mayyarossaAvatar border
TS
mayyarossa
Segenggam Luka


Cari siapa?" kataku dengan senyum terkembang setelah membuka pintu. Tampak seorang wanita cantik

"Kamu, Mayang?" Wanita itu bertanya dengan sinis. Entah kenapa, tiba-tiba dada berdesir mendengar dia menyebut namaku.

"Ya, saya Mayang. Maaf, mbak siapa, ya? Sepertinya kita belum kenal." Dia memandangiku dari atas ke bawah.

"Oh, jadi ini istri simpanan Mas Arya. Hm, cantik, tapi ... kampungan!"

Aku mengernyit. Tak paham.
"Apa? Simpanan? Maaf, mungkin Mbak salah orang." Aku masih berusaha bersikap manis, walau aku sedikit terkejut dengan kalimat wanita berlesung pipit itu.

"Hei, perempuan murahan! Dengar, aku Ratna, istri Arya. Istri sah Arya! Kuperingatkan, jangan pernah mengganggu suamiku lagi!"

Bagai petir di siang bolong kalimat yang baru saja kudengar. Lututku seakan goyah.

"M-maksud, Mbak?"

"Kamu budeg, ya? Arya sudah memiliki istri. Tinggalkan Arya sekarang juga! Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya!"

Perempuan itu meninggalkan kontrakanku. Segera kututup pintu, lalu menangis di baliknya. Apa aku tak salah dengar? Mas Arya sudah punya istri dan anak? Lalu, bagaimana nasib bayi di perutku?

Segera kuambil ponsel. Sial, Mas Arya tak menjawab.

***

"Mas, aku mau bicara."

"Bicara apa, Sayang? Sini, mendekat sama Mas," ujarnya seraya merengkuhku ke dalam pelukan.

"Siapa Ratna?"

Dalam pelukan lelaki yang menikahiku enam bulan lalu itu, bisa kudengar detak jantungnya yang menjadi lebih cepat, berlomba dengan degub jantungku sendiri saat kutanyakan nama itu.

"Ratna siapa? Kenapa kamu tanyakan hal itu?"

"Tadi siang, ada perempuan bernama Ratna datang kemari. Dia datang bersama Dean, mengaku sebagai istrimu." Air mataku tumpah, mengingat kejadian siang tadi.

Mas Arya memelukku kian erat, mungkin mencoba menenangkanku.

"Sudah, tak usah kau pikirkan."

"Aku hanya butuh kejujuranmu, Mas. Benarkah dia istrimu?" Lelaki berkulit kuning itu menarik napas panjang.

"Maafkan aku, Mayang. Memang benar, dia istriku."
Aku yang sempat berharap Mas Arya mengatakan bukan, seperti hilang pegangan. Pandanganku mengabur, lututku kembali goyah.

"Kamu tega, Mas. Tega!" Aku berteriak, lalu berlari ke kamar. Kutumpahkan tangisku di atas bantal.
Tak lama kurasakan tubuh lelakiku mendekap erat.

"Maafkan aku, Mayang. Maaf. Aku tak bermaksud membohongimu."

"Lepaskan aku!" Kucoba melepaskan diri dari pelukannya. Aku merubah posisi, dari tidur menjadi duduk. Mas Arya tak kalah sigap, kembali memelukku, kali ini lebih erat.

"Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah jatuh cinta padamu."

"Omong kosong!"

"Tidak, Mayang, aku jujur. Hanya kamu yang kucintai."

"Cukup, Mas, cukup!"

"Ratna adalah perempuan yang dipilihkan orang tuaku. Aku tak pernah mencintainya."

"Tak mencintainya bukan alasan untuk mengkhianatinya kan Mas?!"

"Aku tak berniat mengkhianatinya. Salahkah kalau rasa ini berlabuh padamu, Mayang? Kamu bagai oase yang hadir di padang pasir. Kamu ...."

"Aku benci kamu, Mas. Aku benci kamu!" Aku meronta, tapi Mas Arya tak melepasku.

"Pergi kamu, Mas. Pergi!"

"Tidak akan, Mayang. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan wanita yang kucintai?"

Tuhan, bagaimana ini? Sungguh, aku tak tahu kalau Mas Arya sudah menikah. Kalau aku tahu, pasti akan kutolak ajakannya untuk menikah. Ah, mataku terlalu dibutakan oleh cinta. Atau mungkin, aku yang terlalu lugu, sehingga Mas Arya dengan mudah membohongiku?

"Aku akan menceraikan Ratna, bila itu maumu."

"Tak perlu, Mas. Biar aku yang pergi."

"Aku tak akan pernah melepaskanmu, Mayang," katanya seraya mengeratkan pelukan.

***

Untuk pertama kalinya, kuinjakkan kaki di kota kembang. Langkah kaki membawaku ke sini, setelah bapak mengusirku dari rumah. Aku tak bisa menerima bapak yang akan menikah lagi, setelah kepergian ibu. Aku baru mengagumi keindahan kota yang kutuju tersebut. Tiba-tiba, seseorang menarik tasku dengan paksa.

"Copet .... Copeeet!" Spontan aku berteriak sambil mengejar lelaki itu. Dari arah berlawanan, muncul sesosok pemuda, dengan sigap menjegal kaki si pencopet, lalu merebut tasku. Saat hendak mengejarnya, komplotan copet itu sudah menjemput temannya dengan sepeda motor. Aku terengah saat sampai di hadapan lelaki itu.

"Ini milikmu?"

"Iya, Mas. Terima kasih." Kuterima tasku, lalu memeriksa isinya.

"Lain kali hati-hati."
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Kamu bukan orang sini?" tanya lelaki itu lagi.

"Iya, Mas. Saya dari Jogja. Saya mau cari pekerjaan di sini."

"Hm, mau kerja apa?"

"Apa aja, Mas, asal halal."

"Kalau begitu, ayo ikut aku."

"Ke mana, Mas?"

"Katanya mau cari kerja?"

Entah kenapa, aku menurut saja. Sepertinya dia lelaki baik-baik. Buktinya, dia menyelamatkan tasku tadi.

Lelaki itu bernama Arya. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dia memberikan pekerjaan untukku di sebuah toko. Tak hanya itu, aku pun dicarikannya tempat tinggal.

Kami sering bertemu, sehingga nada cinta mulai berdenting di hati kami.

"Mayang, aku sayang padamu. Bagaimana kalau kita menikah saja?"

Aku yang sedang menyeruput teh panas hampir menyemburkan minuman itu.

"Menikah, Mas?"

"Ya, kita ke Jogja. Akan kuminta kamu di depan ayahmu." Aku menghela napas panjang.

"Tapi, Mas, aku sudah tak dianggap anak oleh bapak."

"Kalau begitu, kita menikah siri saja. Yang penting sah secara agama. Aku takut kita terjerumus ke lembah dosa."

Perlahan, bulir bening terjatuh dari mataku. Meskipun ada kesempatan, tak pernah Mas Arya berbuat kurang ajar. Berbeda dengan kebanyakan lelaki yang mengaku cinta, tapi tak bisa menahan hasratnya, dia benar-benar menjaga. Maka kuputuskan untuk menerima pinangannya.

***
Pintu rumahku digedor dengan keras.

"Mana Arya?"

"Mbak Ratna?"

"Mana Arya, Jalang!" Didorongnya tubuhku hingga terjatuh.

"Mas Arya tidak di sini, Mbak."

"Arya, di mana kamu?" Perempuan itu merangsek masuk ke kamar tidurku, lalu ke dapur, juga kamar mandi.

"Kau sembunyikan di mana dia?"

"Mas Arya tak di sini, Mbak. Dia keluar kota."

"Arya, keluar kamu!"

Tiba-tiba, terdengar tangisan bayi. Aku segera masuk ke kamar, mengambil Anjani, anakku.

"Oh, kamu sudah punya anak rupanya."

"Kami sudah menikah, Mbak."

Kulihat air muka perempuan itu berubah. Mulai tampak kaca-kaca di matanya. Perlahan, menetes kristal bening di pipi mulusnya.

"Apa? Menikah?"

"Ya, saat Mbak Ratna kemari untuk yang pertama kali, kami sudah menikah."

"Beraninya kamu. Dasar pramuria murahan!" Telapak tangan kanannya secepat kilat mendarat di pipiku, meninggalkan bekas kemerahan. Namun, hatiku lebih perih.

"Aku bukan pramuria, Mbak ...."

"Tutup mulutmu! Apa yang kau berikan pada suamiku hingga dia rela meninggalkan aku? Apa?"

"Maafkan aku, Mbak. Aku tidak tahu Mas Arya sudah beristri. Kalau tahu, aku pasti akan menolak lamarannya."

Aku menangis, bersimpuh di kaki perempuan itu. Tubuh Mbak Ratna gemetar, mungkin menahan amarah.

"Kau mencintainya?" tanyanya datar. Aku hanya diam, tak berani menjawab.

"Kau mencintainya, Mayang? Jawab aku!" Dia menaikkan intonasinya.

Aku hanya mengangguk. Ya, aku mencintai suamimu, sangat mencintainya! Ingin kuteriakkan kalimat itu di telinganya, tapi lidahku kelu.

"Kalau begitu, tinggalkan dia. Biarkan dia bahagia bersamaku. Aku istri sahnya."

Apa, meninggalkan Mas Arya? Aku bisa mati!

"Apa Mbak Ratna tega memisahkan seorang anak dengan ayahnya?"

Sedetik kemudian, Anjani telah berpindah ke tangannya.

"Pergi kamu dari sini! Tinggalkan suamiku, tinggalkan kota ini! Atau kubunuh bayimu!"

"Jangan, Mbak, saya mohon."

"Cepat, kemasi barangmu, atau ...." Tangan Mbak Ratna sudah berada di leher Anjani.

"Jangan celakai anak saya, Mbak. Saya mohon. Saya akan turuti semua kemauan Mbak Ratna."

Dengan berlinang airmata, kubereskan pakaianku dan Anjani. Tangisan anak itu semakin menambah pilu hati.

"Pergilah, dan jangan pernah kembali!" Wanita itu menyerahkan Anjani setelah kami keluar dari rumah.

***

Stasiun Tugu. Akhirnya aku sampai kembali ke tanah kelahiranku. Aku pulang, membawa luka yang mendalam. Harus merelakan kekasih hati, demi sang jabang bayi. Dengan langkah gontai aku berjalan keluar dari stasiun, lalu mencegat becak yang lewat. Entah bagaimana akan kujalani hidupku setelah ini.

Karma datang menghampiri, seolah mengejek dan menghakimi. Aku yang pernah marah besar karena bapak main belakang, kemudian menikah dengan selingkuhannya setelah ibu meninggal, sekarang harus menjadi istri kedua. Ironis. Mungkin memang benar, bahwa karma adalah sejarah yang terulang.

***

"Pak." Kucium tangan bapak penuh takzim, lalu tubuhku meluruh, bersimpuh di depan kaki beliau. Bapak bergeming. Air mataku tak terbendung. Ibu tiriku mengelus-elus punggung bapak, seakan meredakan kemarahan bapak.

"Maafkan Mayang, Pak." Bapak masih terdiam, tanpa mau melihat sedikit pun ke arahku.

***

Gadis kecil berkuncir dua itu berlarian di taman, mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Cantik sekali dia. Tiga tahun sudah dia menghirup udara dunia.
Tak lama dia berlari ke arah lelaki yang rambutnya mulai memutih, lalu memeluknya manja.

"Cantiknya cucu Kakek." Bapak mengayun Anjani dengan penuh cinta, sehingga gadis kecilku tertawa renyah. Sebuah rangkulan mendarat di bahuku.

"Bapak bahagia sekali dengan kehadiran Anjani."

"Iya, Bu. Mayang senang, bisa membahagiakan bapak di usia tuanya."

Wanita yang kupanggil ibu itu tersenyum. Ya, wanita yang dulu kubenci setengah mati, kini menjadi tempat curahan hati. Wanita yang kukira akan merebut cinta kasih bapak, ternyata memberikan warna tersendiri untuk rumah kami. Dia yang berjuang melunakkan hati bapak hingga mau menerimaku dan Anjani. Kami berdua berpelukan. Aku tahu, bagaimana rasanya menjadi dia sekarang. Status kami sama, seorang istri. Istri kedua.

"Maafkan Mayang, Bu. Mayang banyak salah ama ibu."
Ibu hanya menepuk punggungku.
"Ibu juga minta maaf. Ibu banyak salah sama kamu, juga ibumu. Andai saat itu ibu tahu kalau bapak sudah punya istri, ibu ...."
"Sudah, Bu. Tak perlu menyesali yang telah terjadi. Semua sudah takdir. Kejadian yang menimpa Mayang telah membuka mata Mayang dan bapak. Tak perlu memulas masa lalu. Yang terpenting, sekarang kita merenda masa depan. Terima kasih telah merawat bapak, Bu." Perlahan air mataku menetes. Kami berpelukan.

Kupandang kembali cucu dan kakek itu.

Ah, Dewi Anjani. Wajah itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang menggenggam hatiku. Arya Mahesa. Sudah tiga tahun aku meninggalkannya tanpa pesan. Mas Arya, lihat gadis kita. Semakin besar, dia semakin mirip denganmu. Apa kau tak rindu?

Ya, tiga tahun aku berjuang untuk melupakan Mas Arya, tapi tak bisa. Berpisah dari Mas Arya bukan hal yang mudah. Anjani adalah satu-satunya alasanku untuk bertahan.

Bukan aku tak cinta Mas Arya. Sungguh, aku mencintainya, dengan segenap jiwa raga. Namun, aku tak mampu menari di atas luka wanita lainnya. Adakah wanita yang bisa menyakiti hati wanita lainnya? Aku tak berhak atas Mas Arya, karena ada wanita yang telah menggenggam hatinya lebih dulu.

Selama tiga tahun ini, aku membatasi pergaulan dengan lelaki. Banyak yang ingin menyuntingku, walau mereka tahu aku punya Anjani. Aku masih bertahan sendiri, karena bagiku, aku masih seorang istri. Istri kedua ....


Jogjakarta, 3 Mei 2020
abellacitra
nona212
mentarisfr
mentarisfr dan 27 lainnya memberi reputasi
28
757
29
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan