kutarominami69
TS
kutarominami69
Didiskriminasi di Sekolah Sendiri; Sebuah Ingatan yang Tersisa dari Budi Daya
Didiskriminasi di Sekolah Sendiri; Sebuah Ingatan yang Tersisa dari Budi Daya

6 min read

 11 jam ago  Admin



Suasana Pasewakan Waruga Jati, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. sumber: pastipress.com

Oleh: Sidik Pramono
Sore kelima belas di bulan Ramadhan 1443 H terlihat berbeda dari biasanya. Tak seperti sebelum-sebelumnya, langit ketika itu terlihat sangat murung. Tidak hanya kelabu, tapi cenderung hitam pekat.

Seakan tak mampu ditahannya lagi, beban yang ditanggung langit akhirnya tak sanggup ditahan dan tumpah ruah setelah orang-orang pulang dari masjid sehabis menunaikan salat Maghrib. Sedari rintik hujan perlahan mulai menyapa bumi hingga berubah seolah terjadi serbuan air dari langit, aku masih terpaku duduk di kursi reyot samping kontrakan.

Di atas kursi yang kondisinya sungguh sangat memprihatinkan dengan busa tempat duduknya bak sebuah palung itu, aku termenung. Seperti biasa ketika duduk di samping kontrakan, lampu yang menggantung bersama beberapa potong pakaian selalu aku matikan. Remang memang, hanya cahaya dari dalam kontrakan serta lampu di ujung jalan saja yang bisa membagikan sinarnya.

Menurutku itu adalah tempat, saat dan suasana yang pas untuk berkontemplasi.

Saat hujan sedang deras-derasnya mengguyur seng tempat ku bernaung yang menghasilkan kebisingan luar biasa, bersamaan dengan riuh suara air beradu dengan seng, ingatanku seakan ditarik mundur kala aku berjumpa dengan dua pemuda Penghayat Kepercayaan Budi Daya, Doni (bukan nama sebenarnya) dan Nanang (bukan nama sesungguhnya).

Pertemuan kami bertiga pertama kali terjadi pada sore berbarengan dengan turunnya hujan di Bale Penghayat Budi Daya Pasewakan Waruga Jati, Lembang, Bandung Barat. Tepatnya pada Senin, 14 Maret 2022. Ketika itu, diriku bersama kawan-kawan Solidaritas Korban tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) sedang membahas Rencana Strategis (renstra) tahun 2022-2025. Doni dan Nanang datang ketika forum masih berlangsung.

Keduanya dikenalkan langsung oleh Ketua Presidium I Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Engkus Ruswana.

Tak lama setelah itu, forum dijeda karena gelap mulai menyelimuti lereng Gunung Tangkuban Perahu. Di tengah jeda tersebut, aku mencoba memulai obrolan dengan Doni dan Nanang. Tidak jauh berbeda dengan obrolan orang yang pertama jumpa, percakapan kami cenderung normatif dengan saling mengenalkan diri, kesibukan dan lain sebagainya.

*****

Hawa dingin khas pegunungan mulai menyeruak masuk ke dalam ruangan berwarna putih dengan panggung yang berisikan gamelan di sisi depan.

Gorengan, serta pukis yang ada di hadapan kami bertiga mulai dingin. Seakan tidak peduli dengan makanan dan minuman yang kian dingin, obrolan kami bertiga terus belanjut. Merasa obrolan mulai mencair aku memberanikan diri untuk tanya lebih jauh.

Setelah menahan agak lama, akhirnya aku memberanikan diri untu mengeluarkan pertanyaan “Bagaimana pengalaman sewaktu sekolah sebagai penghayat kepercayaan, kang?”. Berat sebenarnya untuk menanyakan hal tersebut. Namun, ada keingintahuan yang mendalam di benakku.

Mendengar pertanyaan tadi, keduanya beradu pandang sejenak sembari terbit senyum baik Doni atau Nanang. Tak lama, Doni memberikan jawabannya. Sewaktu di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas), dirinya tidak banyak menerima perlakuan diskriminatif atau pengucilan. Kawan atau civitas akademika sekolahnya tidak mempermasalahkan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.

Lain halnya dengan Nanang. Sewaktu di jenjang setingkat SMA dirinya memiliki pengalaman tidak menyenangkan yang diterimanya dari salah seorang guru yang mengampu mata pelajaran tertentu.

“Gimana tuh ceritanya Kang Nanang?” Sejenak kupandangi Nanang yang tatapan matanya jauh menerawang ke belakang.

Dirinya mencoba mengingat-ingat kenangan yang terjadi sewaktu SMA.

Maklum saja dirinya sekarang sudah berkuliah dan berada di semester empat.

Ketika Nanang membaca kembali memorinya, diriku menyela, “Jika itu membuat Kang Nanang tidak nyaman tak diceritakan, juga tidak apa-apa,” ungkapku dengan sedikit nyengir. “Tidak. Santai aja kok, mas,” jawabnya. Dirinya melanjutkan dengan membagikan kisahnya. Nanang mengalami stigmatisasi saat semester gasal kelas 10.

*****

Pagi itu, seperti biasa Nanang menuju salah satu SMK di Bandung Barat dengan mengendarai motor maticnya. Tanjakan serta turunan khas daerah di lereng gunung menjadi sarapan setiap paginya.

Hawa sejuk juga selalu menyapa dirinya setiap pagi. Suara tonggeret tak mau lupa ambil bagian dalam perjalanan Nanang menuju sekolah. Sekitar lima menit meniti jalan, akhirnya Nanang sampai di sekolahnya.

Singkat cerita, Nanang dan kawan-kawan sekelasnya sudah bersiap untuk menerima mata pelajaran (mapel) multimedia di jam pertama. Tak lama menunggu, masuklah guru pengampunya, Pak Mulya (bukan nama sebenarnya).

Pembelajaran segera dimulai. Tetapi, Pak Mulya tidak langsung menerangkan materi pembelajaran, beliau membuka dengan obrolan-obrolan tentang keagamaan yang beliau amini. Perkataan pak Mulya terus belanjut. Sampai pada saat tertentu beliau membandingkan keyakinan beliau dengan kepercayaan Nanang dan seorang kawan Nanang yang juga penganut Budi Daya bernama Desi (tidak nama sesungguhnya).

“Kalau di Islam ada Nabi dan Rasul, kalau di penghayat bagaimana?” tanya pak Mulya dengan nada tidak mengenakan.

Pertanyaan yang cenderung membanding-bandingkan tersebut terus terjadi. Tidak ada titik temu pada momen sebelum dimulainya pembelajaran tersebut. Pak Mulya terus mengeluarkan kata-kata yang merendahkan keyakinan Nanang dan Desi. Pagi itu, keduanya hanya pasrah. Desi ketika itu sampai menitikan air mata. Seakan tidak memperdulikan perasaan Desi, pembelajaran di kelas dimulai.

Nanang, meneruskan cerita. Berselang dua hingga tiga minggu obrolan menyangkut agama dan kepercayaan terjadi sewaktu kelasnya Pak Mulya.

Hingga pada suatu ketika Pak Mulya melontarkan kata-kata, “semoga kalian berdua segera mendapat hidayah,” kata Pak Mulya menyudutkan.

Setelah bercerita kejadian dulu, Nanang mengatakan kepadaku jika sebenarnya obrolan seperti itu tidak layak disampaikan di muka umum, terlebih kata-kata Pak Mulya ketika itu cenderung memojokan, menstigmanya.

Nanang sadar betul perlakuan yang diterimanya adalah buntut dirinya mengungkapkan identitas sebagai penghayat kepercayaan. Sejak SD hingga tamat SMP, dirinya belum pernah mengungkapkan kepercayaan. Keberanian untuk mengungkapkan identitasnya ini juga didorong atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

Alih-alih menyesal, dirinya bangga dan senang atas pengakuannya. Bagi sebagian orang seperti Pak Mulya memang tidak bisa menerimanya namun, bagi kawan-kawan Nanang, mereka sangat bisa menerima dan tidak mempermasalahkan identitas yang dipilih Nanang.

Masing-masing kami terdiam sejenak lalu mengambil gorengan yang ada di hadapan. “Diskriminasi dan stigmatisasi masih ada sampai sekarang,” sela Nanang. Adik tingkat Nanang di SMK tersebutlah yang mengalaminya. “Dia duduk di kelas 12 masih saja distigma buruk,” paparnya.

Obrolan kami ketika itu terus berlanjut hingga malam benar-benar telah menyelimuti Pasewakan. Teh yang tadinya mengepulkan asap saat memulai obrolan dengan Doni dan Nanang sudah dingin ketika aku seruput. Akhirnya, keduanya izin pamit pulang ke rumah karena masih ada acara lagi. Kami berpisah dengan saling menjabat tangan satu sama lain.

*****

Sepenggal kisah yang aku dapatkan dari Nanang dan tiba-tiba teringat malam itu adalah realitas. Pengalaman serupa juga masih ditemukan di Jawa Tengah.

Menutip laporan akhir tahun eLSA 2021, di Kendal, seorang anak tidak diterima di sebuah sekolah hanya karena dirinya penghayat kepercayaan.

Tentu ini persoalan yang perlu diselesaikan. Sebenarnya putusan MK yang sudah berkekuatan hukum ini menjadi legitimasi keberadaan penghayat kepercayaan. Namun, kenyataannya putusan yang dikeluarkan pada 2016 silam belum mampu mengubah persepsi dan stigma buruk masyarakat terhadap penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Fenomena di masyarakat memiliki sifat kompleks, termasuk kejadian diskriminasi dan stigmatisasi yang dialami Nanag.

Kompleksitas ini dapat diurai dengan pengembangan Ice berg analysis dengan U teori yang dilakukan oleh Otto Scharmer.

Bagi Scharmer, diskriminasi serta stigmatisasi yang dialami kawan-kawan penghayat hanya pola dan tren yang terjadi di permukaan saja. Pola dan tren ini semakin terpelihara tatkala didukung dengan sistem atau struktur sosial di masyarakat yang disebut sebagai struktur penyebab. Struktur penyebab ini salah satunya ialah kebijakan pemerintah Orde Baru yang melarang penghayat kepercayaan melalui PNPS nomor 1965. Namun akar masalah diskriminasi dan stigmatisasi ini berada pada cara pandang, perpektif, dan paradigma masyarakat yang di dalam teori ice berg analysis dikenal sebagai mental model/paradigma.

Mental model-lah sumber terjadinya diskriminasi dan stigmatisasi terhadap penghayat kepercayaan. Untuk mengubah mental model yang ada di masyarakat solusi yang ditawarkan oleh Scharmer adalah dengan melakukan upaya rethinking atau mengembangkan paradigma baru. Mengembangkan paradigma baru, bisa dilakukan melalui pertemuan atau perjumpaan antara pihak yang memiliki paradigma berbeda dengan kelompok bersangkutan.

Pasca rethinking, upaya selanjutnya adalah redesigning atau menata ulang struktur sosial–strukur penyebab. Sebagai misal adalah dengan mendorong diterbitkannya aturan yang tidak diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan. Terakhir, dengan cara melakukan reframing atau membingkai ulang pola dan tren di masyarakat dengan bentuk yang lebih ideal.

Inilah mengapa, walau sudah ada Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 sudah diterbitkan namun, diskriminasi atau stigmatisasi masih terus ada.

Upaya rethinking sebenarnya tidak seberat redesigning. Rethinking ini dapat dimulai dari diri sendiri karena paradigma dan cara pikir tersebut bergantung pada pribadi masing-masing.

Karena untuk bisa menerima keberbedaan dimulai dengan keterbuakaan paradigma yang terbuka dengan keberagaman.

https://elsaonline.com/didiskriminas...ari-budi-daya/

Miris sekali




muhamad.hanif.2BANNED.USER
BANNED.USER dan muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-2
698
14
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan