sangdewikantiAvatar border
TS
sangdewikanti
Penghayat Kepercayaan di Brebes Sulit Dapatkan Tempat Pemakaman Saat Meninggal
Makam Berkedok Wakaf, Penghayat Kepercayaan di Brebes Sulit Dapatkan Tempat Pemakaman Saat Meninggal Bahkan Ditolak



Salah satu warga melintas di depan Gapura Makam di Desa Siandong Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes yang bertuliskan Makam Khusus Muslim dan Muslimat. (Foto: Shodiqin)

Perilaku diskriminatif masih dialami kelompok minoritas, khususnya hak mendapatkan lahan di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Banyaknya lokasi makam berkedok “wakaf” membuat kelompok minoritas khususnya penghayat kepercayaan terpinggirkan. Hal ini yang kemudian membuat para  penghayat kepercayaan terus berjuang agar mendapatkan haknya sebagai warga negara ketika meninggal meskpiun pemerintah daerah terus tutup mata

Brebes, Jatengnews.id  – Memori meninggalnya istri masih teringat kuat di hati dan pikiran Darto (65) tahun. Meski meninggal di tahun 2014, namun Darto penganut kepercayaan Sapta Darma yang sudah diberikan 3 anak ini masih teringat betul waktu jenazah istrinya ditolak oleh warga di tempat pemakaman umum (TPU) di Desa Siandong Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes.

Tinggal puluhan tahun bersama istri dan anaknya di RT 01 RW 04 ternyata tidak menjamin kehidupannya memiliki hak yang sama dengan warga lainnya. Alhasil jenazah istri yang bernama Daodah terpaksa dimakamkan di pekarangan pribadi belakang rumahnya.

“Ini mas tempat makan istri saya di belakang rumah,” ujar Darto sambil menunjuk lokasi tempat peristirahatan terakhir istrinya kurang lebih satu meter dari tembok rumahnya kepada Jatengnews.id, Jumat (22/07/2022).



Darto saat menunjukkan makam istrinya yang dimakamkan di pekarangan belakang rumah RT 01 RW 04 Kelurahan Siandong Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes. (Foto: Shodiqin)
Darto menceritakan, saat itu ketika istri meninggal dan keluarga akan melakukan proses pemakaman di TPU, ternyata warga menolak dengan alasan makam yang ada di Desa Siandong merupakan makam wakaf dan khusus bagi orang Islam.

“Waktu itu ingat betul, saya bersama keluarga dipertemukan dengan perwakilan warga setempat, mulai tokoh agama dan tokoh masyarakat. Setelah dilakukan pertemuan keluar putusan jenazah istri dilarang dimakamkan di makam desa, karena Sapto Darma di luar dari agama Islam,” ujar Darto cerita lama yang terus membekas dirinya.

Dari keputusan tersebut, akhirnya beliau bersama keluarga termasuk anak-anak langsung memutuskan untuk segera memakamkan istrinya di belakang rumah. Sebab, jenazah istri sempat tertahan berjam-jam akibat ditolak warga karena menunggu hasil audiensi.

“Karena hanya punya tanah di belakang rumah, akhirnya saya bersama keluarga secepatnya memakamkan istri. Harapannya agar jenazah bisa beristirahat tenang di sana,” ujar Darto dengan hati ikhlas atas kejadian tersebut kepada jatengnews.id

4 Jenazah Ditolak

Penolakan makam jenazah penghayat kepercayaan oleh warga ternyata tidak hanya dialami keluarga Darto bersama keluarga. Catatan yang dihimpun tim Jatengnews.id di Kebupaten Brebes setidaknya sudah 4 kasus penolakan jenazah dari masyarakat.

Pemuka Agama Sapta Darma Carlim saat diwawancara menceritakan, pertama kali penolakan pemakaman terjadi tahun 2006 di Desa Sikancil Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes.

“Kejadiannya waktu itu, ada salah satu warga yang sakit berobat di Sapta Darma tetapi selama proses pengobatan beliau meninggal akhirnya  dimakamkan di tempat pemakaman umum,” ujar Carlim.

Namun selang sehari,  warga kemudian tau yang meninggal bukan
orang Islam sehingga warga  menolak jenazah yang sudah dimakamkan di TPU desa setempat. Akhirnya atas permintaan warga terpaksa jenazah harus dibongkar dan dimakamkan kembali di tempat tanah pribadinya.

“Kebetulan waktu itu yang meninggal adalah keluarga salah satu penghayat Sapta Darma. Warga mengira yang meninggal adalah warga Sapta Darma padahal sebenarnya tidak. Tetapi warga tetap memaksa menolak dan akhirnya dibongkar lagi dan dimakamkan tanahnya sendiri (korban),” ujar Carlim.

Jelang setahun, 2007 juga terjadi penolakan jenazah di Desa Kalempandan, Kelurahan Pamulihan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Ceritanya waktu itu ada salah satu warga Sapta Darma meninggal. Setelah meninggal pihaknya bersama keluarga sengaja melaporkan dan meminta izin kepada RT/RW setempat agar bisa dimakankan di TPU. Tetapi hasilnya sama warga setempat melalui RT dan RW menolak pemakaman dengan alasan makam khusus orang Islam.

“Karena kebetulan Sapta Darma waktu itu sudah punya tanah sendiri dari hasil swadaya. Akhirnya dimakamkan di tanah swadaya yang sebenarnya belum direncanakan sebagai tempat makam. Namun saat ini sudah resmi jadi tempat pemakaman Sapta Darma dan sudah ada sekitar lima jenazah yang dimakamkan di situ,” paparnya.

Hebohnya lagi penolakan pemakaman juga kembali terjadi dan dialami penghayat Sapta Darma tepatnya di tahun 2011 di Desa Cikandang Kelurahan Kersana Kabupaten Brebes. Prosesnya sama terjadi penolakan bahkan warga sudah banyak berkumpul di luar rumah untuk melakukan demo.

“Waktu itu Pak Lurah, Pak Kadus, Pak Lebai (petugas agama di desa), hingga Babinkamtibmas datang ke rumah menyatakan menolak atas dasar mewakili warga muslim. Alasannya sederhana makam di sini khusus umat Islam. Akhirnya jenazah saya makamkan di samping rumah, kebetulan yang meninggal adalah bagian dari keluarga,” jelasnya.

Hal ini yang kemudian membuat penghayat kepercayaan Sapta Darma membeli tanah secara swadaya untuk dijadikan sebagai tempat pemakamam umum. Sedikitnya sampai sekarang ini sudah tiga lokasi. Pertama di Desa Sigentong Kecamatan Wanasari. Kedua, Desa Pemulihan Kalempandan Kecamatan Larangan. Ketiga, Desa Sengon Kecamatan Tanjung.

“Saat ini jumlah penghayat kepercayaan Sapta Darma sudah ada sekitar 200 anggota yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Brebes. Kami juga belum berhenti dan terus memperjuangkan hak kami kepada pemerintah khususnya mendapatkan hak tempat pemakaman umum desa, meskipun pemerintah daerah terus tutup mata,” ujar Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Tarmudi saat ditemui di Brebes.

Desa Wajib Sediakan TPU

Dari hasil survei tim Jatengnews.id, di beberapa makam besar khususnya di Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes ternyata benar saat ini klaim makam berkedok wakaf atas agama menjamur.

Seperti halnya di Desa Siandong, makam besar yang berlokasi di samping jalan raya saat ini bertuliskan “Makam Khusus Muslim dan Muslimat”. Di Desa Kendaga juga bertuliskan makam khusus “Muslimin/Muslimat” bahkan ada juga makam bertuliskan Makam Khusus Bani Naisyah dan lainnya.



Papan nama di TPU bertuliskan Makam Khusus Muslim dan Muslimat Desa Siandong Larangan Brebes. (Foto: Shodiqin)

“Padahal setelah dilakukan tim peneliti dari Lembaga Penelitian & Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) saat melakukan pendampingan 2016-2017, makam di Desa Siandong tidak bisa membuktikan bawah tanah makam itu merupakan tanah wakaf,” ujar tokoh Penghayat Sapta Darma Suharjo menceritakan kepada Jatengnews.id

Suharjo yang juga Sekertaris Persada Kabupaten Brebes menyampaikan, saat ini keberadaan penghayat kepercayaan di Kabupaten Brebes masih mengalami diskriminasi khususunya terkait penyediaan TPU bagi warga selain orang Islam.

Padahal Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1987 Tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah. Pasal 1 dijelaskan TPU adalah area tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa.

“Tapi praktiknya selama ini apa yang terjadi, pemerintah daerah tidak bisa memberikan hak kami, bahkan kami sering mendapatkan diskriminasi dari kelompok-kelompok mayoritas. Intinya keluarga penghayat dan non muslim lainnya di Kabupaten Brebes tidak mendapatkan keadilan,” tegas Suharjo.

Hal yang sama dirasakan oleh Sukma (40), seorang penghayat kepercayaan dari Medal Urip di Kabupaten Brebes. Ia menceritakan di Kabupaten Brebes setidaknya ada 5 organisasi penghayat kepercayaan yang terus menyuarakan dan meminta kepada pemerintah daerah untuk menyediakan TPU. Namun proses itu selalu tumpul sampai sekarang ini.

“Saya tidak tau apakah pemerintah sudah menampung aspirasi kami atau memang tutup mata. Padahal setiap manusia pasti meninggal entah  besok atau kapan. Makanya sampai sekarang ini kami penghayat kepercayaan terus memperjuangkan hak kami sebagai warga negara khususnya mendapatkan keadilan, hak memperoleh tempat di TPU,” tegas Sukma kepada Jatengnews.id.

Warnipah (30) tahun warga Penghayat Satpa Darma juga berharap dari banyaknya kejadian penolakan pemakaman di Kabupaten Brebes, dirinya meminta pemerintah daerah selalu hadir dan bisa memberikan perlindungan, mengayomi dan haknya semua warganya baik soal pemakaman atau tempat ibadah.

Seperti yang ada di desanya di Desa Kalilinggi Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes, kepala desa disini tegas sehingga warga penghayat kepercayaan bisa hidup berdampingan dan rukun tidak pernah ada penolakan ataupun larangan untuk beribadah.

“Tetapi di daerah lain masih banyak terjadi diskriminasi. Saya berharap pemerintah daerah khususnya bupati bisa menyelesaikan permasalahan ini satu persatu agar Kabupaten Brebes bisa hidup damai dan rukun dan tidak ada lagi kunciran (omongan) dari warga atau tentangga yang tidak tau kalau di Brebes ada penghayat kepercayaan yang sudah diakui oleh pemerintah,” harapnya.

Warga Punya Hak Sama

Salah satu tokoh agama di Desa Siandong Kecamatan Larangan yakni Ahmad Zawawi membenarkan, bahwa makam yang ada saat ini memang dikhususkan bagi warga muslim dan muslimat atau orang Islam. Kebijakan itu merupakan dari hasil pertemuan para pemuka-pemuka agama sejak dahulu hingga sekarang.

Artinya kalau selain umat muslim atau non muslim misal ada yang meninggal nanti akan dirapatkan bersama tokoh agama  terlebih dulu.

Tergantung hasil keputusannya bagaimana, bisa boleh atau bisa tidak.

“Tetapi selama ini dari keputusan bersama dengan tokoh agama, makam yang ada di Desa Siandong dikhususkan bagi warga muslim.

Selain non muslim tidak boleh dan harus dimakamnya sendiri atau tanahnya sendiri,” terang Zawafi saat dikonfirmnasi jatengnews.id
Sehingga kata dia, saat ini makam yang ada di Desa Siandong rata-rata merupakan tanah wakaf yang kemudian dijadikan tempat makam. Jadi banyak makam disini bertuliskan khusus muslim dan muslimat atau khusus Bani Naisyah dan lainnya.

Hal berbeda ketika tim Jatengnews.id menemui Kepala Desa Siandong, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes Tahmid Fahrq di kantornya, Jumat (22/07/022) siang. Ditanya soal lahan makam di desa, dirinya sangat menyayangkan, adanya papan nama makam maupun gapura makam bertuliskan makam khusus muslim dan muslimat di Desa Siandong.

Menurutnya, TPU merupakan tempat pemakaman jenazah bagi semua warga. Jadi dirinya memastikan warga non muslim atau penghayat kepercayaan juga memperoleh hak yang sama yakni boleh dimakamkan di tempat orang yang biasa dimakamkan di Desa Siandong.

“Saya jamin dan saya pastikan, ketika saya masih menjabat  ada warga non muslim yang meninggal bisa dimakamkan di tempat pemakaman umum. Tetapi setelah saya tidak menjabat saya tidak tau lagi,” ujar Tahmid yang masih menjabat hingga tahun 2025.

Harus Ada OPD Khusus Soal Makam

Wakil Bupati Kabupaten Brebes Narjo saat dikonfirmasi jatengnews.id melalui sambungan telpon, Rabu (03/08/2022) tentang kasus penolakan pemakaman yang terjadi di Kabupaten Brebes dirinya tidak berbicara banyak.

Dan ditanya soal adanya diskirimasi terhadap penghayat kepercayaan oleh kelompok mayoritas soal penolakan pemakaman beliau hanya menjawab nanti dikoordinasikan dengan FKUB. “Ya nanti kita koordinasi dengan FKUB atau Forum Kerukunan Umat Beragama. Kita juga akan berkoordinasi dengan lembaga yang lain agar satu suara,” kata Wakil Bupati Narjo.

Sedangkan disinggung terkait Pemerintah Kabupaten Brebes belum punya TPU secara umum. Dirinya menjawab akan dikroscek secara bukti dan fakta. “Ya nanti kita akan kroscek secara bukti dan fakta untuk masalah ini dengan benar-benar,” ujarnya sambil menutup telponya dengan ucapan makasih ya kepada jatengnews.id

Sementara Dinas Kebudayaan Dinas Kebudayaan & Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Brebes yang menanggani permasalahan terkait penolakan pemakaman Kepala Disbudpar Kabupaten Brebes Wijanarto saat dikonfirmasi jatengnews.id, beliau menyampaikan memang benar perjuangan penghayat kepercayaan di Brebes untuk mendapatkan hak keadilan khususnya mendapatkan tempat di TPU sudah lama diperjuangkan.

“Kalau tidak salah setelah kasus penolakan jenazah itu terjadi hingga saat ini. Tapi sampai saat ini memang belum ada titik temu. Padahal kasusnya sudah lama terjadi,” terang Wijan yang sebelumnya menjabat Kasi Sejarah dan Purbakala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Brebes.

Dalam kasus ini, dirinya mengajak para OPD lain seperti Dinas Pumukiman, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pekerjaan Umum (PU), Kesbangpol dan lainnya termasuk Kemenag dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Brebes harus hadir.

“Karena kalau hanya satu dinas yang mengurusi soal pemakaman pasti tidak akan pernah selesai. Jadi harus dipikirkan bersama-sama. Menginggat sampai sekarang dan diakui bersama Kabupaten Brebes belum punya TPU besar seperti makam yang ada di Bergota milik Pemkot Semarang. Atau kalau tidak, saya berharap betul ada OPD khusus yang mengurusi soal pemakaman di Brebes,” harap Wijan.

Menurut Wijan memang perlu dirumuskan segera melihat kebutuhan lahan sebagai tempat makam bagi warga sekarang ini betul-betul dibutuhkan bersama. “Karena TPU sangat penting bagi warga. Untuk itu, negara harus hadir untuk mengatasi masalah ini. Namun yang terjadi hingga saat ini, warga Brebes beraliran kepercayaan sulit memakamkan anggotanya bahkan keluarganya,” ujarnya.



Papan nama di TPU bertuliskan Makam Khusus Muslim/Muslimat Desa Kendaga Kecamatan Larangan Brebes. (Foto: Shodiqin)

“Dalam waktu yang tidak lama bulan Agustus 2022, kami bersama Kesbangpol akan mengadakan pertemuan dengan para perempuan penghayat kepercayaan di Brebes. Dalam pertemuan ini akan kami singgung juga soal perjuangan mereka untuk mendapatkan hak soal pemakanan di kelurahan,” tambah Wijan.

Literasi Rendah

Wakil Pengurus FKUB Jateng Dr Rozihan mengatakan, soal keberadaan penghayat kepercayaan sebenarnya sudah dipahamkan kepada masyarakat. Bahwa penghayat kepercayaan bukan agama tetapi dilindungi Undang-undang.

“Artinya kalau ada penolakan jenazah penghayat kepercayaan oleh masyarakat itu tidak benar. Kalau melihat mereka sebagai manusia harus dihormati. Sehingga kalau ada warga mereka yang meninggal harus dihormati sebagaimana warga yang lain bukan karena soal agamanya yang dilihat,” tegas Rozihan.

Rozihan menyampaikan, adanya penolakan pemakaman penghayat oleh kelompok mayoritas di beberapa daerah terjadi karena dua hal.

Pertama terkait literasi masyarakat masih rendah. Kedua terkait pemahaman masyarakat terhadap penghayat kepercayaan itu sendiri.

Jadi dalam hal ini pemerintah daerah harus hadir. Sebab kepala daerah itu mempunyai kekuasaan yang mau atau tidak mau harus menyelesaikan persoalan yang terjadi pada warganya.

“Dinomenklaturnya sudah jelas bahwa kepala daerah harus melindungi dan memberikan hak yang sama terhadap warganya tak terkecuali kasus penolakan jenazah. Karena itu bagian dari hak asasi manusia sebagai warga negara,” tegas Rozikan yang juga dosen di Unisulla Semarang. Shodiqin

***
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

https://www.jatengnews.id/makam-berk...ahkan-ditolak/

Miris sekali








Mistaravim
nomorelies
scorpiolama
scorpiolama dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.5K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan