kikirakakiAvatar border
TS
kikirakaki
Flashback: Pengakuan Pelaku Penjarahan Kerusuhan Mei 98





Quote:



Salah satu warga yang menjarah Roxy, Yogya Mal Klender, ataupun Plaza Orion. Semua membenarkan ada segelintir massa provokator sebelum pertokoan Tionghoa dijarah. Data TPGF menguatkan dugaan keterlibatan militer dalam tragedi itu. 

Mulyadi, yang kala itu masih berumur 16 tahun, ikut berjalan bersamaan dengan ratusan orang lainnya menuju salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di Tomang, Jakarta Barat. 14 Mei 1998, tengah hari dengan matahari yang cukup terik, ia rela berjalan menerobos panasnya Jakarta bersama penjarah lainnya, hanya karena mendengar adanya kabar banyak barang yang berhasil dibawa pulang oleh penjarah lainnya. Berjalan sejauh 3 kilometer, akhirnya ia sampai di Roxy Mas dan Topas ( saat ini bernama Roxy Square ).

Hingga sekarang, Mulyadi masih belum bisa membahasakan pengalamannya menjarah Roxy. Ia mengatakan bahwa pekan tersebut adalah pekan paling "kacau". Mereka yang menjarah toko-toko etnis Tionghua menyebutnya sebagai "Hari Kebebasan". Dari tanggal 13 - 15 Mei 1998, hampir seluruh pertokoan etnis Tionghua disikat habis. Bisa dibilang, Jakarta sedang mengalami intensitas penjarahan terparah sepanjang masa, miris ? Ya !





"Namanya Hari Kebebasan, mungkin karena semuanya bebas masuk sana sini, ambil barang disana sini, emang lagi rusuh rusuhnya pas Mei itu," ucap Mulyadi yang dijumpai oleh staff kami di salah satu warung kopi yang adai di Grogol, Jakarta Barat.


Ketika Mulyadi tiba di Roxy Mas, seingatnya situasi masih tenang. Hanya ada beberapa aparat berjaga. Namun rombongan Mulyadi tidak seberuntung massa sebelumnya. Mereka tidak bisa masuk. Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang. Mereka gigih mengajak massa lain menjarah toko-toko yang konon milik pengusaha Tionghoa. Segelintir orang itulah yang mulai melempar kaca pertokoan dengan batu. Massa ikut beringas, dan mulai merangsek masuk. Sebagian terpaksa mundur kembali karena ada serangan balik aparat yang menembakkan peluru karet sambil sesekali menghujani calon penjarah dengan gas air mata.


"Kalau saya lihat memang ada unsur provokasi. Awalnya belum terjadi apa-apa, tau-tau kaca pecah dilempar batu, akhirnya semua jebol, ada yang masuk dari basement juga, pas didalem ditembak pakai gas air mata juga," terang Mulyadi.


Menariknya, polisi yang harusnya menghalangi massa untuk masuk, justru ada yang mempersilahkan masuk dan mengatakan boleh saja untuk mengambil barang, asal jangan banyak-banyak. Sebuah realita yang cukup menyedihkan, dimana aparat penegak hukum justru mempersilahkan adanya tindakan kejahatan untuk dilakukan.


Mulyadi termasuk orang yang berhadapan dengan aparat yang "ramah". Sayangnya keberuntungan Mulyadi hanya sampai situ saja, pasalnya saat ia mengambil barang keluar, ia dihadang oleh aparat dengan rambut cepak sembari menodongkan senjata laras panjang. Namun Mulyadi tidak serta merta pulang tanpa membawa apa-apa, ia mencoba masuk ke Topas bersama anak ingusan lainnya, menerobos gas air mata, lantai yang penuh kaca, serta penjagaan aparat yang lebih minim, namun naas, hanya sekaleng biskuit saja yang berhasil ia ambil.


"Waktu itu ramai, jadi ya spontan aja ikutan. Kita kan pribumi, jadi ga bakal diapa-apain, soalnya kan yang dijarah punya Cina," ungkap Mulyadi.


Ketika kerusuhan pecah di jantung perdagangan Glodok, Jakarta Barat, pertengahan Mei 1998, Junaedi dan kelima kawannya yang belum tamat Sekolah Menengah Atas bergegas mendekati sumber keributan. Situasi jalanan kala itu sepi, tak ada mobil lalu lalang di jalanan yang biasanya sibuk, hanya tank dan mobil aparat siap berjaga. Asap mengepul dari belakang gedung pusat perbelanjaan elektronik Plaza Orion dan Harco Glodok sesekali diselingi letupan peluru karet dari kejauhan, banyak orang berlarian. Bukannya kabur, Junaedi yang baru 17 tahun saat itu mendekat ke Plaza Orion yang jendelanya sudah hancur berserakan.


"Cuma setahun sekali nih, ambil aja, cuma setahun sekali....," ungkap seseorang yang berpapasan dengan Junaedi.



Semua tidak saling kenal, namun orang-orang menyuruh Junaedi untuk menjarah barang yang ada di Orion Plaza. Namun nurani Junaedi tidaklah sejahat itu, ia mengaku bimbang.


"Ambil, jangan ambil, begitu terus yang ada di hati saya. Bimbang. Barang pada dilemparin keluar dari dalem Orion," lanjut Junaedi.




Saat itu, ada puluhan orang yang masuk kedalam Orion. Semua dioper-oper, mulai dari TV berukuran 32 inch sampai barang-barang kecil seperti Walkman juga turut disikat. Banyak orang yang meyakinkan Junaedi untuk mengambil barang yang mereka jarah.


"Waktu itu sih ada yang suruh ambil, cuma ya gitu, saya ga kenal sama orangnya. Orang sekitaran situ juga diam saja," terang Junaedi.


Pada saat itu Junaedi hanya membawa pulang sebuah walkman kecil. Ia mengaku tidak berani menerobos kedalam Orion. Namun ketika berjalan pulang, ada yang memberikannya TV 14 inch serta sebuah speaker aktif.


"Ada bapak-bapak bilang gini ke saya 'ini tv, satu orang satu, loe satu gue satu', kalau baju-baju gitu juga banyak, ada konveksi soalnya, bajunya lusinan dibuang-buang."


Sudah 20 tahun lebih kejadian itu terjadi. Junaedi saat ini, di tempat yang sama sedang duduk sembari menghisap rokok kreteknya. Menikmati ketenangan kota Jakarta. Tidak ada lagi kerusuhan yang terjadi, tidak ada lagi kobaran api, tidak ada lagi tembak menembak dan baku hantam dengan aparat. Sembari bersantai, ia mengenang sebuah tragedi, sebuah luka lama, sebuah lembaran hitam dari apa yang pernah dialami Republik Indonesia.


Junaedi juga mengaku dirinya menyesal pernah melakukan hal tersebut. Ia sadar, tindakan penjarahan toko etnis Tionghua bukanlah hal yang benar.


"Kalau dibilang nyesal, pasti nyesal. Jangan sampai deh yang beginian terjadi lagi," tutup Junaedi dengan senyuman kecil di bibirnya.


Selama momen menjelang tumbangnya Orde Baru, situasi di Klender Jakarta Timur tak kalah kacau. Terbakarnya Yogya Plaza Klender menyebabkan lebih dari 400 orang tewas. Beberapa saksi mata mengaku ada sekelompok orang terlatih yang memprovokasi massa atau warga menjarah barang di dalam gedung. Samsul Hilal, saat itu berusia 33 tahun, ada di dalam gedung Yogya Klender mencari ponakan dan tetangganya yang diduga masuk ke gedung Yogya Plaza Klender.


Tidak bisa dipungkiri, jika melihat kilas balik kerusuhan Mei 1998, bisa dibilang kisah tersebut adalah fragment sejarah paling brutal, paling buruk, dan paling mengerikan yang pernah dialami bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. 


Saat itu nilai tukar Rupiah anjlok hingga titik nadir, mencapai 16 ribuan per 1 USD. Di waktu yang sama pula hutang Indonesia semakin besar karena tidak mampu membayar. PDB anjlok 13,5%, BBM naik hingga 70%, pemutusan kontrak kerja juga terjadi dimana-mana. Rezim Orde Baru mengkambinghitamkan etnis Tionghua atas semua yang sudah terjadi. Kala itu pemerkosaan terjadi dimana-mana, penculikan aktivis, bahkan kekerasan dan pemukulan terjadi hampir disetiap sudut kota. 


Kerusuhan Mei 1998 awalnya dimulai dari sekitaran kampus Trisakti, tepatnya di tanggal 13 Mei. Keesokan harinya kerusuhan menyebar ke seantero Jakarta hanya dalam waktu dua jam saja. Mall dan pertokoan semua dijarah habis dan dibakar. Dalam waktu tiga hari saja tercatat ada 1.188 orang dilaporkan tewas, itu yang dilaporkan, bagaimana dengan yang tidak tercatat ? Jelas jauh lebih banyak ! Mengerikan.


Sandyawan Sumardi, salah satu anggota TGPF, menyatakan pada awalnya timnya dibentuk pemerintah sebagai formalitas agar seakan-akan Indonesia sudah menangani kejahatan terhadap kemanusiaan. Seiring berjalannya waktu, investigasi dan laporan TGPF menjadi lebih luas dari tugas awal.



Sayangnya, setelah laporan TGPF dirilis pada 1999, tidak pernah ada aktor intelektual yang diseret ke pengadilan untuk bertanggungjawab.


“Tragedi Mei, pada dasarnya adalah operasi militer, bukan karena [konflik] rasial, bukan juga karena krisis ekonomi yang jadi penyebab utama. Nah ini publik salah besar dalam menilai. Apalagi kalau ini dinilai sebagai masalah konflik dengan orang keturunan Cina. Itu terlalu bodoh menurut saya, karena kita digiring pada problem superfisial,” ungkap Sandyawan ketika ditemui VICE di kantornya. “Tragedi Mei, dibuktikan oleh TGPF totally operasi militer. Konflik itu digunakan untuk mencapai tujuannya supaya pemerintahan [Orde Baru] berkuasa kembali.”


Sandyawan mengatakan bahwa TGPF berhasil membuktikan adanya pola yang dipersiapkan oleh aktor intelektual untuk menciptakan kerusuhan. Misalnya adanya sejenis “pelatihan”, tiga bulan sebelum Tragedi Mei. Pelatihan ternyata tidak hanya diikuti personel militer tapi juga dilakukan masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat dan paramiliter yang kelak disebut “pasukan siluman.”


“Pertama ditiupkan isu besar bahwa ‘ini saatnya kalian yang sudah begitu lama ditindas dan begitu lama menjadi korban miskin, mengambil alih hak kalian. Jadi barang-barang besar di toko elektronik seperti TV silahkan ambil,' Balas dendam publik [dihembuskan oleh] intelijen kepada masyarakat,” ungkap Sandyawan.


“Isu itu ditebarkan begitu luas. Ketika masyarakat mulai bergerak, ada yang memimpin yang disebut orang-orang sipil berbadan tegap, plontos, betul-betul militeristik.”


Mulyadi, Junaedi, dan Samsul masih bisa pulang dengan selamat selama kerusuhan terjadi. Lain cerita dengan Muhammad Saparudin, biasa disebut Endin. Sore 14 Mei, kakak Endin, Siti Prihati sempat melarangnya mendekati Yogya Plaza Klender karena situasi kacau. Tapi Endin berkeras, dengan alasan bukan menjarah melainkan pergi ke rumah kawannya. Itulah momen terakhir kalinya Siti melihat Endin yang belum genap 17 tahun. Siti tak pernah sekalipun punya kesempatan menguburkan jasad adiknya—kalau benar ia turut jadi korban kebakaran mal. Selain kehilangan Endin, keluarga Siti harus rela seumur hidup diberi cap “keluarga penjarah”.


“Ada yang berhasil itu bolak-balik bawa [barang], tapi adik saya mah enggak. Enggak pernah pulang. Enggak kelihatan jasadnya, ya kita mau gimana lagi? Mau nyari ke mana?” ujar Siti. “Kita ikhlaskan saja, kalau enggak ikhlas juga kasihan.”


Feri Kusuma, selaku Deputi Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), terlibat dalam rehabilitasi keluarga korban Tragedi Mei 1998. Fokus utama yang dia dampingi adalah mereka yang meninggal dalam “kerusuhan", baik etnis Tionghoa maupun korban kebakaran saat momen penjarahan terjadi. Menurut Feri, hal terberat yang mesti dihadapi adalah stigma yang melekat pada korban dan keluarganya.




“Sampai hari ini stigma itu masih melekat pada para korban dan keluarganya ketika mereka dinamai ‘para penjarah’ atau ‘keluarga penjarah’,” kata Feri saat diwawancarai VICE di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. “Sehingga, hal itu menegasikan substansi dari peristiwa itu. Peristiwa ini kan sebetulnya pelanggaran HAM berat dan dibuat secara sistematis oleh aktor-aktor Orde Baru untuk menciptakan sebuah situasi yang chaos.”


Feri memandang bahwa pada situasi kacau saat itu tidak mudah bagi warga biasa yang kebanyakan remaja dan anak-anak untuk berani melakukan “penjarahan” dalam jumlah massa yang besar. Kebanyakan pasti takut pada aparat yang berjaga seperti tentara atau polisi yang berjaga.


“Mengapa dalam situasi itu mereka berani? Kalau saya lihat polanya begini, mereka dijebak untuk melakukan penjarahan lalu dibakar. Mereka jadilah korban penjarahan, sehingga [dianggap] wajar mereka dibakar atau dibantai karena mereka penjarah. Itu logika yang selama ini banyak diterima,” kata Feri.


Mulyadi, Junaedi, dan Samsul hanyalah sebagian kecil orang yang kala itu terprovokasi masuk ke dalam pusaran politik Mei 1998. Setelah diwawancarai VICE, mereka semua mengaku menyesal ikut mengambil barang elektronik, berkarung-karung baju, atau sekaleng biskuit, yang bukan haknya.


Setelah 20 tahun berselang, aktor intelektual kerusuhan massal dan penjarahan tak pernah ketahuan rimbanya sampai sekarang.


“Enggak mungkin ada kejadian penjarahan masif, terorganisir kalau enggak ada kekuatan politik yang mendorong mereka,” kata Feri. “Dalam kasus 13-15 Mei [memang] ada orang-orang yang kelihatannya ‘menjarah’. Pertanyaannya, apakah benar itu semua karena kesalahan mereka?”


Sumber: Vice, Google, Opini, Kompas, BBC




Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh kikirakaki 13-05-2020 02:10
tafakoer
eddiesangadjie
nona212
nona212 dan 202 lainnya memberi reputasi
199
22.9K
327
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan