- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Penggunaan delik makar untuk bungkam aktivis malah suburkan gerakan Papua merdeka


TS
mabdulkarim
Penggunaan delik makar untuk bungkam aktivis malah suburkan gerakan Papua merdeka
Penggunaan delik makar untuk bungkam aktivis malah suburkan gerakan Papua merdeka

July 27, 2024 in Polhukam, Provinsi Papua, Tanah Papua
Diskusi peluncuran laporan penelitian AlDP dan Tapol, “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (26/7/2024). - Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan pengenaan delik makar untuk memidana para aktivis di Tanah Papua tidak meredupkan gerakan perjuangan Papua merdeka. Anum menyatakan lebih baik pemerintah membuka dialog dengan berbagai pihak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah di Papua, ketimbang memidana aktivis dengan delik makar.
Hal itu disampaikan Anum dalam peluncuran laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” di Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/7/2024). Anum mengatakan pengenaan delik makar terhadap aktivis Papua sudah tidak efektif.
Menurutnya, penggunaan delik makar untuk memidana dan membungkam aktivis justru membuat semakin banyak orang melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah. Apalagi ketika penangkapan terhadap aktivis atau pembubaran demonstrasi dilakukan secara sewenang-wenang, disertai penghinaan dan pembunuhan karakter, bahkan penghilangan nyawa.
Menurut Anum, penggunaan delik makar bahkan menguatkan eksistensi dan menjadi rekognisi seorang aktivis pro demokrasi atau aktivis gerakan Papua merdeka. Pemidanaan terhadap para aktivis itu malah memperluas semangat perlawanan, solidaritas, bahkan menumbuhkan jaringan generasi baru untuk memperjuangkan Papua merdeka.
“Kuatnya perlawanan politik [tetap ada], meskipun telah didakwa berkali-kali dengan pasal makar. Maka seharusnya negara mengubah pendekatan itu,” kata Anum.
Berulang kali
Laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” disusun AlDP dan Tapol. Laporan itu merupakan analisa atas 52 putusan pengadilan dalam perkara delik makar, dan wawancara terhadap 16 orang terdiri atas akademisi, tahanan politik, aktivis, pengacara dan tim non-litigasi. Wawancara itu dilakukan di berbagai kabupaten di Tanah Papua, termasuk di Fakfak, Sarmi, Jayapura, Manokwari dan Wamena.
Anum mengatakan penelitian itu menunjukkan fakta bahwa pendekatan hukum melalui delik makar yang dilakukan selama ini tidak memberikan efek jera terhadap aktivis pro demokrasi terutama aktivis pro kemerdekaan Papua. Menurut Anum bahkan beberapa aktivis pro kemerdekaan Papua yang telah ditangkap dan diadili dengan delik makar lebih dari sekali tanpa dihantui rasa takut atau jera.
“[Pidana] makar gagal mengubah aktivis Papua pro kemerdekaan menjadi pro NKRI. Mulai dari Theys Eluay, John Mambor, Don Flassy, Filep Karma, Buchtar Tabuni, hingga generasi baru Melvin Yobe dan kawan-kawan,” kata Anum.
Anum mengatakan Buktar Tabuni bahkan sudah tiga kali didakwa kasus makar. Ketiga kasus makar itu terkait keterlibatan Buktar Tabuni dalam demonstrasi 15 Oktober 2008, Juni 2012, dan Agustus 2019.
Steven Itlay, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika, juga tiga kali dipenjara dengan delik makar. Itlay dipenjara pada 2012 dalam perkara kepemilikan senjata api, lalu dipenjara lagi karena mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG). Ia dipenjara untuk ketiga kalinya karena keterlibatannya dalam demonstrasi menolak tindakan rasisme terhadap para mahasiswa asal Papua di Surabaya pada 2019.
Anum mengatakan ada juga kasus Yanto Awerkion. Awerkion pertama kali didakwa makar karena terlibat ibadah dan dukungan pengumpulan tanda tangan petisi manual dan penutupan tanda tangan petisi manual wilayah Bomberay pada 30 Mei 2017. Awerkion kembali didakwa makar bersama Sem Asso dan Edo Dogopia karena terlibat perayaan HUT ke-5 KNPB dan PRD Wilayah Timika pada 30 Desember 2018.
Anum menyatakan penggunaan delik makar untuk membungkam para aktivis gerakan Papua merdeka itu justru memperlancar estafet gerakan tersebut. Anum mencontohkan munculnya generasi baru dalam gerakan Papua merdeka, seperti Malvin Yobe, Melvin Fernando Waine, Devion Tekege, Yoseph Ernesto Matua, Maksimus Simon Petrus You, Lukas Kitok Uropmabin, Ambrosius Fransiskus Elopere, serta Zode Hilapok. Mereka bersama-sama ditangkap dan didakwa makar karena mengibarkan bendera biintang kejora di GOR Jayapura pada 1 Desember 2021.
Belakangan, Yosep Ernesto Matuan, Devio Tekege, Ambros Fransiskus Elopere kembali didakwa dengan pasal makar terkait orasi dan pembentangan bendera bintang kejora di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura pada 10 November 2022.
“[Ketika] Melvin Yobe dan kawan-kawan bebas, dua bulan [kemudian teman-temannya] masuk [penjara dan divonis makar] lagi. Mereka tidak takut,” ujarnya.

Hormati ekspresi politik
Anum mengatakan AlDP dan Tapol merekomendasikan agar pemerintah menjamin dan menghormati hak warga negara untuk berekspresi dalam bentuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di muka umum. Menurutnya, pemerintah juga harus menghormati dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat adat.
Untuk bisa melakukan itu, pemerintah harus menghilangkan stigma terhadap masyarakat sipil di Tanah Papua, khususnya orang asli Papua. “Tidak boleh ada stigma bagi orang asli Papua,” ujarnya
AlDP dan Tapol juga merekomendasikan agar penegakan hukum dilakukan secara profesional berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Setiap proses hukum juga harus mengikuti ketentuan KUHAP secara benar dan tepat, mematuhi Peraturan Kapolri tentang implementasi standar dan pokok HAM, manajemen penyidikan, dan mekanisme menghadapi massa aksi. Setiap penangkapan, penahanan dan penempatan pasal secara sewenang-wenang harus dihindari.
Anum mengatakan lembaga yudikatif juga harus bersikap independen, mempertimbangkan fakta persidangan, dan aktif untuk melakukan penemuan hukum ketika memeriksa dan memutus perkara makar. Pemidanaan harus menjadi ultimum remedium dalam hal penegakan hukum terkait dengan hak berekspresi. “Keputusan majelis hakim juga cenderung diintervensi oleh kepentingan politik dalam kasus makar,” katanya.
Anum mengatakan AlDP dan Tapol juga merekomendasikan pemerintah harus membuka dialog dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mencari alternatif penyelesaian masalah di Papua. Menurutnya, pemerintah harus membuka diri untuk mendiskusikan solusi Papua dengan kelompok pro kemerdekaan Papua.
“Masyarakat sipil harus advokasi. Supaya negara tahu. Semua tahu tidak ada efektif [pasal makar]. Dikasih otonomi khusus supaya kasus makar menurun, tapi setelah otonomi khusus kasus makar terus meningkat. Kan tidak efektif? Dari zaman Pak Theys Eluay sampai Marvin Yobe. Mereka orang yang berulang [didakwa dengan delik makar], jadi itu sudah tidak efektif,” ujarnya.
Membahayakan kebebasan berekspresi
Peneliti HAM, Papang Hidayat mengatakan penggunaan delik makar untuk memidana aktivis di Tanah Papua membahayakan kebebasan berekspresi di Indonesia dan secara khusus di Tanah Papua. Menurut Papang, Papua mengalami kemunduran dalam hal ruang kebebasan berekspresi, karena ekspresi politik yang dilakukan secara damai selalu dibungkam dengan delik makar.
“[Kebebasan berekspresi di Tanah Papua] semakin mengalami kemunduran dalam 10 tahun terakhir. Mundur karena [aktivis bersuara masalah HAM di Papua] selalu dikaitkan dengan separatis, baik itu aktivis HAM hingga LSM. Stigma masih ada, [apalagi] terhadap orang Papua, bahwa orang dengan rambut keriting, kulit hitam itu separatis. [Itu] membahayakan kebebasan berekspresi,” katanya.
Menurut Papang, ketika kasus makar disoroti publik, situasi itu membuat hakim-hakim lebih hati-hati dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara dalam perkara makar. “Sebelumnya [hukuman pidana penjara] bisa sampai 10 tahun. Kasus makar nuansa politiknya tinggi,” ujarnya.
Papang mengatakan ekspresi Papua merdeka merupakan bentuk ekspresi yang harus dilindungi, bahkan ketika substansi ekspresi itu tidak sesuai dengan pandangan politik di Indonesia. Papang menegaskan pemidanaan aktivis politik Papua seharusnya sudah diakhiri, dan berbagai pasal makar diamandemen sesuai stander HAM internasional.
“Ini merupakan konsekuensi dari langkah Pemerintah Indonesia meratifikasi berbagai instrumen HAM Internasional,” ujarnya.
Salah satu terpidana kasus makar di Tanah Papua, Melvin Yobe mengatakan dirinya akan terus memperjuangkan nasib bangsanya. Menurutnya Pemerintah Indonesia takut menyelesaikan masalah di Tanah Papua, terutama masalah politik.
Yobe mengatakan Pemerintah Indonesia tidak punya keseriusan dalam menyelesaikan persoalan di Tanah Papua. Yobe mengatakan selama persoalan di Papua tidak diselesaikan, maka konflik akan terus berlanjut, dan warga terus menjadi korban.
“Setelah kami bebas, kami pun tidak puas, karena di bagian [persoalan politik] ini belum diselesaikan dengan baik. Kami kasihan semua orang jadi korban, entah itu orang Papua maupun orang luar Papua. Sama-sama korban,” katanya. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/penggu...papua-merdeka/
Prof Melkias Hetharia: Ekspresi Papua merdeka bukan makar

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia SH MH. - Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia SH MH mengatakan ekspresi terkait Papua merdeka yang sering dilakukan aktivis Papua secara damai itu bukan merupakan tindakan makar. Hetharia mengatakan negara seharusnya melakukan revisi terhadap pasal-pasal makar yang termuat dalam KUHP.
Hal itu disampaikan Hetharia dalam diskusi peluncuran laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” di Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/7/2024). Hetharia menyatakan istilah makar yang diatur Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bahasa Indonesia telah diartikan sangat luas, dan tidak sejalan dengan arti “aanslag” dalam bahasa Belanda, bahasa yang digunakan penyusun Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP.
“Aanslag” dalam bahasa Belanda yang artinya serangan. Serangan dalam pengertian itu adalah perbuatan fisik menggunakan kekuatan penuh untuk merebut kekuasaan.
“Annslag itu tindakan konkret menggulingkan pemerintah yang sah, atau mengubah dasar negara, menghancurkan negara. Orang berteriak merdeka kenapa harus di bawa ke makar. Hanya sebatas berteriak merdeka, gambar bintang kejora, kaos bintang kejora, ngapain harus sampai [dikenakan makar]. Duduk bicara merdeka [adalah] hal biasa. Masak hukum pidana mau masuk ke pikiran manusia? Ada wilayah moral dan etika tidak perlu dimasukkan [dalam pengaturan] hukum pidana,” ujar Hetharia dalam diskusi laporan itu.
Laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” disusun oleh Aliansi untuk Demokrasi Papua (AlDP) dan Tapol. Laporan itu merupakan analisa 52 putusan kasus makar, serta hasil wawancara terhadap 16 akademisi, tahanan politik, aktivis, pengacara, dan tim non-litigasi. Wawancara dilakukan di berbagai kabupaten di Tanah Papua, termasuk di Fakfak, Sarmi, Jayapura, Manokwari dan Wamena.

Hetharia pasal makar yang sering dikenakan bagi aktivis Papua itu adalah pasal buatan Kerajaan Belanda untuk melindungi pemerintahan dan negara Belanda terhadap serangan kudeta dan revolusi. Delik makar bahkan baru dirumuskan Kerajaan Belanda setelah melihat Revolusi Rusia.
Menurut Hetharia, saat Kerajaan Belanda menjajah Indonesia, mereka menggunakan pasal itu sebagai alat untuk memidana para pejuang kemerdekaan Indonesia. “Pasal-pasal itu dipergunakan sebagai pamungkas untuk menekan, menindas pejuang-pejuang kemerdekaan,” katanya.
Hetharia menjelaskan Wetboek van Strafrecht (WvS) diberlakukan kembali di Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk delik makar di dalamnya. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakannya untuk menindas perjuangan-perjuangan kemerdekaan yang ada di beberapa provinsi.

Pasal makar itu kemudian sering digunakan untuk memberangus kelompok pro kemerdekaan di Papua. “Mau bicara soal merdeka saja ditangkap. Jadi memang undang-undang subversif [sudah] dicabut, tapi berbagai pasal makar itu masih diterapkan sampai sekarang,” ujarnya.
Menurut Hetharia, penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua yang menyatakan pendapat atau ekspresi merdeka sedamai merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Hetharia mengatakan berbagia pasal makar itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea I. Hetharia mengatakan pasal makar sudah pernah disengketakan di Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2017, namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review itu.
“Pembukaan UUD 1945 [menyatakan] bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan Papua juga mau minta merdeka. Itu hal-hal biasa, itu bukan hal yang luar biasa. Itu memang Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi. Papua minta merdeka itu hal biasa, itu HAM yang harus dijunjung tinggi,” ujarnya.
Hetharia mengatakan negara hendaknya menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Hetharia mengatakan pasal-pasal makar yang diterapkan harus sesuai dengan perkembangan konsep Hak Asasi Manusia.
“Sebelum negara ada, sudah ada HAM. Negara bukan pemberi HAM. Negara wajib melindungi, menjamin HAM. Itu eksistensi dan esensi hadirnya negara. Harusnya pasal makar itu ditinjau kembali seusia dengan perubahan konstitusi yang sudah berlangsung. Sudah tidak cocok lagi dengan konstitusi kita, harusnya segera direvisi,” katanya.
Tidak tepat
Advokat HAM, Christian Yan Warinussy mengatakan penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua tidak tepat. Warinussy mengatakan makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan 106 KUHP lebih tepat dikenakan kepada pelaku perbuatan pidana menyerang Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan upaya pemisahan sebagian atau seluruh wilayah NKRI.
Warinussy mengatakan penerapan pasal makar terhadap aktivis Papua saat ini semata-mata untuk membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Menurut Warinussy, pasal makar seyogyanya digunakan untuk perbuatan yang benar-benar bersifat merongrong negara.
“Sepanjang pengalaman saya sebagai Advokat selama 30 Tahun, saya baru ketemu saat peradilan terhadap Forkorus Yaboisembut pasca Deklarasi Berdirinya Negara Republik Federal Papua Barat pada 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus, Padang Bulan Abepura, Kota Jayapura. Mereka dianggap mendirikan negara di dalam negara. Itu yang menurut pandangan hukum saya sedikit mengarah ke makar yang dimaksud dalam Pasal 106 KUHP. Selebihnya tidak, karena orasi, unjuk rasa, demonstrasi, menaikkan bendera Bintang Kejora, membawa bendera Bintang Kejora saja dan bahkan ibadah syukur saja,” kata Warinussy kepada Jubi, pada Sabtu.

Advokat Iwan Niode dalam diskusi pada Jumat mengatakan makar di dalam KUHP tidak memberikan definisinya, tetapi hanya penafsiran. Hal itu membuat penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua terus terjadi.
“Selama tidak ada pembatasan penjelasan di KUHP. Kalau tidak kamu kasih naik apapun akan dibilang makar. Itu kemudian menjadi pasal karet. Penafsirannya luas [dan] Kita memahami serangan itu berbeda-beda. Makar kasus yang berulang sampai detik ini. Saya menangi [kasus makar] mulai dari 2000,” ujarnya.
Iwan mengatakan penegakan HAM di Papua masih bersifat setengah hati. Menurutnya, penggunaan delik makar untuk menangkap atau menahan aktivis pro demokrasi atau aktivis pro kemerdekaan Papua harus dilawan dengan upaya hukum Pra Peradilan. “Perlu ada Pra Peradilan saat penangkapan. Selama ini kita jarang melakukan Pra Peradilan. Walaupun kemungkinan menang kecil, setidaknya kita bisa [menyoal] proses penangkapan maupun penahanan itu,” katanya.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Pdt Matheus Adadikam mengatakan ekspresi Papua Merdeka merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Namun, kata Adadikam, aktivis Papua sering ditangkap, ditahan, dan dikenai pasal makar jika menyatakan pendapat atau aspirasinya tentang Papua merdeka. Orang Papua juga masih mendapatkan stigma yang buruk dari negara.
“[Masih ada] stigma rambut kribo, kumis itu OPM. Kita baru bicara Papua Merdeka saja sudah ditangkap. Semua menjadi sulit,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/prof-m...a-bukan-makar/
masalah ekspersi kemerdekaan Papua dan keinginan aktivis OPM agar pemerintah membuka dialog mengenai kemerdekaan Papua

July 27, 2024 in Polhukam, Provinsi Papua, Tanah Papua
Diskusi peluncuran laporan penelitian AlDP dan Tapol, “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (26/7/2024). - Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan pengenaan delik makar untuk memidana para aktivis di Tanah Papua tidak meredupkan gerakan perjuangan Papua merdeka. Anum menyatakan lebih baik pemerintah membuka dialog dengan berbagai pihak untuk mencari alternatif penyelesaian masalah di Papua, ketimbang memidana aktivis dengan delik makar.
Hal itu disampaikan Anum dalam peluncuran laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” di Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/7/2024). Anum mengatakan pengenaan delik makar terhadap aktivis Papua sudah tidak efektif.
Menurutnya, penggunaan delik makar untuk memidana dan membungkam aktivis justru membuat semakin banyak orang melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah. Apalagi ketika penangkapan terhadap aktivis atau pembubaran demonstrasi dilakukan secara sewenang-wenang, disertai penghinaan dan pembunuhan karakter, bahkan penghilangan nyawa.
Menurut Anum, penggunaan delik makar bahkan menguatkan eksistensi dan menjadi rekognisi seorang aktivis pro demokrasi atau aktivis gerakan Papua merdeka. Pemidanaan terhadap para aktivis itu malah memperluas semangat perlawanan, solidaritas, bahkan menumbuhkan jaringan generasi baru untuk memperjuangkan Papua merdeka.
“Kuatnya perlawanan politik [tetap ada], meskipun telah didakwa berkali-kali dengan pasal makar. Maka seharusnya negara mengubah pendekatan itu,” kata Anum.
Berulang kali
Laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” disusun AlDP dan Tapol. Laporan itu merupakan analisa atas 52 putusan pengadilan dalam perkara delik makar, dan wawancara terhadap 16 orang terdiri atas akademisi, tahanan politik, aktivis, pengacara dan tim non-litigasi. Wawancara itu dilakukan di berbagai kabupaten di Tanah Papua, termasuk di Fakfak, Sarmi, Jayapura, Manokwari dan Wamena.
Anum mengatakan penelitian itu menunjukkan fakta bahwa pendekatan hukum melalui delik makar yang dilakukan selama ini tidak memberikan efek jera terhadap aktivis pro demokrasi terutama aktivis pro kemerdekaan Papua. Menurut Anum bahkan beberapa aktivis pro kemerdekaan Papua yang telah ditangkap dan diadili dengan delik makar lebih dari sekali tanpa dihantui rasa takut atau jera.
“[Pidana] makar gagal mengubah aktivis Papua pro kemerdekaan menjadi pro NKRI. Mulai dari Theys Eluay, John Mambor, Don Flassy, Filep Karma, Buchtar Tabuni, hingga generasi baru Melvin Yobe dan kawan-kawan,” kata Anum.
Anum mengatakan Buktar Tabuni bahkan sudah tiga kali didakwa kasus makar. Ketiga kasus makar itu terkait keterlibatan Buktar Tabuni dalam demonstrasi 15 Oktober 2008, Juni 2012, dan Agustus 2019.
Steven Itlay, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika, juga tiga kali dipenjara dengan delik makar. Itlay dipenjara pada 2012 dalam perkara kepemilikan senjata api, lalu dipenjara lagi karena mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG). Ia dipenjara untuk ketiga kalinya karena keterlibatannya dalam demonstrasi menolak tindakan rasisme terhadap para mahasiswa asal Papua di Surabaya pada 2019.
Anum mengatakan ada juga kasus Yanto Awerkion. Awerkion pertama kali didakwa makar karena terlibat ibadah dan dukungan pengumpulan tanda tangan petisi manual dan penutupan tanda tangan petisi manual wilayah Bomberay pada 30 Mei 2017. Awerkion kembali didakwa makar bersama Sem Asso dan Edo Dogopia karena terlibat perayaan HUT ke-5 KNPB dan PRD Wilayah Timika pada 30 Desember 2018.
Anum menyatakan penggunaan delik makar untuk membungkam para aktivis gerakan Papua merdeka itu justru memperlancar estafet gerakan tersebut. Anum mencontohkan munculnya generasi baru dalam gerakan Papua merdeka, seperti Malvin Yobe, Melvin Fernando Waine, Devion Tekege, Yoseph Ernesto Matua, Maksimus Simon Petrus You, Lukas Kitok Uropmabin, Ambrosius Fransiskus Elopere, serta Zode Hilapok. Mereka bersama-sama ditangkap dan didakwa makar karena mengibarkan bendera biintang kejora di GOR Jayapura pada 1 Desember 2021.
Belakangan, Yosep Ernesto Matuan, Devio Tekege, Ambros Fransiskus Elopere kembali didakwa dengan pasal makar terkait orasi dan pembentangan bendera bintang kejora di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura pada 10 November 2022.
“[Ketika] Melvin Yobe dan kawan-kawan bebas, dua bulan [kemudian teman-temannya] masuk [penjara dan divonis makar] lagi. Mereka tidak takut,” ujarnya.

Hormati ekspresi politik
Anum mengatakan AlDP dan Tapol merekomendasikan agar pemerintah menjamin dan menghormati hak warga negara untuk berekspresi dalam bentuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di muka umum. Menurutnya, pemerintah juga harus menghormati dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat adat.
Untuk bisa melakukan itu, pemerintah harus menghilangkan stigma terhadap masyarakat sipil di Tanah Papua, khususnya orang asli Papua. “Tidak boleh ada stigma bagi orang asli Papua,” ujarnya
AlDP dan Tapol juga merekomendasikan agar penegakan hukum dilakukan secara profesional berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Setiap proses hukum juga harus mengikuti ketentuan KUHAP secara benar dan tepat, mematuhi Peraturan Kapolri tentang implementasi standar dan pokok HAM, manajemen penyidikan, dan mekanisme menghadapi massa aksi. Setiap penangkapan, penahanan dan penempatan pasal secara sewenang-wenang harus dihindari.
Anum mengatakan lembaga yudikatif juga harus bersikap independen, mempertimbangkan fakta persidangan, dan aktif untuk melakukan penemuan hukum ketika memeriksa dan memutus perkara makar. Pemidanaan harus menjadi ultimum remedium dalam hal penegakan hukum terkait dengan hak berekspresi. “Keputusan majelis hakim juga cenderung diintervensi oleh kepentingan politik dalam kasus makar,” katanya.
Anum mengatakan AlDP dan Tapol juga merekomendasikan pemerintah harus membuka dialog dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mencari alternatif penyelesaian masalah di Papua. Menurutnya, pemerintah harus membuka diri untuk mendiskusikan solusi Papua dengan kelompok pro kemerdekaan Papua.
“Masyarakat sipil harus advokasi. Supaya negara tahu. Semua tahu tidak ada efektif [pasal makar]. Dikasih otonomi khusus supaya kasus makar menurun, tapi setelah otonomi khusus kasus makar terus meningkat. Kan tidak efektif? Dari zaman Pak Theys Eluay sampai Marvin Yobe. Mereka orang yang berulang [didakwa dengan delik makar], jadi itu sudah tidak efektif,” ujarnya.
Membahayakan kebebasan berekspresi
Peneliti HAM, Papang Hidayat mengatakan penggunaan delik makar untuk memidana aktivis di Tanah Papua membahayakan kebebasan berekspresi di Indonesia dan secara khusus di Tanah Papua. Menurut Papang, Papua mengalami kemunduran dalam hal ruang kebebasan berekspresi, karena ekspresi politik yang dilakukan secara damai selalu dibungkam dengan delik makar.
“[Kebebasan berekspresi di Tanah Papua] semakin mengalami kemunduran dalam 10 tahun terakhir. Mundur karena [aktivis bersuara masalah HAM di Papua] selalu dikaitkan dengan separatis, baik itu aktivis HAM hingga LSM. Stigma masih ada, [apalagi] terhadap orang Papua, bahwa orang dengan rambut keriting, kulit hitam itu separatis. [Itu] membahayakan kebebasan berekspresi,” katanya.
Menurut Papang, ketika kasus makar disoroti publik, situasi itu membuat hakim-hakim lebih hati-hati dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara dalam perkara makar. “Sebelumnya [hukuman pidana penjara] bisa sampai 10 tahun. Kasus makar nuansa politiknya tinggi,” ujarnya.
Papang mengatakan ekspresi Papua merdeka merupakan bentuk ekspresi yang harus dilindungi, bahkan ketika substansi ekspresi itu tidak sesuai dengan pandangan politik di Indonesia. Papang menegaskan pemidanaan aktivis politik Papua seharusnya sudah diakhiri, dan berbagai pasal makar diamandemen sesuai stander HAM internasional.
“Ini merupakan konsekuensi dari langkah Pemerintah Indonesia meratifikasi berbagai instrumen HAM Internasional,” ujarnya.
Salah satu terpidana kasus makar di Tanah Papua, Melvin Yobe mengatakan dirinya akan terus memperjuangkan nasib bangsanya. Menurutnya Pemerintah Indonesia takut menyelesaikan masalah di Tanah Papua, terutama masalah politik.
Yobe mengatakan Pemerintah Indonesia tidak punya keseriusan dalam menyelesaikan persoalan di Tanah Papua. Yobe mengatakan selama persoalan di Papua tidak diselesaikan, maka konflik akan terus berlanjut, dan warga terus menjadi korban.
“Setelah kami bebas, kami pun tidak puas, karena di bagian [persoalan politik] ini belum diselesaikan dengan baik. Kami kasihan semua orang jadi korban, entah itu orang Papua maupun orang luar Papua. Sama-sama korban,” katanya. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/penggu...papua-merdeka/
Prof Melkias Hetharia: Ekspresi Papua merdeka bukan makar

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia SH MH. - Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia SH MH mengatakan ekspresi terkait Papua merdeka yang sering dilakukan aktivis Papua secara damai itu bukan merupakan tindakan makar. Hetharia mengatakan negara seharusnya melakukan revisi terhadap pasal-pasal makar yang termuat dalam KUHP.
Hal itu disampaikan Hetharia dalam diskusi peluncuran laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” di Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/7/2024). Hetharia menyatakan istilah makar yang diatur Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bahasa Indonesia telah diartikan sangat luas, dan tidak sejalan dengan arti “aanslag” dalam bahasa Belanda, bahasa yang digunakan penyusun Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP.
“Aanslag” dalam bahasa Belanda yang artinya serangan. Serangan dalam pengertian itu adalah perbuatan fisik menggunakan kekuatan penuh untuk merebut kekuasaan.
“Annslag itu tindakan konkret menggulingkan pemerintah yang sah, atau mengubah dasar negara, menghancurkan negara. Orang berteriak merdeka kenapa harus di bawa ke makar. Hanya sebatas berteriak merdeka, gambar bintang kejora, kaos bintang kejora, ngapain harus sampai [dikenakan makar]. Duduk bicara merdeka [adalah] hal biasa. Masak hukum pidana mau masuk ke pikiran manusia? Ada wilayah moral dan etika tidak perlu dimasukkan [dalam pengaturan] hukum pidana,” ujar Hetharia dalam diskusi laporan itu.
Laporan penelitian “Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua” disusun oleh Aliansi untuk Demokrasi Papua (AlDP) dan Tapol. Laporan itu merupakan analisa 52 putusan kasus makar, serta hasil wawancara terhadap 16 akademisi, tahanan politik, aktivis, pengacara, dan tim non-litigasi. Wawancara dilakukan di berbagai kabupaten di Tanah Papua, termasuk di Fakfak, Sarmi, Jayapura, Manokwari dan Wamena.

Hetharia pasal makar yang sering dikenakan bagi aktivis Papua itu adalah pasal buatan Kerajaan Belanda untuk melindungi pemerintahan dan negara Belanda terhadap serangan kudeta dan revolusi. Delik makar bahkan baru dirumuskan Kerajaan Belanda setelah melihat Revolusi Rusia.
Menurut Hetharia, saat Kerajaan Belanda menjajah Indonesia, mereka menggunakan pasal itu sebagai alat untuk memidana para pejuang kemerdekaan Indonesia. “Pasal-pasal itu dipergunakan sebagai pamungkas untuk menekan, menindas pejuang-pejuang kemerdekaan,” katanya.
Hetharia menjelaskan Wetboek van Strafrecht (WvS) diberlakukan kembali di Indonesia pasca kemerdekaan, termasuk delik makar di dalamnya. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakannya untuk menindas perjuangan-perjuangan kemerdekaan yang ada di beberapa provinsi.

Pasal makar itu kemudian sering digunakan untuk memberangus kelompok pro kemerdekaan di Papua. “Mau bicara soal merdeka saja ditangkap. Jadi memang undang-undang subversif [sudah] dicabut, tapi berbagai pasal makar itu masih diterapkan sampai sekarang,” ujarnya.
Menurut Hetharia, penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua yang menyatakan pendapat atau ekspresi merdeka sedamai merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Hetharia mengatakan berbagia pasal makar itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea I. Hetharia mengatakan pasal makar sudah pernah disengketakan di Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2017, namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review itu.
“Pembukaan UUD 1945 [menyatakan] bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan Papua juga mau minta merdeka. Itu hal-hal biasa, itu bukan hal yang luar biasa. Itu memang Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi. Papua minta merdeka itu hal biasa, itu HAM yang harus dijunjung tinggi,” ujarnya.
Hetharia mengatakan negara hendaknya menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Hetharia mengatakan pasal-pasal makar yang diterapkan harus sesuai dengan perkembangan konsep Hak Asasi Manusia.
“Sebelum negara ada, sudah ada HAM. Negara bukan pemberi HAM. Negara wajib melindungi, menjamin HAM. Itu eksistensi dan esensi hadirnya negara. Harusnya pasal makar itu ditinjau kembali seusia dengan perubahan konstitusi yang sudah berlangsung. Sudah tidak cocok lagi dengan konstitusi kita, harusnya segera direvisi,” katanya.
Tidak tepat
Advokat HAM, Christian Yan Warinussy mengatakan penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua tidak tepat. Warinussy mengatakan makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan 106 KUHP lebih tepat dikenakan kepada pelaku perbuatan pidana menyerang Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan upaya pemisahan sebagian atau seluruh wilayah NKRI.
Warinussy mengatakan penerapan pasal makar terhadap aktivis Papua saat ini semata-mata untuk membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Menurut Warinussy, pasal makar seyogyanya digunakan untuk perbuatan yang benar-benar bersifat merongrong negara.
“Sepanjang pengalaman saya sebagai Advokat selama 30 Tahun, saya baru ketemu saat peradilan terhadap Forkorus Yaboisembut pasca Deklarasi Berdirinya Negara Republik Federal Papua Barat pada 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus, Padang Bulan Abepura, Kota Jayapura. Mereka dianggap mendirikan negara di dalam negara. Itu yang menurut pandangan hukum saya sedikit mengarah ke makar yang dimaksud dalam Pasal 106 KUHP. Selebihnya tidak, karena orasi, unjuk rasa, demonstrasi, menaikkan bendera Bintang Kejora, membawa bendera Bintang Kejora saja dan bahkan ibadah syukur saja,” kata Warinussy kepada Jubi, pada Sabtu.

Advokat Iwan Niode dalam diskusi pada Jumat mengatakan makar di dalam KUHP tidak memberikan definisinya, tetapi hanya penafsiran. Hal itu membuat penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua terus terjadi.
“Selama tidak ada pembatasan penjelasan di KUHP. Kalau tidak kamu kasih naik apapun akan dibilang makar. Itu kemudian menjadi pasal karet. Penafsirannya luas [dan] Kita memahami serangan itu berbeda-beda. Makar kasus yang berulang sampai detik ini. Saya menangi [kasus makar] mulai dari 2000,” ujarnya.
Iwan mengatakan penegakan HAM di Papua masih bersifat setengah hati. Menurutnya, penggunaan delik makar untuk menangkap atau menahan aktivis pro demokrasi atau aktivis pro kemerdekaan Papua harus dilawan dengan upaya hukum Pra Peradilan. “Perlu ada Pra Peradilan saat penangkapan. Selama ini kita jarang melakukan Pra Peradilan. Walaupun kemungkinan menang kecil, setidaknya kita bisa [menyoal] proses penangkapan maupun penahanan itu,” katanya.
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Pdt Matheus Adadikam mengatakan ekspresi Papua Merdeka merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Namun, kata Adadikam, aktivis Papua sering ditangkap, ditahan, dan dikenai pasal makar jika menyatakan pendapat atau aspirasinya tentang Papua merdeka. Orang Papua juga masih mendapatkan stigma yang buruk dari negara.
“[Masih ada] stigma rambut kribo, kumis itu OPM. Kita baru bicara Papua Merdeka saja sudah ditangkap. Semua menjadi sulit,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/prof-m...a-bukan-makar/
masalah ekspersi kemerdekaan Papua dan keinginan aktivis OPM agar pemerintah membuka dialog mengenai kemerdekaan Papua
0
108
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan