KOMUNITAS
Home / FORUM / All / Story / ... / Stories from the Heart /
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/5f097c33349d0f7f756c9282/cerita-silat-bersambung-----mahakala-yajna

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrek itu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
profile-picture
profile-picture
profile-picture
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh lonelylontong
53
Hujan malam itu diiringi angin yang kencang. Langit nampak gelap gulita karena ditutupi awan tebal. Api obor bergoyang menerangi sebuah kuil kecil sebelum dimatikan oleh hempasan air hujan.

-Penggalan cerita Papat Pingpitu


Bab 5
(Patih Nandini)


Taman Nawa Kama, Keraton pribadi Prabu Jannapati, Kerajaan Watu Galuh. Luasnya beberapa hektar, dikelilingi tembok tebal setinggi dua kali orang dewasa. Pada bagian terluar mengelilingi bangunan utama, adalah barak dari 500 prajurit pilihan yang siap mati demi Pangeran Puguh yang sekarang bergelar Prabu Jannapati.

Sepanjang dinding tembok pembatas, setiap beberapa puluh meter berdiri menara penjaga, dengan setidaknya dua orang prajurit di dalamnya.

Setiap waktu, selalu ada dua belas regu prajurit, masing-masing regu beranggotakan sepuluh orang prajurit, dipimpin seorang lurah prajurit.

Total keseluruhan kesatuan di Taman Nawa Kamma, terdapat lima ratus orang prajurit, terbagi menjadi 50 kelompok kecil yang masing-masing dipimpin seorang lurah prajurit. Kemudian 50 kelompok itu dibagi menjadi dua, bagian luar dan bagian dalam, masing-masing dipimpin oleh seorang bekel.

Yang memimpin mereka semua adalah Senapati Arya Penggiling, yang bertanggung jawab langsung pada Prabu Jannapati.

Meski gelarnya hanyalah seorang senapati, tapi seorang tumenggung pun tidak berani menghalangi tugasnya. Selain Prabu Jannapati, hanya Patih Nandini yang punya hak untuk memberinya perintah.

Di bagian terdalam Taman Nawa Kama, terdapat sebuah danau kecil buatan, dengan taman yang diatur asri di sekelilingnya. Di sisi barat danau itu, dibangun sebuah pendapa kecil tak berdinding. Bau harum bunga samar-samar tercium seiring hembusan angin yang bertiup melewati pendapa itu.

Suara kicauan ratusan burung yang dilepas hidup bebas di antara pepohonan dalam taman itu, mengiringi dengus nafas seorang lelaki bercampur desah manja seorang wanita, di latar belakangi derit amben yang bergoyang berirama.

Sepasang kaki yang jenjang padat berisi, melingkar di pinggang Prabu Jannapati. Kulitnya yang putih membentuk kontras dengan kulit Prabu Jannapati yang gelap. Tubuh yang tampak lunak dan rapuh di bawah serangan tangan liar Prabu Jannapati itu meronta menggoda, diiringi erangan, menggetarkan hati Prabu Jannapati.

Tubuh-tubuh ramping, kulit yang putih dan kaki yang jenjang, khas wanita dari tanah seberang, memabukkan Prabu Jannapati dengan kecantikan dan kegenitan mereka. Sepasang kakak-beradik, hadiah dari utusan khan yang agung.

Di sekeliling pendapa itu, berbaris puluhan penjaga membelakangi pendapa. Raut wajah mereka yang keras, tak berubah sedikitpun meski telinga mereka mendengar erangan yang bisa membangkitkan nafsu dan bayangan yang liar.

Mata dan telinga mereka tertutup dari segala apa yang terjadi di dalam pendapa. Tugas mereka hanya satu, memastikan tidak ada orang atau apapun mengganggu Prabu Jannapati menyelesaikan “tugas”nya.

Pada saat Prabu Jannapati sedang menunaikan “tugas”, Rangga sedang duduk menikmati kopi hangat di salah satu bangunan dalam istana, tempat abdi dalem tinggal. Bajunya sudah berganti dengan baju yang meskipun bukan baju yang mewah, tapi jauh lebih baik dari yang biasa dia pakai. Rambutnya yang panjang sedikit basah, tersisir rapi. Tidak terlihat bahwa sebelumnya dia menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam.

Sepasang suami isteri yang sudah sangat tua, dengan telaten meladeni pemuda itu. Wajah kedua orang tua mengamati setiap gerak-gerik Rangga penuh perhatian.

“Bagaimana den? Kata orang itu namanya kopi, orang-orang berkulit pucat itu membawanya dari negeri dewa-dewa berasal.”, kata kakek tua.

“Pahit kan ya den? Tapi tumenggung-tumenggung, bahkan katanya Patih Nandini, setiap hari pasti menyempatkan diri untuk minum kopi itu.”, sambung isterinya.

“Hmm... pahit kek, nek, tapi ditambah gula aren jadi pas rasanya.”, jawab Rangga sambil menyisip kopi itu dengan nikmatnya.

Kakek dan nenek itu pun tersenyum senang mendengar jawaban Rangga.

“Kalau Den Rangga mau, kakek menyimpan satu kantung penuh kopi yang sudah digoreng dan digiling, jadi tinggal diseduh saja pakai air panas.”, ujar kakek tua itu dengan bersemangat.

“Jangan kek, nanti kalau ada yang memeriksa gudang, kakek bisa kena masalah.”, ujar Rangga menggelengkan kepala.

“Jangan kuatir den, yang ini tidak bakal ketahuan. Setan tua ini mengumpulkan kopi ini sedikit-sedikit setiap ada pengiriman baru dari orang kulit pucat itu. Nanti kalau sudah terkumpul sekantung kecil, ditukarnya kopi lama itu dengan sekantung kecil kopi yang baru datang. Lama kelamaan terkumpul cukup banyak juga.”, sahut si nenek sambil terkekeh.
“Hmm... pokoknya raden jangan kuatir. Aman den.”, timpal suaminya dengan mata berbinar.

“Hahahaha, baiklah kalau begitu. Aku akan menikmati hasil perjuangan kakek ini dengan penuh rasa syukur.”, tertawa dan mengacungkan jempol pada kakek itu.

Sepasang kakek dan nenek itu pun terlihat senang dan bangga, bisa melakukan sesuatu untuk Rangga.

“Jadi sudah sejak beberapa hari ini Adimas Puguh mengurung diri dalam Taman Nawa Kamma?”, Rangga bertanya, waktunya tak banyak dan meskipun dia menghargai sepasang suami isteri tua tersebut, tapi kedatangan-nya kali ini bukan untuk sebuah silaturahmi.

“Benar den, pertama-tama Pangeran Puguh mengundang beberapa orang adipati untuk menemui dirinya dalam sebuah pertemuan tertutup. Keesokan harinya dia mengumpulkan sekalian pejabat dan mengumumkan bahwa dirinya akan menutup diri, tirakat selama dua minggu dalam Taman Nawa Kama.”, kakek tua itu menjelaskan.

Isterinya mendengus dengan nada mengejek, saat si kakek mengatakan Pangeran Puguh bertirakat di dalam Taman Nawa Kama. Rangga tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak nenek tua itu. Lalu mengangguk ke suaminya untuk meneruskan cerita.

“Selang beberapa hari kemudian satuan-satuan pasukan dari kadipaten-kadipaten, yang adipatinya diundang dalam pertemuan tertutup itu satu per satu mulai berkumpul, mendirikan perkemahan di sekitaran ibu kota.”, demikian kakek tua itu menyelesaikan laporannya.

Rangga mendesah panjang, wajahnya tampak muram. Sambil berpikir, disesapnya kopi yang masih hangat. Kedua pasang suami isteri tua itu tak berani mengganggu Rangga yang sedang termenung-menung itu.

“Kakek bilang, Patih Nandini selalu mendatangi Taman Nawa Kamma setidaknya satu hari sekali?”, Rangga keluar dari lamunannya dan bertanya.

“Benar raden, setelah selesai segala urusan pemerintahan, tentu di akhir hari Patih Nandini akan menyempatkan diri menemui Pangeran Puguh.”, jawab kakek tua.

“Hmm... baiklah, aku akan mencoba menemuinya.”, Rangga mengambil keputusan.

“Hati-hati raden, Patih Nandini adalah orang yang pilih tanding, dan dia juga sangat setia pada Pangeran Puguh.”, kakek tua itu terkejut mendengar keputusan Rangga.

“Benar den, menurut cerita yang kami dengar, saat Patih Nandini masih remaja, dia terlunta-lunta di sebuah kadipaten. Mengemis di jalanan... dan Pangeran Puguh-lah yang menolong dan mengangkat derajatnya.”, isterinya menimpali.

“Bagi Patih Nandini, Pangeran Puguh sudah seperti orang tuanya sendiri.”, suaminya menambahkan.

“Jangan kuatir kek... nek... itu artinya dia orang yang tepat untuk kutemui.”, Rangga bangkit berdiri dan menenangkan mereka dengan senyumannya.

Rangga berjalan hendak keluar rumah dari pintu belakang. Sepasang suami dan isteri yang sudah renta itu mengikutinya dengan hormat. Mata si nenek tua, terlihat berkaca-kaca. Suaminya meremas tangan si nenek, dan menepuk-nepuk punggungnya lembut.

“Oh ya, haha, sebelum aku lupa, mana kopinya kek. Mungkin aku akan segera kembali ke Kademangan Jati Asih setelah aku bertemu dengan Patih Nandini, tanpa sempat menemui kalian kembali.”, ketika hampir sampai di pintu.

“Ah ya benar, bagaimana aku bisa lupa. Nek, cepat ambilkan kopinya.”, ujar si kakek sambil menepuk kepala.

“Oalah, ki ki... kamu sekarang jadi pelupa.”, ujar isterinya sambil terkekeh, bergegas pergi ke dalam untuk mengambil kopi yang diminta Rangga.

Ketika nenek itu sedang pergi ke dalam kamar, Rangga berkata dengan suara rendah, “Kek... aku berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah, pecah perang antar kerabat, namun menilik sifat Adimas Puguh, hal itu akan sulit dihindari.”

“Lalu bagaimana den?”, kakek itu bertanya dengan nada prihatin.

Rangga terdiam beberapa lama sebelum menjawab, “Aku tidak tahu kek... kali ini aku tidak bisa memikirkan jalan yang terbaik. Jika kakek dan nenek pergi dari ibukota, bisa jadi hal itu justru mengundang kecurigaan Dimas Puguh dan membawa petaka bagi kalian, tapi...”

Kakek itu dengan tangan bergetar menyentuh lengan Rangga, “Raden, biarkan kami yang membuat keputusan. Sama seperti dua puluh tahun yang lalu, ketika raden bertanya pada kami.”

Rangga memandangi wajah laki tua renta itu. Gurat keriput sudah memenuhi wajahnya, satu-dua noda-noda gelap menghiasi kulitnya yang terbakar matahari. Namun wajah kakek itu terasa berpendar dengan kedamaian yang memancar dari dalam batinnya.

“Aku berhutang banyak pada kalian berdua.”, desah Rangga sedih.

“Hahaha, tak sebanyak hutang kami pada ayah dan ibu raden. Lagipula kami sudah renta, seberapa panjang lagi kami masih hidup, tidak terlalu banyak bedanya.”, ujar kakek tua itu dengan ringan.

“Benar kata dia itu den... justru raden yang masih muda, masih menyimpan banyak harapan dan menanggung banyak tugas yang harus menjaga diri raden baik-baik. Jangan mengambil tindakan yang membahayakan diri raden”, sambung isterinya yang berjalan keluar sambil membawa sekantung kopi di tangan.

“Hahaha... nenek tak perlu kuatir, di seluruh Bhumi Adyatna ini, tidak ada yang bisa menyentuhku seujung kuku-pun tanpa aku kehendaki.”, Rangga tertawa menyombongkan diri, bola matanya bergerak kocak, menggoda si nenek.

Nenek tua itu berusaha tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya saling berpandangan saja. Tak ada kata yang bisa terucap.

“Aku pergi...”, akhirnya Rangga berpamitan.

Kemudian sambil mengangkat kantung kopi di tangannya dia tertawa, “Hahaha, aku sudah bisa membayangkan betapa nikmatnya minum kopi ini di pagi hari, sambil teringat dari mana kopi ini berasal. Hahaha, kakek, sesekali kau campurkanlah tai kering tikus dalam biji kopi mereka.”

Bagi Rangga tak sulit melompati tembok halaman belakang yang tak seberapa tinggi itu, dan dengan cepat dia menghilang di antara lorong rumah-rumah panjang. Mereka yang tinggal di perkampungan kecil ini hanyalah abdi dalem istana biasa, tidak ada yang bisa melihatnya di luar kemauannya.

Ketika Rangga sudah pergi beberapa lama, terdengar suara nenek tua itu terisak.

“Lho lho, kenapa nyi... jangan ditangisi Den Rangga sudah tumbuh besar, jadi laki-laki yang tanggon. Tidak ada yang perlu ditangisi.”, ujar suaminya berusaha menghibur.

“Oalah ki...ki... seluruh kerajaan ini mestinya itu jadi milik dia, tapi sekarang dia cuma pergi bawa kopi. Piye to ki... ki..”, nenek itu berkata sambil menangis sesenggukan, suaminya hanya bisa memeluk isterinya, sambil mengusap air mata yang menetes.

Tiba-tiba si kakek menggeram dan berlari ke dapur.

“Ki.. ki... mau apa kamu?”, isterinya terkejut dan heran.

“Mau cari tai kering tikus, buat kucampur ke kopi untuk pejabat-pejabat tak punya malu itu.”, sahut si kakek dari dalam dapur.

Isterinya pun bergegas memburu ke dalam sambil mengomel, “Ngawur... ngawur.. Den Rangga itu cuma guyon. Jangan sembarangan cari masalah.”

-----

Patih Nandini hanya ditemani dua orang pengawal pribadi, ketika dia meninggalkan gedung balai pertemuan dan pergi berjalan kaki menuju Taman Nawa Kama. Usianya masih sangat muda bagi seorang yang menduduki jabatan tertinggi dalam sebuah kerajaan. Sebagai seorang patih, bisa dikatakan seluruh kekuasaan pemerintahan ada di tangannya, hanya Prabu Jannapati yang punya hak untuk mengoreksi atau membatalkan keputusannya.

Wajahnya cakap dan berwibawa, tubuhnya tinggi tegap berisi. Kemampuannya dalam bermain politik sudah teruji saat Pangeran Adiyasa berusaha mengambil alih kedudukan Prabu Jannapati sebagai putera mahkota. Kemampuannya dalam tata pemerintahan juga sudah dia tunjukkan selama beberapa minggu ini dia menjalankan tugas. Hanya dalam hal ilmu kanuragan, yang belum pernah sungguh-sungguh teruji.

Di tengah perjalanan, Patih Nandini melihat seorang abdi dalem sedang membawa tongkat kayu dan berusaha meraih sebuah sarang tabuhan yang tergantung di satu ranting pohon yang tinggi. Beberapa ekor tabuhan terlihat keluar masuk sarangnya, tapi untung tongkat kayu itu belum sampai kena ke sarang mereka.

“Hei!”, seru Patih Nandini pada laki-laki itu.

Mendengar seruan-nya laki-laki itu pun berhenti, dan ketika dia melihat bahwa yang memanggilnya adalah Patih Nandini, maka buru-buru dia berlari mendekat sambil memberi hormat.

“Jangan kau lakukan itu. Apa kau tidak tahu bahayanya mengganggu tabuhan?”, tanya Patih Nandini.

“Apa bedanya dengan tawon biasa?”, tanya laki-laki itu.

“Tentu saja beda, sengat tabuhan jauh lebih berbahaya, lagipula mereka bisa menyengat berkali-kali, tidak seperti tawon biasa. Jika tidak mengganggu, sebaiknya biarkan saja.”, jawab Patih Nandini dengan sabar.

“Mengganggu sih tidak, tapi bikin sepet mata kalau melihatnya.”, sahut laki-laki itu sambil nyengir lebar.

“Dasar tidak tahu sopan santun, kau tahu sedang bicara dengan siapa!?” Salah seorang pengawal Patih Nandini kehilangan kesabaran, tangannya sudah bergerak seperti hendak menarik senjata di pinggang, membuat laki-laki yang ditegur itu, menyurut mundur ketakutan dan jatuh terduduk di tanah.

Patih Nandini dengan tangkas menangkap pergelangan tangan pengawalnya itu. “Tahan.”

Kemudian berbalik ke arah laki-laki yang terduduk di tanah itu, Patih Nandini berusaha menenangkan dia, “Tidak usah takut, tidak ada apa-apa. Hanya saja sebaiknya kau mendengarkan nasihatku, biarkan tabuhan itu hidup dengan tenang, jangan kau ganggu.”

Dengan terbata-bata, laki-laki itu menganggukkan kepala berkali-kali sambil mengiyakan, “Baik den, benar den, kalau tidak mengganggu ya jangan diganggu. Toh tabuhan itu diam saja di sarangnya, tidak mengganggu aku. Kalau aku ganggu, justru nanti disengatnya aku.”

Patih Nandini tersenyum, “Benar, toh dia tidak mengganggumu, jadi kenapa kau membahayakan dirimu dengan mengganggu dia.”

“Benar den, benar sekali, bodoh sekali aku tadi. Buat apa aku mengutak-atik tabuhan yang tidak bersalah apa-apa itu.”, keluh laki-laki itu sambil memukul kepalanya sendiri.

“Tadi aku merasa terancam melihat sarang tabuhan yang besar itu. Lama-lama aku merasa sebal melihatnya,” ujar laki-laki itu berusaha menjelaskan.

“Hmm... tabuhan tidak akan menyengatmu, asal kau juga jangan mengganggu-nya. Sekarang pergilah, tidak usah kau usik lagi sarang tabuhan itu.”, kata Patih Nandini sembari memberi tanda pada laki-laki itu untuk pergi.

“Baik den.” Ujar laki-laki itu dengan hormat.

Patih Nandini dan kedua pengawalnya pun melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dada Patih Nandini berdebar keras, sebuah ingatan berkelebat dalam benaknya. Buru-buru dia berbalik, namun laki-laki itu sudah tak terlihat. Wajah Patih Nandini terlihat tegang, matanya tajam berkeliling menyelidik, berusaha menangkap sosok laki-laki tadi. Kedua pengawalnya jadi ikut tegang melihat gerak-gerik Patih Nandini, dengan tangan siap di gagang senjata, mereka ikut mengamati keadaan di sekitar mereka.

“Apakah kalian bisa mengingat wajah laki-laki tadi?”, Patih Nandini menegakkan tubuhnya, matanya masih sesekali dengan tajam menyapu ke sekelilingnya.

“Laki-laki yang mana Ki Patih?”, salah satu pengawal balik bertanya, tapi baru saja dia selesai bertanya, wajahnya berubah menjadi pucat.

“Setan...”, desisnya marah, marah bercapur rasa takut.

“Bagaimana denganmu, kau juga lupa tentang laki-laki barusan?”, Patih Nandini bertanya pada pengawal yang lain.

Pengawal itu menggelengkan kepala, susah payah dia meneguk ludah dan menjawab, “Iya Ki Patih, jika Ki Patih tidak bertanya, tentu aku sudah lupa sama sekali.”

Kedua pengawal itu saling berpandangan, mereka bukan orang yang tidak berilmu. Sebagai orang yang dipilih secara pribadi oleh Patih Nandini, tentu mereka memiliki kelebihan dibanding prajurit kebanyakan. Meski mereka lebih banyak menekuni ilmu kanuragan, dibanding menekuni ilmu kebatinan, tapi latihan-latihan yang mereka jalani membuat batin mereka cukup kuat.

“Apa kita perlu mencarinya Ki Patih?”, tanya mereka.

“Lupakan saja, orang itu sudah tidak ada di sini.”, ujar Patih Nandini menenangkan kedua pengawalnya.

Melihat mereka masih terguncang oleh peristiwa yang baru saja terjadi, Patih Nandini berkata pada mereka, “Orang itu tidak memiliki niat jahat terhadap kita, sehingga keberadaan-nya tidak memancing naluri pertahanan kita. Itu sebabnya dengan mudah dia bisa membuat kita larut dalam ilusi yang dia ciptakan.”

Kedua pengawal itu merasa sedikit lega mendengar penjelasan Patih Nandini. Meskipun demikian barulah ketika bersama Patih Nandini mereka meninggalkan tempat itu, mereka benar-benar merasa lega.

Sepanjang perjalanan, Patih Nandini tenggelam dalam benaknya sendiri, 'Siapa dia? Apa tujuannya mencegat kami tadi?'

Bersambung ke Bab VI
profile-picture
profile-picture
profile-picture
danjau dan 8 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh lonelylontong
profile picture
brigadexiii
KASKUS Addict
wow dulu udh pernah buat jg ??
gpp salah, lha wong sejarah Nusantara aja masih samar samar 😁
profile picture
TS lonelylontong
KASKUS Freak
@brigadexiii Mau bikin, tapi baru nulis dah mumet gan, wkwkwk.

Lagian ambil tokoh beneran, bayangin kalau salah gmn gitu, wkwkwkwk.
Memuat data ...
1 - 2 dari 2 balasan
×
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di