PROLOG
Quote:
Puncak pegunungan Seribu tampak berdiri gagah dan indah berderet -deret, hijau kebiruan di bawah siraman sinar sang surya. Walau sinar itu cukup terik tapi di atas gunung udara terasa sejuk. Dari puncak gunung kemanapun mata diarahkan, terbentang pemandangan yang indah. Desa Sambirejo merupakan desa berhawa sejuk karena berada di kaki pegunungan Seribu Wonosari. Kebanyakan penduduknya hidup dari bercocok tanam.
Motor Honda Pitung berwarna merah hati bergerak seperti tergesa – gesa dengan knalpot terbatuk –batuk mengeluarkan asap kelabu kehitaman di belakangnya. Sepeda motor itu membelah jalanan aspal yang di beberapa tempat tampak menganga dan berlubang – lubang. Pengendaranya seorang pemuda berbadan kurus. Rambutnya yang panjang sebahu berkibar dipermainkan angin. Kemeja biru kotak –kotak membalut tubuhnya dipadu dengan celana kain berwana hitam.
“ Aku tidak habis pikir dengan kemalangan keluarga Mas Hartono. Pertama Ki Mangun meninggal, setelah itu anak bungsunya meninggal. Dan yang terakhir Mbak Marni. Apakah itu kutukan ya?! “ Batin pengendara sepeda motor itu yang bernama Idam.
Ingatannya kembali di pagi buta tadi saat dirinya tengah bersantai sekembalinya dari siskamling. Lik Karto ketua RT desa Sambirejo menghampirinya. Lelaki paruh baya itu dengan wajah pucat berdiri di muka pintu. Hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, kemeja berwarna gelap dengankain sarung berwarna coklat yang melingkar dari pundak sampai batas pinggang. Ia rupanya tidak mengenakan alas kaki. Entah sengaja atau memang karena terburu –buru.
“ Masuk, Lik Karto “ Idam mempersilahkan tamunya itu duduk di dalam.
“ Tidak usah, disini saja. Aku hanya ingin memberitahukan sekaligus meminta tolong “
Lik Karto menghempaskan pantatnya di balai bambu. Idam segera menyisi untuk membagi tempat duduk.
“ Ada apa ya Lik? “
Idam memebetulkan letak duduknya.
“ Marni meninggal “ Lik Karto setengah berbisik.
“ Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un....” Idam tersentak dari duduknya. Telapak tangannya beberapa kali diusapkan ke wajah.
“ Sakit? Atau bagaimana? “
“ Aku tidak tahu persisnya kata orang -orang di jalan sana karena kecelakaan. Setelah ini aku dan beberapa orang akan langsung ke rumah sakit “
“ Idam, sekarang kau susul Sasongko di Nglipar. Kau yang lebih tahu persis dimana anak itu berkerja. Dan ingat sampaikan berita ini dengan pelan –pelan. Anak itu telah banyak mengalami hal –hal yang menyedihkan belakangan ini “
“ Iya, Lik Karto “
Jalan yang dilaluinya mulai menurun curam. Sebagai pembatas karena di kanan jalan jurang menganga sangat dalam. Tepi jalan itu dibatasi menggunakan bilah – bilah bambu yang diikat menggunakan tali. Beberapa ruas menggunakan besi yang terlihat sudah banyak berkarat. Beberapa ruas ada besi yang sudah terlepas dari bautnya. Sehingga menjorok ke luar. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sorot lampu berkelebat menerpa Idam. Idam terpaku silau. Raungan mesin bergemuruh, selanjutnya terdengar suara tabrakan keras.
Brakk !!!
Idam tertabrak, motor yang dikendarainya ringsek. Mementalkan tubuh Idam beberapa meter ke samping dan...
Jlebb !!!
Idam tertancap di pagar besi pembatas jalan yang bengkok ke depan. Yang mengerikan, lehernya lebih dulu menyentuh ujung pagar bingga mayat Idam tergantung dengan leher tersangkut. Darah segar mengucur. Idam menggelinjang sekarat lalu terdiam dengan mata melotot. Dalam sekejap mata, pemuda itu mati mengenaskan. Percikan darah muncrat dimana -mana, sabagian membasahi aspal dan sebagian lagi menghampar di rerumputan. Seketika aroma amis darah menghambur di tempat itu.
Mobil oleng dan terbalik, terseret sambil berputar menghantam pagar pembatas jalan. Nasib baik mobil itu tidak sampai terhempas masuk jurang. Tidak berapa lama banyak orang berdatangan di tepi jalan untuk melihat kejadian mengerikan itu. Beberapa mobil, truk dan sepeda motor berhenti dengan seenaknya di tangah jalan sehingga kemacetan terjadi. Disalah satu mobil yang terjebak macet itu di sebelah jok belakang. Duduk satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi satu dengan dadanya. Wajahnya merah karena diberi bedak berlebihan. Gincunya tebal bukan kepalang dan alis matanya yang seperti bulan sabit diberi alat penghitam. Perempuan gemuk ini menyeringai ketika melihat tubuh Idam terpanggang besi pembatas jalan.
Quote:
Seekor babi hutan yang berdiri diam –diam di balik semak belukar, terkejut manakala terdengar suara gelegar guntur di langit. Babi itu mendengus – dengus liar. Serta merta sang penghuni hutan dengan mocong bertaring tadi melompati semak belukar lalu berlari sepanjang sebuah jalan setapak mendaki diantara pepohonan. Tiba disebuah pedataran yang agak rata. Babi hutan itu menghentikan larinya. Nafasnya mendengus –dengus semakin liar ketika sorot matanya yang tajam menangkap bayangan sesuatu di depannya. Sesuatu itu bergerak, diiringi suara desahan –desahan berat.
Sang penghuni hutan menghentakkan salah satu kaki depannya ke tanah. Lalu kembali berlari. Mahkluk itu menerobos semak belukar yang rapat dan lenyap ditelan kegelapan malam yang berkabut. Seorang pemuda mengenakan jaket tebal berwarna coklat, celana jeans belel warna biru berpaling kaget dari bangku panjang tempatnya berbaring. Melihat babi hutan itu muncul dan tahu –tahu telah menghilang lagi dalam kegelapan. Pemuda itu serentak bangkit. Gerakannya membuat bangku kayu setengah reyot yang sebelumnya ia tiduri, berderit nyaring. Suara itu seperti ingin menyaingi bunyi dengkur temannya yang tetap tidur pulas. Seolah –olah tidak terganggu sama sekali. Dari sebuah badge yang melekat di dada jaket sebelah kiri dapat diketahui pemuda ini bernama Sasongko.
Sasongko mengintip dari batas penghalang pos jaga yang mereka tempati. Menyakinkan diri bahwa si penghuni hutan sudah benar –benar pergi. Kemudian ia kembali merebahkan diri di atas bangku panjang tadi. Sekejap matanya akan terlelap tiba –tiba terdengar derap kaki kuda dari kejauhan. Sasongko serta merta kembali beranjak dari tidurnya. Pemuda itu duduk di tepi bangku panjang tadi. Kain sarung yang tadi sempat dikerukupkan di badan disingkirkannya.
“ Aneh, perasaan di daerah ini tidak ada yang punya kuda atau ada kuda liar? Tidak mungkin! Tapi mengapa ada derap kaki kuda ke arah sini?!”
Hati Sasongko bertanya –tanya keheranan. Suara derap kaki kuda itu semakin dekat dan semakin mendekat. Dari balik rerimbunan pohon muncul lah sesosok tubuh perempuan menunggang kuda berwarna putih. Perempuan ini mengenakan pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa sebuah bendera putih di tangan kanannya. Darah Sasongko tersirap seketika melihat pemandangan yang hanya berjarak beberapa langkah di depannya. Bulu kuduknya meremang tatkala dilihatnya perempuan misterius itu membawa bendera berwarna putih. Kain berdera itu tampak berlumurah sesuatu,
“ Darah...desis Sasongko,
Perempuan itu mendekati Sasongko berada. Sekarang jarak antara perempuan itu hanya sekitar lima langkah. Terlihat paras perempua itu. Setengah baya dan parasnya lumayan cantik. Hanya saja muka perempuan itu sangat pucat. Bibirnya membiru. Sasongko mengucek kedua matanya dengan punggung tangan. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“ Ibu...???! “
Sasongko terhenyak dari tidurnya. Matanya terbelalak dan pandangan menyapu ke depan dengan nanar. Tidak ada siapa –siapa di sekitarnya.
“ Aku bermimpi? Aku melihat ibu...apa yang terjadi dengan ibu?!”
“ Firasat apa itu tadi?!”
Seperti yang telah di ceritakan sebelumnya (baca : Nyi Blorong ) kehidupan yang mewah dan kaya raya akibat ngipri ular musnah dan hilang setelah kematian Hartono. Sasongko memutusakan bekerja setelah menamatkan SMA-nya. Kini ia berkerja di sebuah balai konservasi hutan di daerah Wonosari. Berkat rekomendasi dari sahabat almarhum Mangun Sarkoro yang tidak lain adalah kakeknya. Keresahannya buyar. Lamat –lamat terdengar derap kaki kuda mendekati. Jantung Sasongko bergedup kencang. Bulu kuduknya meremang. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Perlahan diusap peluh yang tiba –tiba menitik dengan deras seperti tercurah.
Kemudian ia membungkuk. Meraba – raba bagian bawah bangku tempatnya berbaring tadi. Lalu tangannya menyelusup ke bagian bawah dipan itu. Dan, akhirnya jari –jemarinya menyentuh ujung sarung pembungkus pisau komando. Semenit setelahnya ia berdiri di luar pondok jaga. Pisau terhunus ditangan kanan dan sarung pisau di tangan kiri. Matanya memandang lurus ke depan ke arah suara derap kaki kuda yang datang semakin dekat.
Quote:
Meskipun sudah siap untuk melihat apa yang akan terjadi. Akan tetapi, masih saja darah Sasongko kembali tersirap seketika melihat pemandangan yang hanya berjarak beberapa langkah di depannya. Bulu kuduknya kembali meremang tatkala dilihatnya perempuan misterius itu membawa bendera berwarna putih. Kain berdera itu tampak berlumurah darah. Persis seperti di dalam mimpinya.
“ Ibu...???! “
Lidah Sasongko kelu mengucapkan kalimat itu.
Kali ini perempuan di atas kuda itu sempat membuka mulut, berkata sangat lirih:
“Nak... tolong ibu... “
Setelah berkata begitu perempaun itupun tiba – tiba lenyap.
Sasongko sontak melompat ke depan mencari sesosok perempuan di atas kuda yang menyerupai ibunya itu. Matanya jelalatan memandang sekitar, tanpa menemui sesuatu yang dicarinya. Kurang puas, ia memutari pondok dengan teliti. Berharap orang yang dicarinya diketemukan. Namun, selain udara dingin berkabut dan kegelapan malam yang pekat, ia tidak menemukan apa –apa lagi.
Sasongko kemudian memutuskan duduk di tepi serambi pondok. Bersandar pada tiang, ia menyulut sebatang rokok. Resleting jaket ia tarik sampai sebatas leher. Dirangkul lututnya yang tertekuk, mengurangi hawa dingin yang mencucuk tulang. Di balik kepulan asap rokok, terbayang lagi wajah perempuan yang duduk di atas kuda. Wajah itu adalah wajah ibunya. Sepasang mata perempuan itu menyorotkan pandangan pilu seperti meminta belas kasihan. Dan terlebih lagi perempuan itu sempat berkata.
“ Nak...tolong Ibu?”
Apa yang sedang terjadi dengan ibu di Sambirejo? Hati ku mendadak tidak enak dan sangat khawatir. Apakah ibu sedang sakit?!
Sasongko semakin dilanda kecemasan yang teramat sangat. Sasongko menghisap rokok dengan sedotan keras. Akibatnya ia terbatuk. Rokoknya terjatuh ke pangkuan, menimbulkan percikan api pada celana jeans yang dikenakan. Cepat –cepat ia tepiskan puntung rokok menyala itu, lalu bangkit berdiri. Pundaknya tergetar. Gelisah. Apa yang ingin disampaikan ibunya? Suatu kejadian buruk? Ancaman bahaya ? Atau apa?!
“ Aku harus pulang besok pagi. Menjenguk ibu di Sambirejo. Mudah – mudahan tidak terjadi sesuatu dengan ibu “
Sasongko berniat melanjutkan tidurnya. Akan tetapi, mata pemuda ini benar –benar sulit untuk dipejamkan. Ditambah lagi suara dengkuran teman satu jaganya benar –benar berisik. Menyerupai mesin derek yang tidak pernah diberi pelumas. Sasongko mengayun langkah ke arah selatan sampai ia menemukan jalan setapak menuju jalan besar di bawah bukit.
“ Pagi cepatlah datang “ desahnya sambil menuruni jalan setapak dengan hati –hati.
Jalan didepannya gelap dan berkabut. Ia bisa saja terperosok ke jurang di balik semak belukar atau terjerumus masuk lubang bekas perangkap binatang. Sasongko tidak begitu mengenal jalan setapak ini. Ia baru melaluinya satu kali. Tadi sore, dengan si penjaga hutan sebagai petunjuk jalan. Namun ia tetap saja menerobos jalan setapak itu, didorong oleh kegelisahan hatinya akibat mimpi yang dialami.
Lamunan Sasongko buyar seketika. Langkahnya terhenti beberapa meter di atas jalan besar yang membelah hutan. Ia melihat sebuah mobil putih di parkir sedikit ke tengah jalan. Ah!ternyata ada juga pengelana malam di tengah hutan ini. Sasongko tersenyum, tetapi sekaligus heran. Oleh karena itu, ketika kembali ia ayunkan langkah. Tangannya meraba ke balik jaket. Gagang pisau komando masih terselip disana.
Quote:
Pada saat Sasongko meninggalkan pos jaga di lereng bukit, di dalam mobil sedan putih itu tengah berlangsung perdebatan sengit antara si lelaki dengan wanita teman seperjalanannya.
Ketika perempuan itu menyebut “ Sang Iblis “ sebagai sumber bencana yang mereka alami, maka si pemuda membentak marah.
“ Jangan kau sebut –sebut nama itu!”
“ Bilang saja kau takut Mas!”
“ Ya, aku memang takut”
Si pemuda mengakui lalu terdiam sejenak.
“ Tetapi bagaimana dia bisa tahu kita ada di sini?”
“ Ini daerah kekuasannya kita harus secepatnya lari dari tempat ini. Keluar dari Wonosari dan pergi sejauh –jauhnya “
“ Kita tinggalkan mobil ini !” si pemuda beranjak dari balik kemudi membuka pintu lalu keluar dari mobil. Dia berdiri di samping pintu mobil. Membiarkan pintu itu tetap menganga. Lalu terdengar suara dari dalam mobil.
“ Maksudmu kita jalan kaki? “
Si perempuan mengigil.
“ Bagaimana lagi. Mobil celaka ini tidak mau jalan juga. Kau lihat tadi?Mesinnya mati!”
Perempuan itu menengok arloji kecil berbentuk bulat yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
“ Sekarang, sekitar pukul tiga “
“ Dua jam lagi, suasana lebih terang. Baru setelah itu, aku bersedia kau ajak jalan kaki “
“ Yang lebih penting janin yang ada di perutku ini aman dan tidak terjadi hal –hal yang tidak diinginkan “
Perempuan itu mengelus perutnya yang nampak membuncit. Mungkin tengah mengandung sekitar lima bulanan. Suara perempuan itu kian rendah dan setengah mengisak. Si pemuda sadar kalau perempuannya dilanda ketakutan, seperti dirinya juga. Tetapi jalan pikiran si perempuan masih lebih masuk akal. Karenanaya, si pemuda lantas masuk kembali ke dalam mobil.
“ Sementara menunggu, apa yang harus kita lakukan? “
“ Tidur “
“ Tidur?”
Si pemuda tertawa sumbang
“ Kau masih bisa tidur dengan situasi seperti ini?”
“ Aku mulai kedinginan “
Bisik perempuan itu dengan nada mendesak. Dan ketika itu si pemuda telah membantunya untuk pindah ke jok belakang. Beberapa detik setelah berbaring di jok belakang. Perempuan itu tiba –tiba membeliak melotot matanya. Di depannya pemuda tadi tengah mencekik lehernya sendiri.
“ Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganmu itu! “
Tidak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Selain suara tenggorokan yang terjepit.
Hekh..hekh ... hekh..
Hekh..hekh ... hekh..
Mukanya merah padam. Urat –urat di lehernya membiru bertonjolan keluar. Si perempuan mencoba melepaskan cekikan tangan pemuda itu di lehernya sendiri. Tapi hal itu sia –sia belaka. Tangan itu terlalu keras dan kuat. Mata si pemuda semakin melotot merah. Seperti mau keluar dari rongga mata. Lidahnya terjulur –julur keluar. Dadanya berguncang –guncang liar. Si perempuan hanya bisa menangis histeris tanpa bisa berbuat apa –apa.
Dengan gerakan keras tiba – tiba tubuh pemuda itu seperti terbetot keluar dari mobil. Kepalanya membentur dengan keras kaca jendela samping. Kepala itu seketika rengkah. Darah muncrat membasahi kaca, jok belakang dan tubuh gadis yang masih menjerit dengan histeris. Sementara batang leher pemuda itu tersayat pecahan kaca. Luka menganga lebar. Terdengar seperti suara sapi di jagal. Darah berhamburan keluar. Tidak lama kemudian tubuh perempuan itu melosoh dan pingsan di jok belakang. Lalu suasana menjadi sepi lagi. Seperti tidak terjadi apa –apa!