

"Kita mau jalan-jalan." jawab Sinta sambil tersenyum.

"Kenapa nggak bilang Mama dulu?"

"Tante 'kan udah minta ijin sama, Mama."

"Oh iya tadi Tante udah bilang, katanya disuruh Mama buat ngajakin aku jalan-jalan."

Sintia tersenyum tipis, melirik dengan ekor matanya, betapa polosnya gadis kecil ini, bahkan sepanjang perjalanan batereinya seakan terisi penuh. Ada saja yang ditanyakan.

"Tante, aku pengen pipis, oh iya di sana ada masjid kita bisa turun dulu Tante, sekalian Sholat Dhuhur."

"Apa Sholat?" tanya Sinta tersentak kaget.

"Kok Tante kaget gitu sih? Emang Agama Tante apa?"

"Yaaaa Islam."

"Kenapa dengar kata sholat, Tante kaget gitu, apa Tante nggak pernah sholat ya?"

Gadis kecil itu seperti cenayang saja, bisa menebak seseorang yang tidak pernah sholat. Sinta jadi malu, wajahnya memerah bak kerang rebus saking malunya. Betapa sudah lama dirinya meninggalkan sholat, sejak hubungannya kandas dengan Arman hidupnya jadi kacau, ia menganggap kalau Allah tidak adil, telah memisahkan orang yang sangat dicintainya menikah dengan orang lain.

Bahkan untuk mengingat doa-doa sholat saja rasanya malas. Meninggalkan sholat adalah hal yang biasa saja bagi Sinta. Dan hari ini wajahnya seakan tertampar oleh kata-kata gadis kecil itu.

"Kok, Tante Diam?"

"Ehmm,"

"Tante Sholat itu kata Uztazah tiang agama, walaupun masih TK aku Sholat lho."

"I...iya ... anak pintar."

"Apa emang Tante nggak pernah Sholat? tanya Rara kembali.

Sinta hanya diam, tidak mau menjawab pertanyaan gadis kecil yang dirasakannya semakin ngaco, sudah seperti uztazah saja. Kenapa bisa Arman memiliki anak secerdas ini, shalihah pula. Tadi saja dia menghafalkan surat-surat pendek yang diajarkan gurunya. Kenapa ada anak yang diculik bisa setenang dia, bahkan merasa baik-baik saja, padahal aku baru saja dikenalnya, batin Sinta tak mengerti.

"Umur Tante berapa sih?"

Ngapain ini anak nanya-nanya umur segala, emang mau jadi petugas sensus apa? Sintia membatin dengan dongkol juga, karena sebelum pertanyaannya dijawab gadis kecil itu akan terus bertanya.

"Tiga puluh tahun."

"Wow tiga puluh banyak amat!" Jendela mata kecil itu membelalak sempurna, mendengar jawaban Sinta.

"Banyak amat gimana?"

"Ya, banyak. Aku aja cuma enam, kok Tante tiga puluh. Eh Tante hapal surat Al-Lahab nggak?"

"Nggak!" jawab Sinta kesal.

"Tiga puluh tahun nggak hapal surat Al-Lahab, jadi Tante selama ini ngapain aja?"


Bersambung.
profile-picture
profile-picture
profile-picture
disya1628 dan 3 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh trifatoyah
profile picture
jiyanq
KASKUS Addict
@lsenseyel @trifatoyah Kalau dg kondisi yg ada sekarang udah nyaman gak perlu diet. Mungkin lebih tepat kalau mengatur pola makan agar lebih baik sesuai dg cara hidup sehat.
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
×
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di