boy.karimAvatar border
TS
boy.karim
B.G.S.T (an Adventurous Love Story 18+)


Part 1 Sampan Kayu


Jam 12 lewat seperempat. Gue gak sadar udah berapa lama gue ketiduran di atas sampan ini, mungkin 30-45 menit. Yang jelas, badan gue mulai terbiasa dengan segala ketidaknyamanan yg ada, makannya gue bisa ketertiduran dengan pulas. Emang benar kata orang, senikmat nikmatnya tidur adalah ketiduran. Ya walaupun ketiduran di spring bed masih lebih nikmat daripada ketiduran di atas kayu keras.

Sampan yang kami tumpangi hanyalah sebuah kapal kayu sederhana. Panjangnya sekitar 6 meter dengan lebar yang cukup untuk duduk 3 orang dewasa secara berjajar. Di belakang, sebuah mesin tempel kecil terpasang sangar sebagai sumber tenaga dari sampan ini.

2 jam yang lalu, bunyi bising dari mesin sampan mulai nusuk nusuk kuping gue ketika kami baru mulai perjalanan dari Entikong. Sekarang, bunyi itu seperti alunan melodi indah yang bernyanyi nemenin hari gue. Menurut informasi, butuh 5-8 jam perjalanan menggunakan sampan untuk menuju desa yang akan gue kunjungin. Lamanya waktu tempuh sangat tergantung pada kondisi cuaca dan arus sungai.

Ini merupakan pengalaman pertama gue menyusuri pedalaman Kalimantan. Arus sungai cukup bersahabat siang itu, bahkan cenderung kecil. Setidaknya ada 3 kali kami harus turun dari sampan dan berjalan beberapa puluh meter karena air terlalu surut sehingga sampan harus digotong oleh kru kapal agar tidak terganjal bebatuan terjal. Tenang, gue ikut bantuin kok. Ya lebih tepatnya sih pura pura bantuin ngegotong kapal padahal gue pegang doang. Ngga gue angkat.

Selain gue dan kru kapal yang membawa kami, rombongan gue ini terdiri dari 3 orang lainnya. 2 orang laki laki, Mas Dewo dan Ucup (yak, betul! Nama aslinya ucup adalah Yusuf). Dan 1 orang perempuan cantik bernama Desy.

Mas Dewo adalah pemilik production house (PH) yg gue sewa untuk ngebantu gue produksi video, dibantu oleh Ucup asistennya. PH Mas Dewo memang bukan PH besar, namun sebenarnya agak cukup istimewa ketika pemilik PH terlibat sendiri dalam proses produksi. Mas Dewo bilangnya sih dia kehabisan SDM untuk proses pengerjaan proyek gue ini karena ada beberapa proyekyang jalan berbarengan, padahal mah emang dasar Mas Dewo aja juga yang pengen ngerasain pengalaman baru ikut masuk hutan pedalaman Kalimantan.

Sedangkan Desy adalah penulis lepas yang gue hire sebagai script writer untuk proyek kali ini. Ini merupakan proyek pertama gue sama dia.

Gue sendiri? Orang biasanya manggil gue dengan nama Boy. Seorang Account Executive di salah satu Agensi di Jakarta. Kebetulan gue sedang menggarap proyek video pesanan klien yang mengharuskan gue melakukan perjalanan ini.

Meskipun matahari sedang berada di atas kepala dan sampan yang kami gunakan tidak memiliki atap, tapi terik matahari nggak terlalu berasa. Masih jauh lebih panas naik motor di Jakarta. Apalagi kalo naik motornya sambil berada di belakang truk ayam. Astaghfirullah rasanya.

Hawa adem yang gue dapetin ini mungkin karena pohon pohon besar nan rindang yang selalu ada di sepanjang tepian sungai. Angin sepoy sepoypun tidak henti hentinya menghajar wajah kami.

“Kita kaya lagi di Hutan Amazon ya”, Mas Dewo membuka pembicaraan
“Iya, habis itu kita dikejar kejar Anaconda. Biar gue jadi Jennifer Lopeznya”. Timpal Desy yang malah ngebahas scene film Anaconda, film jaman gue kecil.
“Hmm iyain aja deh biar Desy seneng. Tapi emang bener sih, kita lagi kaya di Amazon” Sambung ucup.

Yha kita emang lagi di tengah hutan hujan tropis, kita juga lagi di atas sampan menyusuri sungai yang cukup besar. Suasananya syahdu sekali. Gara-gara omongan Mas Dewo kita sepakat kalau rasa rasanya kita lagi ada di Amazon.
Walupun kita berempat nggak ada yg pernah ke Amazon.

Sama atau nggak dengan Amazon, yang gue tau sekarang kita jauh dari mana mana. Jangankan sinyal HP, jalan darat yang menghubungkan Entikong dengan desa aja nggak ada. Itulah sebabnya kami harus menggunakan sampan, karena memang tidak ada infrastruktur jalan yang bisa dilalui motor. Apalagi mobil.

Karena sudah masuk jam makan siang, kami menepi sejenak. Membuka bekal nasi padang yang kami beli tadi pagi di Entikong. Untungnya selama kita makan, gak ada babi hutan yang berlalu lalang di sekitar kita.

Sebelumnya, beberapa babi hutan yang sedang minum di pinggir sungai menjadi pemandangan yang sering kami temui.
Konon, meskipun jauh lebih kecil dan berwarna lebih tidak menarik dari pada Babi Ternak, Babi Hutan ini justru merupakan nenek moyang dari Babi Ternak jaman sekarang.
Ya walaupun gimanapun bentuknya, kalau udah di atas piring jadi gulai ya nggak ada bedanya juga sih.

Tidak mau berlama lama, begitu makanan habis kami langsung berangkat lagi melanjutkan perjalanan. Agak serem juga sih kalau kita belum sampai Desa ketika hari sudah gelap.
Sepanjang jalan tidak banyak percakapan yang kami lakukan. Hanya percakapan sederhana seperti “jam berapa?”atau “lihat itu, ada sesuatu yang menarik”. Keterbatasan percakapan ini tidak lepas karena kebisingan dari mesin kapal. Selain kebisingan, faktor kelelahan juga berperan di sini.

--
Dua hari sebelumnya kami masih berada di Jakarta, terbang ke Pontianak, lalu dilanjutkan dengan 10 jam perjalanan darat menuju Balai Karangan. Sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Sanggau.

Walaupun membutuhkan waktu 10 jam, jarak Pontianak-Balai Karangan ini sebenarnya nggak terlalu jauh. Hanya 240km. Sama seperti Jakarta-Cirebon. Tapi tolong jangan samakan kualitas jalannya dengan di Jawa. Jangankan jalan bebas hambatan, jalan trans Kalimantan saja masih dalam tahap pembangunan.

Bahkan, setelah pertigaan Tayan ada kurang lebih 40 kilometer jalan yang harus kami lalui tanpa aspal. Atau mungkin sudah diaspal tapi rusak berat. Entahlah. Gue juga nggak terlalu jelas ngamatin jalan. Pikiran gue fokus berusaha supaya gue nggak muntah ketika perut terus dikocok kocok dengan goyangan mobil mengikuti irama jalan. Padahal, di pertigaan Tayan tadi kita baru berhenti untuk makan malam. Gue jadi ngerasa tolol karena pernah ngabisin sejumlah uang buat main di wahana wisata buat ngocok-ngocok perut. Di sini gak perlu bayar lagi tapi berlebihan sekali. Emang segala sesuatu yg berlebihan bisa bikin kita muntah.

Selain jalanan yang ancur berat, ngga ada sama sekali penerangan di luar kecuali lampu mobil kami. Di dalam kegelapan malam itu lah, tiba tiba keluar asap dari kap mobil kami. Gue ngintip ke indikator di panel pengemudi, termometer menunjukan kalau mobil kami overheat. Kami harus berhenti di antah berantah. Ngga ada mobil lewat, ngga ada lampu jalan.

Untungnya supir kami adalah orang asli daerah sana jadi kami sedikit merasa aman. Gue turun dari mobil nemenin supir yang ngebuka kap mobil. Sebenarnya mobil kami bukanlah mobil tua. Toyota Innova, mungkin umurnya baru 4-5 tahun. Tapi perawatannya siapa yang tau, kan?

Gue curiga radiatornya kotor, dan karena tadi kami berhenti di Tayan cukup lama kemungkinan kotoran mengendap di bawah dan menutupi jalur sirkulasi radiator. Untungnya setelah beberapa kali proses penambahan air radiator, mesin bisa berjalan dengan baik. Tanpa over heat lagi.

Malam menjadi semakin larut kemudian. Isi mobil yang tadinya ramai dengan obrolan obrolan udah mulai sepu. Jelas kita kelelahan. Ketika mulai banyak mobil-mobil dengan plat nomor Malaysia, gue sadar kalau kita sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Berarti Balai Karangan juga sudah dekat. Alhamdulillah.

Namun sebelum masuk ke Balai Karangan, mobil kami diberhentikan oleh penjagaan tentara. “Selamat malam”, sapa petugas dengan ramah.
“Malam pak” jawab gue
“Kalian dari mana dan mau kemana?”
“Kami dari Jakarta, Pak. Tujuan kami ke Entikong untuk pembuatan video Pak. Ini surat Tugas saya Pak.”

Sebelumnya supir kami sudah memberi tahu biasanya ada pemeriksaan acak sebelum memasuki Balai Karangan. Jadi gue udah ngontak klien gue buat ngirimin surat tugas itu by email. Konon, banyak orang2 yg berusaha menyelundupkan TKI sehingga mobil-mobil dengan kapasitas penuh harus diperiksa.

Kami tiba di Balai Karangan pulul 11 malam. Sebelum lanjut ke Entikong, Kami bermalam 2 malam di Balai Karangan, karena ada beberapa footage yang harus kami ambil untuk kebutuhan video.

Dari Balai Karangan, sebenarnya kami hanya butuh 45 menit ke Entikong menggunakan mobil. Namun di pagi hari ke tiga itu kami memutuskan untuk sedikit masuk ke wilayah Malaysia mencari sarapan pagi, sebelum siangnya kami akan memulai petualangan menggunakan sampan kami. Sama seperti banyaknya mobil Malaysia yang masuk ke wilayah Indonesia di sekitaran Entikong sampai Balai Karangan, mobil kami juga diijinkan masuk ke Malaysia karena tujuan kami tidak terlalu jauh dari perbatasan.

Meskipun kantor perbatasan milik Republik Indonesia sedang dalam tahap renovasi, namun kami tetap diperiksa secara ketat. Terdapat antrian 5 mobil di depan kami yang menunggu giliran untuk diperiksa. Setelah kami diperiksa dan bisa lewat, supir kami langsung tancap gas dengan kecepatan tinggi. Aspalnya cukup halus. Hanya perkebunan sawit yang menjadi pemandangan kami.

Lima menit berselang, sekitar 8 km dari perbatasan, terdapat area terbuka yang bentuknya menyerupai rest area yang cukup luas. Terdapat beberapa outlet yang menjual berbagai produk cinderamata dan ada juga beberapa pilihan tempat sarapan pagi.

Kami berhenti di salah satu outlet makanan. Gue pesen kwetiaw goreng dan es teh tarik. Lucunya, meskipun kami berada di wilayah Malaysia, namun karena masih sangat dekat dengan perbatasan para penjual di sini tetap menerima rupiah. Jadi di semua daftar harga sudah tertera berapa harga barang tersebut dalam Ringgit dan dalam Rupiah.
--

Karena banyak waktu luang tanpa aktivitas selama di atas sampan, pikiran liar gue mulai menjelajah kemana mana. Ada saat ketika gue merenung, ada saat ketika gue berimajinasi dan ada pula saat ketika gue teringat kejadian malam sebelumnya di Balai Karangan.
Diubah oleh boy.karim 23-04-2020 14:48
NadarNadz
valbo
nona212
nona212 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
3.2K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan