Baru saja mau pulang kantor, saya dapat berita di group WhatsApp tentang musibah yang dialami Ade Armando. Lepas dari apa yang sering dilontarkan oleh Ade Armando di depan publik, apa yang dia alami itu tidak bisa dibenarkan. Ade Armando bukan seorang penjahat kelamin, dia tidak melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan atau rudapaksaan.

Kalau ada yang dia lakukan dan membuat sekelompok orang marah, itu adalah ketika dia menggunakaan haknya untuk melontarkan pendapat.

Apakah kebebasan berpendapat itu artinya, hanya boleh mengatakan sesuatu yang menyenangkan orang lain? Apakah kebebasan berpendapat itu hanya untuk "aku" dan mereka yang sependapat dengan "aku"? Kalau ada orang lain yang berani berpendapat berbeda, maka bogem mentah jawabannya?

Di sisi lain, menurut saya, apa yang terjadi pada Ade Armando, sebenarnya merupakan bagian dari sebuah proses yang panjang.

Proses ini sudah berjalan, saat politik identitas dimainkan oleh semua pihak politik yang sedang berseteru saat itu. Pendukung Jokowi dan Ahok (kala itu), jangan merasa dirinya bersih dari dosa. Mereka pun sama saja bersalahnya dengan pihak lawan mereka.


Meskipun kedua tokoh utama secara basa-basi sering menegur penggunaan black campaign yang masif terjadi saat itu, toh nyatanya kepemimpinan mereka tidak mampu menghentikan terjadinya ketegangan di antara pendukung mereka. (Mungkin mestinya sejak saat itu pula, rakyat sadar akan kualitas kepemimpinan mereka.)

Lontaran kata cebong, kadrun, kampret, dungu, dst; yang mematikan diskusi dan perdebatan yang sehat, itu semua dosa kalian juga (mungkin dosa saya juga, meskipun rasanya, sejauh saya bisa mengingat, dalam debat saya tidak pernah menuduh lawan debat dengan label-label yang merendahkan).

Sebuah opini tidak dibahas dengan selayaknya, sebuah argumen tidak dibalas dengan argumen yang mengutamakan akal sehat, senjata utama perdebatan adalah pelabelan.

Seakan-akan kalau sudah kadrun, cebong, dst; maka pendapatmu pasti salah. Kalau kamu mengkritik Jokowi, itu karena kamu kadrun. Kalau kamu mengkritik Anies, itu karena kamu cebong. Pada saat label (kadrun, cebong, dst) dilontarkan, pada saat itu juga nalar dibuat berhenti bekerja.


Setiap orang kemudian lebih sibuk untuk melihat, mengorek-ngorek sejarah hitam, dan merendahkan orang yang berbicara; daripada mendengarkan, mempertimbangkan dan menganalisa apa yang orang itu katakan. Logical fallacydipuja-puja sebagai sebuah kecerdasan, sebuah perdebatan dengan mudah diakhiri dengan lontaran kata "dungu". Sehingga tidak aneh kalau pihak yang berdebat, menjawab dengan, "dasar kadrun".

Demikian seterusnya sepanjang perdebatan yang tersisa hanya maki-makian. Hanya beradu siapa yang lebih keras bersuara dan siapa yang lebih berhasil mendapatkan respon dari pendukungnya.

Inti argumennya adalah idola mereka selalu benar. Barangsiapa mengkritik idola mereka, itu adalah lawan, dan lawan tak pernah punya pendapat yang layak didengarkan.

Komunikasi antar kelompok yang berbeda pendapat perlahan mati.

Nalar dibunuh.

Ketika nalar dan bahasa (sesuatu yang membedakan manusia dengan binatang) sudah mati, maka tinggal kepalan tangan dan tendangan kaki yang muncul dalam perbedaan.

Matilah Bhineka Tunggal Ika, kalau sampai perbedaan tidak lagi punya jembatan bahasa dan budaya.

Ketika pokoknya yang tidak sependapat itu lawan. Pokoknya yang berbeda itu musuh.

Wajah Ade Armando adalah wajah demokrasi Indonesia saat ini. Buah dari perjalanan panjang permainan politik identitas demi meraih kekuasaan. Bukan saya mengecilkan penderitaan Ade Armando, tetapi menurut saya wajah Ade Armando hari ini baru sebuah peringatan.

Hentikan menggunakan politik identitas. Hentikan menyebarkan ketakutan.

Sudah cukup lama kita mengkotak-kotakkan bangsa kita sendiri menjadi berbagai kubu yang bermusuhan. Biarkan elit politik bermain, jangan kita larut dalam permainan mereka.

Jadilah bijak.